
Ketika aku menawarkan kepadamu semangkuk mi ayam porsi kedua apakah engkau akan menerimanya seantusias porsi pertama? Tentu tidak kecuali engkau memang belum makan tiga hari tiga malam. Begitu pula dengan safar membelah lautan untuk mengudap senja di sebuah selat.
Setelah kami menyusuri kegelapan Benteng Pendem dengan ditemani seorang pemandu wisata, sore itu kami membelah diri menjadi dua grup. Masing-masing grup beranggotakan enam orang. Kami menyewa dua perahu nelayan yang bergerak cepat dari Pantai Teluk Penyu.
Di perahuku penumpangnya laki-laki semua. Empat perempuan bersama Pak Endang dan Pak Azam di perahu yang lain. Pak Azam berkaca mata hitam dengan tongsisnya bersiap mengabadikan momen-momen yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Niat awalnya kami sekadar menginjakkan kaki di pantai di salah satu sudut Nusakambangan, tetapi rupanya perahu itu membawa kami ke Pelabuhan Sodong tempat mendarat para pegawai Lapas Nusakambangan dari Pelabuhan Wijaya Pura, Cilacap.
Perjalanan ke sana dipenuhi dengan senja yang memerah, kapal-kapal besar yang sedang menurunkan sauh, dan tempias air yang berhamburan ke mana-mana. Merasakan cipratan itu di tangan membuatku terpantik membuat satu bait ini:
Aku ingin mengunyah senja bersama sambal terasi yang kaubuat, aku yakin kerungsingan ini akan meluruh bersama percikan air laut yang melompat-lompat.
Senja, laut, Nusakambangan adalah perihal pengalaman kedua kali. Senja dan laut ini soal menikmatinya dalam masa tiga tahun empat bulan di Tapaktuan, Aceh Selatan. Sedangkan Nusakambangan ihwal persambanganku pada 2017 lampau.
Tak ada yang bisa dikisahkan lagi kecuali aku masih saja terpesona dengan sensasi ketika tangan dicelupkan ke dalam air laut saat perahu melaju dengan kencang. Ini mengingatkanku dengan perjalanan menuju pulau seuprit bernama Pulau Dua di Bakongan, Aceh Selatan.
Sesampainya di dekat Pelabuhan Sodong, kami tidak mendarat, kami putar balik. Kami melihat banyak pegawai lapas yang hendak menaiki kapal kecil. “Kalau naik kapal itu bayar Rp7.500 sudah termasuk motor,” kata pemandu wisata yang menemani kami sejak dari awal.
Menurutnya, kalau naik kapal yang besar hanya ada di jam-jam tertentu. Kapal besar itu dioperasikan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM.










Pengalaman kedua tentu tak seheboh yang pertama, tetapi itu saja sudah menjadi sesuatu yang mestinya bisa disyukuri. Dapat bepergian ke suatu tempat itu adalah anugerah. Kalau kata Aidh bin Abdullah Alqarni melanglang itu memberi kebahagiaan kepada jiwa.
Katanya lagi, siapa pun yang membaca buku perjalanan Ibnu Batutah—meskipun sering dilebih-lebihkan—akan terpesona oleh ciptaan Allah. Berkelana dan membaca alam terbuka adalah sarana bagi seorang yang beriman agar bisa menyerap banyak pelajaran dan pesan moral, agar tidak bodoh dan merasa keminter.
Aku jadi teringat dengan kisah berikut:
Seorang pengusaha datang ke suatu kota. Sampai di sana ia pergi ke tukang cukur. Di depan kios tukang cukur itu ada seorang anak yang sedang bermain-main, berlari-larian, dan berlompat-lompatan.
“Anak itu adalah anak yang paling bodoh yang pernah kujumpai,” kata tukang cukur kepada pengusaha itu.
“Kenapa?”
“Sebentar,” kata tukang cukur. Ia memanggil sang anak untuk masuk ke dalam kiosnya. Lalu tukang cukur mengeluarkan dua lembar uang kertas dari kantung celananya. Satu lembar bernilai Rp2.000 dan selembar lagi bernilai setengahnya.
Masing-masing lembar ditaruh di atas telapak tangan tukang cukur. “Kamu pilih mana?”
Sang anak dengan mata berbinar-binar memandang benda yang berada di salah satu telapak tangan tukang cukur itu. Sang anak mengambil uang bernilai seribu rupiah.
Tukang cukur tertawa. “Tuh, kan betul?” tanyanya sambil tertawa puas.
Setelah selesai memangkas rambutnya, pengusaha itu mendatangi sang anak dan bertanya, “Kenapa kamu tidak mengambil uang dua ribu rupiah itu?”
Sambil tersenyum sang anak itu menjawab, “Kalau aku mengambil uang dua ribu rupiah itu, permainan selesai. Ia tidak akan memamerkan “kepintarannya” kepada para pelanggannya lagi. Aku tidak akan bisa lagi mengambil uang darinya untuk jajanku.”
Pengusaha itu tersenyum. Anak ini lebih pintar daripada tukang cukur yang keminter.
Dalam perjalanan pulang, ketika binar-binar matahari sudah benar-benar hendak tenggelam, aku sudah merasa kedinginan. Angin laut menerpa dengan kencang tubuhku yang tiada berjaket. Kiranya semangkuk soto—bukan semangkuk mi ayam—hangat layak menjadi pengisi perut. Tentunya di Purwokerto. Kota kecil nan bersahaja.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
22 September 2019