Soal Kanibalisme yang Berakhir di Kedai Nasi Kapau


Mereka menceritakan ritual kematian sebelum tahun 1960-an di Pidgin, dengan ungkapan ”katim na kukim na kaikai”.

Kisah ini berawal di Inggris antara tahun 1700 dan 1800. Saat pertanian Inggris melakukan revolusi yang berpangkal dari temuan Robert Bakewell, wirausahawan dari Leicestershire. Bakewell menyatakan, kualitas biri-biri  dan sapi dapat ditingkatkan dengan cepat melalui penangkaran selektif spesimen terbaik dengan turunan mereka sendiri.

Penemuan dengan cara perkawinan sedarah ini memang menghasilkan biri-biri yang gemuk, cepat besar, dan berbulu panjang. Namun ternyata ada efek samping tak terduga. Biri-biri penangkaran di Suffolk, khususnya, menunjukkan tanda-tanda gila. Hewan-hewan itu menggaruk-garuk, tersandung-sandung, melonjak-lonjak, gelisah, dan tampak antisosial. Setelah itu mati.

Penyakit itu disebut Scrapie yang kemudian menjadi masalah besar dan menyebar. Satu dari sepuluh biri-biri betina mati. Scrapie menjangkiti hampir seluruh keturunan biri-biri Suffolk.

Ratusan tahun kemudian, tepatnya pada 1930 , seorang dokter hewan sedang menguji vaksin untuk penyakit lain. Dan ternyata itu mengakibatkan epidemik Scrapie besar-besaran di Inggris. Setelah diselidiki, vaksin itu dibuat dari otak biri-biri. Meskipun bahan pembuatan vaksin sudah disterilisasi, daya infeksi melalui vaksin itu masih cukup kuat.

Pada 1957, seorang ilmuwan Amerika Serikat bernama Bill Hadlow terkejut ketika melihat bentuk kerusakan otak hewan yang terkena Scrapie. Ia melihatnya sewaktu menyaksikan pameran di Wellcome Museum of Medicine di London.

Hadlow seperti pernah melihat kerusakan yang sama. Bukan pada otak binatang, melainkan di otak manusia.  Seperti di film-film Hollywood, Hadlow bereaksi cepat. Ia segera menghubungi salah satu dari dua orang dokter yang sedang bertugas di Papua Nugini yaitu Vincent Zigas dan Carleton Gajdusek. Tidak dengan surel ataupun Whatsapp. Pada saat itu tentu belum ada.

Hadlow menulis surat kepada Gajdusek tentang kemiripan bentuk otak penderita Scrapie dan Kuru. Yang terakhir ini adalah penyakit otak yang menyerang banyak orang, terutama perempuan, dari suku Fore di Papua Nugini.

Pada akhir 1950-an, Kuru memang menyerang banyak perempuan Fore sampai perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan adalah tiga banding satu. Penyakit itu juga menyerang anak-anak, tetapi tidak pada laki-laki dewasa. Apa penyebab Kuru?

Vincent Zigas dan Carleton Gajdusek mengungkapkan dugaan penyebabnya itu. Jadi suku Fore itu memiliki tradisi mengerikan. Di saat salah satu anggota suku Fore meninggal mereka melakukan ritual pengurusan jenazah yang tidak sembarangan.

Di upacara itu, tubuh yang meninggal dipotong-potong, kemudian katim na kukim na kaikai yang berarti dikerat, dimasak, dan dimakan. Pria dewasa mendapatkan jatah daging, sedangkan perempuan dan anak-anak memakan organ-organ bagian dalam dan otak.

Salah satu kasus terjadi pada 1954. Upacara dengan kanibalisme dilakukan pada perempuan yang meninggal bernama Neno. Dari lima belas orang yang hadir dalam upacara itu belakangan meninggal karena Kuru. Tiga orang selamat dari penyakit itu. Rinciannya adalah satu meninggal muda karena sebab lain. Satu lagi karena dilarang memakan daging korban. Sebabnya satu, ia memiliki suami yang sama dengan Neno. Satu lagi mengaku hanya memakan tangan korban pada saat itu.

Pola Kuru terdeteksi. Penyakit ini diderita oleh anak-anak dan perempuan, umumnya penderita masih memiliki hubungan kekerabatan dengan jenazah yang dikerat dagingnya itu, bahkan diderita oleh orang yang tidak memiliki kekerabatan, namun diikat oleh perkawinan.

Pemerintah Papua Nugini melarang dan menghukum warganya yang menyelenggarakan tradisi itu.  Pada 1976, Gajdusek mendapatkan penghargaan Nobel di bidang kedokteran yang menemukan penyebab penyakit Kuru, selain karena pewarisan gen, juga karena penularan.

Nah, pada 1982, seorang pengamat genetika bernama Stanley Prusiner mengajukan teori bahwa penyebab Scrapie itu gara-gara sepenggal protein dalam gen yang bernama Prion. Protein dengan kualitas luar biasa, yang dapat berubah menjadi sesuatu yang keras, lengket, dan tahan terhadap segala upaya memusnahkannya.

Pada saat hampir yang bersamaan, sebelum Prion itu ditemukan dan dinamakan, di Inggris terjadi kegilaan. Korbannya adalah sapi. Epidemi sapi gila itu karena Prion masuk ke dalam sistem peternakan Inggris. Cukup satu biri-biri atau sapi tua yang menderita Scrapie dijagal lalu dijadikan pakan sapi. Sapi-sapi perah sehat memakan pakan sapi yang terdiri dari tulang dan jeroan yang telah direbus hingga steril. Tetapi Prion masih eksis melalui sterilisasi itu dan mendekam sentosa dalam pakan sapi untuk menunggu saat-saat  kebangkitan dari hibernasinya di otak sapi yang sehat. Dari temuannya ini, Prusiner pergi ke Stockholm, Swedia untuk mendapatkan Nobel pada 1997.

Matt Ridley menceritakan kisah di atas dalam buku yang berjudul Genom, Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab. Sebagaimana saya pernah menuliskan salah satu cerita menarik lainnya dalam tulisan yang berjudul  Mani Milik Siapa?

Buku ini belum selesai saya baca dan masih saya bawa sewaktu bepergian dalam penugasan ke Bukittinggi beberapa hari yang lampau. Di sebuah pasar, di salah satu sudut yang letaknya menurun, warung-warung nasi kapau berderet menawarkan kelegitan kepada para pengunjung, kelezatan yang telah menusantara bahkan mendunia. Kedai Kapau Ni Er menjadi warung yang saya kunjungi untuk bersantap siang sehabis perjalanan jauh dari Padang.

Pilihannya bermacam-macam lauk pauk yang biasa ditawarkan di rumah makan nasi padang ibu kota. Salah satunya mencolok karena ukurannya yang luar biasa besar: usus sapi yang di dalamnya berisi tahu. Warna kuningnya sungguh mengundang selera.

Membayangkan kelezatannya membuat saya teringat Kuru dan Scrapie. Saya tak bertanya apakah otak juga ada sebagai bagian lauk yang menggoda untuk saya cicipi, setelah saya pastikan rendang limpa menjadi kawan nasi.

Barangkali kalaupun saya bertanya, pertanyaan yang akan saya ajukan kepada ibu di warung Ni Er yang melayani kami dari ketinggian kursinya, yang masih sibuk melayani pelanggannya dengan sendok sayur terbuat dari kayu bergagang panjang adalah: “Ada otak, Bu?”

Kelak, aku akan kembali.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
9 September 2019

 

 

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.