Agar kejadian di Jakarta Marathon 2017 tidak terulang kembali saat saya terlambat start sampai 5 menit dari flag off, maka malam Ahad ini saya menginap di rumah adik saya di Utan Kayu. Ahad (14 Januari 2017) pagi ini saya mencoba mengikuti Bela Negara Run 2017.
Loh kok Bela Negara Run 2017 diselenggarakan pada 2018? Barangkali ada yang bertanya-tanya seperti ini. Ya, semula memang pertandingan (event) lari ini direncanakan pada 17 Desember 2017, namun dikarenakan pada tanggal yang sama ada demo mendadak Aksi Indonesia Bersatu Bela Palestina, maka acara diundur hampir satu bulan kemudian.
Bela Negara Run 2017 ini kegiatan milik Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dalam rangka memperingati Hari Bela Negara yang biasa diperingati setiap tanggal 19 Desember sejak 2006.
Ini akan jadi race pertama saya di 2018. Ini setelah lari 30 kilometer Tugu To Tugu 2017 pada 31 Desember 2017. Berarti juga ini merupakan latihan lari pertama saya di 2018 karena selama dua minggu setelah itu saya istirahat lari. Juga merupakan race ketiga di jalanan Car Free Day (CFD) Jakarta setelah 5K di Spextacular 2016 dan Half Marathon di Jakarta Marathon 2017.
Ajakan Mbak Sri Rahayu dari Indonesia Muda Road Runner (IMRR) kepada saya untuk mengikuti Bela Negara Run 2017 ini datang melalui Direct Message Instagram yang kemudian dilanjutkan via email. Sebuah ajakan yang tak elok untuk ditampik. Pamali kata orang Sunda mah.
Saya memilih race yang 12 kilometer, sekalian jauhnya. Pada saat pengambilan race pack ke-2 saya mendapatkan kaos dan nomor dada dengan nomor 5459.
Dan waktu terbang begitu saja. Tiba-tiba sudah hari-H. Usai salat Subuh di Masjid Dakwah Islam Almanar saya berangkat dengan ojek daring menuju garis start di Kantor Kementerian Pertahanan RI, Jalan Merdeka Barat, di sebelah Museum Nasional.
Sudah banyak orang di sana. Di lapangan luas di depan Gedung Urip berdiri panggung besar. Di depan panggung didirikan tenda raya juga untuk kursi para tamu.
Saya melihat Garmin di lengan kiri. Masih satu setengah jam lagi dari waktunya. Saya bergegas menitipkan tas di tenda penitipan barang di sebelah Gedung Urip. Lalu menuju garis start.
Di sana saya banyak bertemu teman, terutama dari Freeletics Indonesia Mas Novano Arya dan teman-teman dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak) Runners. Mas Novano Arya ini bersama saya masih berbadan besar di tahun 2014 kemudian mengalami transformasi dengan Freeletics setelah bosan gendut. Ini pertemuan darat pertama saya dengannya.
Bersama Mas Aris Hidayat dari DJP Runners.
Cukup lama saya berdiri di belakang garis start. Sampai pembawa acaranya mempersilakan Menteri Pertahanan Jenderal Purnawirawan Ryamizard Ryacudu memberikan sambutannya sekaligus pengibaran bendera di garis start.
Tak banyak yang disampaikan Jenderal ini. Barangkali dia tahu kalau kami sudah menunggu lomba ini untuk segera dimulai. Dia cuma mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada seluruh peserta lari dalam rangka hari Bela Negara Run ini.
Dia bilang juga kalau kekuatan negara terletak pada bela negara. Semakin rakyat mengerti pentingnya bela negara maka negara semakin kuat. Kalau tak ada yang memikirkan negara maka negara akan hancur. Kegiatan ini menunjukkan pada dunia kita bahwa kita kuat dan bersatu. Katanya begitu.
Pada 69 tahun lalu, di 19 Desember 1948, tepat pukul 08.00, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat saat mengetahui Belanda melancarkan Agresi Militer II.
Agar seolah-olah seperti Soedirman, Jenderal (Purn.) Ryamizard bisa saja memberikan sambutan dan melepas para pelari tepat pukul 08.00. Apa kata dunia melihat kita lari sudah siang begitu? Ternyata tidak.
Pada 07.00 WIB, pelarian itu dimulai.

Satu Alasan
Bendera dikibarkan. Lima meter di belakang garis start saya sudah menekan tombol merah Garmin saya. Inginnya lari santai saja, tetapi pergerakan orang-orang membuat saya terpicu untuk berlari kencang.
Rute lari itu menuju utara, di ujung Jalan Merdeka Barat lalu putar balik menuju Patung Kuda Arjuna Wiwaha. Marshal dari IMRR mengarahkan peserta lari ke jalur yang benar.
Lima kilometer pertama saya masih bisa menjaga waktu di bawah 30 menit. Pelari nasional yang ikut acara ini sudah jauh entah di mana. Kecepatannya mengerikan. Jantung mereka seperti turbo engine tiga setengah liter, turbo ganda.
