MEMBERI ATAU…?


Seorang teman selalu berangkat ke kantor lebih pagi daripada yang lainnya. Ia selalu naik motor dari rumah menuju tempat kerjanya. Dan di dalam tasnya selalu tersedia pembalut luka, obat merah, dan beberapa gelas air kemasan. Saat ditanya untuk apa ia membawa semua itu di setiap harinya, ia selalu menjawab, “agar saya bisa menolong orang lain.”
Setiap pagi, ia seringkali menjumpai para pengendara motor yang tergeletak di tepian jalan. Entah karena menabrak atau tertabrak kendaraan lain. Sudah barang tentu pengendara motor tersebut mengiris kesakitan karena luka dalam ataupun luar. Kalaupun tidak ada luka, muka pucat sudah menandakan ia mengalami guncangan adrenalin yang amat hebat.
Semuanya harus ditangani segera. Tapi senyatanya orang-orang yang menolong seringkali hanya memindahkan korban kecelakaan tersebut ke pinggir jalan. Lalu setelah itu panik, bingung, lalu telepon kesana kemari. Bahkan yang lainnya cuma terbengong-bengong. Tidak dipikirkan bahwa korban perlu pertolongan pertama segera. Peran kosong itulah yang diisi oleh teman saya ini. Dengan sigap ia memberikan yang ia bawa itu kepada korban. Peran kecil tapi sungguh membantu.
Itulah mengapa ia selalu berangkat lebih pagi. Karena dengan berangkat lebih pagi, ia tidak perlu terburu-buru mengejar absen, dan ia masih sempat untuk berhenti menolong orang lain. Jika tidak, jiwanya seringkali berkecamuk, berperang batin antara berhenti untuk menolong atau terus melaju demi rupiah di awal bulan yang utuh tidak terpotong. Dan ia seringkali memilih yang terakhir. Untuk itu ia cuma bisa beristighfar dengan air mata yang membasahi pipi menyesali ketidakmampuannya. Menyesali ada suatu kesempatan besar yang hilang begitu saja dari dirinya.
“Apa untungnya kamu menolong mereka?” tanya saya penasaran.
“Duniawi? Tidak ada!” akunya. “Saya cuma mengharap dari-Nya,” Ia mengangkat jari telunjuknya ke atas. Ia merasa ia tidak akan pernah mendapatkan sesuatu sebelum ia memberikan sesuatu. Ia tidak akan ditolong orang sebelum ia menolong orang. Ia percaya, sesungguhnya setiap kebaikan sekecil apapun akan diberikan balasan kebaikan yang sama atau yang lebih besar lagi.
“Percayalah, seseorang tidak akan pernah menerima saat ia tidak pernah memberi. Percayalah, saat ia mengedepankan penolakan implisit dan eksplisit terhadap suatu kata bernama “tolong”, ia tidak akan pernah mendapatkan anugerah besar berupa upaya baik dari orang lain. Saat itu juga atau suatu saat kelak,” jelasnya panjang lebar.
Dalam sekali apa yang dikatakan teman saya ini. Sebuah pembelajaran yang membuat saya merenung sepanjang perjalanan menyusuri Margonda sore ini. Hingga di suatu pertigaan…
“Pak, minta uang dong Pak…” seorang bocah kecil berbaju kumal menyodorkan tangannya kepada saya yang sedang menunggu lampu hijau menyala.
Saat saya menoleh kepadanya, lampu kuning sudah menyala.
Duh, memberi atau…?

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
jelang perjuangan nomor 1
21:57 07 Juli 2007

MASIH KERE, MASIH MELARAT


MASIH KERE, MASIH MELARAT

By: Riza Almanfaluthi

Dulu sebelum moderenisasi pajak saya sudah dianggap sebagai orang “kaya” oleh teman-teman saya. Saya beri tanda kutip pada kata kaya karena kaya di sini bukan berarti saya punya rumah gedong, uang berlimpah di bank, punya banyak gebetan Wajib Pajak, punya sampingan mengajar di mana-mana, dan punya-punya yang lainnya.

Saya ingat betul seorang teman pernah bilang kepada saya, “Enak betul kamu Za, sudah punya rumah, punya motor, punya istri, punya anak, kerja di pajak, sudah sarjana pula.” Bagi teman saya itu, saya adalah sosok kesempurnaan dari sebuah kesuksesan. Padahal menurut saya banyak sekali orang pajak yang jauh melebihi segalanya daripada saya. Lebih kaya dan lebih sukses.

Pula rumah saya cuma rumah kreditan yang harus saya bayar selama lima belas tahun. Bukan di tengah kota tapi di pinggirannya malah. Yang orang pajak lain akan berkerut dahinya kalau saya sebutkan daerah itu. Motor memang tidak kreditan tapi itu pun diberi oleh teman baik saya. Saya memang punya istri biasa saja, bukan seleb yang luar biasa cantiknya, tapi cukup untuk meneduhkan mata dan hati saya.

Saya memang punya dua anak, yang biasa saja tapi Insya Allah sehat-sehat. Saya memang kerja di pajak tapi bukan pejabat tinggi cuma pegawai rendahan, biasa saja juga. Saya memang sudah sarjana tapi pula bukan dari sebuah universitas ternama di negeri ini, yang banyak dari teman-teman saya ngebetnya minta ampun untuk bisa kuliah di sana walaupun biaya kuliahnya luar biasa besar. Sedangkan saya, cukup dengan mencari tempat kuliahan yang berbiaya 500 ribu rupiah untuk satu semesternya. Syukurnya saya dapat pula masuk ke sebuah sekolah tinggi yang khusus untuk pegawai negeri.

