GALAU VLADIMIR DONOMAKH


Vladimir Donomakh, seorang muallaf Rusia lagi semangat-semangatnya untuk menekuni dan mendalami syari’at Islam, agama yang dipeluknya tiga bulan lalu. Ia sering bertanya apa saja kepada imam masjid kota Toronto dan para imigran muslim lainnya. Ia bertanya tentang bagaimana tatacara sholat yang baik, tentang haji—sebuah perjalanan spiritual yang diidam-idamkannya, tentang puasa di bulan ramadhan, zakat dan masih banyak yang lainnya.
Tidak sekadar bertanya, setiap ada amalan baik yang dianjurkan dalam agama mulia itu dan ia tahu walaupun sedikit ia langsung mengamalkannya dengan sebaik-baiknya. Ia tahu ia harus beribadah sebanyak mungkin untuk menutupi kesia-siaan hidup 30 tahun yang ia lalui tanpa adanya sebuah kebenaran.
Tidak hanya dengan ilmu syariat yang ia pelajari, ilmu hati pun ia tekuni. Bagaimana ia harus belajar untuk mengendalikan lisan dan hatinya agar tidak terkotori oleh titik-titik dosa. Malam-malamnya ia lalui dengan tahajjud dan tangisannya kepada Allah. Mengharapkan dan merindukan surga-Nya dan takut akan neraka-Nya.
Ia tahu—dari hasil konsultasinya dengan saudara-saudara seiman lainnya—bahwa rasa harap dan takut ini merupakan dorongan yang sangat penting untuk melakukan berbagai amal shalih dan menjauhi berbagai keburukan. Dan ia tahu, ia harus tetap menjaga keseimbangan keduanya dalam hati dirinya.
Rasa takutnya tidak boleh terlalu dominan sehingga menimbulkan rasa putus asa dari rahmat Allah yang merupakan karakter orang-orang kafir belaka. Sebaliknya rasa harap tidak boleh terlalu dominan sehingga menimbulkan rasa aman dari balasan (siksa) Allah yang merupakan karakter utama dari orang-oang yang merugi.
Ia tahu betapa Alqur’an sarat penggambaran berbagai bentuk janji berupa kenikmatan abadi surga bagi orang-orang yang beriman dan ancaman kedahsyatan siksa neraka bagi manusia-manusia yang tidak mengimaninya. Berkenaan dengan kenikmatan akhirat dan siksanya, tidak hanya berhenti sampai di situ saja tetapi juga meliputi janji dan harapan yang berkaitan dengan kebaikan dunia.
Inilah yang ia pahami betul tentang kesempurnaan Islam dalam membahas kenikmatan dunia dan akhirat karena sebelum masuk Islam ia mencari kebenarannya pada ajaran Yahudi dan Nasrani. Pada ajaran Yahudi balasan yang didapat bagi orang-orang yang taat dan tidak taat secara umum bersifat material murni duniawi dan hampir tidak ada yang bersifat moral dan ukhrawi.
Sedangkan dalam ajaran Nasrani menawarkan kebalikannya yaitu bersifat spiritual dan hampir tidak ada balasan lain yang bersifat material, psikologis, sosial dan yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.
Sedangkan di ajaran barunya ini ia menemukan—sebagaimana dibaca dalam Alqur’an dan kitab-kitab hadits terjemahan yang ia pinjam dari sahabatnya—bahwa balasan dalam Islam sangat beragam dan menyeluruh, yaitu meliputi balasan-balasan duniawi dan ukhrawi, spiritual dan material, individu dan sosial, psikologis dan moral, baik dalam aspek dan ganjarannya.
Maka dari semua yang ia pelajari itu ia mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa seseorang hamba Allah hanya mempunyai tugas di bumi ini untuk beribadah kepada Allah. Agar diterima ibadahnya itu maka harus dengan niat ikhlas karena-Nya. Bila dinilai ikhlas Allah akan memberikan kepadanya ganjaran pahala atau kebaikan langsung di dunia. Bila tidak adalah sebaliknya ancaman dan murka Allah di dunia atau di akhirat.
Maka beribadahlah Vladimir Donomakh dengan seikhlas-ikhlasnya untuk Allah semata agar ia mendapatkan ganjaran spiritual berupa keridhaan Allah kepada dirinya dan pemberian pahala, kebaikan yang tak ternilai seperti keindahan surgawi, ganjaran duniawi seperti pelipatgandaan harta karena ia dermawan dan sering menginfakkan sebagian hartanya. Dan ia meninggalkan semua larangan Allah karena ia takut murka-nya.
Tiba-tiba di suatu saat, di inbox emailnya, ia mendapatkan sebuah peringatan keras dari beberapa teman satu halaqoh tarbiyahnya yang kebanyakan dari Arab Saudi, Mesir Sudan dan Yaman, yang mengatakan bahwa semua pelaksanaan ibadah dan penjauhan segala larangannya itu sia-sia belaka karena tidak semata mengharap ridha-Nya Allah ta’ala. Teman-temannya tahu itu karena ia sering bercerita tentang kekagumannya pada agama ini dan tata cara ibadahnya.
Membaca peringatan keras dari temannya ia shock, risau, galau, terkejut, dan merasa bingung. Serta khawatir pula bahwa ibadah yang ia lakukan sia-sia belaka. Ia tidak mau mengulangi kesia-siaan yang ia lakukan selama masa jahiliyahnya itu. Maka ia siapkan sebuah pertanyaan dengan tanda tanya besar yang akan ia ajukan kepada ulama yang ia tahu kapasitasnya sebagai ulama dunia.
Bolehkah saya, Muhammad Usammah atau Vladimir Donomakh, melakukan sebuah amal dengan prinsip beramal karena mengharap pahala Allah atau karena takut siksa-Nya?
***
Para pembaca yang budiman, jujur, baik hati, dan tidak sombong, jikalau Anda diberikan pertanyaan seperti ini jawaban apa yang bisa Anda berikan untuk menghilangkan kegalauannya? Sebagai teman dekat dan peduli terhadap Vladimir Donomakh Anda akan segera mencari referensi-referensi yang ada atau bertanya kepada ajengan-ajengan (ulama) yang memang dikenal luas karena keilmuannya.
Dan bisa jadi jawabannya akan seperti ini:
Ada dua kelompok yang menentang prinsip beramal seperti itu, yaitu kelompok filosuf dan kelompok sufi.
Kelompok filosuf moralis dan idealis ini menyerukan pelaksanaan kewajiban karena kewajiban itu sendiri, tanpa memandang hasil-hasilnya, baik bermanfaat atau tidak, tanpa melihat iming-iming atau ancaman. Mereka mengecam akhlak agama karena ia mengaitkan pelaksanaan kewajiban dengan kemanfaatan, sekalipun berupa kemanfaatan ukhrawi. Alasannya adalah bila mengharap semua itu akan memecah belah manusia, akrena kemanfaatannya merugikan orang lain.
Sedangkan kelompok sufi berlebihan menentang orang yang melakukan amal perbuatan dan meninggalkan keburukan atau menaati Allah karena mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya atau karena mengharap sorga-Nya dan takut akan neraka-Nya. Mereka berkata, janganlah kamu menjadi hamba yang buruk; jika takut ia beramal, dan jangan pula menjadi seperti kuli yang buruk jika tidak diberi upah tidak mau bekerja. Kaum sufi melihat sebuah kecacatan dalam cintanya pada Allah bagi manusia yang beriman dengan mengharap surga dan neraka-Nya. Manusia ini adalah manusia yang egois.
Para pembaca sekalian Anda pasti pernah mendengar bait syair terkenal dari Rabi’ah al ‘Adawiyah berikut ini:

mereka semua beribadah karena takut neraka
menganggap keselamatan darinya keberuntungan besar
atau masuk surge kemudian mereguk kenikmatan dan minum jahe
bagiku tak ada bagian di surge dan neraka
aku tidak mengharap balasan bagi cintaku
Titik tolak dua kelompok ini berbeda, kelompok pertama bertolak dari keduniawian semata sedangkan kelompok kedua titik tolaknya adalah keagamaan.
Bantahan untuk kelompok pertama ini adalah sebagai berikut:
1. mengabaikan tabiat manusia dan kecenderungannya kepada sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan bagi manusia cepat atau lambat , di dunia ataupun di akhirat.
2. Mendapatkan keuntungan merupakan bagian dari komposisi fitrah yang diberikan Allah kepadanya. Tetapi hendaknya keuntungan yang diharapkan oleh orang yang melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan itu di atas manfaat material, individual, dan duniawi yaitu ridha-Nya Allah. JIka Allah ridha kepada Vladimir Donomakh karena ia ikhlas mengerjakan amal kebaikan maka Allah akan memberikan kepadanya kebaikan yang lebih banyak lagi dunia dan akhirat.
3. Kebanyakan manusia untuk bisa bergerak dan beramal masih memerlukan dorongan atau ancaman.
Demikian untuk kelompok yang pertama.

