Kisah Nyata Pegawai DJP: Dituduh Sebagai Calon Tersangka Korupsi dan Cukuplah Allah Sebagai Saksi


KISAH NYATA PEGAWAI DJP:

DITUDUH SEBAGAI CALON TERSANGKA KORUPSI

DAN CUKUPLAH ALLAH SEBAGAI SAKSI

 

Ini kisah yang dituturkan dari teman satu direktorat Gayus Tambunan pada tahun 2010. Saat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diterpa badai kecaman serta pemberitaan yang begitu telanjang dan tidak seimbang karena salah satu pegawainya melanggar kode etik.

Bagaimana rasanya ketika keluarga besarnya mengejek sinis setelah menyaksikan tayangan televisi yang menyebut-nyebut namanya sebagai atasan Gayus? Bagaimana rasanya diberitakan oleh salah satu televisi nasional sebagai “calon tersangka koruptor”? Bagaimana rasanya saat turun dari pesawat ia disapa oleh penumpang yang lain dengan pertanyaan: “Ibu atasannya Gayus?”

Kisah yang diceritakan dan ditulis sendiri oleh Ibu Dwi Astuti ini bisa dibaca dalam Buku Berbagi Kisah & Harapan 2: Bertahan di Tengah Badai yang diterbitkan oleh DJP di tahun 2011 lalu. Selamat membaca.

berkah2

Buku Berbagi Kisah & Harapan: Berjuang di Tengah Badai

 


Foto bersama keluarga, September 2013 (Album koleksi Ibu Dwi Astuti).

Dan Cukuplah Allah Sebagai Saksi

 

Aku ingin membuktikan, bahwa teman-temanku tidak perlu menyesal, orang tuaku tidak perlu menyesal, anak-anakku tidak perlu menyesal, suamiku tidak perlu menyesal mempunyai teman, anak, ibu, dan istri seperti aku.

**

Setengah malam telah terlewati ketika kakiku menginjak pelataran rumah. Sunyi. Seperti biasa semua penguni rumah sudah terlelap memeluk mimpi kecuali ibuku dan terkadang hanya suamiku yang masih terjaga menunggu.

Sekilas kucium pipi dan tangan ibuku, untuk selanjutnya bergegas memasuki kamar dan kupandangi wajah-wajah hartaku. Belahan jiwaku. Lembut kucium kening mereka satu persatu dan kubelai rambut hitamnya. Perlahan mata kecil kemerahan milik satu-satunya jagoanku mengerjap sedikit terbuka. Dan selanjutnya tubuh gempal itu sudah ada dalam pelukanku.

“Alhamdulillah Mami udah nyampe. Mami sehatkan?”

Tiba-tiba sakit tenggorokanku karena menahan tangis. “Iya sayang,” jawabku sambil perlahan berbaring tanpa kulepaskan pelukannya. Seakan tak ingin kulepaskan lagi selamanya.

Aneh memang, hanya dengan mencium keringat mereka, terbayar sudah kerinduanku dan kelelahan fisik akibat mengejar jadwal pesawat sepulang jam kantor agar tidak tertinggal.

Sejak kami hidup terpisah ribuan kilometer, terpisah lautan yang terbentang luas, anak laki-lakiku yang saat itu berumur delapan tahun menjadi sangat sensitif. Seringkali menangis tanpa sebab dan melamun dalam kelas. Berulangkali gurunya menelpon meminta agar aku membujuknya, bahkan hal itu kemudian ditulis dalam raport kenaikan kelasnya. Untuk itu kupaksakan pulang setiap jumat setelah jam kantor dan kembali minggu malam untuk menengoknya—walaupun untuk itu cukup menguras tabunganku. Untungnya tidak ada kesulitan jadwal pesawat pulang pergi dari Jakarta ke salah satu ibu kota provinsi di Kalimantan, tempat tugasku yang baru.

