M A E S T R O
Sengaja menuliskan ini dengan segera di tengah kemacetan yang melanda Jakarta di jumat petang ini (13/5). Apalagi setelah ada pengumuman dari tiga kementerian yang berbeda bahwa senin yang hari kejepit itu dijadikan cuti bersama. Sepertinya Jakarta bertambah macet lagi.
Saya menuliskannya pun di talam taksi, di tengah perjalanan menuju Stasiun Sudirman untuk mengejar kereta terakhir ke Bogor. Saya teringat tentang beberapa email yang mampir ke kotak surat saya. Tentang tulisan atau artikel yang dibuat oleh teman-teman saya yang mau memulai kembali hobi menulisnya. Saya mendapatkan semua email itu dengan senang hati. Karena bagi saya itu juga merupakan pembelajaran yang bagus buat saya. Jonru menyebutnya ATM: amati, tiru dan modifikasi tulisan orang lain agar kita dapat menulis dengan lebih baik lagi.
Pun karena saya ingat pengalaman beberapa tahun yang lampau, ketika saya mau mengawali menulis itu dengan intens. Saya butuh seseorang untuk dapat menilai tulisan saya itu. Saya haus akan komentar dan tanggapan, oleh karenanya saya kirim ke beberapa penulis yang sudah terkenal. Maklumlah saya ingin mengetahui bagaimana mereka menanggapi tulisan saya itu.
Ternyata pada kenyataannya sedikit sekali yang menanggapi, walau sudah berkali-kali saya kirim tulisan lainnya. Akhirnya saya bertekad bahwa saya tak perlu dengan komentar mereka dan saya akan tetap berusaha menulis dan menulis. Dan insya Allah sekarang saya bisa menulis.
Kemudian tibalah saatnya saya menjadi orang yang berada di posisi dulu yakni orang yang dimintakan tanggapannya. Padahal saya bukanlah penulis terkenal apalagi penulis yang sudah menghasilkan sebuah buku. Bukan. Tetapi menyadari bahwa saya tak mau menjadi orang yang pernah dimintakan tanggapan dan tidak memberi respon maka sampai saat ini saya berusaha untuk menjadi orang yang mudah untuk memberikan tanggapan atau penilaian, walaupun di tengah keterbasan waktu yang ada.
Karena saya menyadari bahwa sekadar komentar dan tanggapan saya bisa jadi membawa semangat yang luar biasa buat mereka yang memulai menulis itu. Makanya saya insya Allah tulus memberikan tanggapan. Dan maaf jika sampai saat ini ada yang merasa belum ditanggapi saya. itu bukan karena meremehkan tetapi karena saya perlu waktu untuk membacanya.
Sebenarnya saya yakin bahwa mereka itu, teman-teman saya ini, mempunyai kemampuan luar baisa menuangkan apa yang dirasa, dilihat, dan didengarnya dalam banyak kata yang tertulis. Tinggal diberikan pemantik dan di sisi mana sumbu itu mudah untuk dibakar.
Saya kemudian teringat sebuah cerita yang dikisahkan oleh teman saya tentang seorang perempuan penari hebat di sebuah kota kecil. Di suatu saat kota tersebut akan dikunjungi seorang maestro penari terkenal. Dan diumumkan kepada para penari di kota tersebut untuk ikut audisi yang diselenggarakan maestro tersebut. Bila lulus audisi maka akan dididik maesro itu dan ikutkan dalam setiap penampilannya. Maka, perempuan penari itu berlatihlah dengan keras dan keras untuk bisa menampilkan yang terbaik di depan maestro tersebut.