Ya, itulah kesuksesan menurut ukuran pandangan teman saya itu. Mendengar teman saya berkata demikian, saya cuma mengucapkan Alhamdulillah. Saya sudah tentu tidak bisa mengingkari semua itu. Semuanya karena Dia Yang Mahakaya telah berkenan memberikan itu pada saya. Ucapan itu pun sekaligus menyadarkan saya dari keterlenaan dan keterpanaan terhadap teman-teman saya lainnya yang sudah betul-betul kaya dan sukses. Dalam hati kecil, tidak bisa dipungkiri bahwa saya ingin seperti mereka. Sebuah naluri alami manusia yang wajar-wajar saja. Akhirnya saya cuma bisa berkata: “rejeki itu tidak akan kemana-mana.”

Dan betul rejeki itu tidak kemana-mana. Allah telah berkehendak bahwa moderenisasi pajak adalah sebuah keniscayaan. Dan saya adalah salah satu dari ribuan pegawai pajak yang diberikan kepercayaan dari-Nya untuk menikmati moderenisasi ini. Tunjangan naik berlipat kali. Karir pun naik pula. Saya bisa meneruskan kuliah. Saya juga bisa menikmati “kesenangan” dunia yang dulu tidak pernah terbayang sebelumnya untuk bisa dimiliki. Halal lagi. Subhanallah. Saya orang tajir baru.

Tapi di tengah kenikmatan yang begitu banyak menggelontor kepada saya, ada sebuah kekhawatiran—ada sebuah ketidaktenangan—Ia akan mengambil semuanya dari saya. Karena saya tidak pandai bersyukur. Karena saya pelit untuk berbagi. Karena saya menjadi tamak, rakus, serakah. Karena saya berpikir bahwa saya kaya karena semata-mata kepintaran dan keahlian saya semata. Karena saya tidak dekat dan ingat dengan-Nya. Karena saya semakin menjauh dari-Nya. Duh…

Ternyata tajirnya saya dengan harta tidak membuat saya tenang. Ternyata ketenangan bukan ditentukan dari banyaknya harta—sepertinya ini klise karena sering diungkap oleh para penceramah di setiap mimbar—tapi itu memang senyatanya. Yang sering saya lupakan adalah sebuah ketajiran lain yang harus ada pada diri saya. Tajir batin.

Tajir batin akan sanggup mengimbangi keinginan kuat saya terhadap materi. Kalau tajir lahir bentuknya harta yang wujud seperti emas, rumah, pangkat, dan mobil, lalu tajir batin yang seperti apa? “Qona’ah” kata seorang kyai. Qona’ah adalah rasa puas, rasa cukup.

Dengannya, katanya, saya akan ridha terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah kepada saya. Juga akan meminimalisasikan sifat hasud dan dengki serta sifat rakus dan tamak yang begitu mengadhesi pada diri saya. Qona’ah-lah yang akan membumihanguskan fir’aunisasi dan qorunisasi saya. Satu lagi kata kyai itu, “ia adalah kekayaan yang tidak akan pernah habis. Dan akan melahirkan sifat syukur.”

“Kamu sudah tajir batin?” Saya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Saya langung menjawab tanpa berpikir panjang, “Saya masih kere. Masih melarat. Fakir miskin betul.”

“Kalau begitu siap-siap saja tambah melarat. Batin kagak punya, lahir keblangsak. Fakir dua-duanya.”

“Tapi, betapa banyak yang fakir sefakir-fakirnya batin, ia tetap tajir lahirnya. Malah tambah tajir, dan semakin tajir.”

“Wah itu sih istidraz. Suatu pembiaran di dunia yang kelak seberat-beratnya azab di sana.”

Ah, betapa muyul (kecenderungan) kepada duniawi begitu kuatnya menggoda. Keinginan yang tidak pernah habis-habisnya. Kesibukan yang tidak pernah terselesaikan. Kebutuhan yang tidak berujung. Angan-angan yang tidak pernah tercapai. Semuanya karena pada pagi hari saya sering menjadikan dunia sebagai konsentrasi utama dan begitu banyak hak-hak Allah yang terlalaikan.

Ah, betapa Qona’ah adalah adalah sesuatu yang dirindukan. Duh, lalu kapan saya bisa tajir batin bila ia senantiasa hanya dirindu, bukan dicari dan diupayakan?

Maraji’:

Kekayaan Batin, KH Didin Hafidhuddin, Republika, 08 Juli 2005

Mewaspadai Empat Perkara, Taufik Munir, eramuslim, 19 Agustus 2005

dedaunan di ranting cemara
Jum’at dengan rindangnya kontemplasi
10:17 24 Agustus 2007

