Peron Dua


Sendirian di gerimis, lamis
Aku menunggu kereta di peron dua
Barangkali, kau menghitung entah
dengan aku tak letih-letih
meluruskan saf-saf sajak.

Barangkali, kau menghitung entah
aku sendirian di gerimis, lamis
dengan segelas teh hangat
penuh jejak bibirku di bibir gelas
yang ingin kauhapus dengan bibirmu.

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Soetta, 09 Oktober 2017

Gunung Arjuna


 

Ingatlah, ketika aku menggelepar di suatu pagi,
kuyup dihujani cahaya tak henti-henti,
malu ditelanjangi kabut, awan, langit, dan pohon-pohon tinggi
melayang diterbangi kesiut dingin di genting-genting rumah dan tiang-tiang besi.

Hijau, seperti wangi atarmu, tak ingin pergi,
dari mata, sedikit pikiran, dan hati.
Kelak, punggung-punggungku yang kaudaki
tak akan menjadi abu karena terbakar api.
Padam! ada gerimis bergemuruh di dada kiri.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
06 Oktober 2017
Gambar koleksi Riza Almanfaluthi

Kaubilang


Kaubilang, aku bayi? Ya, aku bayi yang ditimang-timang ibuku, di dalam pesawat terbang, 35.000 kaki di atas permukaan bumi.

Aku bayi  yang sepagian tadi menangis, bertanya-tanya mengapa pesawat ini tak segera terbang, ke angkasa, ke laut, ke gunung, atau mampir ke mejamu, bahkan ke jantungmu. Aku suka mencari warna detaknya, atau sekadar harum darah, atau sebentuk getaran dengan banyak tafsir.

Tolong, jangan berhenti berdenyut, karena sekali berhenti, burung-burung yang ada di halaman dan bersarang di jantungmu itu, mesti tak akan pernah bisa lagi bermain-main di dahan-dahan jantungmu, di daun-daun jantungmu, di ranting-ranting jantungmu, di akar-akar jantungmu. Ah, kalau sudah begitu aku ingin kembali saja ke perut ibuku. 

Aku bayi, yang baru saja dibisiki ibuku tadi barusan, kalau ada pesawat pejabat penting negeri ini mendarat di landasan, dan pesawat sahaya yang dinaiki aku, ibuku, beserta penumpang lainnya ditahan, berhenti, tak boleh terbang dulu oleh menara pengawas. Lama tak masalah, karena waktu mereka lebih penting daripada waktu yang kami miliki. 

Aku bayi, yang barusan terdiam dari tangis dan ditimang-timang ibuku. Ibu, capek ya Bu. Menggendong-gendong aku terus. Menimang-nimangku selalu. Sebentar lagi, Bu. Aku akan tertidur. Sebentar lagi mataku akan terpejam. Sebentar lagi aku akan bermimpi. Sebentar lagi aku akan bawa ibu ke dalamnya. Aku tak mau ibu capek.

Sebentar lagi aku akan menggigil, pulas, lalu berlari-larian dengan mimpi, tertawa-tawa dengan mimpi, bermain-main dengan mimpi, mencubit pipi mimpi, atau pipiku yang dicubit mimpi. Sebentar lagi aku akan menjadi Puisi. Sendirian menjulang di tengah awan. Sebentar lagi aku akan dihujani kabut yang pelan-pelan datang. Lalu ibu akan membangunkanku kalau pesawat ini sudah mendarat. Atau membiarkanku.

Bu, aku lelap dulu ya Bu. Jangan lupa, setelah mendarat, kauganti popokku yang telah penuh ini. 

Baiklah.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
35.000 kaki, 4 Oktober 2017

Gemerisik


Bahkan ketika keterisian menjadi nebula, bahkan ketika kekosongan menjadi neruda, bahkan ketika keduanya menjadi aku, Puisi adalah gemerisik daun pisang yang menengadah sambil tabah berdoa di suatu Subuh. Coba kata apalagi yang hendak kausebut?

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Jalanan, 2 Oktober 2017

Tak Perlu Lari


Alat yang menunjukkan waktu kini tidak lagi ada di pergelangan tangan.  Ia telah beralih ke gawai. Dan angka digitalnya sudah menunjuk angka 07.24 pada pagi ini, di Stasiun Cawang

Pagi yang luruh dengan gerimis kecilnya. Gerimis yang mengiringi perjalanan commuter line dari Stasiun Citayam. Jadwal sedikit berantakan karena ada laju kereta yang dihentikan lama di stasiun-stasiun antara.