Sedangkan bantahan untuk kelompok sufi, sebagian ulama kaum muslimin menganggap bahwa ungkapan tersebut sebagai kebodohan. Karena tidak ada salahnya jika seseorang beribadah kepada Allah karena mengharap pahala-Nya dan takut akan siksa-Nya. Para ulama tersebut berhujjah (argumen) dengan ihwal para nabi, rasul dan orang-orang saleh yang mendapatkan pujian Allah dalam Alqur’an karena rasa takut mereka terhadap neraka dan pengharapan mereka akan surga.

Alqur’an dan sunnah sarat dengan pujian kepada para hamba-Nya dan wali-Nya yang meminta surga dan meminta perlindungan dari neraka. Karena saking banyaknya dan keterbatasan tempat saya tidak bisa memberikan contohnya di sini. Para pembaca bisa membaca kitab-kitab hadits terkenal atau seperti kitab Riyadhus Shalihin yang ditulis oleh Imam Nawawi atau Kitab Targhib wa Tarhib Imam Al-Mundziri dan akan menemukan banyak sekali contohnya.

Banyak lagi hadits-hadits yang menyatakan: “Barangsiapa melakukan ini atau itu maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.” Ini semua adalah dorongan untuk mendapatkannya dan agar hal tersebut menjadi motivasi beramal. Karena itu, bagaimana mungkin beramal untuk mendapatkan semua itu dianggap cacat, padahal Rasulullah sendiri mengajurkannya.

Allah senang dimintai, bahkan Dia marah kepada orang yang tidak pernah meminta kepada-Nya, sedangkan permintaan yang paling besar ialah surga dan permintaan perlindungan yang paling besar adalah neraka. Jika hati sepi dari mengingat surga dan neraka maka ini akan melemahkan tekad dan tidak kuat motivasinya.

Seandainya hal ini tidak dianjurkan oleh Pembuat Syari’at niscaya Dia tidak akan menjelaskan gambaran surga dan neraka kepada para hamba-Nya secara rinci agar mereka segera beramal dan menjauhi larangan. Dan selebihnya diberikan gambaran globalnya agar manusia rindu kepada surga dan mendorong manusia untuk mendapatkanya.
Ibnul Qayyim berpendapat moderat di tengah-tengah kaum sufi dan ulama yang membantah kaum sufi tersebut. Pendapatnya kurang lebih demikian (saya sampai harus membacanya berulang kali dan pelan-pelan untuk bisa mendapatkan hakikat dari perkataan ulama besar ini):
Bahwa kita senantiasa mengharap surga-Nya Allah sebagai balasan dari amal-amal baik yang kita lakukan dan sebagai rahmat Allah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Surga itu tidak semata-mata buah-buahan, pepohonan, sungai-sungai susu dan madu, bidadari, dan istana-istana gemerlap. Surga itu pun berarti sebuah kenikmatan yang tiada tara, kenikmatan yang luas, terbesar, dan sempurna.
Yang di antara kenikmatan tersebut adalah memandang pada yang telah menciptakan diri manusia dan seluruh makhluk itu sendiri, yaitu Allah swt. Memandang dengan penuh cinta, ketakjuban dan melupakan semua kenikmatan yang tengah mereka nikmati. Demikian pula neraka. Siksaan berupa tidak melihat Allah, siksaan berupa murka-Nya, dan dijauhkan dari-Nya adalah lebih berat ketimbang jilatan api yang membakar jasad mereka.
Kalau saya bahasakan dengan yang bahasa lebih sederhana adalah sebagai berikut: untuk orang sufi realisasi cinta yang hakiki adalah melihat Allah SWT dan itu adalah sebuah kenikmatan. Itu adalah surga. Lalu mengapa menolak surga dengan mengatakan tidak ada bagiannya di surga. Kalau demikian ia menolak untuk melihat yang dicintanya. Sedangkan bagi yang menyanggah kaum sufi dikatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kenikmatan surga berupa makan dan buah-buahan atau semua yang telah digambarkan Allah dalam Alqur’an tidak seberapa nilainya bila dibandingkan dengan nikmat memandang wajah Allah Yang Maha Mulia.
Demikian.
Setelah mendapat jawaban ini Anda perlu dengan pelan tapi jelas dan gamblang menjelaskan semuanya ini Vladimir Donomakh. Insya Allah ia akan memahaminya dengan baik. Tak mengapa ia beramal untuk mengharapkankan surga-Nya, pahala Allah, kebaikan di dunia dan akhirat sebagaimana yang telah di janjikan-Nya atau karena takut dengan siksa-Nya asalkan satu hal saja asal ia ikhlas karena Allah ta’ala.
Vladimir Donomakh, malam itu ia tak lagi galau, ia tidur nyenyak setelah mendapatkan jawaban ini dari Anda.
Allohua’lam bishshowab.

Catatan kecil:
Lalu bagaimana dengan orang yang sudah niat ikhlas karena Allah tapi ia juga ingin disebut sebagai dermawan, syahid, dan ‘ulama, maka sesungguhnya ini adalah riya (sudah tercampur dengan kesyirikan). Maka amalnya tertolak. Sudah jelas bahwa pujian manusia itu adalah bukan janji kebaikan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beramal.
Imam Asysyahid Hasan Al Banna berkata:
“Yang kami kehendaki dengan ikhlas adalah bahwa seseorang al-akh muslim dalam setiap kata-kata , aktivitas, dan jihadnya, semua harus dimaksudkan semata-mata untuk mencari ridha Allah dan pahala-Nya, tanpa mempertimbangkan aspek kekayaan, penampilan, pangkat, gelar, dan kemajuan, atau keterbelakangan. Dengan itulah ia menjadi tentara fikrah dan aqidah, bukan tentara kepentingan dan ambisi pribadi.”

Maraji’:
Pembagian kelompok antara filosuf dan sufi itu berasal dari Kitab: Seleksi Hadits-hadits Shahih tentang Targhib dan Tarhib: Menganjurkan Amal Kebaikan dan Memperingatkan Amal Keburukan, Al-Imam Al-Mundziri, Jilid 1. Diseleksi, diulas, diteliti derajat haditsnya oleh: Dr. Yusuf Qaradhawy, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Robbani Press, September 1996.
Maraji’ yang kedua adalah Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Jilid 2, Intermedia, Maret 1998.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di rangting cemara
12:59 14 Nopember 2007

MENGELUHKU TENTANG HUJAN


Pagi itu cuaca mendung, langit hitam tidak membiarkan mentari pagi memberikan secercah sinarnya pada bumi. Saya sudah berpikir bahwa biasanya kalau Citayam sudah gelap, berarti di Jakarta juga sama akan turun hujan. Dan saya melihat ke langit utara, betul sama gelapnya. Saya sudah menyiapkan mantel yang kugantungkan di buntut motorku. Saya tidak ingin kehujanan masuk ke kantor seperti dulu saat saya meremehkan alam dengan mengatakan, “ah, paling hujannya sebentar.”
Saya sudah terlambat lima menit dari kebiasaan berangkatku setiap paginya. Apalagi tangki motorku kosong, maka saya harus mampir dulu ke kios penjual bensin untuk mengisi bensin barang satu atau dua liter. Sudah barang tentu ini akan memperlambat perjalanan lagi. Ditambah kalau benar-benar hujan dengan ban sudah hampir gundul dan jalanan Jakarta yang tidak bisa diprediksikan kemacetannya saya tidak akan bisa melajukan kendaraan dengan cepat. Hati saya sudah deg-degan. Khawatir terlambat.
Dan betul tidak lama kemudian, hujan turun walaupun baru rintik-rintiknya. Saya harus menepi untuk memakai mantel hujan. Ini pun memakan waktu. Setelah selesai memakainya, saya pun kembali melanjutkan perjalanan ke kantor. Saya baru teringat bahwa walaupun saya memakai mantel tapi mantel ini belumlah mampu untuk menahan air hujan yang amat deras masuk membasahi pakaian saya. Kalau gerimis-gerimis saja sih Insya Allah mantel itu mampu melindungi saya dari kebasahan.
Dengan situasi seperti itu saya memasrahkan diri pada Allah dan cuma bisa berdoa pada-Nya, “Ya Allah, kalaulah engkau menghendaki bahwa pagi ini hujan, turunkanlah hujan. Namun sampaikanlah aku ke tempat tujuan tepat waktu, tidak terlambat, dan janganlah membuat pakaianku basah kuyup.” Saya tidak meminta-Nya untuk tidak menurunkan hujan, karena saya pikir hujan adalah rahmat Allah yang sangat dibutuhkan buat masyarakat yang air sumurnya tidak bisa dipompa karena sudah kering kerontang.
Sambil tetap fokus, berhati-hati mengendarai motor saya ini, dan memikirkan hal lain, tidak terasa perjalanan saya sudah sampai di Tanjung Barat. Saya baru sadar kalau saya sendiri yang memakai mantel hujan. Saya baru sadar juga kalau cuaca tidak semendung di Citayam. Tercetuslah dari mulut saya, ”Ya Allah kok tidak jadi turun hujan, kenapa enggak sekalian saja menurunkan hujannya. Saya kan sudah berhenti dan capek-capek pakai mantel hujan.” Saudara-saudara, saya ngedumel, mengeluh, dan kecewa pada-Nya hanya gara-gara saya sudah terlanjur memakai mantel hujan dan ternyata tidak jadi hujan.
Tidak lama kemudian saya tersadar dari kekhilafan saya. Saya ini harusnya sadar bahwa doa saya ternyata telah benar-benar dikabulkan Allah. Ya betul, doa saya benar-benar dikabulkan-Nya karena saya masih punya waktu yang cukup untuk sampai ke kantor dan yang paling penting lagi baju saya tidak kehujanan.
Saya geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan saya ini, “dasar manusia, lupa kalau doanya dikabulkan, lupa kalau sudah diberi nikmat banyak, lupa pada yang memberi, bisanya cuma mengeluh doang. Oh my God, sungguh terlalu Anda.”
Sejenak saya merenung. Saya mengakui kelalaian saya, dan saya cuma bisa berharap Allah mengampuni saya dan memasukkan saya ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur.
Seorang penyair Arab berkata:
betapa seringnya kita meminta kepada Allah
bila kita dirundung penderitaan
tapi kita segera melupakan-Nya, begitu derita itu hilang
bila berada di lautan, kita memohon agar Dia menyelamatkan kapal kita
bila kita kembali mendarat dengan selamat, ktia mengingkari-Nya
kita terbang di langit dengan aman dan nyaman
dan kita tidak jatuh karena pelindung kita adalah Allah.