MAZHAB SELANGKANGAN


MAZHAB SELANGKANGAN
By: Riza Almanfaluthi

Saat ini saya tidak membahas masalah perbedaan pendapat di ranah fikih hanya gara-gara menampilkan judul dengan kata awal: mazhab. Karena sudah jelas tidak ada kata yang kedua dalam pemikiran Islam. Tetapi saat ini saya hendak mengutarakan sesuatu yang menjadi polemik belakangan ini. Polemik yang hampir-hampir menyerupai pertarungan pemikiran di tahun 70-an antara Nurkholis Madjid dan H.M. Rasyidi dan berpuncak di tahun 1994 antara Nurkholis Madjid dan Daud Rasyid di Taman Ismail Marzuki (TIM), yaitu polemik dan benturan pemikiran Islam versus sekulerisme.
Setelah rehat beberapa saat—walaupun masing-masing telah bermetamorfosis membentuk lembaga-lembaga sesuai dengan keyakinan pemikirannya masing-masing seperti partai politik atau jaringan komunitas—maka polemik itu muncul kembali. Tidak di ranah yang sama, tapi di ranah yang sepi dari publikasi dan apresiasi masyarakat secara luas yaitu sastra. Maka dari itu kebanyakan yang mengetahui polemik ini adalah mereka selaku pegiat sastra Indonesia, baik pelaku, penikmat, penggembira atau sekadar kepura-puraan dari ketiganya.
Polemik itu dimulai dengan tulisan Hudan Hidayat (pengusung liberalisme sastra) di Jawa Pos (06 Mei 2007) yang “membuka front” dengan mengkritik Pidato Kebudayaan Taufik Ismail yang dibacakan (lagi-lagi) di TIM akhir tahun lalu. Dalam pidatonya itu Taufik Ismail membunyikan genderang perang terhadap para satrawan atau cuma setengah sastrawan yang mengusung Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) di setiap karya mereka. Maka setelah dipicu demikian, perang pemikiran sastra meledak dengan hebatnya. Entah melalui media nasional ataupun lokal dan diskusi-diskusi komunitas.
Kali ini saya tidak akan ikut berdiskursus dalam polemik itu, walaupun sudah jelas keberpihakan saya ada di mana. Bagian argumentasi disertai ribuan fakta biarlah mereka sendiri—para sastrawan—yang bersuara. Sedangkan bagian saya, biarlah yang remeh temeh. Dari berbagai wacana di kedua belah pihak itu saya cuma ingin menjelaskan kepada masyarakat luas atas sebuah ketidaktahuan bahwa inilah yang disebut Sastra Mazhab Selangkangan itu.

Apa itu Sastra Mazhab Selangkangan?
Sastra Mazhab Selangkangan (SMS) atau sering juga disebut Fiksi Alat Kelamin (FAK) ini menurut Taufik Ismail adalah sebuah genre baru dalam sastra Indonesia yang muncul setelah gelombang besar reformasi membawa perubahan politik di tanah air. Digerakkan oleh mereka yang permisif, adiktif, serta sesuai dengan karakteristiknya memang pantas untuk disebut sebagai bagian dari GSM (Gerakan Syahwat Merdeka).
Ciri sastra ini menurut Sunaryono menganut vulgarisme deskriptif selangkangan. Sedangkan menurut Wowok Hesti Prabowo adalah mazhab yang senantiasa menyebarkan aliran neo-liberalisme yang cenderung memperbolehkan pengikutnya berbuat apa saja sebagai perayaan “hak asasi manusia”. Juga bercirikan nonsens (tidak penting), porno-praxis (mendewakan tubuh dan seks), dan cenderung anti peran agama (sekuler). Sastra-sastra nonsense merayakan hal-hal sepele, seperti odol, sikat gigi, sepatu biru, celana dalam, sarung, dan sesekali agar keren juga mengeksplorasi daun mapel, pohon willow dan rumput azalea yang jarang bahkan sukar ditemukan di Indonesia.
Bahkan menurut Viddy beberapa media sastra Jakarta pun telah bertahun-tahun ikut merayakan kata-kata semacam rembulan tumbuh di dengkulku, kapal berlabuh di meja makan, pu**** su**mu patah di altar (maaf), atau malam biru menggoreng onde-onde yang cukup membingungkan bahkan bagi penyair dan budayawan senior sekelas Abdul Hadi WM waktu membedah puisi-puisi semacam itu di Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggaraan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Lalu Siapa Pelopor SMS?
Awal dan pertengahan tahun 2002, muncul Larung (Ayu Utami), Tujuh Musim Setahun (Clara Ng), dan Ode untuk Leopold Van Massoch (Dinar Rahayu). Ketiga novel ini ini secara gamblang berbicara tentang seks. Larung adalah kelanjutan dari novel seksual juga yang berjudul Saman yang lahir dan menjadi pemenang dari Sayembara Menulis Novel DKJ.
Kemudian Djenar Mahesa Ayu secara menggemparkan di salah satu bukunya yang berjudul Waktu Nayla menceritakan tentang adegan oral seks antara seorang anak perempuan dengan ayah kandungnya! Luar biasa berani! Yang menurut Kathrin Bandel, seorang kritikus sastra, novel itu tidak mempunyai logika cerita.
Siapa Pendukung SMS?
Saat ini Komunitas Teater Utan Kayu (TUK) bisa disebut sebagai penarik gerbong kereta liberisasi sastra ini. Sejalan dan seide dengan liberalisasi pemikiran agama yang dilakukan oleh para dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL).
Didukung juga oleh media nasional dan lokal yang senantiasa perhatian terhadap karya-karya mereka. Sehingga sepertinya sastra Indonesia hanya berkutat pada sastra-sastra yang antimanfaat.
Dengan big boss-nya adalah jaringan globalisasi Yahudi, Viddy menulis: “Pemikir Islam, Yusuf Qaradhawi, pernah mengatakan, bahwa globalisasi kebudayaan adalah jalan untuk menghancurkan kearifan-kearifan lokal agar suatu bangsa hanya mengekor kepada satu kebudayaan global, yakni kebudayaan Yahudi-Free Mason. Filsuf-filsuf dunia yang mendukung “penghancuran kearifan lokal” seperti Roland Barthes, Michael Foucoult, dan Raman Shelden, telah lama dipuja-puja sejak awal kelahiran dan pendirian TUK.”
Apa yang Dilakukan Mereka Saat Ini?
TUK kini juga mendirikan sanggar-sanggar sastra di berbagai tempat dan daerah, sebagai bagian dari “gerakan politik sastra” untuk liberalisasi. Pada tataran strategis mereka telah berhasil menguasai DKJ.
Lalu dominasi mereka di Koran-koran dan majalah mereka selama bertahun-tahun. Mengadakan anugerah seni dan sastra liberal. Serta dengan jaringan yang mengglobal, mereka dapat mengirimkan ke setiap pesta puisi internasional orang-orang yang hanya sejalan dengan pemikiran mereka.
Adakah yang Melawan Hegemoni Mereka?
Ada. Baik dengan karya maupun wacana. Taufik Ismail bisa jadi adalah lawan berat mereka. Juga Gola Gong dan Saut Situmorang (yang ini seorang Nasrani). Di belakangnya banyak tokoh komunitas dari Yogya, Medan, Depok, Pekanbaru, dan Banten berusaha untuk melawan ideologi sekuler tersebut. Forum Lingkar Pena (FLP) diharap banyak oleh para pelawan TUK ini, karena jumlah anggotanya yang banyak, tersebar di seluruh Indonesia, dan pembinaan calon penulis yang dikenal baik. Juga karena idealisme yang dipegang teguh sesuai dengan visinya yaitu menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan umat.
Tapi sayang, menurut Ketua FLP-nya sendiri, M Irfan Hidayatullah—melawan mereka FLP seringkali hanya bermodal semangat. Selalu kehabisan referensi dan tidak didukung dengan wawasan yang kaya. Ini disebabkan karena kurangnya budaya membaca. Oleh sebab itu ia menyarankan untuk senantiasa menumbuhkan semangat baca yang tiada padam. Tiada hari tanpa membaca. Tiada hari tanpa perkembangan wawasan keislaman, kebudayaan, dan kesastraan!
***
Apa yang saya sampaikan di sini adalah informasi mini dan singkat dari sebuah gerak sastra penganut paham kebebasan seenaknya. Lebih lanjut dan lebih luasnya pembaca dipersilakan untuk mengeksplorasi khazanah perdebatan sastra ini melalui publikasi media baik di dunia nyata ataupun maya. Lalu tinggal menentukan pilihan keberpihakan. Suatu kejanggalan bilamana seseorang tidak memilih.
Sebagaimana seorang teman memilih untuk bergenre feminisme—anak kandung dari liberalisme itu sendiri—dalam setiap karyanya, maka saya tidak bisa memaksa. Karena semuanya memiliki konsekuensi masing-masing. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Tentunya sang teman pun tidak bisa memaksakan ideologinya kepada saya, mengutip Helvy, seperti yang dilakukan oleh sastrawan yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memaksa para sastrawan Indonesia untuk menulis dengan memakai ideologi mereka sebagai dasar.
Karena sesungguhnya, bagi saya menulis adalah suatu ekspresi yang harus bisa mencerahkan orang. Sekaligus sarana menganjurkan kebaikan dan menghindarkan kemungkaran. Dan di setiap huruf yang tertulis ada tanggung jawab yang diminta oleh Sang Mahapemiliksastra. Sang Pemilik Keindahan Sejati.
Allohua’lam bishshowab.

