Ada sebuah rutinitas yang mesti saya kerjakan malam ini. Freeletics Kentauros. Saya sudah menginjak ronde ketiga. Ada burpees yang mesti saya lakukan sebanyak 40 repetisi. Dengan keringat yang mengurapi sekujur tubuh, pada itungan kesebelas, ketika dada dan hidung saya menempel lantai, tiba-tiba saya berhenti. Saya tak kuasa mengangkat tubuh. Otak saya memerintahkan sekujur tubuh untuk diam dengan menyungkurkan wajah di lantai sepenuhnya. Ini lama sekitar satu menit.
Ada benang-benang, kunang-kunang, berang-berang, musang, kukang, cupang, belalang, teripang, kijang, dan congcorang memenuhi batok kepala. Ah, konotasi lagi. Denotasi setengah konotasinya adalah seperti ketika kita diajak berbicara oleh orang lain dan kita pun serius menyimaknya lalu tiba-tiba pandangan kita beralih ke tempat lain dengan kosong. Lalu ada logika saya yang menjadi Che Guevara. Ayo revolusi. Lalu saya bangkit dan menyelesaikan tuntas sampai repetisi terakhir.
Saya jadi teringat satu kalimat Haruki Murakami dalam What I Talk about When I Talk About Running. Begini kalimatnya: “Aku hanya seperti pandai besi di sebuah desa yang dengan tekun melakukan pekerjaannya.” Izinkan malam ini di tengah deru suara kereta api yang melaju ke selatan di kegelapan untuk menambahkan beberapa kalimatnya.
Aku hanya seperti pandai besi di sebuah desa, yang dengan tekun melakukan pekerjaannya. Mengumpulkan logam gelora, arang kayu kehilangan, daun hijau harapan, dan pecahan kaca ingatan. Menempa logam itu dengan godam bisu dan pemalu, membakarnya dalam api pertanyaan yang menjulang-julang. Sembari melirihkan selembar doa yang putih. Bening. Cahaya. Wangi.
Jadilah ia bilah pedang puisi untuk membelah jiwa yang sembunyi.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Pinggir kali, 14 Juli 2017.