KINAN FATHIYA


KINAN FATHIYA

Image069

00.55

Bayi itu akhirnya lahir juga. Aku menitikkan air mata. Ada perasaan bahagia menggumpal dalam dada. Tapi itu bukan anakku, dan bukan pula anak istriku. Bayi itu anak dari pasien lain yang sama –sama bersalin di rumah inap Bidan Rokhaniyah. Aku merasa lega mendengar tangisan bayi itu. Beberapa saat sebelumnya hanya terdengar teriakan ejan dari ibunya yang berusaha dengan keras mengeluarkan sang penerus kehidupan dari rahimnya.

Tapi di ranjang ini, istriku masih saja dengan rintihannya menahan rasa sakit dan mulas yang teramat luar biasa. Sudah empat jam lamanya proses induksi ini berjalan. Dan belum ada tanda-tanda kepala calon bayi sudah turun menuju mulut rahim. Pula belum ada tanda-tanda ejan sebagai awal dari sebuah persalinan. Masih bukaan tiga kata Ibu Bidan.

“Allohukariim, sakit banget, Bi…” kata istriku. Tetesan air mata itu jatuh.

“Sabar, ayuk shalawat. Abi sudah berdoa kepada Allah. Abi yakin IA tidak memberikan beban yang tidak sanggup Abi untuk memikulnya. Itu berarti semua itu bisa Umi lalui. Abi yakin Umi bisa. Sebentar lagi tidak akan lama,” ujarku panjang memberikan kata-kata positif. Walaupun dalam hati yang paling terdalam ada resah mengganjal dan kesedihan karena tak tega melihat penderitaannya.

Aku yakin Allah akan memudahkan semuanya ini. Karena selama ini aku telah meminta pada-Nya. Apatah lagi 50 menit sebelumnya aku telah mengirimkan sms kepada banyak orang sholeh untuk ikut serta mendoakan istriku. Beberapa diantaranya membalas dengan segera. Bahkan ada salah satunya memberikan saran kepadaku untuk membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas masing-masing tiga kali ditambah dengan surat Al-Fatihah. Lalu meniupkannya ke dalam segelas air, meminumnya dan mengusapkannya ke muka dan perut istriku. Semua SMS dan balasannya sudah cukup membuatku tenang. Tinggal Allah memilih dari jalan mana doa itu dikabulkan.

“Sabar ya Mi, istighfar, shalawat…” aku masih menenangkannya sambil mengusap-usap punggungnya. Kantuk beratku yang semula ada kini sudah lenyap.

02.00

Ibu Bidan sudah selesai membersihkan dan merapihkan ruang persalinan yang baru saja dipakai oleh pasien yang tadi. Kini tinggal memindahkan istriku dari ruang rawat inap ke ruang itu. Aku memapahnya sambil menggeser tiang infus ke dalam ruangan. Erangan bercampur dzikir semakin kencang keluar dari mulut istriku.

“Sudah bukaan delapan. Cepat sekali. Tapi jangan ngeden dulu yah,” pinta Ibu Bidan saat kembali memeriksa istriku.

“Aduh, Bi…sakit banget. Lama sekali sih. Enggak tahan sakitnya ya Allah,” erang istriku.

“Iya Mi tenang, sebentar lagi. Ayo nyebut. Umi bisa.”

02.18

“Jangan ngeden dulu Bu, masih belum lengkap,” kata Bu Bidan sambil melepas sarung tangannya. “Coba miring ke kiri, supaya mempercepat turunnya kepala ke bawah.”

Istriku kembali memiringkan badannya ke kiri dibantu olehku. Tapi beberapa saat kemudian ia langsung merintih. “Enggak Bu…udah enggak kuat nih sakitnya,” katanya sambil berusaha untuk merubah posisinya menjadi terlentang. “Mau ngeden nih Bu, mau ngeden…!”

“Jangan, masih lama…”

“Enggak Bu. Sakit…!”

Bu Bidan segera melihatnya dan ternyata betul tanda-tanda kelahiran sudah terlihat sekali. Bu Bidan yang masih belum siap dibantu asistennya segera menyarungkan sarung tangan karet itu kembali. Sedang aku masih dalam posisi memegang tangan istriku.

“Eh iya betul nih, ayo coba ngeden. Ya…ya..ya….sebentar lagi. Tarik nafas,” teriak Bu Bidan menyuruh istriku. “Sekali lagi!”

Istriku berteriak. Kencang sekali. “Aaaaaaaaaaaaaa…..!!!”

02.20

Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat sosok makhluk kecil berambut hitam lebat keluar dari rahim istriku. Merah. Berlendir. Menangis.

“Aaaaaaaaaa….!!!” teriak Istriku walaupun bayinya sudah keluar. Ia merasa harus berteriak sekencang-kencangnya. Barulah ia terdiam ketika aku memberitahu padanya bahwa bayinya telah lahir.

“Perempuan,” kata Bu Bidan.

“Alhamdulillah. Bu Bidan maaf ya saya sampai berisik begini,” ujar istriku yang masih terengah-engah.

02.25

Allohuakbar…! Allohuakbar…!

Dengan tersedu-sedu kukumandangkan adzan pada telinga kanan anakku yang sedang berbaring di dada istriku. Allohukariim. Aku bahagia sekali atas nikmat yang Ia berikan kepada kami.

Syukurnya pula aku tidak pingsan pada saat itu. Padahal rekam jejak yang aku punya kalau melihat proses yang berdarah-darah seperti itu maunya pingsan melulu. Seminggu sebelumnya saat aku melihat proses menjahit luka di jari jempolku akibat cutter, tubuh sudah berkeringat dingin, perut mual, kepala pusing, mata berkunang-kunang, walaupun tidak sempat pingsan karena tindakan yang diambil dokter cepat sekali.

Ya, aku berusaha menguatkan diriku. Karena tidak ada siapa-siapa disamping istriku pada malam itu. Tumben juga Bu Bidan tidak menyuruh aku keluar sebagaimana ia pernah menyuruh aku pada saat persalinan anak keduaku enam tahun lalu.

***

Lalu kusebut ia bidadari kecilku itu:

Kinan Fathiya Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Riza Almanfaluthi

di antara 49 cm dan 3,5 kg.

09 08 2008

Advertisement

10 thoughts on “KINAN FATHIYA

  1. selamat akh,
    saya baca sambil menitikkan air mata, membayangkan bagaimana perjuangan seorang wanita antara hidup dan mati demi melahirkan bayi yang insya Allah akan berjuang di jalanNya…
    semoga menjadi penyejuk mata bagi kedua orang tuanya…

    jadi ingat istri di rumah hiks

    Like

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.