Seorang teman menasehati saya ketika saya berjumpa dengannya saat menanti kumandang iqamat sholat Ashar dan menceritakan padanya tentang kebahagiaan saya di bulan ramadhan, dengan sebuah nasehat: “banyak-banyaklah bersyukur.”
Nasehat biasa dan pendek-pendek saja tapi subhanallah menghunjam sekali di hati saya hingga Ashar itu seperti Ashar di ramadhan lalu. Indah nian…
Teman, dan Anda para pembaca sekalian, ajaklah saya menjadi bagian dari Anda, bagian dari orang-orang yang selalu mensyukuri nikmat-Nya. Ajaklah saya selalu.
***

Syair di atas bisa dibaca pula di: Don’t be Sad: Cara Hidup Positif Tanpa Pernah Sedih & Frustasi, Dr. ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni, MA, hal. 473, Edisi Revisi, Maghfirah Pustaka

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
lantai tiga kalibata
09:49 pagi 26 Oktober 2007

KUHADIAHI DIA DENGAN CIUMAN GANASKU


Di saat pulang kerja, atau pulang dari mana saja, atau di saat apapun, dan di saat kerinduan saya merayap ke sekujur tubuh pada anak-anak saya, maka seringkali saya meminta pada anak-anak saya untuk berkumpul setelah mereka mencium tangan saya.
“Haqi, Ayyasy ke sini! Abi bawa hadiah nih,” teriakku kepada mereka berdua. Mereka kalau sudah mendengar kata ‘hadiah’ girangnya bukan main.
“Hadiah apaan Bi?” tanya si bungsu, Ayyasy, yang biasanya paling antusias. Iya, dia yang paling duluan merebut kantong plastik hitam yang biasa tergantung di stang motorku kalau saya pulang dari kantor. Kayaknya dia seneng banget kalau ada saja yang dibawaku.
Kali ini tidak ada kantong plastik hitam itu. “Hadiahnya adalah cium abi dong,” jawabku. Serempak mereka berdua berkata, “yahhhh….” Walaupun demikian mereka tetap menciumku. Caranya adalah saya menyodorkan pipi kanan saya kepada mereka lalu mereka mencium pipi saya itu. Lalu menyodorkan pipi kiri saya dan mereka melakukan hal yang sama. Terakhir saya akan mencium bibir mereka masing-masing. Tapi, sejak Haqi sudah kelas dua, Ia sudah tidak mau lagi dicium bibirnya oleh saya. Geli kali…Untuk Ayyasy kuhadiahi dia dengan bonus ciuman ganasku pada pipinya, karena pipinya yang tembem itu loh, menggemaskan.
Di saat saya memberikan hadiah yang sebenarnya kepada mereka atau membawa oleh-oleh untuk mereka, maka seringkali saya meminta kepada mereka untuk menciumku. Setelah itu terasa ada kebahagiaan pada diri saya. Indah nian…
Dan tidak lupa pula saya selalu menanyakan sesuatu kepada mereka setelah kami saling berciuman, “Haqi, Ayyasy, sayang Abi enggak? Mereka akan menjawab serempak: “sayang.” Terkadang si Haqi menyeletuk dengan jawaban ini: “Enggak sayang.”
“Bener nih? Kalau enggak sayang Abi tak akan kasih uang jajan loh,” tanyaku. Dan biasanya Haqi akan menjawab: “Eh iya…iya Haqi sayang Abi.” Saya cuma tersenyum mendengar jawabannya itu.
Lagi-lagi setelah itu terasa ada kebahagiaan pada diri saya. Indah nian…
Saya merasakan setidaknya ini menjadi pelipur dari ketidakdekatan kami secara kuantitas karena saya harus berangkat kerja sebelum mereka bangun tidur dan pulang ke rumah saat maghrib telah menjelang.
Ciuman untuk mereka menurut saya adalah hadiah immaterial terbaik dari saya untuk mereka. Sebenarnya tidak hanya ciuman bisa kita berikan kepada mereka sebagai hadiah immaterial-nya, bisa pula berupa pujian, dekapan, membacakan buku cerita, main game bersama, mendongeng, menjawab segala pertanyaannya, atau ke masjid bersama-sama.
Ciuman untuk mereka bagi saya adalah upaya kecil saya menjalin kedekatan jiwa dengan anak melalui sentuhan kasih-sayang. Rasulullah Saw. biasa mencium putri dan cucunya. Bahkan terkadang Rasulullah Saw. turun sejenak dari mimbar untuk mencium cucunya Al-Hasan dan Al-Husain yang datang berlari kepadanya. Rasulullah Saw. juga pernah menggendong Umamah—cucunya dari Zainab binti Rasulullah Saw.—sedangkan beliau melakukan shalat.
Ciuman untuk mereka menurut saya, mengutip dari Muhammad Fauzil Adhim, adalah upaya kecil saya untuk bisa belajar—sekali lagi saya dalam proses belajar—menerapkan positive parenting. Apaan tuh? Intinya sih bagaimana menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita. Memangnya kita selama ini tidak baik kepada mereka? Memangnya ada orang tua yang jahat pada anaknya? Wuiihhh…di dunia yang sudah seperti daun kelor ini karena saking tidak ada batasnya, sudah sering kita mendengar kekejaman dan kebuasan yang dilakukan orang tua pada anak-anaknya. Tak perlu saya ceritakan di sini, cukup Anda, para pembaca, membaca dan mendengar dari media massa dan elektronik di setiap harinya.
Ciuman untuk mereka bisa juga menjadi sebuah kiat mengatasi kerewelan anak sebagaimana telah saya baca sebuah ceritanya dari Ibu Yana di Karet Kuningan, Setiabudi Jakarta Selatan berikut ini:
Saya kadang dibikin repot sama anak kedua saya, Himmah. Ia agak lain dari kakak dan adiknya. Mungkin karena ia anak tengah. Kata orang, anak tengah selalu ingin tampil beda. Bedanya, Himmah lebih bawel bin rewel dari kakak dan adiknya. Karena kerewelannya, sejak bayi hingga sekarang berusia empat tahun, Himmah tidak pernah jatuh dari tempat tidur. Tiap kali bangun tidur, ia selalu memberikan pengumuman. Bunyinya sederhana, tapi kencangnya luar biasa. “Huwaaaaaaaa!!!!”
Di usia empat tahun ini, saya seperti sudah terbiasa dengan Himmah. Ada kiat khusus buatnya, terutama kalau lagi rewel. Kalau rewelnya hampir mencapai maksimal, saya langsung memeluknya. Saya cium pipinya yang kiri, kemudian yang kanan. Setelah itu, saya cium juga dahinya. Setelah selesai, saya bilang sama Himmah, “Mah, Umi sudah cium kamu. Sekarang, kamu cium Umi, ya!” Nah, kalau Himmah mau membalas ciuman saya maka ia bisa menghentikan rewelnya untuk beberapa saat. Mana mungkin bisa nyium sambil rewel. Saya yakin, kerewelannya berbanding lurus dengan posisinya di tengah. Dan, cara itu memang efektif. Ngiri, kali!
Ciuman untuk mereka bagi saya adalah upaya kecil saya agar Allah senantiasa mengekalkan rasa kasih sayang dari hati saya, sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: Suatu saat Rasulullah saw mencium cucunya. Seorang pembesar bernama Aqra’ bin Habis At-Tamimi melihatnya, lalu berkomentar, ”Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satu pun dari mereka yang pernah kucium.” Rasulullah saw lalu menjawabnya dengan ungkapan yang fasih, ”Apa dayaku bila Allah telah mencabut kasih-sayang dari hatimu!”
Yah, sekali lagi ciuman adalah penuntasan kerinduan saya kepada mereka. Walaupun bagi orang lain bisa jadi hal itu merupakan hal yang biasa dan sepele, bagi saya, ia adalah hal yang amat luar biasa dan berkesan bagi saya.
Dan ungkapan sayang mereka ibarat alunan seruling yang mengalun meritmis di sela-sela bukit-bukit dan lembah-lembah di tatar Pasundan. Indah dan menghanyutkan.
Pembaca, ciumlah anak-anakmu, rasakan kebahagiaan itu sebagaimana kebahagiaan yang saya rasakan. Semoga keindahan itu pun akan dirasa…

Maraji’:
1. Dan Anak Kita Penulis: Tim Buah HatiSumber: alhikmah.com, Senin, 28 Oktober 2002;
2. Promoting Attachment (Mohammad Fauzil Adhim), keluargamuslim.com, Kamis, 23 Januari 2003;
3. Kiat Mengatasi Anak Rewel, Ummigroup, Rabu, 25 September 2002

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
03:35 24 Oktober 2007

SEKEHENDAKMU, UMMI!


