TIPS BERTOILET DI ARAFAH, MUZDALIFAH, DAN MINA


TIPS BERTOILET DI ARAFAH, MUZDALIFAH, DAN MINA

    Calon jamaah haji akan berada di Arafah selama dua hari, di Muzdalifah semalam, di Mina tiga hari, tentunya urusan buang air adalah sesuatu yang penting sekali, oleh karenanya perlu dipahami suasana dan kondisi toilet yang ada di sana. Plus tipsnya. Serius, saya mau cerita tentang yang satu ini.

    Kalau kita membayangkan dua kata: Arab Saudi, maka hal yang terlintas dalam pikiran adalah negara tandus, kering, padang pasir, onta, kurma, Mekkah, dan Madinah. Tapi jangan dikira kalau tandusnya negara itu—yang tentunya kalah jauh dengan ijo royo-royonya Indonesia ini, menyebabkan mereka kekurangan air. Tidak. Bahkan melimpah sekali.

    Selama perjalanan haji tahun 2011 itu terutama di Armina (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), saya sama sekali jarang menjumpai air yang hangat ini mengalir lemah keluar dari kran. Semuanya kencang. Tekanannya tinggi. Sama kalau kita pergi ke toilet di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.

*Suasana kamar mandi di Mina

    Air yang keluar kencang ini tentunya menentramkan hati kalau kita mau bersuci ataupun mandi. Meyakinkan saya kalau najis-najis yang ada di badan ataupun di sekitar toilet akan cepat hilang kalau disiram. Mandi dan buang air jadi terbantu. Toilet pun jadi tidak bau.

*Toilet di Mina. Lumayan bersih.

    Kita tak bisa membayangkan kalau air yang keluar itu sedikit. Jutaan orang akan mengalami ketidaknyamanan yang luar biasa. Apalagi antrian akan semakin panjang karena orang yang sedang buang hajat itu akan lama memastikan bahwa dirinya sudah suci. Mandi apalagi. Alhamdulillah ini tidak terjadi.

    Saya bersyukur bahwa selama ritual haji yang utama di Armina itu saya tidak mendapatkan kesulitan dalam masalah ini. Karena satu hal juga: saya meminta kepada Allah atas hal yang sepele ini. Saya benar-benar berdoa kepada Allah agar saya dimudahkan segala urusan saya dalam mandi dan bersuci. Enggak perlu antri panjang dan lancar-lancar saja. Kenyataannya memang demikian.

    Dengan modal kesabaran yang sudah dikumpulkan sejak dari tanah air, saya cukup antri sebentar lalu masuk, bersihkan dinding kamar mandi dan lubang pembuangan dengan air yang mengucur deras itu, kemudian mandi. Tentunya saya juga memperhitungkan kapan waktu yang lebih sepinya agar saya bisa bebas, lebih lama serta tidak menzalimi yang lain.

    Perlu diketahui kalau satu toilet atau darul mayah di Armina ini terdiri dari toilet laki-laki dan perempuan. Masing-masing terdiri lebih dari sembilan pintu. Oleh karenanya kita harus tahu kapan waktu sepinya toilet ini. Biasanya kalau jam dua dan tiga pagi. Kalau jam empat pagi sudah mulai antri. Kalau waktu menjelang sholat itu yang antriannya bisa panjang, tiga sampai empat orang berderet ke belakang. Kalau sudah begini, maka toleransi kita perlu dipertajam kalau sudah ada di dalam, tak perlu lama-lama. Seperlunya saja.

    Pada dasarnya kebersihan toilet tergantung para jamaah haji sendiri. Ada yang enggak sabar lalu buang air kecilnya di tempat wudhu. Ini akan membuat najisnya kemana-mana. Ada juga yang menggantungkan, maaf, pakaian dalamnya di tembok-tembok tempat wudhu. Bahkan ada ibu-ibu yang mencuci pakaiannya di tempat wudhu dengan hanya membelitkan kemben sebatas dada—persis mandi di sungai, seperti di tanah airnya saja. Bukan saya yang melihat tapi istri dan ibu-ibu di rombongan kami. Syukurnya juga bukan anggota rombongan atau kloter kami yang melakukan itu.

*Tempat wudhu di Mina

    Itu saja gambaran suasana toilet yang ada di Armina yang dapat saya ceritakan sedikit agar calon jamaah haji dapat mempersiapkan mental dan dirinya. Tentunya kesabaran juga perlu dipupuk karena ada juga yang enggak mau antri untuk bisa mandi ataupun buang hajat. Yang paling penting adalah minta sama Allah untuk dimudahkan dalam segala urusan menyangkut air selama di sana.

Bertoilet di Armina cukup dengan sabar, tahu waktu, tertib mengantri, seperlunya, dan berdoa. Semoga bermanfaat. Semoga keyakinan dalam bersuci menjadi jalan menuju haji yang mabrur. Amin.

**

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11:52 06 Oktober 2012

foto-foto: dokumen pribadi

Pertama kali diunggah di:

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/10/06/tips-bertoilet-di-arafah-muzdalifah-dan-mina/

tags: arafah, mina, muzdalifah, mekkah, madinah, toilet, darul mayah, bersuci, arab saudi, thaharah, haji 2011, haji, toilet haji,

PORQUE TU ERES NEGRO


PORQUE TU ERES NEGRO

Waktu hari minggu kemarin (1/1), saya lihat berita di televisi tentang kerusuhan yang terjadi di Nigeria. Perang antaretnis dan agama yang dipicu oleh perebutan lahan pertanian. Dalam tayangan tersebut Presiden Nigeria berkunjung ke salah satu lokasi kerusuhan. Banyak orang yang mengerumuninya. Melihat wajah orang-orang Nigeria itu saya jadi kebayang mereka. Saya jadi tersenyum-senyum sendiri.

Tak jauh-jauh memang cerita ini tentang pengalaman saya dengan mereka waktu di Tanah Suci. Orang Indonesia sering menyebut mereka orang Negro. Tapi saya enggak tega menyebut mereka seperti itu. Karena berasa SARA banget. Berasa rasis. Berasa jadi Luis Suarez yang bilang pada Patrice Evra dalam bahasa Spanyol : Porque tu eres negro (Itu karena elo negro). Untung bilangnya tidak di Bronx, New York, kalau enggak, habis itu Suarez. Jadi saya cukup menyebut mereka orang Afrika. Walau di Afrika banyak Negara yang warga mayoritasnya tak berkulit hitam seperti Mesir, Aljazair, Libya, Maroko, dan Tunisia.

Jumlah jamaah haji orang Afrika ini dominan setelah orang Asia Selatan seperti Pakistan, Bangladesh, dan India. Dan mukanya sama semua. Seperti saya terkadang tak bisa bedain mana orang India yang satu dengan yang lain. Mana si anak, mana si paman. Kok lagi-lagi ketemu sama orang itu. Dia lagi. Dia lagi. Padahal mereka juga kalau ngeliat kita juga sama. Elo lagi. Elo lagi. Muka lo sama bae.

Jama’ah haji dari orang kulit hitam ini juga yang saya tahu biasanya berasal dari Nigeria, Mali, Burkina Faso, Gambia, Ghana, Guinea-Bissau, Cote d’Ivoire, Sudan, Chad, dan lain-lain. Membedakan mereka dari pakaiannya yang warna-warni dan biasa ada tulisan nama negaranya. Sedangkan jangan salah kalau ada tulisan Kaduna State, Bauchi State, Gombe State, Kano State. Itu bukan nama salah satu negara di Afrika tetapi itu adalah nama negara bagian Nigeria.

Tapi terus terang saja, saya kagum kalau ngeliat orang Afrika. Apalagi kalau pas lagi make kain ihram. Bener-bener kontras. Putih dan hitamnya kelihatan mencolok. Indah dipandang mata. Lebih Surrealis daripada lukisannya Dali, lebih naturalis daripada punyanya William Blis Baker, dan lebih realis daripada gambar yang dihasilkan seorang Karl Briullov (opo meneh? kaya iya-iyao). Saya cuma bilang Subhanallah.