Maraji:
1. Adian Husaini, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Gema Insani Press: 2002;
2. Helvy Tiana Rosa, Segenggam Gumam, Syamil CIpta Media, Bandung: 2003;
3. Hudan Hidayat, Nabi tanpa Wahyu, Jawa Pos, 1 Juli 2007
4. Hudan Hidayat , Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya, Jawa Pos, Minggu, 06 Mei 2007 http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=283968
5. M. Irfan Hidayatullah, sebuah email untuk forum_lingkarpena@yahoogroups.com;
6. Taufik Ismail, 13 Wajah Gerakan Syahwat Merdeka,
Perspektif, Gatra Nomor 7 Beredar Kamis, 28 Desember 2006 http://www.gatra.com/artikel.php?id=100809;
7. Taufik Ismail, HH dan Gerakan Syahwat Merdeka , Jawa Pos, Minggu, 17 Juni 2007,
http://jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=290339;
8. Sunaryono Basuki Ks, Gonjang Ganjing Sastra Selangkangan: Bagian pertama dari Dua Tulisan;
9. S. Yoga, Puritisme dalam Sastra Indonesia: Tanggapan untuk Imam Cahyono;
10. Viddy AD Daery, Sebuah Tulisan.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
16:17 08 08 2007

BELAJAR ILMU KEBAL


Ilustrasi gambar dari wallpaperswa.com.

Ada syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan untuk bisa memiliki ilmu-ilmu kebal. Ilmu yang membuat badan atau tubuh kita utuh tanpa kurang suatu apapun saat ditusuk, diiris, dibacok senjata tajam. Atau saat dibakar, berjalan di atas pecahan beling dan bara api.

Syaratnya antara lain bertapa di tempat sunyi dan angker, membawa menyan dan sesaji, melakukan wirid-wirid tertentu ataupun mantra-mantra nenek moyang. Puasa mutih selama empat puluh hari empat puluh malam. Atau sama sekali tidak makan ataupun minum.