Sore itu, dalam perjalanan pulang dari kantor menuju rumah, menyusuri jalan rindang penuh rerimbunan pohon, di jalan setapak Kampus Universitas Indonesia.
“Alhamdulillah, Ummi bersyukur punya suami kayak Abi,” bisiknya meningkahi deru motor.
“Syukurnya kenapa?”tanyaku penasaran. Maklum pembicaraan ini seumur-umur baru terdengar.
“Jangan geer yah…”tegasnya padaku.
“Insya Allah enggak.”
“Syukurnya Abi tidak banyak menuntut macam-macam. Kayak menghalangi Ummi untuk dibina dan membina.”
“Ah masak?”
“Betul kok…”
“Emang ada contoh yang menghalangi istrinya untuk itu?” tanyaku lagi. “Banyak,” jawabnya sambil menyebut nama salah seorang dari ustadz kami.
“Sebenarnya satu saja bagi Abi untuk membiarkan Ummi tetap menjalani apa yang Ummi kehendaki. Itu ‘kan komitmen awal kita sebelum menikah bukan? Masak lupa sih?”
“Terus apa lagi?” tanyaku lagi tentang kesyukuran dia memilikiku.
“Ummi enggak masak, Abi tidak marah.”
“Karena dalam biodata Ummi ‘kan sudah jelas ditulis tidak bisa masak, ya Abi pasrah saja. Nrimo apa adanya. He…he…he….”
“Ada lagi?” tanyaku.
“Cukup itu saja dulu.”
“Kayaknya banyak deh yang harus Ummi banggakan dari diri Abi ini,” kataku.
“Iya sebanding pula dengan kelemahan yang ada pada diri Abi,” tukasnya.
“He…he…he…tahu saja Ummi sih…” jawabku sambil tersenyum.
***
Pembicaraan di atas motor tadi adalah sarana paling efektif yang sering kami lakukan untuk bisa saling memahami. Di atas motorlah, di sepanjang perjalanan pulang, kami membicarakan apa saja yang bisa kami bicarakan sampai tuntas untuk membunuh rasa jenuh saat melintasi jalanan dengan rute yang sama dari hari ke hari. Tapi terkadang kami sibuk dengan pikirannya masing-masing, terutama kalau dalam perjalanan pergi ke kantor di pagi hari. Sehingga bisa jadi tanpa sepatah katapun saling terucap. Tidak mengapa.
Ada pertanyaan buat kami, mengapa pembicaraan itu tidak dilakukan ketika sampai di rumah ketika kita semua sudah dalam keadaan tubuh yang segar dan sedang istirahat? Jawabannya adalah bahkan kalau di rumah sepertinya kami tidak bisa berkomunikasi dengan efektif karena selalu diganggu oleh anak-anak dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Sehingga seringkali kami memanfaatkan waktu yang ada di manapun berada untuk berkomunikasi dengan efektif. Dan di atas motor itu adalah salah satu cara terbaik bagi kami walapun terkadang dengan suara yang harus dikeraskan karena sering ditingkahi oleh deru kendaraan yang lain.
Dalam majalah Safina No. 1/ Th II Maret 2004 ditulis tentang pentingnya komunikasi buat pasangan suami istri.
Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga Islam adalah komunikasi dan dialog yang intensif dan sehat antara suami istri. Pada saat ini tidak jarang terjadi adanya sumbatan komunikasi diantara pasangan suami istri. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal itu, misalnya kesibukan kerja, terlampau letih dan lain-lain. Bahkan karena begitu sibuk dan letihnya, ada pasangan bertatap mukapun tidak sempat. Sebagai akibatnya, tentu saja mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan komunikasi satu dengan lainnya.
Komunikasi yang hambar biasanya mengakibatkan hubungan kemesraan menjadi berkurang. Bahkan tidak jarang menimbulkan ketegangan dan terjadilah perselisihan, kalau sudah begini suami istri akan mengalami penderitaan. Sangat disayangkan apabila hubungan yang hambar ini terjadi pada keluarga muslim yang dibangun dalam rangka beribadah kepada Allah. Diperlukan pengertian yang mendalam dari kedua pasangan agar komunikasi dapat berjalan secara kontinyu.
Tidak ada yang menjamin bahwa saat kita sudah merasa sekufu, satu agama, sama-sama ngaji, sama-sama aktifis dakwah, setara, sama, cocok, dan percaya seolah-olah semua urusan rumah tangga akan beres. Padahal, banyak pasangan gagal meneruskan bahtera rumah tangga mereka karena kurang peduli dengan urusan komunikasi seperti ini.
Dengan komunikasi di atas motor itulah saya bisa tahu apa yang diinginkan oleh istri saya, bagaimana perasaan saya pada saat itu terhadapnya atau sebaliknya. Dan adanya keterbukaan yang terjalin pada saat itu tanpa ada yang ditutup-tutupi. Hingga terbentuknya rasa kerinduan di hati saat ia tidak membonceng di belakang saya karena ia pulang duluan.
Saya senantiasa berharap komunikasi yang senantiasa kami jalankan di setiap harinya, dengan cara kami sendiri itu, bisa menyadarkan kami betapa komunikasi itu sangatlah penting untuk bisa saling memahami. Dengan pemahaman itulah saya harapkan dia bisa mengerti apa yang aku kehendaki dari dirinya dan sebaliknya, hingga saya bisa berkata pada dirinya: “Sekehendakmu saja, Ummi!”

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
01:59 09 Oktober 2007

KARENA SA’D BERDOA


Suatu hari salah seorang sahabat Rasulullah, Sa’d bin Abi Waqqash, berkata pada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, doakan saya agar saya menjadi orang yang senantiasa dikabulkan doanya oleh Allah.” Lalu Rasulullah berkata: “Wahai Sa’d, Perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya.”
Dan Allah mengabulkan doa Rasulullah SAW. Sepeninggal Rasulullah, saat Sa’d menjadi Gubernur Kufah di Irak pada masa pemerintahan Umar bin Khatthab ia diadukan oleh warganya kepada Khalifah yang berada di Madinah. Dengan sebuah pengaduan bahwa ia tidak beres saat menjadi imam sholat mereka.
Sahabat Umar tidak serta merta mempercayai pengaduan itu, karena ia tahu benar tentang kemuliaan akhlak Sa’d. Ia mengutus beberapa sahabat terpercayanya untuk mengecek kebenaran laporan tersebut. Berangkatlah beberapa sahabat dari Madinah menuju Kufah. Sampai di sana mereka langsung bekerja melakukan investigasi dengan mendatangi masjid-masjid yang ada di Kufah.
Para ahlul masjid saat ditanya tentang Sa’d maka mereka menjawab bahwa Sa’d adalah orang yang adil dan mereka senantiasa mendoakan kebaikan untuk Sa’d. Hampir semua masjid di kota Kufah berpendapat yang sama tentang Sa’d. Terkecuali satu masjid yang berbeda dan salah satu jama’ahnya berdiri dan berkata:
“Tentang Sa’d, Wallahi, dia adalah orang yang tidak adil, tidak merata dalam pembagian ghanimah, dan tidak pernah pergi bersama pasukannya.”
Mendengar perkataan orang tersebut, Sa’d langsung berdiri dan berkata: “Ya Allah, jikalau orang ini berbicara secara dusta, riya’ dan ingin pamer, maka panjangkanlah umurnya, kekalkanlah kefakirannya, dan tetapkanlah atas dia fitnah.”
Seorang perawi meriwayatkan ia melihat orang yang didoakan oleh Sa’d itu betapa panjang umurnya. Alisnya menjulur hingga menutupi kedua matanya karena tua rentanya. Pekerjaan orang itu hanya menghadang para gadis di jalan-jalan kota Kufah, seraya menggoda mereka, dan berucap: “aku adalah orang yang tidak tahu diri karena do’a Sa’d.”
Subhanallah, Sa’d menjadi orang yang senantiasa dikabulkan doanya oleh Allah SWT. Karena ia makan dari makanan yang halal. Maka salah satu syarat agar doa kita senantiasa dikabulkan oleh Allah adalah demikian.
Pernah merasa betapa banyak doa yang kita panjatkan tetapi tak satu pun jua yang terkabul? Ini bisa menjadi sarana muhasabah bagi kita sendiri, bahwa ternyata: “makanan yang halal—baik dzat dan cara memperolehnya—menjadi tolok ukur diterimanya doa dan seluruh ibadah kita”, kata Imam Ibnu Katsir. Begitu pula sebaliknya.
Sebuah perenungan memerangkap kesenyapan dan menjadikannya lebih senyap karena saya sedang berfikir: “Akankah saya seperti Sa’d? Semoga apa yang selalu Allah kabulkan kepada saya bukanlah sebuah pembiaran. Ampunilah aku ya Allah.”
***
“Seorang laki-laki yang telah berkelana jauh dengan rambutnya yang kusut masai dan pakaian yang penuh debu, ia menengadahkan tangannya ke langit sambil berdo’a; ‘Ya Allah, ya Allah’, sedang makanannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan dibesarkan dengan makanan haram, bagaimana Allah akan mengabulkan do’anya itu”. (HR Muslim).
“Janganlah salah seorang dari kamu mengatakan; ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki, rahmatilah aku jika Engkau menghendaki’, tetap hendaklah berkeinginan kuat dalam permohonannya itu karena sesungguhnya Allah tiada sesuatu pun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu.” (HR. Abu Dawud).