Yang saya lihat dari mereka adalah kesederhanaan. Mereka itu kalau pergi ke Masjidil Haram ya cuma bawa diri aja. Paling banter bawa sajadah. Sandal dan baju panjang selutut sudah pasti. Itu pun kadang enggak pake kaos dalam.

Beda banget sama orang Indonesia, termasuk saya, yang kalau mau pergi ke Haram bawaannya banyak dan ribet. Tas kecil di depan dada, tas ransel atau tas tenteng isi sajadah, minuman, jaket, biskuit, Alqur’an—padahal di Haram juga banyak. Dan juga bawa istri. Ini sudah pasti. Makanya kita sering kalah gesit sama mereka. Kita enggak mobil (baca mobail). Kita ketinggalan dari mereka, mereka ambil selangkah seperti kita ambil dua langkah. Ya iyalah secara mereka badannya gede-gede dan tinggi-tinggi.

Ngomongin anatomi mereka saya pikir ini adalah kemahaadilan Allah. Mereka dikarunia kulit item—yang kebanyakan orang pasti udah mandang enggak enak aja, jadi ngeliat-liat kulit item saya—tetapi juga diberikan kelebihan dalam bentuk yang lain. Bukannya jari mereka 14, atau kaki mereka empat. Bukan. Tetapi tubuh mereka yang, gede, tinggi, dan atletis. Kebanyakan dari mereka otot bisep dan trisepnya nongol membentuk. Kalau diliatin mungkin ada dua telor di lengannya. Perutnya mungkin juga kayak perut superhero komik Marvel, kotak-kotak—perkecualian Hulk.

2011-11-19 06.20.16

*Sedang khusyu’

Pernah saya lihat waktu thawaf, ada orang Afrika gedenya minta ampun. Sudah tinggi dua meter, gede lagi. Jadi tontonan dah dia. So, dengan kelebihan bentuk fisik mereka itu, pantas mereka hebat kalau dalam urusan mencium hajar aswad, rebutan naik bis, dan menerobos keluar lingkaran thawaf. Sampai orang-orang di sekitar kepental semua padahal cumma kesenggol dikit. Wajar, mereka berani menerobos berlawanan arah soalnya mereka kayak kereta api Argo Bromo Anggrek di waktu malam. Cool, calm, confident. Mereka tak sendirian tetapi minimal berempat sambil teriak Thariq! Thariq! Thariq! So, daripada mental lebih baik kita yang nyingkir ngasih jalan. Mangga…

Syukurnya pihak Kerajaan Arab Saudi ngerti dah sama kesulitan orang Melayu ngadepin mereka. Makanya di Mina, kita enggak digabung waktu ngelempar jumroh. Tak bisa dibayangin waktu tahun 90-an yang tempat lempar jumrahnya tak seperti sekarang yang sudah bertingkat-tingkat. Tiangnya cuma kecil, satu lantai, dan dua arah. Makanya sering kejadian tubrukan. Merekalah yang jadi pemenangnya.

Mencium hajar aswad itu susah, tapi bagi mereka gampang. Kalau dipikir-pikir dan dialami, yang susah dalam proses mencium hajar aswad adalah pada saat mau keluar setelah menciumnya. Ke kiri ada dorongan yang ngantri dari multazam. Ke kanan ada dorongan dari yang ngantri sejak di rukun Yamani. Ke belakang susah juga. Eh, ini orang Afrika gampang aja keluarnya dengan memanfaatkan gedenya tubuh mereka, atau kalau enggak gede ya mereka naik ke pundak orang di belakangnya dan berenang di atas kepala orang-orang—seperti kayak di festival rock di amrik sana—lalu lompat jumpalitan. Bebas dah.

Kebersahajaan mereka juga bisa dilihat waktu di hotel atau di Masjidil Haram. Mereka itu sepertinya enggak suka kalau siang hari ngendon di kamar. Pengennya ngumpul di luar hotel, kongkow-kongkow bersama kawan-kawannya. Ada yang tiduran sambil telentang atau tiduran dengan kepalanya ditaruh di atas satu tangan, cukur rambut dan kumis, dan makan-makan.

Memang di depan hotel mereka—kebetulan pondokan kami bersebelahan—biasanya juga banyak wanita penjual makanan khas mereka. Ada nasi putih panjang yang lembek, dicampur kuah kari, daging rendang, ayam goreng yang gede-gede, dan masih banyak yang lainnya. Yang saya suka dan doyan adalah kentang goreng dan telor dadarnya dengan membayar 5 real saja. Tetapi kalau lainnya saya enggak tega makannya. Apalagi ada yang sejenis sagu atau tepung bulat-bulat hitam dipencet-pencet sampai lunak pakai sendok sop ditambah susu di atas mangkok alumunium besar. Kayaknya kalau mereka yang makan seperti sedapnya minta ampun.

Mereka itu kalau makan gampang saja. Duduk di atas trotoar lalu makan dengan tangan. Enggak jijik enggak apa walau tempatnya kotor dan di sebelahnya ada tempat sampah yang lalatnya cuma satu tapi temannya banyak itu.

Kalau di Masjidil Haram mereka bisa tidur di mana saja. Tempat panas, tempat dingin, di jalanan, atau di pinggir toko. Kayaknya mereka addict sama yang namanya tegel keramik. Di negaranya kali enggak ada keramik, alas rumahnya tanah atau pasir merah semua. Ini bukan merendahkan tetapi bisa dicek di Google kalau tak percaya. Mereka tuh bisa tahan lama-lama di tempat yang banyak kipas anginnya atau ada AC-nya yang biasa orang Melayu sudah pada masuk angin. Mereka sudah kebal kali.

2011-11-18 15.01.58

*Tidur di mana saja

Satu kelebihan mereka juga adalah kemana-mana selalu dengan rombongan sejenisnya. Maksudnya laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Jarang campur laki-laki dan perempuan. Enggak ada tuh, atau jarang sekali terlihat, mereka gandengan tangan dengan perempuan. Enggak seperti jama’ah haji Indonesia kemana-mana runtungan (gandengan) terus, termasuk saya.

Wanita Afrika biasanya berpakaian dengan jilbab warna-warni yang panjang-panjang. Kalau shalat kakinya enggak ditutup pakai kaos kaki. Wajar demikian karena kebanyakan mazhab yang dipakai di Afrika adalah Mazhab Imam Malik. Makanya di Mekkah dan Madinah peziarah haji yang paling rapat menutup aurat adalah wanita Indonesia, karena umumnya bermazhab Imam Syafi’i yang menganggap aurat semua anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Suatu ketika istri saya ngobrol dengan wanita Afrika di Masjid Nabawi. Enggak tahu pakai bahasa Tarzan atau pakai bahasa Inggris. Kayaknya Inggris deh. Sampai suatu titik si wanita Afrika itu nunjuk-nunjuk mukena putih yang dipakai istri. Dia bilang tertarik dan ngebet banget sama itu mukena yang dipakai sama orang Indonesia dan Malaysia. … Di negaranya enggak ada “jilbab” seperti itu. Padahal di Tanah Abang—tempat saudara-saudaranya mangkal di Indonesia—banyak dijual mukena dengan beraneka jenis. Besoknya janjian di tempat yang sama, Istri kasih itu mukena yang satu lagi untuk dia. Senangnya…Dia suka sekali dengan warna putih kayaknya. So, surealis, naturalis, dan realis.

Mereka, laki dan perempuannya, sudah terbiasa wudhu cukup dengan seukuran satu botol air mineral, mulai dari cuci tangan sampai kaki. Makanya mereka gampang saja saat wudhu memakai air zam-zam di Masjidil Haram. Beda dengan orang Indonesia, yang negerinya berlimpah dengan air, wudhu kalau enggak dengan air banyak kayaknya kurang afdhal. Makanya kalau wudhu bikin becek saja.

Pernah suatu ketika saya melihat wanita Afrika yang berdoa dekat Maqam Ibrahim berdoa dengan suara keras, sambil berdiri, dan tangan diangkat. Tangannya digerakkan naik turun. Enggak orang Afrika enggak orang Indonesia kalau punya hajat sama Allah ya kayak gitu. Sepertinya ingin memastikan kalau dengan tangan yang digerakkan naik turun itu mereka telah doa dengan sungguh-sungguh.