Episode 2007-2010

Bukan kehendakku kalau aku ditakdirkan menjadi pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan kemudian ditempatkan di direktorat yang sama dengan Gayus. Dan ketika akhirnya kebusukan Gayus diketahui publik, menyebabkan orang-orang disekitarnya terseret pusaran arus pemberitaan pers dan tekanan politik yang demikian bombastis. Salahkah kalau kemudian ketegaranku sebagai pegawai DJP menjadi goyah?

Tekanan demi tekanan yang kuterima sebagai “teman dekat” Gayus di tempat kerja sungguh kurasakan sangat tidak seimbang dengan apa telah aku lakukan untuk DJP. Egoku terusik, sedemikian marah karena aku merasa pimpinanku—tentu saja tidak semuanya, karena ada juga yang terang-terangan membelaku—tak berdaya menahan gempuran yang bertubi-tubi dari masyarakat terhadap kasus Gayus.

Aku merasa apa yang telah aku lakukan untuk DJP yang seringkali mengorbankan kepentingan pribadi dan keluargaku tidak dihargai sama sekali. Padahal tak sekalipun aku pernah menghitung waktu pribadiku yang tersita untuk pekerjaan kantor. Pulang malam dan masuk kerja di hari libur untuk mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan oleh pimpinanku yang mungkin orang lain enggan untuk mengerjakannya, bagiku tidak pernah jadi masalah.

Belum lagi kegiatan ekskul untuk menyalurkan gen narsisku yang “banci tampil”, sehingga kegiatan apapun—walaupun itu yang banyak menyita waktu dan asalkan itu bisa menjadi ajang berbagi
dan bermanfaat—kupastikan I’ll be there. Sehingga ada sebagian teman-temanku menjuluki sebagai selebritis, dan tentu saja itu kuanggap itu sebagai sebuah pujian daripada ejekan. Singkatnya aku cinta pekerjaanku!

Oleh karena itu secara pribadi aku sangat antusias ketika aku, sebagai atasan tidak langsung Gayus, kemudian diperiksa oleh tim pemeriksa internal DJP—walaupun untuk itu aku dan teman-teman mesti di nonaktifkan sementara. Aku ingin membuktikan bahwa aku yang pernah menjadi trainer kode etik, yang dulu juga ikut berjibaku saat proses modernisasi Kanwil Khusus bahwa “I have nothing to do” dengan apa yang telah dilakukan oleh Gayus. Bahwa aku, baik sebagai atasan tidak langsung Gayus atau dalam kapasitasku sebagai pejabat DJP, tidak pernah bekerja sama apalagi sampai menerima sesuatu apapun bentuknya dari Gayus atau dari siapapun yang terkait dengan dia. Aku ingin membuktikan, bahwa teman-temanku tidak perlu menyesal, orang tuaku tidak perlu menyesal, anak-anakku tidak perlu menyesal, suamiku tidak perlu menyesal mempunyai teman, anak, ibu, dan istri seperti aku.

Pemberitaan media massa yang sedemikian telanjang dan bertubi-tubi, sedikit banyak telah memengaruhi pandangan tetangga dan keluargaku. Aku yang memang seorang yang periang dan penuh percaya diri, tiba-tiba menjelma menjadi seperti seekor siput yang menyembunyikan kepalanya ketika berpapasan dengan orang lain dan kemudian perlahan berbalik arah, menjauh menghindari tatapan penuh tanda tanya.

Ada peristiwa yang memilukan yang sampai ini tidak bisa dilupakan. Aku terpaksa lebih dulu meninggalkan pesta perkawinan adik sepupu suamiku di kampung halaman. Ada beberapa keluarga besar yang mengejek sinis setelah menyaksikan tayangan televisi yang menyebut-nyebut namaku sebagai atasan Gayus. Belum lagi keponakan yang berumur tujuh tahun berteriak-teriak kegirangan karena nama bibinya ada di Metro TV, yang sayangnya bukan sebagai selebritis tetapi sebagai calon tersangka koruptor! Sungguh suatu keadaan yang merobek-robek harga diriku dan aku merasa percuma untuk membela diri karena itu hanya akan menambah kerumitan.