Maraji:
1. Cambuk Hati, ‘Aidh Al Qorni
2. Makanan Haram, Ummu Fathin, Republika, 19 Mei 2006

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:35 02 Oktober 2007

MUMPUNG DIA DEKAT


Saya ingin jadi orang baik. Saya ingin jadi tetangga yang baik buat tetangga-tetangga saya. Saya ingin agar Allah tidak memberikan beban yang sungguh tidak sanggup saya untuk memikulnya. Saya ingin menjadi bagian dari golongan orang-orang yang senantiasa ikhlas, bisa menjaga lidahnya dari perkataan-perkataan buruk dan menyakitkan.
Saya ingin agar Allah memberikan saya pandangan yang jelas agar tampak kebenaran itu adalah kebenaran dan kebatilan itu adalah kebatilan. Pun saya ingin agar Allah memberikan saya hati yang sensitif terhadap kebenaran, mata yang mudah menangis, dan kekuatan untuk bangun di tengah malam. Meminta pada-Nya, mengadu pada-Nya, untuk menuntaskan segala hajat dan permasalahan dunia dan akhirat saya.
Saya ingin agar Allah memberikan saya kesehatan, juga kepada istri dan anak-anak saya. Agar Allah memberikan hidayah-Nya kepada bapak saya. Agar Allah melapangkan kubur ibu saya. Dan mengampuni mereka, serta mengasihi mereka sebagaimana mereka mengasihi saya di waktu kecil.
Saya ingin agar Allah memberikanku kekayaan yang berkah lalu menjadikan saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mensyukuri nikmat-Nya. Saya ingin Allah menjadikan anak-anak saya sholeh, pintar, dan cerdas. Dan menjadikan mereka pejuang-pejuang agama-Nya.
Saya ingin agar Allah menetapkan saya untuk tetap komitmen di jalan “menyeru” ini. Juga agar Allah senantiasa memberikan bimbingan kepada para pendukung dakwah di manapun mereka. Agar cahaya Islam ini tetap benderang di segala penjuru.
Saya ingin agar Allah tidak menimpakan malapetaka dan bala kepada saya dan keluarga saya. Dan saya ingin agar khadimat saya mau lagi untuk tinggal bersama kami selama bertahun-tahun ke depan. Dan semoga Allah senantiasa memudahkan kehidupan saya dan keluarga di tahun-tahun mendatang.
Dan saya selalu berharap Allah mematikan saya dalam syahid. Selamat dunia dan akhirat. Serta berkumpul dengan istri, anak-anak, dan keluarga serta orang-orang yang beriman lainnya di Jannah Firdaus-Nya.
***
Semua yang saya ungkapkan di atas itu adalah sebagian kecil dari permintaan saya kepada Allah Yang Maha Pengabul Permintaan dalam setiap panjatan doa dan keluh kesah saya. Karena saya merasa sebagai manusia yang tidak punya apa-apa, miskin, dan lemah, maka kepada siapa lagi saya harus meminta segalanya baik yang besar maupun remeh temeh terkecuali kepada-Nya. Dia Yang Maha Kaya dan Maha Pemilik Segala. Mumpung Dia dekat dengan saya, dan mumpung saya masih bertemu ramadhan tahun ini.
Dari awal ramadhan sampai hari ini, saya sudah tiga kali mendengar dari para penceramah di masjid komplek saya, Masjid Al-Ikhwan, berbicara tentang Allah yang lagi dekat dengan kita yang berpuasa. Saya kok sepertinya baru merasa mendapatkan sesuatu tema yang baru dan belum sekalipun diketahui oleh saya. Apa karena dulu hati saya masih tertutup sehingga tidak bisa peka mendengar segala bentuk kebaikan atau pas kebetulan saja hati saya ini, di ramadhan ini, lagi sensitif-sensitifnya sehingga baru dirasakan ngeh oleh saya.
Kata para ustadz itu, dari rangkaian ayat sebanyak lima ayat di surat Al-Baqarah yaitu tepatnya di ayat 183 sampai dengan 187 yang berbicara tentang puasa, tiba-tiba terselip ayat 186 yang berbicara tentang penegasan Allah bahwa diri-Nya itu dekat. Coba kita simak dulu ayatnya yah:
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Maka dapat diartikan bahwa di ramadhan inilah Allah menegaskan bahwa Allah itu dekat, tidak jauh, tanpa hijab dari hamba-hambanya yang berdoa, yang meminta apa saja kepada-Nya, asal kitanya ini senantiasa memenuhi perintah-Nya dan beriman pada-Nya. Tuh kan, ada syarat yang harus dipenuhi dulu sebelum Dia mengabulkan permintaan kita.
Ini berarti-intinya-kita harus berupaya dulu. Kita berdoa setelah usaha, ikhtiar, dan kerja keras karena menurut Abdurrahman Muhayar, doa dalam pengertian yang sebenarnya bukan hanya sekadar wujud ketakberdayaan yang memaksa seseorang merengek kepada Allah SWT.
Tapi menurut saya senantiasa kita –saya dan Anda—berdoa kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun saja. Agar kita tidak dianggap sebagai orang yang sombong karena tidak pernah meminta pada-Nya. Memang kita orang yang kuat apa? Kita orang yang tidak punya kebutuhan apa? Atau semuanya kita bisa upayakan dengan usaha kita sendiri? Ah, sungguh terlalu…
Di ramadhan ini dengan kedekatan-Nya itu, dengan tanpa hijab-Nya itu, maka sudah selayaknya saya—yang dengan tertatih-tatih mendekati-Nya di luar ramadhan, tapi merasa kurang optimal hasilnya ini—bergembira dan bertekad untuk tidak melewatkan waktu tanpa berdoa pada-Nya, bertekad untuk meminta segala hajat saya. Begitu pula Anda teman-teman. Mumpung Dia dekat.
Kita merasakan ketenangan ba’da ramadhan tahun lalu sampai hari ini, bisa jadi, Insya Allah, karena Allah mengabulkan doa kita yang dipanjatkan saat ramadhan lalu. Kita bisa menyelesaikan tugas akhir kuliah, mempunyai kendaraan, rumah yang sederhana, anak-anak sehat, suami atau istri semakin sholih dan sholihah, pekerjaan kantor bisa diselesaikan dengan baik, tidak ada masalah dengan tetangga, punya anak lagi, tidak pernah terlambat masuk kantor dan gaji tidak dipotong absen, kalaupun dipotong itupun cuma sedikit sekali, semakin banyak berinfak, semakin rajin ke masjid, bicara yang secukupnya, selalu antusias mendengarkan nasehat kebaikan bisa jadi semua itu karena Allah mengabulkan doa kita.
Ya, cukuplah itu menjadi nasehat bagi diri saya sendiri. Maka mumpung kita lagi berpuasa, Dia dekat, berdoalah, berdoa apa saja. Berdoa demi kebaikan dunia dan akhirat kita. Setelah itu kita tinggal menikmati semuanya itu. Insya Allah.
***

* Doa adalah otak ibadah. (HR Ibn Hibban dan at-Tirmidzi).
* Doa adalah senjata orang yang beriman, tiang agama, dan cahaya langit dan bumi. (HR al-Hakim)

Maraji’:
1. Alqur’an Mulia;
2. Abdurrahman Muhayar, Berdoa, Republika, 11 Mei 2006

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
07:12 27 September 2007

MEMBERI ATAU…?