Di pelataran luar Masjidil Haram kayak gitu juga. Waktu dhuha saya ketemu mereka, wanita Afrika, yang sama-sama lagi berdoa. Dengan barisan yang tidak teratur. Ada yang menghadap ke barat, timur, atau ke arah manapun. Tua muda berdoa. Yang kedengaran di telinga saya mereka bilang: abreh…abreh..abreh….Amin.

2011-11-22 08.44.30

*Mereka bukan sedang ngobrol, tapi lagi do’a. Dhuha tanggal 22 November 2011.

Suatu ketika kami sedang lihat-lihat parfum di sebuah toko. Datang lima pria Afrika. Saya sok kenal dan sok dekat langsung mengisyaratkan jempol padanya untuk satu botol parfum yang dia pegang. Terus dia tanya pada saya sambil menunjuk istri saya, “Is she your wife?” saya jawab, “Yes.” Serentak mereka tertawa ngakak. Kami juga ikut tertawa. Apalagi ada yang nyeletuk orang Indonesia yang kebetulan ada di sana kepada orang-orang Afrika itu, “Hai, Gods must be crazy. Gods must be crazy.” Kami tambah kencang ketawanya karena ingat wajah mereka seperti wajah pemeran film itu, Nixau. Mereka tertawa kami tertawa. Entah apa yang ditertawakan. Sama-sama tak tahu. Yang penting tertawa.

2011-11-22 08.35.02

*Khusyu’ berdo’a.

Sore itu, saat pulang dari melempar jumrah di hari kedua atau tanggal 12 Djulhijjah 1432 H. Rombongan kami foto-foto. Kebetulan pula kami bertiga sedang difoto oleh teman kami, eh belum juga klik, ada empat wanita Afrika, masih muda-muda, sudah ada di belakang dan di samping kami, pengen ikut difoto sambil angkat dua jari. Cheeeeees… “Where do you come from?” tanya saya. “Chad!” seru mereka. Sejak itu saya baru tahu kalau Chad itu mayoritas penduduknya adalah muslim. Satu hal lagi, enggak orang Afrika enggak orang Indonesia seneng juga narsis-narsisan difoto.

Sewaktu di Madinah, kami menemukan sedikit orang Afrika. Tak ada lagi “persaingan” orang Melayu dengan mereka. Kini orang Melayu harus “berhadapan” dengan orang-orang Asia Selatan seperti Pakistan dan India itu. Kalau dibandingkan dengan orang Pakistan dan India, orang Afrika itu tawadhu-tawadhu. Enggak banyak omong. Kalau enggak kebagian tempat di shaf, mereka cari tempat lain. Beda dengan orang Pakistan atau India yang sering maksa juga sering ngatur-ngatur. Apakah mereka ini, orang Afrika, kena sindrom inferioty complex karena bekas bangsa budak? Enggak ah. Atau enggak tahu. Beda dengan orang Turki yang malah superiority complex. Tapi nanti saja bahas orang turkinya.

‘Ala kulli hal, kami semua yang ada di sana, Melayu kek, Afrika kek, Asia kek, Eropa kek, Amerika kek sama-sama datang ke Tanah Suci untuk semata-mata mencari ridhanya Allah. Mereka semua adalah saudara saya. Haram untuk disakiti. Wajib untuk dibela. Doanya cuma satu untuk kita dan mereka: “Semoga dikumpulkan semuanya di jannahnya Allah.” Maafkan saya Bro dan Sist atas segala salah.

Amin.

 

***

Ini cuma satu potret kecil dari sebuah landscape yang luas. Jadi tidak mencerminkan keseluruhan sehingga langsung bisa disimpulkan dan digeneralisasikan memang sudah pasti adanya begitu. Orang lain mungkin menangkap dan memandang beda terhadap mereka. Baydewey, maafkan saya jika ada kekeliruan.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

14.35 3 Januari 2012

BROTOSENO, PAK POLISI, DAN MEREKA


BROTOSENO, PAK POLISI, DAN MEREKA

http://sosok.kompasiana.com/2011/12/30/brotoseno-pak-polisi-dan-mereka/

 

Sesaat menunggu iqamat ashar di Masjid Shalahuddin terdengar suara panggilan dari belakang, “Mas, sehat Mas?” Belum sempat menjawab, teman saya ini berkata lagi, “Mas, kata teman saya waktu ngeliat fotonya Broto, langsung bilang kalau wajah polisi itu mirip sama Mas Riza.” Saya langsung cengengesan sambil membayangkan foto Angie lagi berdua sama Kompol Brotoseno yang sedang hangat di portal berita (29/12).

    Mirip gimana? Mirip apanya dengan teman dekat politisi Partai Demokrat itu? Jauh be-eng.Terlalu narsis kalau bilang saya lebih ganteng daripada Polisi perwira itu. Terlalu rendah diri kalau saya berkata sebaliknya. Lihat saja foto di bawah ini, masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya. Yang pasti saya bukan orang yang berada di samping Angie.

    Ingat Brotoseno jadi ingat kejadian waktu di Madinah. Waktu itu sepulang dari shalat Isya di Masjid Nabawi. Saya sendirian bergegas menuju hotel yang jaraknya tak jauh dari masjid. Kurang 100 meter dari hotel tiba-tiba saya disapa oleh dua orang ibu-ibu yang ternyata sedang tersesat. Mereka tak tahu jalan pulang ke hotel mereka. Logat yang kental mengisyaratkan mereka berasal dari daerah Jawa Timur.

    Mereka minta tolong untuk diantarkan ke hotel. Tapi sayangnya ketika saya tanya nama hotelnya mereka tak tahu. Saya minta kepada salah satu dari ibu-ibu itu untuk kembali mengingat jalan pada waktu mereka berangkat. Mereka menyerah. Ya sudah saya jalan pelan-pelan dengan mereka untuk sama-sama mencari hotel itu. Saya tak jadi pulang segera.

    Di saat itu, di saat saya sedang bertanya arah kepada orang-orang, tiba-tiba muncul sosok laki-laki separuh baya dan tampak muda, berbaju gamis warna putih dengan peci warna senada memotong pembicaraan kami. “Tersesat ya Bu? Tenang saja Bu. Ada saya. Saya antar ke maktabnya. Maktab ibu nomor berapa?”

    Kewaspadaan saya langsung jalan, ini kok orang baik banget tiba-tiba langsung menawarkan diri dan main tembak mau antar segala. Apalagi dia bilang tentang maktab, padahal sepengetahuansaya kalau istilah maktab itu adanya di Mekkah, bukan di Madinah. Kalau di Madinah jamaah haji Indonesia tidak dibagi berdasarkan maktab tetapi sektor oleh muassasah. Saya terus terang curiga dan langsung bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling, “Tunggu dulu Pak, Bapak ini siapa?”

    “Saya petugas. Di sini saya sudah biasa nganterin orang tersesat,” jawabnya. Dia panjang lebar menjelaskan siapa dirinya dan tentu tidak lupa menyebutkan namanya. Tapi saya lupa dialog tepatnya. Bukan penjelasan itu yang membuat saya tiba-tiba langsung percaya. Dia bilang kalau dia adalah polisi, maksudnya anggota Kepolisian Republik Indonesia yang sedang berhaji. Beneran, saya langsung percaya begitu. Makanya saya memutuskan untuk menitipkan mereka kepada Pak Polisi, “Bu, saya tinggal ya Bu, Ini bapak Polisi. Bapak ini yang akan nganterin ibu ke petugas haji Indonesia.”

    Ibu-ibu itu bukannya senang karena mau ditolong sama Pak Polisi, malah ketakutan dan langsung memegang tangan saya, sambil berbisik pakai bahasa Jawa, terjemahannya begini, “Sudah Mas, saya pokoknya ikut sama kamu saja. Saya takut. Saya takut sama orang Arab.” Hehehehe, kebetulan memang Pak Polisi itu punya wajah Arab. Polisi itu pasrah saja dia dicurigain sama bangsa sendiri. Saya pikir dia jadi korban stigmatisasi yang selama ini diceritakan kepada para jamaah Haji Indonesia tentang orang Arab, yang entah dari mana sumber asal kisah itu.

