HARAPAN MAHADAHSYAT


HARAPAN MAHADAHSYAT


Islamedia –Apa yang menyebabkan seseorang ingin terus hidup di dunia? Tentunya karena ada harapan ia akan mendapatkan sesuatu untuk kesenangan dirinya. Dan harapan itu adalah kuncinya. Orang yang tidak punya harapan maka biasa disebut orang yang putus asa. Kalau enggak kuat iman biasanya bunuh diri.

Dalam Islam kita dilarang untuk melakukan bunuh diri, karena dosanya begitu besar. Pun, buat apa bunuh diri karena sebenarnya setiap masalah tentunya selalu ada solusi sebagai pasangannya. Karena pula rahmat Allah yang begitu luas. Maka jangan sekali-kali putus asa dari rahmatNya. Lagi-lagi ini menyangkut masalah iman.

Nah terkait dengan harapan ini, ramadhan bisa juga disebut sebagai bulan penuh harapan. Dengan demikian begitu banyak orang—terutama yang beriman—menyambutnya dengan riang gembira, minimal enggak ngedumel. Mengapa? Karena begitu banyak harapan-harapan yang diberikan Allah kepada orang yang berpuasa. Mulai dari segi kebendaan sampai yang transendental (Memangnya Ulil doang yang bisa ngomong kayak ginian).

Mulai dari sekadar berharap bedug maghrib cepat berbunyi atau juga suasana siang dan malamnya yang berbeda dengan hari-hari biasanya dan ini sering menimbulkan kerinduan yang begitu mendalam. Atau harapan dapat berbuka puasa bersama dengan keluarga dan mendapatkan kehangatan yang menyertainya. Atau dengan mencicipi minuman, makanan, dan masakan yang hanya muncul di bulan Ramadhan itu. Atau keramaian tiada tara di masjid dan musholla bagi anak-anak yang tidak biasa didapatkan di bulan selainnya.

Atau sekadar harapan dapat THR bagi para pegawai dan buruh. Atau dapat bagian beras dan uang zakat bagi para mustadh’afin. Atau harapan bisa mudik yang tidak menyurutkan niat dari jutaan orang para pelakunya walau kesulitan dan kelelahan menghadang didepan. Dan lebaran tentunya. Duh, banyak banget yah harapan-harapan itu. Tetapi itulah yang membuat kita hidup. Apalagi jika semuanya, harapan-harapan itu, bermuara pada kenyataan.

Itu hanya sebatas keduniawian. Padahal ada harapan yang lebih dahsyat dan mahadahsyat lagi. Seluruhnya ada di bagian yang transendental itu. Mulai dari harapan bisa dilipatgandakannya pahala dari semua amal-amal kebaikan yang dilakukan, atau ketenangan jiwa yang begitu banyak dicari oleh orang seantero dunia, atau keberkahan hidup dunia dan akhirat, atau mendapatkan malam yang mulia, malam seribu bulan, malam lailatul qadr.

Atau menjadi orang yang seperti bayi yang baru dilahirkan ke dunia di 1 Syawal. Bersih. Putih. Tanpa noda dan cela apalagi dosa. Atau harapan mendapatkan predikat al-‘abda attaqiyya (orang yang bertakwa)—dan ini sudah jelas dicintai oleh Allah. Atau harapan mendapatkan rahmat, ampunan Allah, dan pembebasan dari api neraka. Atau harapan masuk surganya Allah dari pintu Arroyyan.

 

Dan harapan yang mahadahsyat itu adalah berjumpa dengan Allah Akbar. Sebuah pertemuan kedua setelah pertemuan pertama di alam ruh. Kita begitu merasakan nikmat yang luar biasa hingga mendapatkan sensasi tiada terkira ketika kita berbuka puasa hanya dengan seteguk air dingin atau secangkir teh hangat, seiring itu kita mengucap syukur Alhamdulillah, apatah lagi berjumpa dengan Sang Mahaindah: Allah ‘azza wajalla. Indah nian jika harapan mahadahsyat itu terealisasi.

