ORANG PAJAK: DARI MISKIN HINGGA MENJADI KAYA


ORANG PAJAK: DARI MISKIN HINGGA MENJADI KAYA

 

Suatu saat saya pernah menjadi ‘gila’ karena banyak ide yang harus ditulis. Hingga tak berhenti untuk menulis. Suatu saat pula kering dari ide hingga tidak menulis berminggu-minggu lamanya. Sampai meragukan diri dan bertanya dalam hati, “saya mampu menulis tidak yah?” Untuk itu saya berdoa pada Tuhan, “berilah aku kemampuan untuk menulis.”

Selain doa, saya berikhtiar untuk menjejali isi kepala saya dengan banyak bacaan. Mulai dari membaca puisi, cerita pendek, novel, hingga koran. Setiap hari. Saya biarkan isi bacaan itu masuk dalam memori. Berita apapun saya amati. Perkataan orang saya dengar seksama. Mata saya eksplorasi ke mana-mana. Setelah itu biarlah apa yang di dalam kepala ini bekerja. Hanya demi untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit ide.

Saya percaya kepala kita ibarat teko. Terus menerus dipenuhi air maka teko itu akan meluber. Luberan inilah yang akan menjadi ide dan mencari tempat penyaluran. Dan saluran itu adalah menulis. Ini sudah sering saya ungkap beberapa waktu yang lampau.

Lebih-lebih lagi jika disokong dengan usaha pengomporan berupa pelatihan-pelatihan. Maka air itu akan semakin panas. Hingga tak terbendung lagi dan meluberlah banyak ide. Ini terbukti. Masalahnya adalah bagaimana mempertahankan agar ide itu tak menguap begitu saja?

Saya disarankan untuk mencatatnya dalam kertas-kertas kecil yang dapat ditempel. Atau menulisnya dalam buku kecil yang mudah dibawa ke mana-mana. Jadi, kalau ada ide yang terlintas dalam pikiran langsung dicatat dalam buku itu. Saran yang bagus.

Saya kemudian berangan-angan untuk menyetorkan ide yang terkumpul itu ke Bank Gagasan. Sebelumnya saya harus membuat rekening tabungan ide terlebih dahulu. Lalu saldo rekening ide saya bertambah. Pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit terbukti. Ide saya menggunung.

Di sini tak akan ada sejenis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPTAK) yang mengawasi darimana datangnya ide yang masuk ke rekening tabungan ide. Mencurigakan atau tidak aliran ide itu. Tidak. Tidak ada. Seberapun banyaknya. Seberapa gila dan liarnya. Biarkan semuanya masuk dan tercatat menambah saldo rekening.

Sampai suatu titik di mana saya teramat membutuhkan sekali ide itu untuk memenuhi nafkah batin dan kepuasan diri, saya ambil tabungan ide itu. Barulah akan ada pengawas yang akan menyeleksi dan menyaringnya. Mana yang perlu dan tepat pada saat itu. Dialah hati nurani yang tak bisa dibohongi. Dia adalah pengawal alami. Biarkan dia bekerja.

Dengan itu sudah pasti saldo rekening ide saya pun berkurang. Tapi tak mengapa. Kalau rajin bekerja (baca: bereksplorasi), saya akan mendapatkan banyak ide yang hendak ditabung. Pendek kata, saya tak takut untuk menghadapi masa depan yang ‘suram’ dengan miskin dari ide.

Anehnya, Bank Gagasan ini hanya akan memberikan bagi hasil kepada saya jika rekening saldo ide berkurang. Ini lain dari kenyataan bank yang di dunia bahana. Mereka hanya akan memberikan bagi hasil jika saya menumpuk begitu banyak uang di rekening.

Nah, di Bank Gagasan ini, bagi hasil itu berupa kepuasan batin yang merajalela di jiwa. Semakin banyak ide yang diambil, akan semakin puas jiwa saya. Tentunya dengan syarat mutlak bahwa ide itu harus bermuara pada sebuah tulisan. Selain itu, jangan harap akan mendapatkan bagi hasil. Bank Gagasan akan memantau dengan cermat perkembanganya melalui sistem teknologi informasinya yang canggih.

Tentu ada pajak yang harus dibayar dari bagi hasil yang didapat. Pajak itu berupa waktu. Memang, segala sesuatu di dunia ada harga yang harus ditaur. Tapi tak mengapa karena hasilnya adalah sesuatu yang bermanfaat.