    Akhirnya saya mengambil jalan tengah dengan mengikuti bapak Polisi itu ke Pos Sektor. Nanti dari sana ibu-ibu itu akan diantar ke hotel oleh petugas haji yang bertugas di sana. Sepanjang perjalanan menuju Pos, Pak Polisi geleng-geleng kepala saja mengingat sampai detik itu mereka tak benar-benar percaya sama dia. Salah satu ibu itu memegang erat ikat pinggang saya. Benar-benar ketakutan dan was-was kalau-kalau saya meninggalkan mereka. Padahal saya tak henti-hentinya juga meminta supaya ibu-ibu itu percaya sama Pak Polisi.

“Kenapa Ibu kok percayanya sama saya, padahal ibu enggak kenal saya?” tanya saya. “Sampeyan kan pakai batik, wislah pokoke aku percaya,” jawabnya. Kebetulan memang pada saat itu saya memakai batik seragam jamaah haji Indonesia. Ibu yang satunya lagi tercecer di belakang sambil mencari-cari wajah dari banyak orang yang sedang lalu lalang. Mungkin ada yang dikenal. Tapi ia gagal, sampai Pak Polisi itu sedikit jengkel dan setengah berteriak, “Sudah Ibu, percaya saja sama saya!”

    Menuju hotel tempat pos sektor itu berada, saya sempatkan berbincang-bincang dengan Pak Polisi. Ternyata ia seorang ajun komisaris polisi (waktu itu dia bilangnya kapten) yang sedang bertugas di daerah Kalimantan. Jabatannya saya lupa, antara kasatserse atau kasat intel. Dan memang betul, ini yang ia yang sadari, kalau ia punya garis keturunan Arab Tanah abang.

Obrolan kami terputus karena kami sudah sampai di depan hotel tempat pos sektor itu berada. Lobi hotel penuh dengan orang Turki. Kami naik ke mezanin hotel dan benar di sana ada bendera Indonesia dan spanduk tanda pos sektor. Yang jauh melegakan adalah tampak pula seorang petugas haji yang sedang jaga di sana. Kata Pak Polisi yang mengantar kami, petugas haji itu juga seorang polisi.

Mengetahui mereka telah diantar ke pos sektor dan ketemu sama petugas haji yang memakai baju biru, ibu-ibu mengucapkan terima kasih dan minta maaf sama Pak Polisi karena telah curiga berat.

Kemudian sudah saatnya Pak Polisi itu pergi dan meninggalkan kami. Selanjutnya petugas haji itu yang akan mengantar ibu-ibu itu ke hotel mereka yang ternyata dekat dengan pos sektor. Anehnya lagi, ketika saya mau meninggalkan mereka, mereka tetap bersikeras supaya saya tetap menemani mereka hingga ke hotel. Aduhai, mereka juga masih tak percaya sama Pak Petugas Haji.

Tidak sampai 100 meter dari pos sektor, kami telah tiba. Barulah terlihat wajah mereka dihiasi senyuman. Ada kelegaan yang tampak. Saya turut senang juga. Sebelum berpisah, saya minta izin memfoto mereka sambil berpesan, “ingat-ingat jalan, ta iye.”

*Ibu Siah dan Ibu Ramiah di depan hotel (26/11).

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

    00.19 30 Desember 2011

Tags: kalimantan, akp, brotoseno, angie, angelina sondakh, masjid shalahuddin, madinah, kompol, haji

 

JANGAN CERITA YANG SERAM-SERAM


JANGAN CERITA YANG SERAM-SERAM

    

    “Ayo, mumpung masih muda segera saja ke sana. Nikmat banget. Beneran!” seru saya pada teman baik saya agar tidak menunda-nunda lagi pergi haji. Minimal sudah mulai mendaftar atau menabung. Jawabannya setengah mengagetkan. “Enggak ah, takut. Masih banyak dosanya,” timpalnya berulang kali.

    Kalau memikirkan dosa kapan bisa perginya sedangkan manusia tempatnya lupa dan lalai. Tetapi kekhawatiran itu wajar juga. Seminggu sebelum berangkat saja saya masih berpikir saya ini layak enggak sebenarnya untuk pergi ke sana. Banyak dosanya begini. Saya sampai berdiskusi via Gtalk dengan teman yang saat itu sudah berada di Makkah tentang kekhawatiran ini. Khawatir tentang apa sih? Takut dibalas sama Allah di sana atas segala kelakuan buruk selama di tanah air. Jawabnya gampang saja: “daripada dibalas di akhirat.”

    Ketakutan teman itu juga dan kebanyakan calon jamaah haji yang lain karena seringkali mendengar cerita-cerita menyeramkan tentang keadaan di sana, seperti kisah tak bisa melihat Kakbah, tersesat berhari-hari, diperkosa sama orang Arab, sakit dari awal sampai akhir, hilang uang dan barang, dan semua kesulitan yang terjadi di sana. Semuanya selalu dianggap sebagai pembalasan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Yang tampak adalah Allah sebagai Tuhan yang Maha Pembalas. Mana kasih sayangnya Allah?

Sebenarnya ada perspektif yang perlu dipahami. Pertama, Allah adalah pemilik rumah itu. Sebagai Tuan Rumah yang baik sudah barang tentu Allah tidak akan pernah menyengsarakan dan menelantarkan tamunya. Maka yakinlah dengan ini terlebih dahulu.

Kedua, berusahalah untuk selalu menjadi tamu yang baik pula. Adab-adab bertamu hendaklah diindahkan. Merendahkan diri, bersikap sopan, dan tidak sombong. Bukankah yang berhak sombong itu hanya Allah? Bukankah kesombongan adalah selendangnya Allah? Maka wajar saja ketika setitik kesombongan itu ada di hati yang tidak berhak, maka yang berhak sombong akan menuntutnya.

Maka seringkali kita mendengar cerita-cerita kurang enak itu. Misalnya ada orang yang bilang, “ah segini sih mudah?” Sedikit keangkuhan yang terucap di Tanah Haram baik di lisan atau di dalam hati itu pada akhirnya berbuah kesulitan. Lalu kenapa langsung dibalas? Sebagaimana layaknya do’a yang langsung dikabulkan, begitupula dengan kesalahan yang tercipta maka akan langsung ditegur. Semata-mata karena di sana itu Allah sangat dekat.

Yang ketiga bukankah mereka yang mau bertekad bulat untuk pergi haji senantiasa dianjurkan untuk bertaubat terlebih dahulu, menyesali dosa yang lampau, dan berusaha kuat untuk tidak mengulanginya. Walaupun sejatinya bertaubat pun tidak perlu menunggu sampai mau pergi haji saja. Kalau sudah demikian mengapa khawatir kalau Allah akan menghukum kita di sana? Jika memang kita mendapatkan kesulitan di sana maka muhasabah saja dulu jangan-jangan taubat kita memang taubat yang hanya di mulut saja. Taubat yang perlu ditaubati.

Selanjutnya adalah jika memang kesulitan itu benar-benar terjadi menimpa pada diri kita, semoga jangan, anggap saja ini adalah teguran dan semata-mata kasih sayang Allah yang ingin menaikkan derajat keimanan kita. Betul kata teman saya, lebih baik dibalas di dunia atas kesalahan yang kita lakukan daripada dibalas akhirat, karena pembalasan di sana lebih keras adanya.

Berikutnya adalah bercerita yang nikmat-nikmat dan enak-enak saja sepulang dari haji. Ini yang kelima. Ada hal yang menarik di sini. Ada teman saya, salah seorang jamaah Masjid Al-Ikhwan, yang pergi haji di tahun 2007. Sampai sekarang ia sama sekali tidak pernah menceritakan kisah perjalanan hajinya yang enggak enak-enggak enak. Semuanya adalah cerita yang menyenangkan. Sehingga membangkitkan semangat yang mendengar ceritanya untuk bisa segera pergi ke Tanah Suci.

Selayaknya memang demikian, kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan yang pernah kita alami pada saat haji hendaknya tak perlu diceritakan serta merta. Cukup menjadi pembelajaran bagi kita saja, menjadi pengingat kala bermuhasabah, dan jadi nasehat bagi yang benar-benar membutuhkan.

