Sebelum Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mewabah, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan panduan berjejaring sosial terbaru pada akhir 2019. Ini bukan soal panduan bijak bermedia sosial karena itu sudah lama dikeluarkan oleh institusi ini sebagai bentuk kehati-hatian menjaga jari 45 ribu lebih pegawainya.
Panduan ini berupa panduan mengelola jejaring sosial yang dikeluarkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-701/PJ.09/2019 tentang Pengelolaan Jejaring Sosial Direktorat Jenderal Pajak dalam Rangka Edukasi dan Kehumasan.
Seperti kita ketahui, penetrasi media sosial di Indonesia begitu dahsyatnya. Dari data We Are Social terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia pada Januari 2020. Ini berarti 64% dari penduduk Indonesia telah mendapatkan akses ke dunia maya. Yang lebih menarik lagi adalah terdapat 160 juta pengguna aktif media sosial dan tentunya jauh sekali dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang telah melaporkan pajaknya. Pada akhir Juli 2020 saja hanya sebesar 10,49 juta wajib pajak.
Ini berarti tantangan yang sangat besar dan peluang terbuka untuk mengedukasi publik secara massal, murah, dan tak terikat waktu, selama 24 jam dan 7 hari melalui jejaring sosial sebagai bagian dari media sosial.
Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang membuat pelayanan tatap muka kepada wajib pajak ditutup sebagian untuk sementara sehingga jejaring sosial menjadi kanal penyebaran informasi paling mangkus dan sangkil karena ke sanalah masyarakat mencari informasi layanan.
Oleh karena itu, mengelola jejaring sosial pun membutuhkan keseriusan dan perhatian lebih. Tidak bisa hanya ala kadarnya dan paruh waktu.
DJP resmi memiliki jejaring sosial berupa Twitter, Youtube, dan Facebook pada 2013. Sejak 2015, DJP mulai lebih serius menata jejaring sosialnya dengan melibatkan instansi vertikal sebagai pendengung, merambah Instagram, serta terpenting adalah learning by doing. Seiring dengan berjalannya waktu pengalaman semakin bertambah untuk menangani setiap permasalahan yang timbul.
Namun, sampai saat itu belum ada aturan mengenai pengelolaan jejaring sosial terkait jenis jejaring sosial apa saja yang mesti dimiliki oleh unit-unit vertikal, konten apa saja yang boleh atau tidak boleh diunggah, keseragaman nama akun, siapa yang bertanggung jawab apa, dan lainnya. Akibatnya adalah ketidakseragaman nama akun dan konten yang masing-masing unit vertikal bebas mengunggah konten apa saja. Tentu ini membuat wajib pajak bingung dan rawan terjadinya krisis reputasi.
Sampai akhirnya timbul kesadaran bahwa panduan dalam mengelola jejaring sosial itu penting adanya dan Direktur Jenderal Pajak waktu itu Robert Pakpahan pada Agustus 2019 memerintahkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat agar segera membuat panduannya. Sampai akhirnya pada pertengahan Desember 2019 beleid itu selesai dibuat dan mulai berlaku.
Tidak Ada Kata Terlambat
Adanya panduan pengelolaan jejaring sosial menjadi penting dan bisa diterapkan pada institusi pemerintah di luar DJP karena beberapa hal.
Panduan ini akan menjadi referensi utama buat organisasi dalam mengelola jejaring sosial. Setiap unit tidak perlu membuatnya dari awal, tinggal mengadopsi, dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi organisasi masing-masing. Sejalan dengan apa yang dikatakan Bacharuddin Jusuf Habibie, “Starting at the the end and finishing at the beginning.”
Selanjutnya panduan ini akan menjaga organisasi dan pelaksananya dari kemungkinan kesalahan unggah dan lain-lainnya karena konten secara berjenjang diverifikasi. Jejaring sosial organisasi bukan milik admin dan tim pengelola semata, melainkan milik institusi dengan kepala unit vertikal ikut bertanggung jawab dalam pengelolaannya.
Kepala unit vertikal tidak bisa diam saja atau tidak peduli karena jejaring sosial adalah wajah institusi. Kepala unit vertikal turut bertanggung jawab memanajemeni jejaring sosial sekaligus mengupayakan ketersediaan sumber daya manusia ataupun material menuju tercapainya tujuan pengelolaan jejaring sosial.
Di lingkungan DJP, jejaring sosial digunakan untuk menjaga muruah dan persepsi DJP yang baik di mata publik, meningkatkan pengetahuan perpajakan, serta mengubah perilaku masyarakat wajib pajak agar semakin paham, sadar, dan peduli dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Panduan ini juga sebagai bahan literasi untuk instansi pemerintah lain yang dapat disebarkan melalui buku cetak, buku elektronik, atau unduhan di situs web institusi masing-masing. Sepengetahuan penulis belum ada atau tidak banyak instansi pemerintah yang mendetailkan tugas pokok dan fungsi pengelolaan jejaring sosialnya ke dalam sebuah aturan.
Senada dengan Hariqo Wibawa Satria (2019) dalam bukunya berjudul Seni Mengelola Tim Media Sosial, 200 Tips Ampuh Meningkatkan Performa Organisasi di Internet dengan Anggaran Terbatas yang menulis, “…di banyak organisasi yang mengundang saya sebagai pemateri terkait media sosial, penekanannya lebih banyak pada individu. Maksudnya bagaimana bermedia sosial dengan bijak, tidak memproduksi hoaks, dan seterusnya. Jarang sekali penekanannya pada pembentukan tim media sosial.”
Panduan ini pun menegaskan jejaring sosial sebagai kanal untuk mengangkat konten kehumasan unit vertikal. Di dalam aturan internal pengelolaan situs web, DJP menghendaki hanya ada satu situs web sebagai saluran informasi kepada wajib pajak yaitu http://www.pajak.go.id. Unit vertikal di bawah tidak diperkenankan untuk membuat situs web karena rawan adanya informasi yang berbeda-beda untuk wajib pajak. Dengan adanya jejaring sosial itu, unit vertikal diperkenankan untuk mengembangkan konten kehumasannya yang tentunya juga harus sesuai dengan pedoman jenama (branding) DJP.
Terakhir, panduan ini merupakan implementasi kesehatan organisasi agar fungsi koordinasi dan kendali lebih terjaga. Aturan ini memberikan batasan yang jelas siapa harus melakukan apa, menjelaskan secara detail lingkup pekerjaan dan tugas masing-masing anggota tim sehingga tidak tumpang tindih, dan konten-konten apa saja yang boleh dan tidak boleh diunggah.
Ini semua memerlukan koordinasi dan sinergi yang baik antara kantor pusat dan unit vertikal. Dengan sebuah kesadaran bahwa satu sama lain saling membutuhkan dan bukan saling meniadakan. Kita ingin membuktikan sinergi dan koordinasi tidak menjadi barang mahal di negeri ini.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai mengelola jejaring sosial organisasi dengan benar asal ada niat, kesungguhan, dan senantiasa belajar dari kesalahan untuk perbaikan di masa depan.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
26 September 2020
Gambar dari previews.123rf.com
MAntabs. Semoga sukses selalu ya Pak.
LikeLiked by 1 person
Terima kasih banyak.
LikeLike