Maka dari itu, agar mendapatkan banyak bagi hasil berupa kepuasan batin, saya harus rajin untuk mengambil ide sebanyak mungkin dari rekening itu. Dan tak mungkin saya melakukannya jika saldo tabungan ide sedikit. Oleh karenanya saya pun harus tekun mengumpulkan ide-ide itu dari mana saja datangnya. Itu sudah saya lakukan, Insya Allah.

Anda tahu seberapa bengkaknya saldo rekening ide saya kini? Ia sejumlah kata-kata bahasa Indonesia yang pernah terdengar di muka bumi ini.

Saya—orang pajak—yakin betul Anda pun memilikinya.

***

Tags: ppatk, bank gagasan, saldo rekening, saldo rekening orang pajak, ide, gagasan, tema, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, orang pajak, pns, djp

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

dari malam hingga pagi

5:51 07 Desember 2010

 

http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/07/orang-pajak-dari-miskin-hingga-menjadi-kaya/

ORANG PAJAK DIKASIH THR CUMA RP8.000,00


ORANG PAJAK DIKASIH THR CUMA Rp8000,00

Sabtu, 19 September 2009

Waktu itu jelang maghrib, saya masih di depan televisi untuk melihat saluran mana yang memberitakan mengenai sidang isbat 1 Syawal 1430 H. Dus, cari saluran mana yang cepat dalam mengumandangkan adzan maghribnya. He…he…he…Kalau pembaca membaca tulisan saya terdahulu pada saat-saat itu juga saya sedang lemas-lemasnya karena habis menempuh perjalanan mudik yang panjang—berkisar 526 Km dalam 30 jam tempuh.

Tiba-tiba, saya didatangi Ayyasy—anak kedua saya—sambil menyodorkan kepada saya empat lembaran uang kertas bergambar Pangeran Antasari.

“Apaan nih Nak?” tanya saya. Dia diam saja sambil tersenyum-senyum.

Umminya yang sedang di dalam kamar menyahut, “Itu loh Bi, Ayyasy ulang tahun hari ini, jadi dia kasih uang traktiran. Ummi dikasih, Haqi dikasih, Kinan juga dikasih.”

“Subhanallah, Terima kasih ya Nak,” kata saya, “Ini THR-nya Abi nih…”

Uangnya Ayyas itu dari kita-kita juga yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit. Pun, dari imbalan ataupun pemacu kalau puasanya bisa sehari penuh.

Yang menarik bagi saya dari peristiwa kecil itu bukan besar kecilnya uang itu yang cuma delapan ribu perak, tapi timbulnya rasa kepedulian pada anak tujuh tahunan —sekali lagi bagi saya—itu adalah hal yang teramat luar biasa. Juga timbulnya keinginan membahagiakan orang lain. Saya berharap sampai gede pun demikian.

Umminya pernah bilang dalam suatu kesempatan, “Ayyasy bilang nanti kalau setiap ulang tahun mau kasih duit. Itu juga kalau Ayyasy punya duit.”

“Ayyasy kalau sudah gede dapat gajian sepuluh juta, buat umminya berapa?” tanya Ummu Ayyasy iseng-iseng berhadiah.

“Buat Ummi semuanya,” kata Ayyasy.

“Kalau Haqi berapa?” tanya Ummi lagi.

“Sejuta saja, he…he…he…” kata Haqi.

“Alhamdulillah…”

(Ini dialog kayak di VCD Islami saja yah…tapi betulan loh…)

***

Segala puji bagi Allah, ramadhan telah mendidik mereka untuk bisa saling berbagi. Haqi dan Ayyasy selama dalam perjalanan mudik pun tidak bisa meninggalkan kota infak masjid yang kami singgahi tanpa mereka mengisi terlebih dahulu kotak itu dengan uang yang mereka miliki sendiri. Begitu pula dengan para peminta-minta. Insya Allah.

Saya meminta pada Allah agar kami dijauhi dari sikap bakhil, pelit, koret, medit. Allahumma inni a’udzubika minal jubni wal bukhl

Begitu pula dengan anak-anak kami. Amin.

Riza Almanfaluthi

orang pajak

dedaunan di ranting cemara

07:27 24 September 2009