Seorang teman selalu berangkat ke kantor lebih pagi daripada yang lainnya. Ia selalu naik motor dari rumah menuju tempat kerjanya. Dan di dalam tasnya selalu tersedia pembalut luka, obat merah, dan beberapa gelas air kemasan. Saat ditanya untuk apa ia membawa semua itu di setiap harinya, ia selalu menjawab, “agar saya bisa menolong orang lain.”
Setiap pagi, ia seringkali menjumpai para pengendara motor yang tergeletak di tepian jalan. Entah karena menabrak atau tertabrak kendaraan lain. Sudah barang tentu pengendara motor tersebut mengiris kesakitan karena luka dalam ataupun luar. Kalaupun tidak ada luka, muka pucat sudah menandakan ia mengalami guncangan adrenalin yang amat hebat.
Semuanya harus ditangani segera. Tapi senyatanya orang-orang yang menolong seringkali hanya memindahkan korban kecelakaan tersebut ke pinggir jalan. Lalu setelah itu panik, bingung, lalu telepon kesana kemari. Bahkan yang lainnya cuma terbengong-bengong. Tidak dipikirkan bahwa korban perlu pertolongan pertama segera. Peran kosong itulah yang diisi oleh teman saya ini. Dengan sigap ia memberikan yang ia bawa itu kepada korban. Peran kecil tapi sungguh membantu.
Itulah mengapa ia selalu berangkat lebih pagi. Karena dengan berangkat lebih pagi, ia tidak perlu terburu-buru mengejar absen, dan ia masih sempat untuk berhenti menolong orang lain. Jika tidak, jiwanya seringkali berkecamuk, berperang batin antara berhenti untuk menolong atau terus melaju demi rupiah di awal bulan yang utuh tidak terpotong. Dan ia seringkali memilih yang terakhir. Untuk itu ia cuma bisa beristighfar dengan air mata yang membasahi pipi menyesali ketidakmampuannya. Menyesali ada suatu kesempatan besar yang hilang begitu saja dari dirinya.
“Apa untungnya kamu menolong mereka?” tanya saya penasaran.
“Duniawi? Tidak ada!” akunya. “Saya cuma mengharap dari-Nya,” Ia mengangkat jari telunjuknya ke atas. Ia merasa ia tidak akan pernah mendapatkan sesuatu sebelum ia memberikan sesuatu. Ia tidak akan ditolong orang sebelum ia menolong orang. Ia percaya, sesungguhnya setiap kebaikan sekecil apapun akan diberikan balasan kebaikan yang sama atau yang lebih besar lagi.
“Percayalah, seseorang tidak akan pernah menerima saat ia tidak pernah memberi. Percayalah, saat ia mengedepankan penolakan implisit dan eksplisit terhadap suatu kata bernama “tolong”, ia tidak akan pernah mendapatkan anugerah besar berupa upaya baik dari orang lain. Saat itu juga atau suatu saat kelak,” jelasnya panjang lebar.
Dalam sekali apa yang dikatakan teman saya ini. Sebuah pembelajaran yang membuat saya merenung sepanjang perjalanan menyusuri Margonda sore ini. Hingga di suatu pertigaan…
“Pak, minta uang dong Pak…” seorang bocah kecil berbaju kumal menyodorkan tangannya kepada saya yang sedang menunggu lampu hijau menyala.
Saat saya menoleh kepadanya, lampu kuning sudah menyala.
Duh, memberi atau…?

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
jelang perjuangan nomor 1
21:57 07 Juli 2007

MASIH KERE, MASIH MELARAT


MASIH KERE, MASIH MELARAT

By: Riza Almanfaluthi

Dulu sebelum moderenisasi pajak saya sudah dianggap sebagai orang “kaya” oleh teman-teman saya. Saya beri tanda kutip pada kata kaya karena kaya di sini bukan berarti saya punya rumah gedong, uang berlimpah di bank, punya banyak gebetan Wajib Pajak, punya sampingan mengajar di mana-mana, dan punya-punya yang lainnya.

Saya ingat betul seorang teman pernah bilang kepada saya, “Enak betul kamu Za, sudah punya rumah, punya motor, punya istri, punya anak, kerja di pajak, sudah sarjana pula.” Bagi teman saya itu, saya adalah sosok kesempurnaan dari sebuah kesuksesan. Padahal menurut saya banyak sekali orang pajak yang jauh melebihi segalanya daripada saya. Lebih kaya dan lebih sukses.

Pula rumah saya cuma rumah kreditan yang harus saya bayar selama lima belas tahun. Bukan di tengah kota tapi di pinggirannya malah. Yang orang pajak lain akan berkerut dahinya kalau saya sebutkan daerah itu. Motor memang tidak kreditan tapi itu pun diberi oleh teman baik saya. Saya memang punya istri biasa saja, bukan seleb yang luar biasa cantiknya, tapi cukup untuk meneduhkan mata dan hati saya.

Saya memang punya dua anak, yang biasa saja tapi Insya Allah sehat-sehat. Saya memang kerja di pajak tapi bukan pejabat tinggi cuma pegawai rendahan, biasa saja juga. Saya memang sudah sarjana tapi pula bukan dari sebuah universitas ternama di negeri ini, yang banyak dari teman-teman saya ngebetnya minta ampun untuk bisa kuliah di sana walaupun biaya kuliahnya luar biasa besar. Sedangkan saya, cukup dengan mencari tempat kuliahan yang berbiaya 500 ribu rupiah untuk satu semesternya. Syukurnya saya dapat pula masuk ke sebuah sekolah tinggi yang khusus untuk pegawai negeri.

Ya, itulah kesuksesan menurut ukuran pandangan teman saya itu. Mendengar teman saya berkata demikian, saya cuma mengucapkan Alhamdulillah. Saya sudah tentu tidak bisa mengingkari semua itu. Semuanya karena Dia Yang Mahakaya telah berkenan memberikan itu pada saya. Ucapan itu pun sekaligus menyadarkan saya dari keterlenaan dan keterpanaan terhadap teman-teman saya lainnya yang sudah betul-betul kaya dan sukses. Dalam hati kecil, tidak bisa dipungkiri bahwa saya ingin seperti mereka. Sebuah naluri alami manusia yang wajar-wajar saja. Akhirnya saya cuma bisa berkata: “rejeki itu tidak akan kemana-mana.”

Dan betul rejeki itu tidak kemana-mana. Allah telah berkehendak bahwa moderenisasi pajak adalah sebuah keniscayaan. Dan saya adalah salah satu dari ribuan pegawai pajak yang diberikan kepercayaan dari-Nya untuk menikmati moderenisasi ini. Tunjangan naik berlipat kali. Karir pun naik pula. Saya bisa meneruskan kuliah. Saya juga bisa menikmati “kesenangan” dunia yang dulu tidak pernah terbayang sebelumnya untuk bisa dimiliki. Halal lagi. Subhanallah. Saya orang tajir baru.

Tapi di tengah kenikmatan yang begitu banyak menggelontor kepada saya, ada sebuah kekhawatiran—ada sebuah ketidaktenangan—Ia akan mengambil semuanya dari saya. Karena saya tidak pandai bersyukur. Karena saya pelit untuk berbagi. Karena saya menjadi tamak, rakus, serakah. Karena saya berpikir bahwa saya kaya karena semata-mata kepintaran dan keahlian saya semata. Karena saya tidak dekat dan ingat dengan-Nya. Karena saya semakin menjauh dari-Nya. Duh…

Ternyata tajirnya saya dengan harta tidak membuat saya tenang. Ternyata ketenangan bukan ditentukan dari banyaknya harta—sepertinya ini klise karena sering diungkap oleh para penceramah di setiap mimbar—tapi itu memang senyatanya. Yang sering saya lupakan adalah sebuah ketajiran lain yang harus ada pada diri saya. Tajir batin.

Tajir batin akan sanggup mengimbangi keinginan kuat saya terhadap materi. Kalau tajir lahir bentuknya harta yang wujud seperti emas, rumah, pangkat, dan mobil, lalu tajir batin yang seperti apa? “Qona’ah” kata seorang kyai. Qona’ah adalah rasa puas, rasa cukup.

Dengannya, katanya, saya akan ridha terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah kepada saya. Juga akan meminimalisasikan sifat hasud dan dengki serta sifat rakus dan tamak yang begitu mengadhesi pada diri saya. Qona’ah-lah yang akan membumihanguskan fir’aunisasi dan qorunisasi saya. Satu lagi kata kyai itu, “ia adalah kekayaan yang tidak akan pernah habis. Dan akan melahirkan sifat syukur.”

“Kamu sudah tajir batin?” Saya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Saya langung menjawab tanpa berpikir panjang, “Saya masih kere. Masih melarat. Fakir miskin betul.”

“Kalau begitu siap-siap saja tambah melarat. Batin kagak punya, lahir keblangsak. Fakir dua-duanya.”

“Tapi, betapa banyak yang fakir sefakir-fakirnya batin, ia tetap tajir lahirnya. Malah tambah tajir, dan semakin tajir.”

“Wah itu sih istidraz. Suatu pembiaran di dunia yang kelak seberat-beratnya azab di sana.”

Ah, betapa muyul (kecenderungan) kepada duniawi begitu kuatnya menggoda. Keinginan yang tidak pernah habis-habisnya. Kesibukan yang tidak pernah terselesaikan. Kebutuhan yang tidak berujung. Angan-angan yang tidak pernah tercapai. Semuanya karena pada pagi hari saya sering menjadikan dunia sebagai konsentrasi utama dan begitu banyak hak-hak Allah yang terlalaikan.