Dikhawatirkan kalau diceritakan, kita seperti menjadi hamba yang tidak bersyukur, yang bisanya mengeluh tentang kelelahan-kelelahan di sana, yang punya dada sempit dan tidak lapang terhadap segala kenikmatan yang sebenarnya telah ditunjukkan Allah di sana. Ini sudah jelas akan membuat orang enggan untuk pergi haji.

Maka berceritalah tentang keberkahan yang kita dapatkan di sana. Perasaan dekatnya kita dengan Allah, keagungan bangunan hitam itu, kekhusyu’an thawaf kita, kemegahan Masjidil Haram, keanggunan Masjid Nabawi, syahdunya Arafah, kesejukan pagi Muzdalifah, semangat membara melempar di jamarat untuk menanggalkan segala bentuk jejak-jejak iblis pada diri kita serta kedamaian kita saat berziarah mengunjungi Nabi Saw. Pokoknya jadilah jama’ah haji yang gembira atas nikmat yang diberikan Allah karena telah dimudahkan untuk datang mengunjungi rumahNya.

*Tampak jamaah haji asal Pakistan tertidur di atas kursi yang biasa dipakai oleh syaikh untuk mengajar di majelis taklim Masjidil Haram. Nikmaaat…(Dhuha, 24 November 2011)

Kalau sudah tahu perspektif ini, maka sudah seharusnya pula kita tak bertanya kepada yang baru datang dari berhaji dengan pertayaan seperti ini: “ada yang aneh-aneh enggak di sana?” Pun, jika kita di tanya seperti itu tak perlu terpancing dengan bercerita yang serba menyusahkan. Take it easy.

Lalu bagaimana jika ketakutan pergi haji waktu muda itu karena nanti setelahnya tak bisa ngapa-ngapain lagi? Itu bahasan lain. Semoga kita tidak demikian. Insya Allah.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

ada gak ada saya, kudu nulis

23.12 20 Desember 2011

SELALU ADA SENJA DI LAUT MERAH


SELALU ADA SENJA DI LAUT MERAH

    Ada waktu senggang yang kami manfaatkan setelah ritual wajib haji telah tertunaikan yaitu rihlah ke berbagai tempat di Makkah dan sekitarnya. Yang akan sedikit saya ceritakan kali ini adalah Masjid Terapung di Jeddah. Sebenarnya bukan terapung begitu saja, tetapi masjid ini didirikan dengan tiang pancang pondasinya yang tertancap persis di pinggir Laut Merah. Sehingga ketika Laut Merah sedang pasang airnya maka masjid ini dikelilingi air dan seakan-akan mengapung di atas air laut.

    Kami berangkat dari pondokan di Makkah jam dua siang melalui jalan lama Mekkah Jeddah. Karena katanya kalau melalui jalan baru nanti akan melewati pos pemeriksaan dan urusan akan ribet. Jarak Mekkah Jeddah melalui jalan lama sekitar 85-an kilometer.

Dalam perjalanan kami mampir dulu ke peternakan unta. Foto-foto bersama unta dan seumur hidup baru kali itu bisa mencium unta yang baunya “prengus” karena sejak lahirnya ia tak pernah mandi. Lalu beli satu botol susu unta murni yang nantinya akan saya sesali. Hu…hu…hu…

Ketua Rombongan sudah bilang untuk tidak langsung meminum susu itu. Dan itu sudah saya turuti. Karena bagi yang tidak cocok dengan susu murni seperti itu walaupun terasa gurih dan enak, isi perut bisa keluar semua.

    Sampai di Masjid Terapung, kalau tidak salah sudah hampir jam 4. Shalat ashar di sana lalu menikmati pemandangan yang ada sambil menunggu maghrib tiba. Benar-benar tepat singgah di sana sewaktu sore. Tersajikan sebuah pesona alam yang sungguh indah dipandang mata.

    Lengkungan kubah dan tiangnya, menara tinggi menjulang, angin yang menderu kencang, Laut Merah dengan ombak kecilnya, langit hitam, dan matahari senja yang hendak turun ke peraduan membuat hati saya tergetar. Subhanallah indahnya.

*Suasana senja di Masjid Terapung

*Pemandangan lain di sekitar Masjid Terapung

    Saya tak dapat menggambarkan lagi apa yang saya rasakan di sana. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang didapat saat menikmati semuanya itu. Hasrat untuk memainkan kata-kata mulai timbul. Tapi sungguh hanya cuma terlintas dalam hati. Dan tak dapat tertuliskan sampai kemarin. Jika boleh, inilah huruf-huruf yang bisa terangkai hari ini.

    selalu saja ada senja di setiap sudut

    pun di laut merah

    jika angin yang menerpa dan cahayanya melukis di wajahmu

    akankah ada ufuk hanya untukku

    langit hitam takkan menjadikanku hitam

    tapi serinai siluetmu

menerobos kelalimanku

aku menjadi putih di merah hatimu.

**

Aduh biyunggg…tobaat…Cuma kata-kata itu yang bisa tertangkap. Banyak foto indah yang bisa dibuat. Tapi tak bisa saya unduh di sini. Paling di facebook. Insya Allah. Lihat saja di sana. Hanya sedikit ini.

  • Selalu ada senja di setiap sudut

    

    *Salah satu sudut Masjid Terapung

    

  • Di mana-mana ada senja. Bolehkah aku gunting dan kulipat engkau di sakuku?

Setelah foto-foto, kami menikmati jagung bakar yang dijaja di sana. Penjualnya bisa memikat hati para pengunjung yang mayoritas orang Indonesia dengan sedikit kepintarannya berbahasa Indonesia. “Lima real…! Lima Real…!” Satu biji setara Rp12.500,00.

Setelah makan jagung bakar yang dibeli dan nasi kotak yang disediakan oleh Ketua Rombongan, adzan maghrib berkumandang. Saya mengambil air wudhu di toilet Masjid. Jangan bayangkan seperti di Masjidil Haram yang berlimpah air dan banyak WC serta krannya, di Masjid Terapung sarananya minim, kami harus antri panjang untuk sekadar mengambil air wudhu.

Ada yang membuat hati saya bergetar kembali. Bacaan imamnya itu indah sekali. Walaupun di saat maghrib itu penuh dengan jamaah namun saya membayangkan jika tidak di musim haji. Imam yang sudah sepuh itu memimpin segelintir jamaah di suatu maghrib, di tepi laut merah. Syahdu. Berasa seperti shalat maghrib atau shubuh di sebuah desa di pegunungan atau di puncak Bogor. Tiba-tiba saya membayangkan saya punya pesawat jet, maka sabtu atau minggu pergi dari tanah air untuk sekadar shalat maghrib di sana. Mustahil? Insya Allah tidak.

Setelah shalat maghrib, perjalanan rihlah dilanjutkan ke Masjid Qishosh, melewati air mancur setinggi 100 meter lebih, melewati pula makam Siti Hawa, dan berakhir di pusat perbelanjaan Corniche Commercial Centre, Balad. Beli apa di sana? Beli unta-untaan made in China buat Kinan dan keponakan. Unta-untaan itu kalau ditepuk langsung nyanyi: “Ya Thoybah…ya Thoybah…”. Di Jeddah, di Makkah, dan di Madinah harganya sama, 15 Real.

Tidak lama setelah itu kami pulang. Sampai di pondokan jam 11 malam. Dan berakhir sudah rihlah di hari itu.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

mana senjamu?

17.51 11 Desember 2011

Tags: hajj 2011, mekkah, madinah, jeddah, corniche commercial centre, siti hawa, masjid terapung,

JANGAN SEBATAS NIAT


JANGAN SEBATAS NIAT

Hari-hari ini saya sering ditanya oleh teman-teman dengan pertanyaan seperti ini: “Kapan berangkat? Daftarnya kapan? Sejak kapan nabung? Saya jawab semuanya. Namun kali ini saya ingin menjawab sedikit tentang dua pertanyaan terakhir itu. Tentunya dengan sebuah cerita.

Semua itu berawal sejak masuk kampus STAN tahun 1994. Sejak mengenal apa itu Islam yang tak sekadar sholat dan puasa saja. Semangat berislam tumbuh dengan penuh gelora. Yang pada suatu titik timbul adanya sebuah keinginan untuk bisa pergi haji. Tak cuma sebatas keinginan tapi sebuah kerinduan. Ya benar-benar rindu. Hingga kalau ada berita-berita tentang perjalanan haji di tv selalu saya tonton dengan semangat.