Berharaplah, teruslah berharap, jangan pernah berhenti untuk berharap di hari-hari Ramadhan yang tersisa ini. Hiduplah, teruslah hidup, jangan pernah berhenti untuk hidup di bulan 1000 harapan ini. Jangan pernah menyerah untuk terus beramal karena Allah, sebagai jalan memuluskan harapan itu menjadi nyata. Jangan pernah untuk lelah lalu kita rehat karena tempat istirahat kita sejatinya cuma ada di sana, di jannahNya Allah.

Semoga, kau dan aku, menjadi bagian dari manusia yang dapat mewujudkan harapan mahadahsyat itu. Agar tak sekadar mimpi.

***

 

Riza Almanfaluthi

Ditulis untuk Islamedia

03.33 pada 20 Ramadhan 1432 H

http://www.islamedia.web.id/2011/08/harapan-mahadahsyat.html

Gambar diambil dari sini.

ORANG PAJAK DIKASIH THR CUMA RP8.000,00


ORANG PAJAK DIKASIH THR CUMA Rp8000,00

Sabtu, 19 September 2009

Waktu itu jelang maghrib, saya masih di depan televisi untuk melihat saluran mana yang memberitakan mengenai sidang isbat 1 Syawal 1430 H. Dus, cari saluran mana yang cepat dalam mengumandangkan adzan maghribnya. He…he…he…Kalau pembaca membaca tulisan saya terdahulu pada saat-saat itu juga saya sedang lemas-lemasnya karena habis menempuh perjalanan mudik yang panjang—berkisar 526 Km dalam 30 jam tempuh.

Tiba-tiba, saya didatangi Ayyasy—anak kedua saya—sambil menyodorkan kepada saya empat lembaran uang kertas bergambar Pangeran Antasari.

“Apaan nih Nak?” tanya saya. Dia diam saja sambil tersenyum-senyum.

Umminya yang sedang di dalam kamar menyahut, “Itu loh Bi, Ayyasy ulang tahun hari ini, jadi dia kasih uang traktiran. Ummi dikasih, Haqi dikasih, Kinan juga dikasih.”

“Subhanallah, Terima kasih ya Nak,” kata saya, “Ini THR-nya Abi nih…”

Uangnya Ayyas itu dari kita-kita juga yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit. Pun, dari imbalan ataupun pemacu kalau puasanya bisa sehari penuh.

Yang menarik bagi saya dari peristiwa kecil itu bukan besar kecilnya uang itu yang cuma delapan ribu perak, tapi timbulnya rasa kepedulian pada anak tujuh tahunan —sekali lagi bagi saya—itu adalah hal yang teramat luar biasa. Juga timbulnya keinginan membahagiakan orang lain. Saya berharap sampai gede pun demikian.

Umminya pernah bilang dalam suatu kesempatan, “Ayyasy bilang nanti kalau setiap ulang tahun mau kasih duit. Itu juga kalau Ayyasy punya duit.”

“Ayyasy kalau sudah gede dapat gajian sepuluh juta, buat umminya berapa?” tanya Ummu Ayyasy iseng-iseng berhadiah.

“Buat Ummi semuanya,” kata Ayyasy.

“Kalau Haqi berapa?” tanya Ummi lagi.

“Sejuta saja, he…he…he…” kata Haqi.

“Alhamdulillah…”

(Ini dialog kayak di VCD Islami saja yah…tapi betulan loh…)

***

Segala puji bagi Allah, ramadhan telah mendidik mereka untuk bisa saling berbagi. Haqi dan Ayyasy selama dalam perjalanan mudik pun tidak bisa meninggalkan kota infak masjid yang kami singgahi tanpa mereka mengisi terlebih dahulu kotak itu dengan uang yang mereka miliki sendiri. Begitu pula dengan para peminta-minta. Insya Allah.

Saya meminta pada Allah agar kami dijauhi dari sikap bakhil, pelit, koret, medit. Allahumma inni a’udzubika minal jubni wal bukhl

Begitu pula dengan anak-anak kami. Amin.

Riza Almanfaluthi

orang pajak

dedaunan di ranting cemara

07:27 24 September 2009