Ah, betapa Qona’ah adalah adalah sesuatu yang dirindukan. Duh, lalu kapan saya bisa tajir batin bila ia senantiasa hanya dirindu, bukan dicari dan diupayakan?

Maraji’:

Kekayaan Batin, KH Didin Hafidhuddin, Republika, 08 Juli 2005

Mewaspadai Empat Perkara, Taufik Munir, eramuslim, 19 Agustus 2005

dedaunan di ranting cemara
Jum’at dengan rindangnya kontemplasi
10:17 24 Agustus 2007

MAZHAB SELANGKANGAN


MAZHAB SELANGKANGAN
By: Riza Almanfaluthi

Saat ini saya tidak membahas masalah perbedaan pendapat di ranah fikih hanya gara-gara menampilkan judul dengan kata awal: mazhab. Karena sudah jelas tidak ada kata yang kedua dalam pemikiran Islam. Tetapi saat ini saya hendak mengutarakan sesuatu yang menjadi polemik belakangan ini. Polemik yang hampir-hampir menyerupai pertarungan pemikiran di tahun 70-an antara Nurkholis Madjid dan H.M. Rasyidi dan berpuncak di tahun 1994 antara Nurkholis Madjid dan Daud Rasyid di Taman Ismail Marzuki (TIM), yaitu polemik dan benturan pemikiran Islam versus sekulerisme.
Setelah rehat beberapa saat—walaupun masing-masing telah bermetamorfosis membentuk lembaga-lembaga sesuai dengan keyakinan pemikirannya masing-masing seperti partai politik atau jaringan komunitas—maka polemik itu muncul kembali. Tidak di ranah yang sama, tapi di ranah yang sepi dari publikasi dan apresiasi masyarakat secara luas yaitu sastra. Maka dari itu kebanyakan yang mengetahui polemik ini adalah mereka selaku pegiat sastra Indonesia, baik pelaku, penikmat, penggembira atau sekadar kepura-puraan dari ketiganya.
Polemik itu dimulai dengan tulisan Hudan Hidayat (pengusung liberalisme sastra) di Jawa Pos (06 Mei 2007) yang “membuka front” dengan mengkritik Pidato Kebudayaan Taufik Ismail yang dibacakan (lagi-lagi) di TIM akhir tahun lalu. Dalam pidatonya itu Taufik Ismail membunyikan genderang perang terhadap para satrawan atau cuma setengah sastrawan yang mengusung Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) di setiap karya mereka. Maka setelah dipicu demikian, perang pemikiran sastra meledak dengan hebatnya. Entah melalui media nasional ataupun lokal dan diskusi-diskusi komunitas.
Kali ini saya tidak akan ikut berdiskursus dalam polemik itu, walaupun sudah jelas keberpihakan saya ada di mana. Bagian argumentasi disertai ribuan fakta biarlah mereka sendiri—para sastrawan—yang bersuara. Sedangkan bagian saya, biarlah yang remeh temeh. Dari berbagai wacana di kedua belah pihak itu saya cuma ingin menjelaskan kepada masyarakat luas atas sebuah ketidaktahuan bahwa inilah yang disebut Sastra Mazhab Selangkangan itu.

Apa itu Sastra Mazhab Selangkangan?
Sastra Mazhab Selangkangan (SMS) atau sering juga disebut Fiksi Alat Kelamin (FAK) ini menurut Taufik Ismail adalah sebuah genre baru dalam sastra Indonesia yang muncul setelah gelombang besar reformasi membawa perubahan politik di tanah air. Digerakkan oleh mereka yang permisif, adiktif, serta sesuai dengan karakteristiknya memang pantas untuk disebut sebagai bagian dari GSM (Gerakan Syahwat Merdeka).
Ciri sastra ini menurut Sunaryono menganut vulgarisme deskriptif selangkangan. Sedangkan menurut Wowok Hesti Prabowo adalah mazhab yang senantiasa menyebarkan aliran neo-liberalisme yang cenderung memperbolehkan pengikutnya berbuat apa saja sebagai perayaan “hak asasi manusia”. Juga bercirikan nonsens (tidak penting), porno-praxis (mendewakan tubuh dan seks), dan cenderung anti peran agama (sekuler). Sastra-sastra nonsense merayakan hal-hal sepele, seperti odol, sikat gigi, sepatu biru, celana dalam, sarung, dan sesekali agar keren juga mengeksplorasi daun mapel, pohon willow dan rumput azalea yang jarang bahkan sukar ditemukan di Indonesia.
Bahkan menurut Viddy beberapa media sastra Jakarta pun telah bertahun-tahun ikut merayakan kata-kata semacam rembulan tumbuh di dengkulku, kapal berlabuh di meja makan, pu**** su**mu patah di altar (maaf), atau malam biru menggoreng onde-onde yang cukup membingungkan bahkan bagi penyair dan budayawan senior sekelas Abdul Hadi WM waktu membedah puisi-puisi semacam itu di Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggaraan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Lalu Siapa Pelopor SMS?
Awal dan pertengahan tahun 2002, muncul Larung (Ayu Utami), Tujuh Musim Setahun (Clara Ng), dan Ode untuk Leopold Van Massoch (Dinar Rahayu). Ketiga novel ini ini secara gamblang berbicara tentang seks. Larung adalah kelanjutan dari novel seksual juga yang berjudul Saman yang lahir dan menjadi pemenang dari Sayembara Menulis Novel DKJ.
Kemudian Djenar Mahesa Ayu secara menggemparkan di salah satu bukunya yang berjudul Waktu Nayla menceritakan tentang adegan oral seks antara seorang anak perempuan dengan ayah kandungnya! Luar biasa berani! Yang menurut Kathrin Bandel, seorang kritikus sastra, novel itu tidak mempunyai logika cerita.
Siapa Pendukung SMS?
Saat ini Komunitas Teater Utan Kayu (TUK) bisa disebut sebagai penarik gerbong kereta liberisasi sastra ini. Sejalan dan seide dengan liberalisasi pemikiran agama yang dilakukan oleh para dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL).
Didukung juga oleh media nasional dan lokal yang senantiasa perhatian terhadap karya-karya mereka. Sehingga sepertinya sastra Indonesia hanya berkutat pada sastra-sastra yang antimanfaat.
Dengan big boss-nya adalah jaringan globalisasi Yahudi, Viddy menulis: “Pemikir Islam, Yusuf Qaradhawi, pernah mengatakan, bahwa globalisasi kebudayaan adalah jalan untuk menghancurkan kearifan-kearifan lokal agar suatu bangsa hanya mengekor kepada satu kebudayaan global, yakni kebudayaan Yahudi-Free Mason. Filsuf-filsuf dunia yang mendukung “penghancuran kearifan lokal” seperti Roland Barthes, Michael Foucoult, dan Raman Shelden, telah lama dipuja-puja sejak awal kelahiran dan pendirian TUK.”
Apa yang Dilakukan Mereka Saat Ini?
TUK kini juga mendirikan sanggar-sanggar sastra di berbagai tempat dan daerah, sebagai bagian dari “gerakan politik sastra” untuk liberalisasi. Pada tataran strategis mereka telah berhasil menguasai DKJ.
Lalu dominasi mereka di Koran-koran dan majalah mereka selama bertahun-tahun. Mengadakan anugerah seni dan sastra liberal. Serta dengan jaringan yang mengglobal, mereka dapat mengirimkan ke setiap pesta puisi internasional orang-orang yang hanya sejalan dengan pemikiran mereka.
Adakah yang Melawan Hegemoni Mereka?
Ada. Baik dengan karya maupun wacana. Taufik Ismail bisa jadi adalah lawan berat mereka. Juga Gola Gong dan Saut Situmorang (yang ini seorang Nasrani). Di belakangnya banyak tokoh komunitas dari Yogya, Medan, Depok, Pekanbaru, dan Banten berusaha untuk melawan ideologi sekuler tersebut. Forum Lingkar Pena (FLP) diharap banyak oleh para pelawan TUK ini, karena jumlah anggotanya yang banyak, tersebar di seluruh Indonesia, dan pembinaan calon penulis yang dikenal baik. Juga karena idealisme yang dipegang teguh sesuai dengan visinya yaitu menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan umat.
Tapi sayang, menurut Ketua FLP-nya sendiri, M Irfan Hidayatullah—melawan mereka FLP seringkali hanya bermodal semangat. Selalu kehabisan referensi dan tidak didukung dengan wawasan yang kaya. Ini disebabkan karena kurangnya budaya membaca. Oleh sebab itu ia menyarankan untuk senantiasa menumbuhkan semangat baca yang tiada padam. Tiada hari tanpa membaca. Tiada hari tanpa perkembangan wawasan keislaman, kebudayaan, dan kesastraan!
***
Apa yang saya sampaikan di sini adalah informasi mini dan singkat dari sebuah gerak sastra penganut paham kebebasan seenaknya. Lebih lanjut dan lebih luasnya pembaca dipersilakan untuk mengeksplorasi khazanah perdebatan sastra ini melalui publikasi media baik di dunia nyata ataupun maya. Lalu tinggal menentukan pilihan keberpihakan. Suatu kejanggalan bilamana seseorang tidak memilih.
Sebagaimana seorang teman memilih untuk bergenre feminisme—anak kandung dari liberalisme itu sendiri—dalam setiap karyanya, maka saya tidak bisa memaksa. Karena semuanya memiliki konsekuensi masing-masing. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Tentunya sang teman pun tidak bisa memaksakan ideologinya kepada saya, mengutip Helvy, seperti yang dilakukan oleh sastrawan yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memaksa para sastrawan Indonesia untuk menulis dengan memakai ideologi mereka sebagai dasar.
Karena sesungguhnya, bagi saya menulis adalah suatu ekspresi yang harus bisa mencerahkan orang. Sekaligus sarana menganjurkan kebaikan dan menghindarkan kemungkaran. Dan di setiap huruf yang tertulis ada tanggung jawab yang diminta oleh Sang Mahapemiliksastra. Sang Pemilik Keindahan Sejati.
Allohua’lam bishshowab.