Jakarta pagi itu memang sedang sumringah. Matanya telah kering. Tangisan hujannya sudah dihabiskan semalam. Maka CFD pun begitu ramainya. Sambil menjaga pace yang apalah, apalah, apalah ini saya menikmati setiap ayunan langkah kaki. Sembari juga membaca pesan-pesan yang ada di bagian belakang kaos para pelari. Entah pelari peserta atau pengguna CFD.
Mata saya bersirobok dengan satu pesan begini: “Run for a Reason.” Lalu sambil terengah-engah itu pikiran saya melangit, menjelma permenungan, “Iya yah buat alasan apa saya berlari?” Karenamu, karena-Nya, atau karena apa? Jangan sampai unfaedah, sia-sia, tak bernilai ibadah sama sekali.
Walaupun pikiran menyemesta begitu, saya tak mau melewatkan water station yang disediakan Panitia IMRR. Saya manusia, Bro. Haus. Satu botol kecil air bening itu saya bawa sambil berlari.
Rute Lari.
Lima Kilometer Lagi
Bunderan Hotel Indonesia dan Patung Jenderal Sudirman sudah jauh di belakang. Kini saatnya melewati tanjakan Jalan Semanggi. Masih kuatlah kaki ini menapakinya. Di jembatan Semanggi itu tepat tujuh kilometer.
Di sana Panitia IMRR membagi tali penanda warna oranye. Sebagai tanda telah melewati titik terjauh. Tanda ini jangan sampai hilang, kalau iya, bisa-bisa enggak diakui pelarian kita itu. Yang jelas enggak dapat medali. Itu pun kalau 1000 medali untuk semua kategori itu masih ada.
Eh, di tengah jalan saya menemukan tali yang tercecer. Saya juga melihat beberapa orang yang memotong jalur lintasan, tentunya ia tidak mendapatkan tali penanda. Saya harap nanti panitia di garis finis tegas menolak pelari yang tidak membawa tali penanda itu.
Saking padatnya CFD, tidak jarang saya harus keluar masuk jalur busway. Soalnya ada salah satu acara di CFD yang benar-benar memakan seluruh badan jalan. Saya keluar jalur busway kalau benar-benar ada bus Transjakarta sudah dekat di belakang saya.
Kilometer sepuluh sudah saya lewati persis setelah melewati jembatan Stasiun Sudirman. Hampir satu jam saya berlari. Tinggal dua kilometer lagi, Gaes. Menjelang Bunderan Hotel Indonesia saya harus berlari zig-zag karena padat dengan manusia.
Di lomba ini saya disusul banyak orang sekali. Saya jarang menyusul pelari lainnya yang kebanyakan anak-anak muda itu. Dua kilometer kemudian saya sudah berada di depan Gedung Bank Indonesia. Ternyata 12 kilometer ini belumlah finis. Masih beberapa ratus meter lagi. Saatnya pasang mesin perahu motor nelayan Belitong di kaki saya.
Gerbang balon garis finis berwarna merah sudah tampak di mata. Ngebut, ngebut, ngebut dan akhirnya selesai juga. Pengebutan 440 meter dengan pace tertinggi yang pernah saya raih, 2:06 menit/km. Sprint.
Medali Kuning
Belanda sebenarnya masih jauh. Ngapain juga ngebut-ngebut? Di lomba ini bukan karena COT (cut of time) orang tidak dapat medali, melainkan karena jumlah 1000 medali itu dibagikan kepada penamat untuk semua kategori.
Jadi biarpun pelari 12 kilometer itu lebih jauh jaraknya dan sanggup sampai finis tetapi bisa tidak kebagian medali kalau tidak lebih cepat sampai ke garis finis daripada pelari dengan jarak 5 kilometer saja.
Kebetulan saya yang sampai di garis finis dalam waktu 1:13:48 ini masih kebagian medali. Itu pun setelah Panitia IMRR di tempat pembagian medali menolak dengan tegas dua orang ibu-ibu yang tidak membawa tali penanda. Di wajah mereka tak terlihat jejak peluh sama sekali.
Medali besi dengan sepuhan warna kuning dan bertali merah itu terasa berat saat ditimang-timang. Ini menjadi medali lari keenam buat saya. Insya Allah bukan medali yang terakhir, sih. Jika memang IA masih memberikan kekuatan dan kesehatan. IA adalah satu alasan itu.
Pun, race-race berikutnya yang diselenggarakan oleh IMRR layak diikuti lagi. Kudu sering mengecek situs webnya di www.imroadrunner.com untuk memperbarui informasi tentang race lari IMRR atau melalui akun media sosial IMRR lainnya.
Di commuter line yang menuju Citayam, saya memandang Garmin lekat-lekat. Setelah ini apalagi? Kembali pikiran saya terjun bebas ke alam permenungan. Harapannya, semoga ada jawaban setelah kereta ini sampai di stasiun tujuan.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 14 Januari 2018
Mantap Larinya Bro Riza. Saya di belakang anda, tertinggal 3 menitan kira-kira (catatan wantu 1 jam 16 menit. Inipun sudah maksimal mengeluarkan kemampuan terbaik utk dapatkan mendali yg terbatas.
LikeLiked by 1 person
Btw, dapat medalinya enggak?
LikeLike