Ketika keluar dari Stasiun Cawang, saya masih punya waktu setengah jam untuk tidak terlambat. Hari ini saya niatkan untuk tidak naik ojek. Saya akan naik bus APTB itu. Dan saya harus berlari menuju pangkalan bus di tengah gerimis yang semakin cerewet. Lari? Tapi apakah memang perlu berlari di tengah hujan seperti itu?

Pada saat hujan memang sebaiknya tak perlu lari, cukuplah jalan. Karena hidup ini bukanlah pelarian, melainkan sebuah perjalanan. Selamat menikmati pagi nan mewah karena hujan adalah keberkahan.

Tiba-tiba saya ingat, pagi ini saya belumlah mencicipi kepahitan. Kopi, mana kopi?

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Lantai 3, 28 September 2017

Ibu dari Segala Kerinduan


Jakarta pagi ini sangatlah muram. Hujan menderasi apa yang menyudut di kota ini. Saya harus berangkat lebih awal untuk menyambut peserta Workshop Kontribusi Konten yang berdatangan dari seluruh penjuru tanah air.

Dari Stasiun Cawang saya jelas tidak akan pergi ke tempat mangkal bus APTB yang jauh itu. Saya tak bawa payung sama sekali. Ojek daring juga bukan pilihan karena ordernya yang lama sekali. Saya tahu dari percakapan yang ada di grup.


Pilihan ideal adalah ojek pangkalan dan saya memilih abang ojek yang jas hujannya paling lebar agar saya bisa berteduh dan tidak kebasahan.

Dan selama perjalanan ke kantor itu, saya tak melihat jalanan, saya hanya melihat punggung abang ojek berjaket merah itu. Tapi tetap saja, walaupun diselubungi jas hujan yang lebar itu sebagian saya basah. Basah?

Sebasah-basahnya tubuh yang dihujani rinainya, tak sebasah jiwa yang dihujani kenangan. Dan tahukah kamu apakah itu kenangan? Aku beritahu kepadamu, sesungguhnya kenangan adalah ibu dari segala kerinduan.

Maka di pagi ini, saya ucapkan kepada Anda sekalian, selamat datang di Jakarta, selamat berhujan-hujan, selamat mengenang-ngenang, selamat merindui, dan dirindui. 🙂

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Lantai 3, 27 September 2017

O, Nuh



O, Nuh…
Apakah badai di luar kapal ini sudah berhenti?
Kapan kapal ini akan bersandar ke tepi?
Minta kepada Tuhanmu agar kasihani kami
Agar bah-Nya taklah singgah di hati
kami yang hanya bertaring dan bergigi
hanya sepasang-sepasang hewani
tanpa mimpi, amarah, apalagi kendali.

O, Nuh…
Kami takut api Tuhanmu
dan apa yang bangkit dari masa lalu.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
25 September 2017

 

Dua Pungguk


Kita dua pungguk, berteduh di bawah daun, saat penghujan. Mendekatlah ke sini, bahkan ketika barulah gerimis, bahkan saat mengalir di kedua matamu yang belum sempat memejam, bahkan ketika menyentuh jari-jari kakimu,  bahkan ketika ia akan meratap ke tanah, bahkan  ketika semua usai, bahkan ketika penghujan akan cuma sisa, bahkan kalau daun itu mulai mengering, bahkan ketika aku menjelma matamu, bahkan ketika aku menjadi hoo-hoo-hoo-hoo mu, bahkan ketika aku menjadi bulumu, bahkan ketika aku adalah sayapmu, bahkan saat waktu adalah aku yang rindu repetisi. Kita dua pungguk, berteduh di bawah daun, saat penghujan. Mendekatlah ke sini, bahkan…

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 24 September 2017

Seperti Gita yang Kau Sampaikan kepada Janardana



seperti gita
yang kau sampaikan
ada janardana
mendengarnya
di padang kuru,
semua berseteru
seluruh meluruh
o, janaka

seperti cerita
yang tak meledak,
ada gada batu
membuatku bisu
di sabana jiwaku,
semua mengguruh
menjelma lupaku
o, bisma

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
24 September 2019

Hati Merpati


Lelaki sendiri di senja piazza san marco
berbincang dengan merpati-merpati
matanya menelisik jauh ke balik dada
hati mereka, mana rumahnya untuk pulang

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
24 September 2017
Gambar dari: wikimedia