Bahkan yang paling ekstrim adalah dengan melakukan hal-hal yang aneh yaitu makan daging mayat ataupun menyetubuhinya sampai mencapai bilangan tertentu. Biasanya kalau sudah 99 banyaknya, untuk mencari yang ke-100 susah banget, alih-alih berhasil malah gagal. (sinetron misteri kalee…)

Yang demikian ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak syarat-syarat yang diminta oleh setan. Ujung-ujungnya adalah penghambaan manusia pada dirinya. Tidak kurang bahkan ingin lebih. Tumbal akidah itu sudah pasti menjadi taruhannya. Menjual dengan murah kehidupan akhirat dengan kefanaan dunia. Murah-murah sekali.

Tapi banyak sekali loh yang mau. Iklan-iklan mengajak orang pada jalan pintas ini banyak bertebaran di koran-koran. Mulai dari yang benar-benar mengaku sebagai dukun dengan wajah angker, rambut terurai panjang sebahu, dan kumis serta jenggot yang menjuntai sampai pada tampilan yang bagaikan sosok-sosok walisongo dan bergelar kyai ataupun ustadz.Apalagi diiming-imingi keberhasilan 100% dan jaminan uang kembali.

Dan satu lagi yang membedakannya dengan dukun-dukun kampung berbangklon, bergelang bahar, berkalung tengkorak tergantung di leher, untuk mereka yang mau ilmu kebal ini, tidak perlu melakoni syarat-syarat di atas. Gampang. Tinggal menyerahkan mahar dengan angka tertentu yang telah disepakati maka ilmu pun bisa langsung ditransfer saat itu. Real Time Systems bo…Murah-murah sekali. Laris manis tanjung kimpul. Duh…

Tapi bagi yang berpikiran rasional, tidak ada ilmu kebal yang demikian. Yang ada adalah bagaimana menciptakan alat untuk bisa melindungi tubuh dari terjangan pedang, panah, bahkan peluru tajam. Nabi Daud sudah memulai sejak dulu kala dengan menciptakan baju baja. Dan di abad pertengahan perlindungan itu menutupi seluruh tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Karena tidak efektif dan efisien, kini baju itu cuma tinggal jadi barang rongsokan ataupun jadi barang tontonan di museum-museum orang barat sono. Paling hebat cuma jadi figuran film kartun di kastil-kastil tua.

Sekarang karena sudah dikuasai ilmunya, banyak sekali ragam baju kebal seperti ini. Kesatuan pemadam kebakaran yang paling moderen dan para astronot sudah memakai baju antiapi dan antipanas ini.

Bahkan para ilusionis dan penyuka rasa sakit sudah memakainya dalam setiap pertunjukannya. Tidak hanya untuk menahan api, tapi untuk menahan sambaran setrum jutaan volt juga halilintar. Gundala Putera Petir—superhero made in Indonesia rekaan masa lalu—mungkin kalah aksi dengan mereka.

Adalagi rompi antipeluru yang merupakan baju berupa rompi terbuat dari kain dilengkapi bahan penahan kejut (kevlar) di dalamnya dan berfungsi sebagai penahan bacokan benda tajam, pecahan granat, tekanan/kejut dari pistol dan senjata laras panjang [1]. Rompi ini tidak hanya dipakai oleh prajurit Amerika Serikat untuk menjajah dunia, tapi juga kesatuan-kesatuan tempur di setiap negara. Juga para penjual jasa keamanan swasta sekelas Blackwater Security Consulting, Vinnel, Dyncorp hingga yang cuma sekelas pengamanan uang Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Tidak hanya dari kevlar, dengan teknologi yang semakin canggih, kini sudah dilakukan penelitian untuk mengganti kevlar dengan benang sutra laba-laba. Karena benang ini merupakan suatu jaringan serat yang sangat ringan dan kekuatan serta kelenturannya jauh melebihi Kevlar—serat sintesis terkuat yang ada saat ini buatan perusahaan DuPont. Kekuatan benang sutra ini bahkan mampu menahan peluru yang ditembakkan tanpa menyakiti orang yang memakainya sebagai baju anti peluru [2]. Tapi jelas ini mahal. Mahal-mahal sekali, duh…

Inilah usaha manusia untuk melindungi dirinya agar senantiasa selamat. Yang pertama dengan upaya yang murah tapi haram dengan menggadaikan hartanya yang paling mahal, yaitu aqidah, hingga menempuh cara yang rasional tapi berbiaya tinggi. Karena saking mahalnya, satu paket proyek pertahanan keamanan bisa untuk membangun dan merehabilitasi ribuan sekolah. Otomatis kalau yang ini jadi target utama, amanah Undang-undang Sisdiknas tentang biaya untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN tidak akan mungkin tercapai dengan segera.

Ya, semua di atas adalah untuk perlindungan fisik semata. Tidak menyentuh psikis manusia yang sebetulnya perlu bahkan wajib untuk dilindungi. Karena bila psikis manusia tidak dilindungi dari pengalaman buruk seperti penghinaan, perlakuan buruk, cemoohan, ketersinggungan, kegagalan dan teman-temannya itu, maka pengalaman buruk itu akan menjadi sampah yang mengotori pikiran.Semakin sering kita menyimpan memori buruk di otak, semakin negatif sikap dan prilaku kita [3].

Bagaimana cara menyingkirkannya? Kita kudu membuat armor-nya. Dan ini berarti kita harus belajar ilmu kebal yang satu ini. Tapi tunggu dulu. Latar belakangnya bagaimana nih kok bisa pembahasannya sampai ke sini.