Saat aku izin pulang, sambil kucium tangan mertuaku aku hanya sanggup mengucapkan, “Percayalah Ayah, Mama, saya tidak seperti yang diberitakan, yakinlah pada suatu saat kebenaran pasti akan jadi pemenang.”

Tidak ada jawaban, yang sekilas kulihat mata mereka berkaca-kaca dan tentu saja aku tidak berani berlama-lama menatapnya. Bahkan hanya sekadar melambaikan tangan ketika aku melangkah meninggalkan mereka pun tidak aku lakukan.

Hari demi hari aku tetap bekerja seperti biasa dan rapat
masih berlangsung siang itu ketika handphoneku bergetar. Bagai petir di siang bolong, saat sms dari teman mengabarkan bahwa aku dimutasi ke luar pulau Jawa. Tak sanggup aku meneruskan rapat. Hilang akal sehatku. Aku menyelinap keluar dan menangis sebelum sempat kembali ke ruangan kerjaku. Tak sanggup aku melangkahkan kaki, sampai kemudian seorang teman membimbingku untuk bersembunyi.

Ternyata, walaupun sesuai hasil pemeriksaan aku dan teman-temanku dinyatakan tidak bersalah, namun aku dan temanku di mutasi ke luar Jawa tanpa ada pemberitahuan atau pembicaraan apapun dari pimpinanku. Tak sanggup rasanya membayangkan aku harus berpisah dengan anak-anakku. Apalagi ada dua anakku yang masih kecil, mereka masih sangat membutuhkan aku. Walaupun ketika aku di Jakarta, tidak setiap saat aku berada disamping mereka, tapi mereka tahu, bahwa aku ibunya akan pulang tiap hari untuk bersama mereka.

Namun setelah tangisku, jeritanku, gugatanku, kemarahan suamiku, tangis anak-anakku, nasihat sahabat-sahabatku aku mantapkan langkah menuju tempat kerja baru. Aku ingin buktikan bahwa aku tidak bersalah. Aku tidak ingin dikenang sebagai orang yang kalah sebelum berperang! Walaupun sejujurnya suamiku lebih menghendaki aku berhenti bekerja dan fokus mengurusi keluarga atau mencari pekerjaan lain. Masih jelas dalam ingatan bagaimana dengan lantangnya suamiku berkata bahwa DJP tidak akan runtuh hanya karena kehilangan aku seorang!.

Persimpangan

Lingkungan baru, suasana baru, teman baru, tugas baru tak juga membuat kemarahanku mereda. Tiga bulan pertama di sana aku masih sering diam-diam menangis di ruangan kerjaku. Bukan sekali dua anak buah dan teman temanku memergoki air mataku berderai mengingat buah hatiku yang aku tinggalkan.

“Kenapa Mami harus dinas jauh?”

“Kenapa Mami gak di Jakarta aja biar deket aku terus?”

“Kalo adek ketemu bos mami yang bikin mami pindah, biar adek pukul!”

“Mami aku sakit, pengen bobo dipeluk Mami.”

Oh Tuhan, hati ibu mana yang tidak hancur mendengar pertanyaan-pertanyaan anakku yang tidak pernah mampu aku jawab dengan baik. Belum lagi tanggung jawab suamiku di kantornya saat itu, menuntut untuk lebih sering dinas ke luar kota meninggalkan mereka.

Aku benar-benar bingung. Dalam kegamanganku, kusebar lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan yang sekiranya sesuai dengan kemampuanku. Dan akhirnya ada perusahaan asing yang cukup besar yang bersedia menjadi sandaranku ketika aku memutuskan untuk memilih meninggalkan DJP. Namun aku ingin menunggu sampai suasana benar-benar mereda sebelum aku meninggalkan DJP dan saat itu kuputuskan aku menunggu sampai akhir tahun 2010.

