Reformasi Perpajakan di bidang regulasi mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Titik tolaknya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Aturan inilah yang melandasi pengenaan pajak atas impor produk digital dari luar negeri yang dikenal sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Sejak 1 Juli 2020, Direktorat Jenderal Pajak mulai menunjuk para pemain produk digital luar negeri dan dalam negeri sebagai Pemungut PPN PMSE. Sampai akhir Oktober 2020 terdapat 36 Pemungut PPN PMSE yang telah ditunjuk. Enam di antaranya pada September 2020 telah menyetorkan PPN ke kas negara sekitar Rp97 miliar.
Tentunya ini menjadi secuil kabar yang menggembirakan di tengah efek domino dari pandemi Covid-19 yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang menurun berimbas kepada pemutusan hubungan kerja dan tingkat pengangguran yang meningkat dan jika tidak dimitigasi dengan baik maka akan terjadi kesenjangan sosial yang meningkat.
Pemerintah berusaha meresponsnya dengan memberikan kemudahan berusaha sebagai kunci. Kunci ini digunakan untuk mendorong dunia usaha tetap bergerak di masa wabah yang sampai saat ini belum menampakkan tanda-tanda berhenti.
Tujuannya agar tidak hanya pulih dari pandemi, tetapi juga agar semua sektor kehidupan di negeri ini bisa kuat dan menyongsong Indonesia Maju 2045. Cita-cita yang bukan angan-angan dan didukung dengan 318 juta penduduk, memiliki 65% penduduknya berada di usia produktif, 73% tinggal di perkotaan, dan 70% kelas menengah.
Dari sisi ekonomi cita-cita ini mewujud menjadi Indonesia yang memiliki Produk Domestik Bruto terbesar ke-5 di dunia, memiliki pendapatan per kapita Rp342 juta setahun, beralih ke sektor-sektor yang lebih produktif, dan menumbuhkan sektor-sektor jasa.
Tentunya ini membutuhkan prasyarat yang banyak dan perlu disiapkan, seperti kesiapan infrastruktur, kualitas dan daya saing sumber daya manusia, kesiapan teknologi, perencanaan kewilayahan, serta ekonomi dan keuangan.
Prasyarat ekonomi dan keuangan ini sangat ditunjang oleh APBN yang sehat, stabilitas makro, stabilitas politik, dan aturan hukum yang pasti.
Atas kebutuhan-kebutuhan inilah melakukan Reformasi Perpajakan dengan lebih serius lagi menjadi salah satu jalan keluar dari resesi. Saat ini langkah-langkah yang telah dan sedang dilakukan adalah sebagai berikut.
Pendanaan Investasi
Pertama, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk meningkatkan pendanaan investasi dalam bentuk penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang secara bertahap menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 dan 20% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya, serta tarif 3% lebih rendah untuk wajib pajak Go Public. Pengaturan ini telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 di atas.
Selain itu dalam bentuk penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri, pengaturan nonobjek PPh atas bagian laba/Sisa Hasil Usaha Koperasi dan dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Bentuk lain pendanaan investasi dicoba dibuka dengan adanya ruang untuk penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga; penyertaan modal dalam bentuk aset (imbreng) yang tidak terutang PPN; dan penghasilan tertentu (termasuk dividen) dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.
Kepatuhan Sukarela
Kedua, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela dengan mengurangi beban kepatuhan dan meningkatkan kemudahan berusaha. Caranya dengan mengatur kembali ketentuan tentang sanksi dan pengkreditan pajak masukan.
Sanksi dan imbalan bunga yang sebelumnya berlaku rata 2% per bulan sekarang menjadi fleksibel dengan berpatokan pada suku bunga acuan sehingga menjadi selaras dengan praktik yang berlaku umum di dunia bisnis.
Pengkreditan pajak masukan yang sebelumnya tidak dapat dikreditkan, kini dapat dikreditkan termasuk pajak masukan sebelum pengukuhan dan pajak masukan perolehan barang dan jasa kena pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan penyerahan terutang PPN.
Kepastian Hukum
Ketiga, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk meningkatkan kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan mengatur ulang ketentuan terkait barang kena pajak dan objek PPh, administrasi ketetapan dan tagihan pajak, serta status subjek pajak orang pribadi.
Ketentuan penyerahan batu bara berubah sehingga termasuk ke dalam penyerahan barang kena pajak dan terutang PPN, sedangkan konsinyasi bukan penyerahan barang kena pajak.
Sisa lebih dana badan sosial dan badan keagamaan sekarang tidak termasuk objek PPh sehingga menjadi selaras dengan perlakuan sisa lebih dana lembaga pendidikan.
Pengaturan ulang administrasi ketetapan dan tagihan pajak termasuk kedaluwarsa penerbitan surat tagihan pajak yaitu lima tahun.
WNI maupun WNA yang tinggal di atas 183 hari dalam setahun di Indonesia menjadi subjek pajak dalam negeri, namun pengenaan PPh bagi WNA dengan keahlian tertentu hanya atas penghasilan dari Indonesia. Ketentuan ini berlaku selama empat tahun dan dimaksudkan untuk meningkatkan minat pekerja asing dengan keahlian tinggi untuk bekerja di Indonesia dan mendorong terjadinya alih pengetahuan kepada pekerja Indonesia.
Keadilan Iklim Berusaha
Keempat, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri dengan mengenakan PPN PMSE yang telah berlaku sejak 1 Juli 2020 dan merupakan bagian dari upaya meningkatkan kesetaraan berusaha, khususnya antara pelaku usaha digital dalam dan luar negeri. Hal ini sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 di atas dan memiliki potensi perpajakan yang besar di masa mendatang.
Selain itu, keadilan iklim berusaha diciptakan melalui kesetaraan berusaha dengan cara menerapkan kewajiban pencantuman identitas Nomor Induk Kependudukan (NIK) pengusaha pembeli barang/jasa kena pajak apabila pengusaha tersebut tidak memiliki NPWP.
Empat ruang lingkup Reformasi Perpajakan di atas, selain menjadi terobosan kebijakan untuk mendorong transformasi ekonomi menuju Indonesia Maju 2045, pada hakikatnya untuk mendorong investasi sehingga menyerap tenaga kerja seluas-luasnya di tengah situasi perlambatan ekonomi.
Tentunya Reformasi Perpajakan ini dilaksanakan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu mengumpulkan pendapatan negara dan menjadikan pajak sebagai alat fiskal untuk mendorong ekonomi.
Saat ini, pajak digunakan sebagai instrumen fiskal untuk mendorong aktivitas usaha sehingga ekonomi tumbuh dan kemudian pajak pun ikut tumbuh. Di sinilah, pajak sesungguhnya menjadi ekor dari aktivitas ekonomi yang kabar menggembirakan lainnya ditunggu-tunggu oleh semua.
***
Riza Almanfaluthi
Artikel di atas ditulis dan telah dimuat di APBNKita Edisi Oktober 2020. Majalah APBNKita Bisa diunduh di sini.