Yup, beberapa hari yang lalu, dalam sebuah email pribadi saya: muncul ungkapan-ungkapan seperti ini: eh pecun murahan….dasar cemen….. sok hebad…limp dick…banci im yawr worst nite mare ever….. i see u melt in hell.

  1. Analisa Kebijakan Penggunaan Rompi Tahan Peluru Taktis Di Lapangan http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=12&mnorutisi=2
  2. Benang Laba-laba dari Susu Kambing
    http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=17
  3. Membersihkan ‘Sampah’ dari Pikiran http://jerryronancy.blogs.friendster.com/chi/

Riza Almanfaluthi

AISHWARYA RAI, BIDADARI ITU


 

 

Kyai tua itu duduk-duduk di depan teras masjid sambil memandang ufuk timur yang penuh semburat mentari pagi. Posisi masjid yang lebih tinggi dan berada di atas tebing membuatnya leluasa untuk memandang pesona alam.

Halimun masih saja menyelimuti atap-atap rumah penduduk desa di bawah sana. Kicau burung membahana diiringi gemericik air pancuran yang berada di samping masjid itu. Ada geliat para petani menuju sawah dengan cangkul yang tergantung di pundak masing-masing.

Benar-benar deskripsi klasik dari sebuah pemandangan pedesaan bumi Pasundan. Semuanya terukir jelas pagi itu. Pagi yang seperti biasa ia lalui bertahun-tahun ini dengan zikir-zikir Almatsurat usai subuh yang terlontar dari mulutnya dan mulut para santrinya.

Baca Lebih Lanjut

Dua Tips Menjadi Murabbi Sukses


Salah satu dari 114 tips menjadi murabbi sukses yang ditulis oleh Satria Hadi Lubis adalah “jangan lupa untuk mempersiapkan materi”. Berikut kutipan lengkap dari tips kedua tersebut:

“Da’i harus memiliki argumen yang kuat untuk mendukung makna yang diutarakan dan harus memperhatikan kesesuaian argumen dengan makna tersebut. Ia memiliki keluasan dalam memilih argumen, sebab ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits Rasul, sirah Nabawiyah yang harum, dan sejarah Islam adalah argumen yang kuat yang dapat digunakan untuk memperkuat pembicaraan” (Musthafa Masyhur).

Salah satu kebiasaan buruk murobbi yang sering dijumpai adalah tidak mempersiapkan materi. Mereka tampil spontan. Mungkin merasa mad’u sudah tsiqoh (percaya) dengan mereka, sehingga tidak bakalan hengkang. Padahal Shakespeare pernah mengingatkan, “Barangsiapa naik panggung tanpa persiapan, ia akan turun panggung dengan kehinaan”. Hasilnya, mad’u mungkin tidak hengkang. Tapi penyajian materi terasa hambar, monoton dan tidak aktual, karena tidak dipersiapkan sebelumnya. Akhirnya, mad’u lama kelamaan merasa bosan dan merasa tidak bertambah wawasannya. Mad’u jadi suka absen, atau paling tidak hadir tanpa antusias yang tinggi.
Karena itu, persiapkanlah materi yang akan Anda sampaikan di halaqah. Persiapkan walau hanya sebentar (10-15 menit). Idealnya, persiapan yang perlu Anda lakukan minimal 60 menit, agar Anda dapat mempersiapkan materi lebih komprehensif. Siapkan dalil naqli (dalil dari Al Qur’an dan Hadits) dan aqli (dalil secara rasional), data dan fakta terbaru, ilustrasi dan perumpamaan, contoh-contoh kasus, bahan humor, pertanyaan yang mungkin diajukan, bahasa non verbal yang perlu dilakukan, metode belajar yang cocok dan media belajar yang diperlukan.
Dengan persiapan prima, niscaya Anda akan tampil di halaqah bagaikan aktor kawakan yang mampu menyedot perhatian penonton (mad’u).

Tips di atas saya lakukan benar-benar. Caranya adalah dengan membuat materi tersebut dalam file berbentuk powerpoint. Maklum saya bukanlah seperti orang lain yang dengan mudahnya berbicara tanpa teks, tanpa slide, tanpa handsout. Jadi agar pembicaraan tetap terarah dari awal sampai akhir, pun agar yang diterangkan kepada pendengar adalah sesuai dengan maksud yang diharapkan dari tujuan materi tersebut maka saya melakukan upaya itu.
Pertama, saya akan membaca materi yang akan disampaikan tersebut—tentunya materi yang sesuai dengan kurikulum mentoring. Lalu sambil melakukan kegiatan itu saya pun sekaligus membuat file berekstensi ppt. Di situlah saya merasakan membaca sambil membuat, menjadikan saya—setidaknya—dapat memahami dengan mudah alur berpikir dari tema pokok materi.
Alhasil, setelah saya melakukan persiapan tersebut dengan matang, saya merasakan manfaat yang sangat besar—tentunya dengan pertolongan Allah pula—saya menjadi tidak grogi dan presentasi pun berjalan dengan lancar.
Sewaktu acara daurah pemuda se-Pabuaran, saya diberikan amanah oleh ketua panitia untuk menyampaikan materi bertema ghazwulfikr, dengan persiapan yang sungguh-sungguh maka Allah memudahkan saya memberikan materi tersebut. Begitu pula dengan Ahad kemarin untuk pertemuan pekanan yang ketiga ini saya memberikan materi tentang keseimbangan, dan lagi-lagi Allah memudahkan saya.
Saya sampai berkesimpulan, mungkin inilah jalan yang Allah tunjukkan kepada saya bahwa salah satu cara untuk menghindari kebingungan yang biasa saya derita dalam memberikan materi adalah dengan cara yang demikian. Buat softcopy dari materi tersebut.
Ya, salah satu kelemahan saya dalam mengisi mentoring adalah saya tak bisa tampil spontan dan kebingungan tentang materi apa yang harus saya berikan. Padahal referensi materi begitu seabrek dalam lemari buku. Sekali, dua kali, bahkan berkali-kali saya baca materi tersebut sebagai bentuk persiapan masih saja susah untuk dicerna oleh akal pendek saya.
Tetapi dengan tips di atas Insya Allah saya sudah bisa mengatasi kebingungan tersebut. Intinya adalah buat catatan atau presenter bilang buat poin-poinnya. Ini sesuai dengan tips selanjutnya dari Satria Hadi Lubis berikut ini:

3. Catat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u

“Dan hendaklah ia rapi dalam segala urusannya” (Musthafa Masyhur).

Selain mempersiapkan materi, hal yang perlu Anda persiapkan sebelum mengisi halaqah adalah mencatat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u. Misalnya, mencatat apa saja yang akan dievaluasi, apa saja informasi dan instruksi yang akan disampaikan, atau siapa yang akan Anda ajak bicara tentang sesuatu hal.
Dengan mencacat, Anda akan ingat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u. Tapi jika mengandalkan ingatan, Anda akan lupa karena saking banyaknya hal yang perlu Anda sampaikan kepada mad’u. Kelupaan tersebut dapat berakibat fatal, jika yang akan Anda bicarakan adalah hal yang penting dan mendesak. Anda mungkin terpaksa membicarakannya di luar halaqah via telpon. Hasilnya, tentu tidak seefektif jika Anda sampaikan secara tatap muda di depan halaqah. Nah.. agar tidak lupa, catat apa yang akan Anda sampaikan kepada mad’u di buku atau di kertas Anda sebelum Anda mengisi halaqah.

Mungkin untuk orang lain, membuat poin-poin pembicaraan itu pun mudah semudah membalikkan tangan. Dengan cukup mengambil secarik kertas kosong lalu menuliskan poin-poin tersebut. Tetapi bagi saya itu belumlah cukup, saya kudu membuatnya dengan tampilan bagus terlebih dahulu dalam sebuah software khusus baru saya bisa lebih paham. Kegunaan lainnya adalah bisa langsung dicetak dan dibagikan kepada peserta mentoring.
Cuma satu kekhawatiran saya yakni upaya ini cuma semangat di awal saja lalu lama-kelamaan hilang ditelan bumi seiring dengan bangkitnya kemalasan saya. Tapi saya pikir, yang terjadi nanti biarlah terjadi nanti. Sekarang yang perlu saya lakukan adalah tetap memupuk semangat ini. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap bekerja maksimal dalam jalan ini.

69. Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [Al-Ankabuut, 29: 69]

Ayat di atas setidaknya menjadi pelipur kelelahan bagi saya. Semoga menjadi pelipur sampai akhir.

Kesimpulan Kiat:
1. Buat softcopy dari materi;
2. Catat apa yang akan disampaikan.

Maraji’:
– Alqur’anul Kariim
– Menjadi Murabbi Sukses, Satria Hadi Lubis

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
kalibata mendung
12:28 20 Maret 2007