Sampai pada waktunya, ia diberikan kesempatan beberapa menit untuk menari di depannya, maestro itu mengangguk-angguk dan tiba-tiba ketika tarian itu belumlah selesai, maestro bangkit dan keluar ruangan audisi. Perempuan penari itu terkejut, langsung menghentikan tariannya, dan bertanya-tanya mengapa sang maestro itu meninggalkannya begitu saja. Ia berpikir bahwa meastro itu tidak menyukai tariannya. Pasti tariannnya tidak indah untuk dinikmati. Maka ia pun pulang. Kesedihan yang menghantamnya terlihat sangat.
Sampai-sampai pada sebuah kesimpulan bahwa buat apa dia menari lagi. Akhirnya ia pun bertekad untuk tidak menari dan menyimpan pakaian dan peralatan menarinya di sebuah peti. Tertutup dan terkunci rapat. Ia pun melarang anak-anaknya untuk menari.
Jawaban atas mengapa maestro itu pergi meninggalkannya pada saat audisi itu diketahui setelah belasan tahun kemudian. Sang Maestro datang kembali ke kota itu. Maka perempuan penari itu menyempatkan diri untuk bertemu lagi dengan Mestro dan mengajukan sebuah tanya yang membutuhkan jawaban itu.
Awalnya sang maestro tidak mengenalnya, tetapi kemudian setelah diberitahu bahwa perempuan yang di depannya adalah peserta audisi bertahun-tahun lampau, maka ia pun mengenalnya.
“Oh ini dia penari itu? Sekarang sudah kemana saja menari?”
“Tidak Tuan. Saya cuma jadi ibu rumah tangga. Saya mau bertanya mengapa Tuan Guru meninggalkan saya dan tidak melihat tarian saya sampai selesai?”
“Oh waktu itu saya tiba-tiba ingin ke belakang. Jadi saya meninggalkanmu. Dan sebenarnya sudah aku siapkan kartu nama untuk diberikan kepadamu, tetapi saat aku kembali kau sudah tidak ada.”
“Jadi hanya karena itu, lalu bagaimana dengan tarianku?”
“Kau penari hebat. Dan aku mengagumimu.”
Terperangahlah perempuan penari itu. Ia terkejut. Setelah berterima kasih kepada Sang Maestro ia pulang dan segera membongkar pakaian dan peralatan menarinya dan bertekad untuk menari kembali serta berlatih keras membayar tahun-tahun yang lewat. Tidak ada kata terlambat. Inilah Kisah itu lebih dan kurangnya.
Andai saja bukan karena maestro itu yang tak mampu menahan dirinya untuk duduk lebih lama lagi dan sekadar memberi sepatah dua patah kata penyemangat atau karena prasangka terburu-buru perempuan penari itu maka yang terjadi tentu akan berbeda.
Maka, kepada teman-teman yang ingin tulisannya dikomentari oleh saya, sila dikirim saja via email. Dan saya tidak akan seperti maestro itu meninggalkan kalian. Kapanpun. Apapun yang terjadi. Saya tak akan pernah bosan untuk menyemangati terkecuali kalian yang sudah bosan mendengar ceracauan saya. Kalau belum juga ditanggapi mohon saya untuk diingatkan. Semoga upaya kecil ini membuat kita semua bersemangat untuk menulis.
Siang ini, sebelum saya mengedit tulisan ini sebuah pesan masuk dalam kotak surat, “Terimakasih banyak ya, tak bosan menyemangati saya. Semoga jadi amal sholih yang berkelanjutan, semoga juga menjadi sarana untuk membuat semangat Bapak jauh lebih berkobar. Menyemangati = tersemangati !!”
Siapapun kau, dengan tetap adanya saya atau tidak, tetaplah menulis, karena menulis adalah mewariskan peradaban. Dan saya sudah cukup bahagia melihatmu—dari jauh—bisa menulis apa yang kau lihat, dengar, dan rasa.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
*izin membagi cerita penari itu di sini, Edelweis…
05.57 18 Mei 2011
Tags: Penari, penulis, maestro, jakarta, jonru
Bagikan Tulisan Ini Jika Bermanfaat:
Like this:
Like Loading...