Maraji:
1. Adian Husaini, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Gema Insani Press: 2002;
2. Helvy Tiana Rosa, Segenggam Gumam, Syamil CIpta Media, Bandung: 2003;
3. Hudan Hidayat, Nabi tanpa Wahyu, Jawa Pos, 1 Juli 2007
4. Hudan Hidayat , Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya, Jawa Pos, Minggu, 06 Mei 2007 http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=283968
5. M. Irfan Hidayatullah, sebuah email untuk forum_lingkarpena@yahoogroups.com;
6. Taufik Ismail, 13 Wajah Gerakan Syahwat Merdeka,
Perspektif, Gatra Nomor 7 Beredar Kamis, 28 Desember 2006 http://www.gatra.com/artikel.php?id=100809;
7. Taufik Ismail, HH dan Gerakan Syahwat Merdeka , Jawa Pos, Minggu, 17 Juni 2007,
http://jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=290339;
8. Sunaryono Basuki Ks, Gonjang Ganjing Sastra Selangkangan: Bagian pertama dari Dua Tulisan;
9. S. Yoga, Puritisme dalam Sastra Indonesia: Tanggapan untuk Imam Cahyono;
10. Viddy AD Daery, Sebuah Tulisan.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
16:17 08 08 2007

BELAJAR ILMU KEBAL


Ilustrasi gambar dari wallpaperswa.com.

Ada syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan untuk bisa memiliki ilmu-ilmu kebal. Ilmu yang membuat badan atau tubuh kita utuh tanpa kurang suatu apapun saat ditusuk, diiris, dibacok senjata tajam. Atau saat dibakar, berjalan di atas pecahan beling dan bara api.

Syaratnya antara lain bertapa di tempat sunyi dan angker, membawa menyan dan sesaji, melakukan wirid-wirid tertentu ataupun mantra-mantra nenek moyang. Puasa mutih selama empat puluh hari empat puluh malam. Atau sama sekali tidak makan ataupun minum.

Bahkan yang paling ekstrim adalah dengan melakukan hal-hal yang aneh yaitu makan daging mayat ataupun menyetubuhinya sampai mencapai bilangan tertentu. Biasanya kalau sudah 99 banyaknya, untuk mencari yang ke-100 susah banget, alih-alih berhasil malah gagal. (sinetron misteri kalee…)

Yang demikian ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak syarat-syarat yang diminta oleh setan. Ujung-ujungnya adalah penghambaan manusia pada dirinya. Tidak kurang bahkan ingin lebih. Tumbal akidah itu sudah pasti menjadi taruhannya. Menjual dengan murah kehidupan akhirat dengan kefanaan dunia. Murah-murah sekali.

Tapi banyak sekali loh yang mau. Iklan-iklan mengajak orang pada jalan pintas ini banyak bertebaran di koran-koran. Mulai dari yang benar-benar mengaku sebagai dukun dengan wajah angker, rambut terurai panjang sebahu, dan kumis serta jenggot yang menjuntai sampai pada tampilan yang bagaikan sosok-sosok walisongo dan bergelar kyai ataupun ustadz.Apalagi diiming-imingi keberhasilan 100% dan jaminan uang kembali.

Dan satu lagi yang membedakannya dengan dukun-dukun kampung berbangklon, bergelang bahar, berkalung tengkorak tergantung di leher, untuk mereka yang mau ilmu kebal ini, tidak perlu melakoni syarat-syarat di atas. Gampang. Tinggal menyerahkan mahar dengan angka tertentu yang telah disepakati maka ilmu pun bisa langsung ditransfer saat itu. Real Time Systems bo…Murah-murah sekali. Laris manis tanjung kimpul. Duh…

Tapi bagi yang berpikiran rasional, tidak ada ilmu kebal yang demikian. Yang ada adalah bagaimana menciptakan alat untuk bisa melindungi tubuh dari terjangan pedang, panah, bahkan peluru tajam. Nabi Daud sudah memulai sejak dulu kala dengan menciptakan baju baja. Dan di abad pertengahan perlindungan itu menutupi seluruh tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Karena tidak efektif dan efisien, kini baju itu cuma tinggal jadi barang rongsokan ataupun jadi barang tontonan di museum-museum orang barat sono. Paling hebat cuma jadi figuran film kartun di kastil-kastil tua.

Sekarang karena sudah dikuasai ilmunya, banyak sekali ragam baju kebal seperti ini. Kesatuan pemadam kebakaran yang paling moderen dan para astronot sudah memakai baju antiapi dan antipanas ini.

Bahkan para ilusionis dan penyuka rasa sakit sudah memakainya dalam setiap pertunjukannya. Tidak hanya untuk menahan api, tapi untuk menahan sambaran setrum jutaan volt juga halilintar. Gundala Putera Petir—superhero made in Indonesia rekaan masa lalu—mungkin kalah aksi dengan mereka.

Adalagi rompi antipeluru yang merupakan baju berupa rompi terbuat dari kain dilengkapi bahan penahan kejut (kevlar) di dalamnya dan berfungsi sebagai penahan bacokan benda tajam, pecahan granat, tekanan/kejut dari pistol dan senjata laras panjang [1]. Rompi ini tidak hanya dipakai oleh prajurit Amerika Serikat untuk menjajah dunia, tapi juga kesatuan-kesatuan tempur di setiap negara. Juga para penjual jasa keamanan swasta sekelas Blackwater Security Consulting, Vinnel, Dyncorp hingga yang cuma sekelas pengamanan uang Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Tidak hanya dari kevlar, dengan teknologi yang semakin canggih, kini sudah dilakukan penelitian untuk mengganti kevlar dengan benang sutra laba-laba. Karena benang ini merupakan suatu jaringan serat yang sangat ringan dan kekuatan serta kelenturannya jauh melebihi Kevlar—serat sintesis terkuat yang ada saat ini buatan perusahaan DuPont. Kekuatan benang sutra ini bahkan mampu menahan peluru yang ditembakkan tanpa menyakiti orang yang memakainya sebagai baju anti peluru [2]. Tapi jelas ini mahal. Mahal-mahal sekali, duh…

Inilah usaha manusia untuk melindungi dirinya agar senantiasa selamat. Yang pertama dengan upaya yang murah tapi haram dengan menggadaikan hartanya yang paling mahal, yaitu aqidah, hingga menempuh cara yang rasional tapi berbiaya tinggi. Karena saking mahalnya, satu paket proyek pertahanan keamanan bisa untuk membangun dan merehabilitasi ribuan sekolah. Otomatis kalau yang ini jadi target utama, amanah Undang-undang Sisdiknas tentang biaya untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN tidak akan mungkin tercapai dengan segera.

Ya, semua di atas adalah untuk perlindungan fisik semata. Tidak menyentuh psikis manusia yang sebetulnya perlu bahkan wajib untuk dilindungi. Karena bila psikis manusia tidak dilindungi dari pengalaman buruk seperti penghinaan, perlakuan buruk, cemoohan, ketersinggungan, kegagalan dan teman-temannya itu, maka pengalaman buruk itu akan menjadi sampah yang mengotori pikiran.Semakin sering kita menyimpan memori buruk di otak, semakin negatif sikap dan prilaku kita [3].

Bagaimana cara menyingkirkannya? Kita kudu membuat armor-nya. Dan ini berarti kita harus belajar ilmu kebal yang satu ini. Tapi tunggu dulu. Latar belakangnya bagaimana nih kok bisa pembahasannya sampai ke sini.

Yup, beberapa hari yang lalu, dalam sebuah email pribadi saya: muncul ungkapan-ungkapan seperti ini: eh pecun murahan….dasar cemen….. sok hebad…limp dick…banci im yawr worst nite mare ever….. i see u melt in hell.

  1. Analisa Kebijakan Penggunaan Rompi Tahan Peluru Taktis Di Lapangan http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=12&mnorutisi=2
  2. Benang Laba-laba dari Susu Kambing
    http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=17
  3. Membersihkan ‘Sampah’ dari Pikiran http://jerryronancy.blogs.friendster.com/chi/

Riza Almanfaluthi