SELALU ADA SENJA DI LAUT MERAH
Ada waktu senggang yang kami manfaatkan setelah ritual wajib haji telah tertunaikan yaitu rihlah ke berbagai tempat di Makkah dan sekitarnya. Yang akan sedikit saya ceritakan kali ini adalah Masjid Terapung di Jeddah. Sebenarnya bukan terapung begitu saja, tetapi masjid ini didirikan dengan tiang pancang pondasinya yang tertancap persis di pinggir Laut Merah. Sehingga ketika Laut Merah sedang pasang airnya maka masjid ini dikelilingi air dan seakan-akan mengapung di atas air laut.
Kami berangkat dari pondokan di Makkah jam dua siang melalui jalan lama Mekkah Jeddah. Karena katanya kalau melalui jalan baru nanti akan melewati pos pemeriksaan dan urusan akan ribet. Jarak Mekkah Jeddah melalui jalan lama sekitar 85-an kilometer.
Dalam perjalanan kami mampir dulu ke peternakan unta. Foto-foto bersama unta dan seumur hidup baru kali itu bisa mencium unta yang baunya “prengus” karena sejak lahirnya ia tak pernah mandi. Lalu beli satu botol susu unta murni yang nantinya akan saya sesali. Hu…hu…hu…
Ketua Rombongan sudah bilang untuk tidak langsung meminum susu itu. Dan itu sudah saya turuti. Karena bagi yang tidak cocok dengan susu murni seperti itu walaupun terasa gurih dan enak, isi perut bisa keluar semua.
Sampai di Masjid Terapung, kalau tidak salah sudah hampir jam 4. Shalat ashar di sana lalu menikmati pemandangan yang ada sambil menunggu maghrib tiba. Benar-benar tepat singgah di sana sewaktu sore. Tersajikan sebuah pesona alam yang sungguh indah dipandang mata.
Lengkungan kubah dan tiangnya, menara tinggi menjulang, angin yang menderu kencang, Laut Merah dengan ombak kecilnya, langit hitam, dan matahari senja yang hendak turun ke peraduan membuat hati saya tergetar. Subhanallah indahnya.
*Suasana senja di Masjid Terapung
*Pemandangan lain di sekitar Masjid Terapung
Saya tak dapat menggambarkan lagi apa yang saya rasakan di sana. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang didapat saat menikmati semuanya itu. Hasrat untuk memainkan kata-kata mulai timbul. Tapi sungguh hanya cuma terlintas dalam hati. Dan tak dapat tertuliskan sampai kemarin. Jika boleh, inilah huruf-huruf yang bisa terangkai hari ini.
selalu saja ada senja di setiap sudut
pun di laut merah
jika angin yang menerpa dan cahayanya melukis di wajahmu
akankah ada ufuk hanya untukku
langit hitam takkan menjadikanku hitam
tapi serinai siluetmu
menerobos kelalimanku
aku menjadi putih di merah hatimu.
**
Aduh biyunggg…tobaat…Cuma kata-kata itu yang bisa tertangkap. Banyak foto indah yang bisa dibuat. Tapi tak bisa saya unduh di sini. Paling di facebook. Insya Allah. Lihat saja di sana. Hanya sedikit ini.
-
Selalu ada senja di setiap sudut
*Salah satu sudut Masjid Terapung
-
Di mana-mana ada senja. Bolehkah aku gunting dan kulipat engkau di sakuku?
Setelah foto-foto, kami menikmati jagung bakar yang dijaja di sana. Penjualnya bisa memikat hati para pengunjung yang mayoritas orang Indonesia dengan sedikit kepintarannya berbahasa Indonesia. “Lima real…! Lima Real…!” Satu biji setara Rp12.500,00.
Setelah makan jagung bakar yang dibeli dan nasi kotak yang disediakan oleh Ketua Rombongan, adzan maghrib berkumandang. Saya mengambil air wudhu di toilet Masjid. Jangan bayangkan seperti di Masjidil Haram yang berlimpah air dan banyak WC serta krannya, di Masjid Terapung sarananya minim, kami harus antri panjang untuk sekadar mengambil air wudhu.
Ada yang membuat hati saya bergetar kembali. Bacaan imamnya itu indah sekali. Walaupun di saat maghrib itu penuh dengan jamaah namun saya membayangkan jika tidak di musim haji. Imam yang sudah sepuh itu memimpin segelintir jamaah di suatu maghrib, di tepi laut merah. Syahdu. Berasa seperti shalat maghrib atau shubuh di sebuah desa di pegunungan atau di puncak Bogor. Tiba-tiba saya membayangkan saya punya pesawat jet, maka sabtu atau minggu pergi dari tanah air untuk sekadar shalat maghrib di sana. Mustahil? Insya Allah tidak.
Setelah shalat maghrib, perjalanan rihlah dilanjutkan ke Masjid Qishosh, melewati air mancur setinggi 100 meter lebih, melewati pula makam Siti Hawa, dan berakhir di pusat perbelanjaan Corniche Commercial Centre, Balad. Beli apa di sana? Beli unta-untaan made in China buat Kinan dan keponakan. Unta-untaan itu kalau ditepuk langsung nyanyi: “Ya Thoybah…ya Thoybah…”. Di Jeddah, di Makkah, dan di Madinah harganya sama, 15 Real.
Tidak lama setelah itu kami pulang. Sampai di pondokan jam 11 malam. Dan berakhir sudah rihlah di hari itu.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
mana senjamu?
17.51 11 Desember 2011
Tags: hajj 2011, mekkah, madinah, jeddah, corniche commercial centre, siti hawa, masjid terapung,
wah Hikari juga punya unta-untaan itu, oleh-oleh dari kakeknya waktu pergi haji juga
bener bisa nyanyi Ya Thoybah..
tapi sekarang udah rusak 😦
kaki belakang sebelah kirinya patah krn jatuh dari atas meja komputer ke lantai, kesenggol pengasuhnya
LikeLike
GOod… ^_^ Semoga ada penggantinya segera dari ayahnya. Amin.
LikeLike
amin.
mohon doanya ya mas.. 🙂
LikeLike
Allaahummaj’alhu hajjan mabrura, wa sa’yan masykura, wa dzamban maghfuro…amin…
LikeLike
Ternyata saya beruntung (saya tak pernah merasa menyesal minum susu unta ..).krna saya bisa menikmati susu unta yang fresh itu dengan aman ..dan Alhamdulillah tidak berakibat apa apa .. enak enak ..enak !!!
LikeLike