Seringkali aku lumpuh dalam kedigdayaan malam. Ia menghanyutkan kesendirian dengan kaki-kaki bulan yang meraba pelupuk jendela kamarmu dan masuk diam-diam tanpa permisi. Datang dan perginya menjejakkan purwaragam warna. Padamu. Padaku. Pada langit. Pada tanah. Pada keharuman. Pada rambutmu. Pada tawamu.
Kenyataan yang kutelan pahitnya adalah di setiap kangkangan malam itu, engkau menghilang pelan-pelan, mulai dari jemarimu yang pernah kusentuh dengan pandangan, membayang ribuan kupu-kupu, menjelma ribuan kupu-kupu. Terbang ke langit. Satu yang terakhir dari kupu-kupu itu menyempatkan diri menengok hitam mataku tanpa dasar.
Yang kubenci dari semua itu, pertanyaan siapa lagi yang akan meneduhi waktu tak bertepi, yang merindangi hari tanpa pori, yang memayungi melata di kemarau hati. Siapa? Maka huruf-huruf yang ingin abadi itu hanya punya satu musuh: tombol Delete yang kausentuh. Huruf itu tak akan bisa menjadi puisi, menjadi tentangmu, karena kau menghilang bersama ribuan kupu-kupu.
Di atas kertas sobekan kecil, dengan pinsil berujung tajam, ada yang tega melukai putihnya untuk sekadar berucap: aku satu kupu-kupu ketinggalan untuk mati.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
25 Agustus 2017
Gambar dari Pinterest.