Namun entah mengapa, semakin lama kecintaanku pada DJP semakin besar. Di tempat kerjaku yang baru ternyata begitu banyak yang bisa aku lakukan. Andrenalinku terpacu setiap kali aku melakukan perubahan di sana. Semangat teman-teman di sana untuk maju mendorongku agar lebih banyak berbuat. Hari-hariku disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang bisa memberi motivasi dan kebanggaan bagi mereka walaupun jauh dari ibukota. Aku menjadi semakin realistis dan percaya, ternyata aku tidak sendirian. Ditambah lagi sahabat-sahabatku selalu memberikan motivasi dan pandangan-pandangan yang menyejukkan.

Kepercayaan diriku mulai tumbuh. Keceriaanku mulai kembali. Bahkan pada saat aku melakukan sosialisasi tidak kuhiraukan lagi bila ada Wajib Pajak yang mengenali namaku sebagai atasannya Gayus. Pernah suatu ketika aku turun dari pesawat dan masih di landasan pacu saat ada seseorang yang menghampiri dan menanyakan apakah benar aku atasannya Gayus. Oh My God, aku tidak habis mengerti dari mana dia bisa mengenali aku.


Keputusan

Akhirnya tiba waktuku untuk mengambil keputusan. Sungguh bukan suatu hal yang gampang. Hampir setiap malam kupanjatkan doa memohon petunjuk-Nya. Namun tetap saja aku bingung. Di satu sisi, naluriku sebagai ibu menuntunku untuk selalu dekat dengan anak-anakku. Di sisi lain, berat rasanya meninggalkan DJP yang selama ini telah membesarkan dan menjadikanku seperti ini.

Harus kuakui, berbagai tantangan di tempat yang baru telah membuka mataku. Berat ringannya pekerjaan yang kuhadapi ternyata tidak dapat dibandingkan dengan hasil yang telah aku peroleh. Aku telah menemukan arti “sekolah” yang sesungguhnya di sana. Di sekolah itu, aku belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin. Aku belajar bagaimana menjadi seorang anak buah. Aku belajar menjadi seorang guru. Aku belajar menjadi seorang murid. Aku belajar menjadi seorang kakak. Aku belajar menjadi seorang adik. Aku belajar menjadi seorang teman. Aku belajar menjadi seorang manusia. Sudah luluskah aku? Belum. Belum. Sekali lagi belum.

Dan akhirnya, dengan segenap keberanianku, kusampaikan pada suami dan anak-anak bahwa aku memutuskan untuk tetap menjadi pegawai DJP. Walaupun suamiku tidak menjawab, namun aku yakin jauh di lubuk hatinya ada kebanggaan dengan keputusan yang aku ambil.

Jangan Pernah Putus Asa Mencintai Indonesia

Kata-kata itu yang diucapkan Sri Mulyani Indrawati ketika ia menyampaikan pesan terakhirnya sebelum meninggalkan Indonesia menuju tugasnya yang baru di Washington D.C. Sungguh naif kalau kemudian aku membandingkan apa yang terjadi padaku dengan apa yang terjadi padanya saat itu.

Yang ingin aku sampaikan adalah begitu banyak pengalaman berharga yang membuat aku tidak putus asa mencintai Indonesia, mencintai DJP. Kusadari sekarang, sekecil apapun itu, aku tetap ingin menjadi bagian dari serakan energi besar mewujudkan DJP yang bersih dan berwibawa. Aku tetap ingin menjadi bagian sejarah membangun kembali puing-puing kepercayaan masyarakat terhadap DJP yang sempat porak poranda.

Ya Allah izinkan aku dan cukuplah Engkau yang menjadi Saksi…

***Emel AsD***

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11 Agustus 2014

9 thoughts on “Kisah Nyata Pegawai DJP: Dituduh Sebagai Calon Tersangka Korupsi dan Cukuplah Allah Sebagai Saksi

  1. Yang lebih menderita daripada Ibu di DJP banyak bu, jadi gak usah lebay… Lagian, Ibu bukannya udah di Jakarta… gimana kalo kita numpang curhat juga di sini…

    Like

  2. Siapa yg memperbaiki hubungannya dg Allah.., Allah akan memperbaiki hubungannya dg mahluk…
    # perlakukan manusia sebagaimana kita ingin di perlakukan.. (HR muslim)

    Like

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.