Bahkan hari Jumat selalu saya tunggu karena pada hari itu—di bulan-bulan menjelang dzulhijjah atau setelahnya—koran Republika, koran langganan di kosan, selalu ada lembaran khusus liputan haji. Foto-foto bangunan hitam dan masjidil haram selalu saya pandang lekat-lekat. Membuat saya tak sanggup untuk menahan air mata. Terburu-buru masuk kamar dan menguncinya, bersandar di pintu, jatuh terduduk sambil nangis habis-habisan. Saat itu saya benar-benar mohon pada Allah agar saya termasuk dari bagian orang-orang yang dipanggil untuk menjadi tamu-Nya. Tapi kapan? Duit dari mana? Pertanyaan yang saya sendiri tak tahu jawabannya.

Setelah itu, bertahun-tahun saya tetap terharu kalau ada liputan haji atau cerita dari saudara dan teman yang sudah pernah ke sana. Tetap dengan sebuah harap dan pertanyaan sama yang menggelayut setelahnya walau saya sudah kerja di kantor pajak. Ya, saya bahkan tak berani bermimpi untuk bisa punya mobil atau pergi haji.

Tapi Allah punya rencana lain. Modernisasi berefek adanya remunerasi. Tahun 2004 kantor saya mulai berubah mengikuti reformasi birokrasi yang sudah dicanangkan. Saya mulai berani bermimpi apa saja. Punya ini punya itu. Dan terpenting adalah bisa naik haji.

Akhirnya tibalah Oktober 2006. Saat itu bulan-bulan menjelang lebaran. Bukannya uang tabungan yang ada di bank diambil untuk bekal pulang kampung tapi kami tekadkan diri uang itu untuk membuka tabungan haji. Karena saya yakin betul menabung adalah realisasi yang paling riil dari sebuah niat. Jadi tak sekadar berhenti di niat saja. Dan saya yakin betul kalau sudah menabung Allah akan memudahkan realisasi cita-cita pergi haji ini. Seringkali saya bertanya kepada orang yang berniat haji dengan pertanyaan ini, “sudah buka tabungan haji?” Ini lagi-lagi untuk memastikan bahwa jangan sekadar niat.

Ada cerita pula kalau ada orang yang memulai menabung haji dengan satu uang logaman seratus rupiah dan berhasil naik haji. Dengan demikian jangan pernah meremehkan sedikitnya uang yang ditabungan karena pergi haji itu bukan sekadar ada uang atau tidak ada uang. Namun semata-mata karena Allah telah berkehendak pada orang yang dikehendaki-Nya. Begitu banyak orang kaya namun tidak tergerak hatinya untuk pergi haji. Dan betapa banyak orang yang tidak mampu secara finansial tetapi tiba-tiba berangkat karena mendapatkan rizki yang tidak disangka-sangka.

Karenanya setiap bulan kami paksakan untuk menabung. Walau terkadang juga ada bulan yang bolong tidak menabung karena uangnya digunakan untuk keperluan yang lain. Sampai suatu ketika di bulan November 2009 kami mantapkan untuk melunasi dana setoran awal pergi haji yang waktu itu masih sebesar Rp20 juta per jamaah. Setelah menyetor dan mendaftarkan diri baru ketahuan kalau kami akan diberangkatkan di tahun 2011. Alhamdulillah tak perlu lama. Waktu dua tahun yang ada digunakan menabung lagi untuk melunasi dana biaya haji.

Tak sekadar niat dan menabung, saya dawamkan doa ini setiap habis sholat: “Allaahummaj’alna hajjan mabrura.” Ya Allah jadikan kami haji yang mabrur. Karena saya mendengar dari seorang ustadz ada yang membiasakan diri berdoa dengan doa itu dan dalam setahun doanya terkabul. Sedang saya Insya Allah dalam dua tahun. Amin.

Dengan rentang waktu hidup yang saya jalani selama ini maka kalau dikronologiskan seperti ini:
Lahir- 1994 : Hanya tahu haji sebatas bagian dari Rukun Islam.
Tahun 1994 : Mulai ada keinginan yang luar biasa. Cinta dan rindu mulai timbul.
Tahun 2006 : Mulai menabung (tepatnya Oktober 2006).
Tahun 2009 : Melunasi biaya awal dan mendaftarkan diri untuk dapat nomor porsi (tepatnya November 2009).
Tahun 2011 : Dijadwalkan berangkat Oktober 2011. Insya Allah.

Saya berdoa semoga para pembaca juga dapat dipanggil Allah menuju tanah suci Makkah Almukarromah dan Madinah Almunawarah. Nikmati pengalaman spiritual terhebat di sana. Dan semoga menjadi haji yang mabrur.

**

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11.45 – 14 Oktober 2011

HITAM DAN SERIBU PERAK


HITAM DAN SERIBU PERAK

Kalau kita sudah terlena oleh kenikmatan dunia maka nasehat bisa menjadi obat untuk menyadarkan kita kembali tentang kesejatian hidup di dunia. Nah, nasehat itu bisa datangnya dari siapa saja. Bisa manis ataupun pahit nasihat itu dirasa. Saya akan menceritakannya sedikit.

Di suatu siang yang amat terik, habis sholat dzuhur saya menyalami tetangga saya. Profesinya adalah tukang bangunan. Saat itu dia sedang mengerjakan pemlesteran dinding pagar masjid.

“Kang Asep, kerja siang hari begini kulitnya jadi hitam banget yah,” kata saya sambil melihat tangannya yang terbakar matahari tidak seperti biasanya

“Ia Pak, tapi enggak apa-apa sih. Lebih baik hitam di dunia
daripada hitam di akhirat.”

“Wah bagus…bagus,” puji saya tulus. Singkat tapi mantap. Benar loh, ini pernyataan yang luar biasa bagi saya di siang itu. Membuat saya berpikir tentang bekal apa yang harus saya persiapkan buat di sana. Memikirkan banyaknya dosa dan aib yang menumpuk dan menggelapkan hati saya. Pada akhirnya pernyataan Kang Asep membuat saya bisa introspeksi diri.

Itu indahnya sebuah nasihat.

Nah, selesai sudah cerita tentang nasihat ini. Tapi ada yang berkesan lagi di hari itu, di hari yang sama pada saat nasihat itu diberikan.

Baru saja tiba dari menjemput istri, saya tidak bersegera memasukkan motor ke dalam rumah. Tapi saya berteduh di bawah pohon rindang di seberang rumah. Kemudian saya melihat seorang pengamen muda dengan sebuah gitar yang talinya diselempangkan di bahunya sedang mengamen di rumah tetangga saya. Sebentar lagi giliran rumah saya didatanginya. Suaranya biasa saja. Lagu dan nada gitarnya tak selaras membentuk sebuah harmoni.

Tapi apapun yang terjadi saya memang sudah berniat untuk infak. Cuma seribu rupiah saja. Kata seorang ustadz dalam sebuah pengajian, “jangan membiarkan pengamen atau pengemis lewat dari rumah kita dengan tangan kosong, karena bisa jadi itu menjadi ladang amal dan awal dari banyaknya kebaikan yang akan datang kepada kita di hari itu.” Saya ingat betul nasihatnya.

Nah, pada saat ia menyumbangkan sebuah lagunya di depan rumah saya. Saya langsung memanggilnya dari seberang.

“A, di sini A!”

Ia kaget dari mana suara yang memanggilnya itu berasal. Tapi setelah ia tahu ia langsung menghampiri saya. Kemudian saya menyerahkan uang seribu rupiah itu.

“Terima kasih Pak Haji,” kata pengamen itu sambil tersenyum dan berlalu.

Saya surprise, ia memanggil saya dengan sebutan Pak Haji, mungkin karena saat itu saya sedang memakai kopiah, walaupun bukan warna putih. Bagi saya sebutan itu adalah sebuah do’a. Dan dalam hati, saya mengaminkan do’anya. Saya memang belum pergi ke Makkah, tapi saya senantiasa merindukan untuk datang tempat itu. Bisa jadi dari do’anya itu saya mampu untuk pergi ke sana. Allah yang berkehendak, seribu rupiah jadi wasilah untuk pergi naik haji. Amin. Siapa tahu bukan?

