Buku Puisi


Saya tak percaya diri menuliskan ini.

Suatu ketika saat saya masih di Tapaktuan, saya berlari pagi dengan jadwal yang ditetapkan di hari Minggu. Jam enam pagi waktu Tapaktuan masih gelap. Saya bergegas untuk pemanasan. Lalu tak lama saya sudah menyusuri jalanan yang sepi itu. Menyusuri beberapa toko dan warung kopi di pinggir jalan dengan mewangi biji kopi yang sedang dimasak, menaik di tanjakan tebing, dan menyusuri pantainya.

Dan pada sisi jalan yang terbuka dengan bibir pantainya yang dekat dengan jalanan itu, lari saya selalu melambat. Saya selalu tak bisa memalingkan pandangan dan pendengaran dari ombak dan derunya yang tak pernah habis. Di saat itu pace saya menurun. Hela dan hembus nafas menjadi terdengar lebih kencang, semata benar-benar untuk mengusir sepi yang menerkam. Tapi saya kembali sadar untuk segera menyelesaikan semua yang telah dimulai. Apa yang dimulai, pantang untuk kembali.

Segera ketika finis, saya minum air banyak-banyak, masak-masak ala kadarnya, dan mengambil buku untuk segera trans dan masuk ke eskapisme yang lain. Kini, saat ini, di kota yang tak pernah tidur ini, buku tetap menjadi eskapisme saya. Apa yang dimulai, pantang untuk diakhiri di tengah jalan. Halaman buku ini mesti diselesaikan semuanya. Tapi itu bukan buku puisi.

Kalau yang terakhir ini, saya hanya bisa berujar:

“Nanti tolong, buku puisi yang kaupinjam itu, kembalikan lagi kepadaku, dengan seluruh judul dan isi puisi di sana kauganti semua dengan namamu.”

 

***
Dedaunan di ranting cemara
Riza Almanfaluthi
Citayam, 15 Juli 2017

Pandai Besi di Sebuah Desa



Ada sebuah rutinitas yang mesti saya kerjakan malam ini. Freeletics Kentauros. Saya sudah menginjak ronde ketiga. Ada burpees yang mesti saya lakukan sebanyak 40 repetisi. Dengan keringat yang mengurapi sekujur tubuh, pada itungan kesebelas, ketika dada dan hidung saya menempel lantai, tiba-tiba saya berhenti. Saya tak kuasa mengangkat tubuh. Otak saya memerintahkan sekujur tubuh untuk diam dengan menyungkurkan wajah di lantai sepenuhnya. Ini lama sekitar satu menit.

Ada benang-benang, kunang-kunang, berang-berang, musang, kukang, cupang, belalang, teripang, kijang, dan congcorang memenuhi batok kepala. Ah, konotasi lagi. Denotasi setengah konotasinya adalah seperti ketika kita diajak berbicara oleh orang lain dan kita pun serius menyimaknya lalu tiba-tiba pandangan kita beralih ke tempat lain dengan kosong. Lalu ada logika saya yang menjadi Che Guevara. Ayo revolusi. Lalu saya bangkit dan menyelesaikan tuntas sampai repetisi terakhir.

Saya jadi teringat satu kalimat Haruki Murakami dalam What I Talk about When I Talk About Running. Begini kalimatnya: “Aku hanya seperti pandai besi di sebuah desa yang dengan tekun melakukan pekerjaannya.” Izinkan malam ini di tengah deru suara kereta api yang melaju ke selatan di kegelapan untuk menambahkan beberapa kalimatnya.

Aku hanya seperti pandai besi di sebuah desa, yang dengan tekun melakukan pekerjaannya. Mengumpulkan logam gelora, arang kayu kehilangan, daun hijau harapan, dan pecahan kaca ingatan. Menempa logam itu dengan godam bisu dan pemalu, membakarnya dalam api pertanyaan yang menjulang-julang. Sembari melirihkan selembar doa yang putih. Bening. Cahaya. Wangi.

Jadilah ia bilah pedang puisi untuk membelah jiwa yang sembunyi.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Pinggir kali, 14 Juli 2017.

Di Resto



di resto yang melati
berteman pahit kopi
aku menunggu puisi,
ia tak juga ke sini

lalu kumenunggu
di satu bangku taman
tempat ia termangu,
tak pula kelihatan

hari hampir pagi
ia datang pelan-pelan
kupanggil ia lari
aku tinggal sendirian

di kolam renang mimpi
ia sedang bersembunyi
sembari merenangi
air matanya sendiri .

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
pinggir kali, 13 Juli 2017

Di Bawah Bayang


Seringkali aku belajar pada puisi, ia guru yang sabar mengajariku cara menempatkan gerimis yang ritmis dan jatuhnya rindu di sela-sela dedaunan pohon mangga.

​Paling jauh aku diminta puisi,  guru yang sederhana, untuk memilih, membongkar-pasang, menghapus deretan kata-kata atau sekadar baiknya menaruh titik dan koma.

​Tapi dari semua itu, aku bisa belajar pada puisi, guru yang rendah hati dan tahu bagaimana cara terindah menyembunyikan mahaduka di sela-sela rerimbunan kata.

 

​***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Lantai 16, 11 Juli 2017

Percakapan Bubuk Kopi



kita memesan dua gelas kopi instan kepada ibu pedagang minuman di depan stasiun itu sambil melihat lalu lalang, untuk bersama menikmati butiran pahit dan menyesali gula-gulanya.
​tapi kita tahu tak ada yang kebetulan dari semua persuaan ini serupa percakapan bubuk kopi dan panasnya air di suatu gelas, kini, agar waktu tak cepat pulang ada yang terus mengiba.

:​tenggelamlah ke dasar gelas, bercengkerama dengan ampas, dan kembalilah lekas-lekas.

 

​***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Stasiun Cawang, 10 Juli 2017

Di Bawah Pohon Mati


​Senja melolong perih kepada awan gelap yang ikut merintih saat satu burung terbang hinggap di dahan pohon mati yang memeluk senyap di Tarangire. Burung yang nanar menatap perempuan di bawah pohon itu masih memungut satu-satu gumpalan perih yang tercecer dari jantung sedihnya, berdegup kencang, dan berwarna darah. Terus berharap merupa angin untuk kembali menganyam waktu-waktu yang telah lewat. Ia tak berhak menjadi namanya, menjadi dirinya.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 7 Juli 2017

Tempat Keduanya Membanjir


aku membenci kenangan
karena itu akhir sebuah perjalanan

aku membenci renjana
karena itu awal jarak yang menjelma

lebih-lebih,
aku membenci syair-syair
tempat keduanya membanjir

aku penyair

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 6 Juli 2017

Sebermulanya Kau Dipelukku


​Perempuanku,
sebermulanya kau dipelukku
aku akan mendaku
engkau segala
untuk kuberi bahagia
engkau pelita
untuk kutaruh cahaya

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 5 Juli 2017

Burung-burung Nebraska


sebelum ke utara
di setiap musim semi
burung- burung tinggi
datang ke Nebraska,
sewaktu

sesudah masa isya
di setiap musim mimpi
bayang-bayangmu kembali
terbang di kepala,
selalu

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 4 Juli 2017

Pelangi di Atas Brooklyn


 

di antara celah mega mendung
bidadari kecil turun dari surgawi
menaiki gerimis lembayung
mampir di kota tak pernah sunyi

selendangnya bertaburan puisi
berisi pesan wangi kesturi
sehelainya menyentuh pipi
membawa kenanganku pergi

 

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 2 Juli 2017