Satu Daun yang Tak Pernah Risau


Berulangkali kau memuntahkan lahar dari perutmu yang bergolak sedari tengah malam. Yang jatuh di lantai kamar mandi yang mengilat itu adalah secuplik dua cuplik kata-kata dan kalimat  berwarna hitam yang langsung kauguyur dengan air kemudian menghilang menuju lubang pembuangan, menuju selokan kecil, ke selokan yang lebih besar, ke sungai, dan memuara ke Laut Jawa.  Semrawut apa yang kaumakan sebelumnya? 

Coba kauingat dulu. Atau barangkali kau memakan mimpi-mimpimu sendiri. Getir dan manisnya yang kaucoba mamah dengan setiap perasaan yang timbul dan tenggelam. Perasaan ini adalah perihal yang paling sulit diterima dari seorang pemimpi sekaligus pecinta. Mabuk dengan mimpi-mimpi kesturi namun dijerembabkan kepada kenyataan yang sebenarnya ketika terbangun di suatu Subuh yang suaranya parau memanggil-manggil.

Baca Lebih Lanjut.

Angin yang Menyulut Api


Entah kenapa kuburan ini membisu. Tentu membisu karena ketiadaan hidup. Di suatu waktu duha, di bawah pohon beringin raksasa, dengan dahan dan daunnya memayungi petak-petak baka dan segala keresahan, angin menyulut api berisik, menggoyang daun-daunnya, tapi yang jatuh bukan daun-daun yang tak mau jatuh itu, melainkan ribuan kelopak bunga dengan desirnya yang menyayat seperti musim gugur. Keracapnya itu membuat nada yang tak bisa dipahami oleh telingaku yang busuk. Saat ia jatuh tak berdaya ke tanah tak mampu juga untuk ditatap mataku yang penuh dunia dan untuk dimaknai sebagai apa. Tetapi, saat itulah, suatu sayatan pisau waktu menyobek ingatan tentang segelas kopi dan roti yang terbelah dua. Di sebuah stasiun. Remah-remah yang tersisa. Kelopak bunga yang berguguran.

Entah kenapa kafe ini membisu. Tentu membisu karena ketiadaan daya padahal di tempat yang sama begitu banyak orang menanam benih kegembiraan di pekarangan waktu mereka. Di suatu malam-malam yang ranum, harum, dan menyala, betapa keinginan meminum segelas kopi atau dua atau tiga atau terserahlah begitu merasuk dalam nadi pikirku yang apabila kusayat salah satunya di pergelangan tangan, meneteslah butiran sunyi. Setiap tetesan yang runtuh bukanlah hal yang sia-sia. Ada manis dan pahitnya. Makanya aku butuh segelas kopi atau dua atau tiga atau terserahlah untuk membumihanguskan aula malam, altar, dan segala isinya. Untuk satu perihal: ceracau cerita sendiri tak habis-habisnya. Sampai pagi. Sampai aku pulang.

Entah kenapa kuburan dan kafe ini membisu. Padahal kuburan dan kafe: sama saja. Telaga terelok para pecinta menenun kesunyiannya.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Tlogosari, 27 Juni 2017

Subuh di Suatu Dusun


Sementara kita mengabaikan Ramadan yang baru saja pamit sehari nan purba, maka pagi yang masih buta mengajak tanah becek untuk bersemedi, kabut untuk melayang, dingin untuk mendekap, suara bayi terganggu tidurnya untuk menggema, kokok ayam untuk melakukan kebiasaan sehari-harinya setiap pagi, tetes satu-satu air hujan bekas semalam yang menggelayut di daun-daun pohon untuk kemudian jatuh lunglai ke atas genting. Bunyinya memeluk antero. Tik, tik, tik. Meluruh seluruh-luruhnya. Dan ketika langkah kaki menginjak lantai dingin musala kecil, terperangahlah pada renta-renta yang segelintir menjadi pencari rukuk, kunut, dan sujud. Rukuk yang membuka kotak sepi, kunut yang menutup lubang pedih, dan sujud yang mewangikan ragi perih. Tiba-tiba ada yang meloncat dari sebuah raga dan melarikan diri untuk melihat segala dari sebuah ketinggian. Melihat sosok dirinya sendiri sedang terdiam, terpejam, dan khusyuk. Ia yang menjelma menjadi kabut, mendaki bukit, dan menghilang bersama waktu. Ada menjadi tiada.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Lari Wringinputih-Borobudur
2 Syawal 1438H