***

Siang Terik di Tengah Desember

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

14:11 19 Desember 2009

 

 

TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR (2)


TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR (2)

===TAHAP KEDUA===

Selesai? Ya, pendaftaran tahap awal sudah selesai. Kita akan melangkah ke pendaftaran tahap kedua. Sebelumnya kita harus ke bank terlebih dahulu untuk mendapatkan nomor porsi. Tentunya saya pergi keesokan harinya. Apa yang perlu dipersiapkan untuk mendapatkan nomor porsi itu?

Bank Muamalat Indonesia Cabang Bogor mensyaratkan dokumen yang harus dibawa, yakni:

  1. Fotokopi Buku tabungan dengan asli yang akan kita perlihatkan;
  2. SPPH asli untuk Bank;
  3. Fotokopi KTP 1 lembar;
  4. Fotokopi KK.

Saya akui pelayanannya untuk tahun ini bagus. Dibandingkan dengan pelayanan yang didapat oleh teman saya setahun lalu dikarekan petugasnya masih gatek dengan aplikasi SISKOHAT-nya. Alhamdulillah, tak lama kemudian saya sudah mendapatkan nomor porsi yang tertera di formulir Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebanyak empat rangkap itu. Ini berarti uang pendaftaran awal sudah ditransfer ke rekening Menteri Agama. Tentunya petugasnya belum tahu kami berangkat untuk tahun kapan. Ternyata yang tahu dan menentukan keberangkatan itu dari Kandepag Kabupaten Bogor.

Segera setelah dari bank saya pergi ke Kandepag Kabupaten Bogor. Sampai di sana pukul setengah satu siang. Saya sudah mempersiapkan semua dokumen yang harus saya bawa untuk pendaftaran tahap kedua ini. Apa saja? Ini dia:

Dokumen tahap kedua sebagai berikut:

  1. BPIH asli tiga lembar, satunya milik kita sebagai arsip yang tak boleh hilang;
  2. Fotokopi SPPH;
  3. Fotokopi KTP;
  4. Fotokopi KK;
  5. Fotokopi Surat/Akta Nikah;
  6. Fotokopi Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir/Ijazah;
  7. Fotokopi Surat Pernyataan Bermeterai dari Kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Kecamatan (asli diserahkan juga ke petugas);
  8. Fotokopi Surat Keterangan Sehat (asli diserahkan juga ke petugas).

    Fotokopi tersebut masing-masing sebanyak empat lembar.

Tetapi malang tak tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Saya disuruh pulang saja oleh petugasnya untuk kembali hari jum’at, senin, atau selasa. Karena hari rabu dan kamis diperuntukkan khusus untuk mengurus dokumen jama’ah haji yang akan berangkat tahun ini.

Mengapa baru diberitahu sekarang? Seharusnya kemarin pada saat penyelesaian foto diberitahu agar kami tak bolak-balik ke kantor ini. Yah…sedikit kecewa dengan birokrasi saya terpaksa pulang padahal cuma untuk mengecek lengkap atau tidak berkas kami ini. Saya yakin tidak makan waktu lima belas menit. Oke saya akan datang hari jum’atnya.

Pada hari jum’atnya, ruangan di seksi tersebut sedikit lengang tetapi di pintunya sudah dipasang pemberitahuan bahwa pelayanan pendaftaran tidak bisa dilayani karena Siskohatnya lagi bermasalah. Tetapi nyatanya saya lihat ada beberapa tamu yang sedang dilayani.

Tanpa banyak bicara saya menyerahkan dokumen itu yang saya yakini lengkap sekali. Dan betul petugasnya tanpa banyak bicara menelitinya dan menyatakan berkas saya sudah lengkap. Sama petugasnya diberitahu kita akan berangkat tahun kapan.

Dokumen tiga rangkap diserahkan kepada petugasnya. Satur angkap lagi untuk saya sebagai arsip. Yang terpenting ada dua dokumen asli ada pada kita yaitu SPPH dan BPIH lembar calon jema’ah haji. Jangan sampai hilang. Simpan yang baik. Kalau bisa Anda pindai dengan mesin scanner sebagai dokumen softcopy.

Lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Tidak ada, terkecuali berdoa dan menunggu. Dan tentunya yang ini:

  1. Menabung lagi supaya bisa melunasi ongkos naik haji (ONH) yang telah ditetapkan;
  2. Pada bulan Mei tahun pemberangkatan misalnya tahun 2011 kita harus pergi ke Kandepag Kabupaten Bogor karena biasanya pengumuman calon jama’ah haji yang berangkat sudah keluar.
  3. Bulan Juni tahun 2011 biasanya kita ditelepon untuk melunasi BPIH;
  4. Setelah lunas biasanya pula kita akan dipanggil untuk melakukan sesi pengurusan passport hijau khusus haji ke kantor imigrasi. Tak ada biaya dalam pengurusan ini karena sudah ada dalam komponen biaya yang telah kita bayarkan. Bagi yang sudah punya passport tak perlu ikut sesi ini cukup lampirkan dan menyerahkan fotokopi passport-nya kepada Kandepag kabupaten Bogor.
  5. Belajar fikih haji dan ikut manasiknya. Itu saja.

Wuih…capek deh. Demikian yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat buat Anda semua.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09:52 26 Oktober 2009

TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR (1)


TATA CARA / PROSEDUR PENDAFTARAN HAJI DI KABUPATEN BOGOR

===TAHAP AWAL===

Pembaca, saya coba cari di Google dengan kata kunci sebagaimana judul tulisan ini, hasilnya nihil. Saya coba juga membuka laman Departemen Agama Republik Indonesia hasilnya sama. Singgah di laman Kabupaten Bogor sama juga. Apatah lagi Kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor juga tak punya laman sama sekali di internet.

Akhirnya saya tahu secara langsung prosedur pendaftaran haji itu dengan melakukannya sendiri berbekal sedikit informasi dari bank tempat saya menabung haji. Saya ingin membagi pengalaman ini kepada pembaca agar ketika ingin mendaftar haji sudah tahu apa yang harus dipersiapkan. Entah persiapan dokumen yang harus dibawa, jumlah biaya yang harus dikeluarkan, dan mental tentunya karena kita akan berhadapan dengan gunung rintangan yang bernama birokrasi.

Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya dari Kabupaten Bogor yang ingin menunaikan haji ke tanah suci. Bisa jadi prosedur pendaftaran haji di setiap daerah berbeda-beda. Saya mendengarnya demikian dari berbagai orang yang sudah pernah mengalaminya. Kata mereka prsoedurnya tidaklah serumit di Kabupaten Bogor. Wallahua’lam bishshowab.

Yang harus dipersiapkan oleh Pembaca ketika ingin mendaftar haji dan pergi haji tentunya adalah niat yang lurus bahwa saya ini pergi haji adalah semata-mata hanya karena Allah. Bukan untuk piknik, berdagang, mencari gelar haji, penaikan status, dipandang masyarakat, dan lain-lainnya. Niat yang lurus ini akan membuat kita pasrah pada-Nya. Ketika ada niat-niat yang sudah mulai melenceng segera luruskan saja dan minta ampun pada Allah.

Yang kedua adalah perbanyak do’a dan shalawat. Loh kok prosedur kayak ginian aja butuh ini sih? Tentu sangat dibutuhkan, karena seperti yang sudah saya bilang di awal kita akan menghadapi gunungan birokrasi yang akan menguji kesabaran kita. Dengan perbanyak do’a dan sholawat kita berharap pada Allah agar IA memudahkan semuanya.

Yang ketiga persiapkan waktu dengan secermat mungkin. Karena tidak bisa sehari atau dua hari untuk menuntaskan semua ini. Karena banyak dokumen yang harus dipersiapkan. Bagi yang berkantor kalau bisa coba minta cuti atau izin kerja setengah hari untuk mengurus pendaftaran ini.

