Kisah Nyata Pegawai DJP: Dituduh Sebagai Calon Tersangka Korupsi dan Cukuplah Allah Sebagai Saksi


KISAH NYATA PEGAWAI DJP:

DITUDUH SEBAGAI CALON TERSANGKA KORUPSI

DAN CUKUPLAH ALLAH SEBAGAI SAKSI

 

Ini kisah yang dituturkan dari teman satu direktorat Gayus Tambunan pada tahun 2010. Saat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diterpa badai kecaman serta pemberitaan yang begitu telanjang dan tidak seimbang karena salah satu pegawainya melanggar kode etik.

Bagaimana rasanya ketika keluarga besarnya mengejek sinis setelah menyaksikan tayangan televisi yang menyebut-nyebut namanya sebagai atasan Gayus? Bagaimana rasanya diberitakan oleh salah satu televisi nasional sebagai “calon tersangka koruptor”? Bagaimana rasanya saat turun dari pesawat ia disapa oleh penumpang yang lain dengan pertanyaan: “Ibu atasannya Gayus?”

Kisah yang diceritakan dan ditulis sendiri oleh Ibu Dwi Astuti ini bisa dibaca dalam Buku Berbagi Kisah & Harapan 2: Bertahan di Tengah Badai yang diterbitkan oleh DJP di tahun 2011 lalu. Selamat membaca.

berkah2

Buku Berbagi Kisah & Harapan: Berjuang di Tengah Badai

Baca Lebih Lanjut

Advertisement

3 HARI


3 HARI

    Tiga hari diberi tugas untuk menjadi anggota tim penyunting Buku Berbagi Kisah (Berkah) 2 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di sebuah hotel di bilangan Tanah Abang membuat saya semakin tahu kalau di DJP itu banyak penulis yang berbakat. Buktinya ada salah satu dari mereka yang tiga tulisannya lolos dari empat lebih kriteria penilaian yang telah disepakati oleh tim penilai dan editor. Termasuk kredibilitas kesehariannya di kantor. Luar biasa.

    Penilaian ketat itu membuat banyak juga tulisan yang memperoleh nilai tinggi di seleksi pertama namun gagal di seleksi berikutnya. Seperti karena temanya yang tidak unik atau hampir sama dengan tulisan lain yang berada dalam satu kelompok besar tema. Atau gagal dalam seleksi terakhir seperti penilaian keseharian di kantornya. Tulisannya memang bagus tetapi di kantor kerjanya enggak beres atau sering bolos, mohon dimaafkan kalau tulisannya memang tidak akan pernah bisa lolos.

    “Tidak adakah ruang untuk konfirmasi, klarifikasi, dan pertobatan di sini?” tanya saya pada forum. Jelas ada untuk dua yang pertama tetapi yang ketiga sepertinya tak memungkinkan dikarenakan buku ini diharapkan sebagai cerminan nyata dari para penulis. Jadi tak sekadar bisa menulis tapi sejalankah antara omongan atau tulisan dengan perbuatan atau integritasnya.

    Di tiga hari itu saya jadi tahu juga kalau tak banyak dari para penulis itu yang menulis bersih tanpa turun tangan dari para editor. Hatta masalah penggunaan kutipan buat kalimat langsung banyak yang tidak tahu. Di sinilah pentingnya tim penyunting untuk membereskan masalah itu. Tak sekadar itu jika memang diperlukan tim penyunting bisa memangkas tulisan hingga separuhnya.

    Pun, di tiga hari itu saya menemukan sebuah tulisan bagus. Tim juri juga memberikan nilai yang tinggi. Dan semua sepakat bahwa tulisan itu memang layak masuk. Karena keindahan bahasanya, alurnya, dan gaya penceritaannya. Tetapi ketahuan juga kalau itu cuma fiksi. Duh, sayangnya.

    Di tiga hari itu bahkan saya menemukan sebuah tulisan yang lebih bagus lagi. Dan ini bisa menutupi kekecewaan sebagian dari kami karena cerita yang cuma fiksi itu. Tulisan bagus yang biasa saya temukan di kolom oh mama oh papa dari majalah Kartini. Saya sampai merinding saat membaca dan mengeditnya—kebetulan saya yang ditugaskan untuk menyuntingnya.

Dan saya semakin tahu bahwa sebuah tulisan yang dibuat oleh seseorang yang mengalami langsung dari peristiwa pokok yang diungkap dalam tulisannya itu jelas lebih indah dan lebih bagus daripada tulisan yang dibuat dari orang yang hanya sekadar membayangkan saja. Padahal ia bukanlah seseorang yang menjadikan menulis sebagai kesenangannya. Salut buatnya. Tabik.

Di tiga hari itu yang terpenting lagi saya mendapatkan banyak hal lain. Seperti semangat menulis yang ditularkan dari Asma Nadia, bagaimana cara mengedit dari Mbak Nanik Susanti, dan cerita tentang integritas luar biasa dari pegawai pajak yang sudah 30 tahun mengabdi dan tidak mau disebut namanya itu.

Terakhir, dari sekian banyak kalimat kuat yang disampaikan Asma Nadia ada yang menggugah saya: “Jangan sampai ketidaksempurnaan tulisan itu menjadikan Anda berhenti untuk menulis.” Maka, ini sebuah nasehat buat saya dan mereka yang ingin menulis yaitu jangan pernah sekali pun untuk berhenti menulis sampai akhir nafas kita.

**

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

ada saya atau tidak ada saya, jangan pernah berhenti untuk menulis

00.14 – 16 Oktober 2011

    Gambar diambil dari sini.