Yang Jatuh di Suatu Kertas


​a​da gerimis sisa-sisa hujan ​subuh di pucuk-pucuk daun cemara, ​i​a yang rela ​disentuh angin untuk ​runtuh ​d​i ​t​anah-tanah basah ​kaya hara

a​da gerimis sisa-sisa badai ​di dada di sudut-sudut daun mata, i​a yang ​bermaksud ​jatuh disimbah bahagia di ​kertas-kertas sajak ​sarat aksara​

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Lantai 16, 20 Juni 2017

Memberi Hormat kepada Hujan


Nafas kita berpapasan di udara, saling uluk salam, lalu memuai di keheningan. Untuk itu, kita harus memberi hormat kepada hujan yang memberi keabadian dari sebuah pertemuan. Waktu pun berhenti, kita berpesta pora dalam gelora.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 22 Juni 2017

Di Apamu


Di sepatumu,
Hulu ingatan saat pergi

Di jaketmu,
Muasal dekapan saat sendiri
***

Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 24 Juni 2017

Mudik


para pemilik lelah tak mau kalah dengan jalanan yang mereka lindas
agar matanya menyala-nyala
agar cepat sampai dari jauh kuucapkan:
selamat datang ke rahim ibu.
tempat kehilangan di penjara
tempat kepedihan diikat kuat-kuat

selamat datang ke rahim ibu
perigi kedamaian,
debar jantung, belaian tangan
di atas kulit perut,
dan doa tak berkesudahan.
***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tlogosari, 24 Juni 2017

Yang Memang Tak Pernah Selesai


Sedang membaca sajak, doa, atau sebentuk apa?

 

 

jejak nafasmu masih tercetak
di permukaan kopi
seperti jejak nafasku masih tertanda
di permukaan kulitmu
ceceran kopi di punggung-punggung cangkir yang putih
seperti ceceran ingatan di lekuk-lekuk tubuhmu yang bening
di malam yang kesorean, kita saling bergumul
mana yang paling bertahan lama berkarib dengan waktu
kau dan aku
memang sepasang yang ganas
pada bunyi dentang besi empat kali dari pos ronda
aku pulang, kau tinggal
tercecer jejak-jejak rindu di belakang
di mana-mana
di genting,
di jalanan,
di sekujur raga alam
rinaimu memang tak pernah selesai

 

***
riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Bogor, 14 Juni 2017

 

Harum Cahaya


Mei bukan soal bulan penuh hal, melainkan pula buku-buku yang telah dibuang ke pendiangan di balik tempurung kepala.

Juni telah tiba, juga bukan soal hujan dan gerimisnya yang menggenangi kertas para penyair dengan puisi imaji mereka, melainkan apa lagi yang akan jadi batu bara untuk menyalakan tungku di balik tempurung kepala.

Ramadan berada di sisi, menggandeng tangan dengan kehangatan, ini membincang soal tekad. Sekarang, Quran nan kudus itu yang akan mengisi apa yang di balik tempurung kepala dengan harum cahaya, akan berapa kali kau selesaikan?

 

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

6 Juni 2017

Marhaban Ramadan


Sebentuk luka dalam sukma dan raga bersimpuh di hadapan waktu. Barangkali persuaan bisa menjadi obatnya. Selamat datang Ramadan. Peluk aku dengan erat di selingkung berkahmu. Dalam munajat sepenuh tabah. Mohon maaf lahir batin.

 

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

26 Mei 2017