Kaubilang, aku bayi? Ya, aku bayi yang ditimang-timang ibuku, di dalam pesawat terbang, 35.000 kaki di atas permukaan bumi.
Aku bayi yang sepagian tadi menangis, bertanya-tanya mengapa pesawat ini tak segera terbang, ke angkasa, ke laut, ke gunung, atau mampir ke mejamu, bahkan ke jantungmu. Aku suka mencari warna detaknya, atau sekadar harum darah, atau sebentuk getaran dengan banyak tafsir.
Tolong, jangan berhenti berdenyut, karena sekali berhenti, burung-burung yang ada di halaman dan bersarang di jantungmu itu, mesti tak akan pernah bisa lagi bermain-main di dahan-dahan jantungmu, di daun-daun jantungmu, di ranting-ranting jantungmu, di akar-akar jantungmu. Ah, kalau sudah begitu aku ingin kembali saja ke perut ibuku.
Aku bayi, yang baru saja dibisiki ibuku tadi barusan, kalau ada pesawat pejabat penting negeri ini mendarat di landasan, dan pesawat sahaya yang dinaiki aku, ibuku, beserta penumpang lainnya ditahan, berhenti, tak boleh terbang dulu oleh menara pengawas. Lama tak masalah, karena waktu mereka lebih penting daripada waktu yang kami miliki.
Aku bayi, yang barusan terdiam dari tangis dan ditimang-timang ibuku. Ibu, capek ya Bu. Menggendong-gendong aku terus. Menimang-nimangku selalu. Sebentar lagi, Bu. Aku akan tertidur. Sebentar lagi mataku akan terpejam. Sebentar lagi aku akan bermimpi. Sebentar lagi aku akan bawa ibu ke dalamnya. Aku tak mau ibu capek.
Sebentar lagi aku akan menggigil, pulas, lalu berlari-larian dengan mimpi, tertawa-tawa dengan mimpi, bermain-main dengan mimpi, mencubit pipi mimpi, atau pipiku yang dicubit mimpi. Sebentar lagi aku akan menjadi Puisi. Sendirian menjulang di tengah awan. Sebentar lagi aku akan dihujani kabut yang pelan-pelan datang. Lalu ibu akan membangunkanku kalau pesawat ini sudah mendarat. Atau membiarkanku.
Bu, aku lelap dulu ya Bu. Jangan lupa, setelah mendarat, kauganti popokku yang telah penuh ini.
Baiklah.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
35.000 kaki, 4 Oktober 2017