Yang keempat selalu berangkat lebih pagi untuk mendapatkan pelayanan yang lebih awal di kantor apapun. Entah di Kantor Kepala Desa, Puskesmas, ataupun di Kantor Departemen Agama (selanjutnya disingkat Kandepag) Kabupatan Bogor. Karena kalau Anda datangnya sudah terlalu siang—yang sebenarnya menurut kita masih waktunya jam kerja—siap-siap saja Anda akan disuruh pulang dan datang kembali keesokan harinya.

Pembaca, setahu saya kalau kita ingin mendaftar haji harus sudah ada tabungan Rp20 juta dulu di bank lalu datang ke Kandepag dengan cukup membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Ternyata masih banyak yang harus kita bawa.

Baik dokumen apa saja yang harus dipersiapkan dan ktia bawa untuk pendaftaran Haji di Kandepag Kabupaten Bogor?

Ada dua tahap. Tahap awal dan tahap kedua. Tahap awal adalah tahap pendaftaran setelah kita sudah punya tabungan sebesar Rp20 juta di bank. Tahap kedua adalah tahap pendaftaran setelah kita mendapatkan nomor porsi dari bank.

Dokumen tahap awal sebagai berikut:

  1. Fotokopi buku tabungan;
  2. Fotokopi KTP;
  3. Fotokopi KK;
  4. Fotokopi Surat/Akta Nikah;
  5. Fotokopi Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir/Ijazah;
  6. Fotokopi Surat Pernyataan Bermeterai dari Kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Kecamatan (asli dibawa);
  7. Fotokopi Surat Keterangan Sehat (asli dibawa).

    Masing-masing rangkap satu.

    Saya akan jelaskan yang memang perlu untuk diberikan penjelasan.

Untuk memudahkan kita dalam masalah tabungan haji ini, saya sarankan untuk membuka di bank yang cabangnya berdomisili satu propinsi dengan Kandepag Kabupaten Bogor artinya masih di Jawa Barat. Tetapi saya lebih sarankan lagi Anda buka tabungan hajinya di bank yang satu kabupaten/kota saja.

Jangan mengulangi apa yang pernah saya alami. Saya membuka tabungan haji di Bank Muamalat Kantor Kas Cawang Jakarta ternyata untuk mendaftar haji saya harus menutup dulu tabungan itu dan membuka tabungan baru di Bank Mualamat Kantor Kas Cibinong.

Ribet, dipotong biaya penutupan, dan menyita waktu banyak. Akibatnya saya tidak bisa mengejar kesempatan untuk mendaftar di Kandepag Kabupaten Bogor, mengurus surat kesehatan di Puskesmas dan Kantor Kepala Desa.

Pastikan bahwa yang difotokopi adalah halaman sampul buku tabungan, halaman pertama yang memuat nama dan keterangan kita, serta halaman yang menerangkan saldo terakhir kita. Walaupun di prosedurnya tidak diterangkan halaman berapa yang harus kita fotokopi tapi kita fotokopi saja yang saya terangkan di atas tadi. Untuk apa? Supaya lengkap dan tidak memberikan kesempatan petugas peneliti di Kandepag Kabupaten Bogor untuk menyuruh kita pulang.

Oh ya, dokumen yang harus saya bawa untuk membuka tabungan haji adalah cukup fotokopi KTP saja.

Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir/Ijazah masing-masing saya fotokopi. Walaupun di prosedurnya tandanya adalah garis miring yang berarti cukup salah satu saja namun saya fotokopi juga semuanya. Agar, lagi-lagi, supaya berkas kita tidak dianggap tidak lengkap.

Untuk Surat Pernyataan Bermeterai dari Kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Kecamatan maka terlebih dahulu Anda datang ke Kantor Kepala Desa sambil membawa meterai Rp6000, fotokopi KTP, fotokopi KK, serta surat keterangan atau pengantar dari RT dan RW. Untuk yang terakhir ini Anda bisa urus sendiri malam sebelumnya. Jalan pintas langsung datang ke Kantor Kepala Desa tanpa surat pengantar memang bisa tetapi itu tidak mendidik.

Untuk ke Kecamatannya Anda bisa uruskan ke petugas desa. Tetapi karena saya ingin cepat selesai saya sendiri yang akan datang ke Kantor Kecamatan. Biaya administrasi di Kantor Desa Rp20.000,00.

Saya datang ke Kantor Kecamatan dengan membawa fotokopi KTP, KK dan surat pernyataan tersebut. Langsung ditandatangani oleh salah satu Kepala Seksi yang ada di sana. Cepat dan tidak berbelit-belit. Biaya administrasinya sebesar Rp20.000,00 juga.

Jangan lupa setelah itu fotokopi surat pernyataan bermeterai tersebut sebelum kita serahkan ke Kandepag Kabupaten Bogor.

Oh ya, karena Puskesmas itu jam tutupnya adalah jam setengah 12 siang, maka sebelum ke kantor Kecamatan saya terlebih dahulu ke Puskesmas untuk meminta surat kesehatan. Cukup bayar Rp5000, antri sebentar, dan diperiksa ala kadarnya, tal…tul…, tal…tul… stetoskop, surat keterangan sehat sudah didapat. Ada pengecualian tentang datang lebih pagi ke Puskesmas. Mungkin karena datangnya siang malah antrian sudah pendek dan tidak banyak orang. Kalau pagi wuih…jangan dikira panjang antriannya. Setelahnya segera fotokopi saja surat kesehatan tersebut.

Kini tiba saatnya datang ke Kandepag Bogor. Siapkan mental karena di sana akan dilayani oleh sedikit petugas di sebuah ruangan yang sempit di Kandepag Kabupaten Bogor, tepatnya di ruangan Seksi Pelayanan Haji dan Umroh (kalau tidak salah karena saya sudah tidak ingat lagi).

Jangan membayangkan ruangan pendaftaran haji ini senyaman ruangan pelayanan di bank-bank atau Tempat Pelayanan Terpadu Kantor Pelayanan Pajak yang pernah Anda kunjungi. Ruangannya cuma 12 meter persegi yang penuh berkas tanpa petunjuk harus menghadap ke mana dan siapa terlebih dahulu.

Saya harapkan Anda datang ke sana pada pukul 09.00 sampai pukul 10.00 pagi. Lebih dari itu siap-siap saja berkas Anda akan ditolak dan disuruh datang lagi keesokan harinya. Karena petugas disana membatasi jumlah orang yang mendaftarkan haji cukup 35 pendaftar saja. Masalahnya ini berkaitan dengan proses pengambilan foto dan sidik jari yang memakan waktu bisa sampai lima jam lamanya.

Alhamdulillah berkas saya diterima walaupun saya datangnya pukul 12.30 WIB. Ini dikarenakan sedikit kengototan saya karena sudah disuruh pulang di hari kemarinnya. Ditambah sedikit kebaikan yang diberikan petugas di sana kepada saya.

Setelah mengisi formulir pendaftaran yang diberikan petugas—itupun sambil berdiri karena bangkunya sedikit dan ruangan sudah penuh orang—serta memeriksa kelengkapan berkas saya dan istri, saya disuruh petugas pergi ke koperasi untuk membayar biaya foto sebesar Rp60.000,00 dan setelahnya pergi ke ruangan pemotretan.

Nah di sini kesabaran diuji lagi karena petugas yang melayani kami pada sesi ini cuma satu orang. Kami menyerahkan kuitansi pembayaran dan berkas pendaftaran pada pukul 12.30 WIB, pemotretannya baru dilakukan pada pukul 15.15 WIB. Pengambilan sidik jari tiga perempat jam kemudian. Lalu kami menerima banyak lembaran foto berbagai ukuran dan CD-nya serta berkas pendaftaran ditambah dengan Surat Pendaftaran Pergi haji (SPPH) tiga rangkap pada pukul 16.15 WIB dari petugas pemotretan.

Dan kemudian balik lagi ke petugas yang memeriksa berkas kita di awal tadi. Berkas kita akan dicek kembali oleh petugas dan kita disuruh menyerahkan foto ukuran 1×1 yang tadi kita terima. Lalu mengembalikan dua rangkap SPPH kepada kita untuk diserahkan kepada bank dan satunya untuk kita arsipkan sendiri. Saya baru pergi dari Kandepag Kabupaten Bogor jam setengah lima sore.

Bersambung…

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09:52 26 Oktober 2009