Gamay di antara Microsoft dan Google


GAMAY DI ANTARA MICROSOFT DAN GOOGLE

Malam ini saya sudah tidak sabaran sekali untuk menuliskan tentang Google setelah membaca sebagian halaman dari sebuah buku yang mengisahkan tentang kesuksesan Google—yang dirintis dua orang keturunan Yahudi—untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi terbesar dengan nilai kapitalisasi saham yang tidak pernah dibayangkan para kapitalis untuk perusahaan baru tumbuh seperti Google. Di benak saya sudah tak terbendung lagi air bah ide untuk dituliskan agar tidak meluber kemana-mana.
Tetapi saya tidak akan menuliskan begitu saja isi tentang buku itu, karena apa yang mau saya tulis sedangkan bagi saya semuanya dari halaman pertama hingga halaman 167—halaman yang sedang saya baca, dan saya percaya sampai halaman terakhir pun—menarik semua dan tidak akan membuat saya bosan. Wajar saja kalau Daily Mail menulis sebuah endorsement di sampul depan buku berwarna putih—khas gaya antarmuka Google—itu dengan sebuah ungkapan: ”Sungguh memikat, ditulis dengan gaya kisah detektif…sangat cerdas.”
Di sini saya cuma ingin mengungkapkan sebuah kisah atau beberapa kisah tentang pergaulan saya dengan Google—sebuah ikon tentang citarasa gaya surfing masa kini yang membuat Bill Gates panik karena banyak sekali para lulusan tercerdas dari kampus-kampus ternama Amerika Serikat berusaha bergabung dengan Google alih-alih bergabung dengan Microsoft.
Ya, kisah yang dimulai dari sebuah keputusasaan saya mencari arsip-arsip penting di komputer desktop saya. Dengan mengklik tombol start di Windows bawaan komputer, lalu menekan tombol Search dengan ikon sebuah kaca pembesar maka muncul tampilan search result dengan balloon yang diungkapkan seekor anjing berwarna coklat.
”What do you want to search for?” tanya anjing itu. Maka saya ketikkan keywords dari file yang saya cari itu. Setelah saya memilih salah satu menu yang ada di sana lalu menekan tombol search, maka mulailah pencarian itu dimulai dengan si Anjing berdiri pura-pura sibuk membuka halaman-halaman buku tebal itu. Satu atau dua kemungkinan yang muncul pada search result. “Search is complete. There are no results to display.” Itu kemungkinan yang pertama. Selanjutnya adalah kalau file itu ada maka hasil pencarian memakan waktu yang cukup lama. Bermenit-menit bahkan. Sungguh lama sekali. Saya frustasi dengan hal ini.
Tetapi setelah saya mengenal Google di awal pengenalan saya dengan internet di tahun 2002, apalagi setelah Google mengeluarkan perangkat lunak canggihnya yaitu Google Desktop walaupun masih dalam versi beta, membuat persepsi saya tentang sebuah pencarian di komputer rumahan menjadi berubah, dari semula mengerikan, mimpi buruk menjadi mengasyikkan dan saya sungguh menikmatinya.
Google Desktop memberikan kepuasan manusiawi dalam hitungan detik dari pencarian ribuan file yang bersemayam dalam komputer kita. Sekarang saya tak lagi pusing-pusing lagi menemui file yang lupa disimpan di mana karena tidak suksesnya saya dalam penertiban administrasi file.
Software kecil tersebut juga memberikan fasilitas kotak pencarian kecil di taskbar—letaknya biasanya di sudut kanan bawah. Dengan ini saya tak perlu membuka halaman browser untuk pencarian sebuah file. Dengan mengetikkan satu huruf depan dari keywords maka akan tampil di atas taskbar tersebut indeks dari file-file yang dicari. Microsoft pernah sesumbar untuk membuat search engine desktop yang mampu mencari file dalam setiap bit di pc, tapi MSN Search (mesin pencari buatan Microsft) pun masih tak sanggup menandingi kehebatan PageRank—sistem Google dalam pencarian di dunia maya.
Luar biasa. Dulu hingga kini saya sangat terbantu dengan fasilitas ini. Oleh karena itu di saat saya pindah kantor dan menjumpai personal computer (pc) baru di hadapan saya, yang pertama kali saya lakukan adalah menginstalasi program bagus tersebut. Saya merasa seperti orang buta tanpa tongkat dengan tiadanya fasilitas itu.
Satu lagi bantuan yang membuat saya terpuaskan dari sistem pencarian ini adalah kemampuannya mengorganisir apa yang saya mau saat mencari data jurnal dan tesis. Saya tidak bisa membayangkan kalau tidak ada fasilitas ini, kemungkinan besar saya tidak bisa menyelesaikan tesis dalam waktu dua bulan penuh. Karena saya harus kemana-mana mencari data primer ataupun sekunder. Ke lokasi perusahaan, perpustakaan, ataupun ke Bursa Efek Jakarta.
Tapi dengan Google saya cuma cukup dengan memelototinya dan melihat bagaimana ia menginventarisir web-web mana saja yang harus saya kunjungi dan menyediakan data tersebut. Mulai dari Jakarta Stock Exchange, Yahoo! Finance, Reuters, Bloomberg, Republika Online, Kompas Online, dan situs-situs keuangan lainnya. Alhasil saya tak perlu capek-capek membolak-balikkan halaman berbagai referensi di perpustakaan atapun tempat-tempat yang saya sebutkan tadi.
Saya perlu menyatakan pula, dengan Google itulah saya menemukan satu tesis lengkap—mulai halaman pertama sampai akhir—yang menarik saya dan memberikan ide awal untuk membuat tesis. Menurut saya tesis si fulan ini cukup bagus, mudah dimengerti, dan satu yang pasti adalah sarannya yang memberikan ruang gerak kepada penelitian lanjutan. Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan penelitiannya.
Tapi secara moral saya perlu legitimasi untuk ini, oleh karena itu saya perlu meminta izin secara informal dari penulis tesis. Lalu menghubungi siapa? Saya tak tahu kemana saya harus melakukan kontak dengan sang penulis. Tapi saya berpikir cepat, insting saya berjalan, karena dalam kata pengantar tesisnya ia adalah termasuk orang yang tidak gamay (gagap dunia maya) dan juga seorang blogger, saya langsung ketikkan nama si fulan di Google, Jreng….!!! Di layar, tampak alamat dan nomor telepon genggamnya. Saya sukses besar meminta kepadanya untuk mengizinkan saya melanjutkan penelitiannya dengan mengganti variabel-variabel penelitian dan menambah time frame penelitian sesuai apa yang disarankan pada bab terakhir tesisnya itu.
Berkaitan dengan penelitian saya kutip satu paragraf dalam buku tersebut:
Pelajar dan mahasiswa, berapa pun usia mereka, adalah pengguna Google kelas berat, walaupun ada guru dan dosen yang terus menyuruh mereka menggunakan mesin pencari akademik yang lebih khusus, selain mendorong pemanfaatan perpustakaan, pertemuan tatap muka, dan sejumlah cara lain yang tradisional dan telah teruji untuk mendapatkan informasi penting. Tokoh pendidikan masih belum satu pendapat soal manfaat Google. Banyak yang mengatakan Google menjadikan mahasiswa malas, mendorong plagiarisme, dan mengganggu proses belajar dengan memungkinkan pengambilan data secara cepat, alih-alih memaksa mereka melakukan penggalian yang didorong oleh hasrat untuk tahu lebih banyak mengenai suatu bidang. Namun yang lain memujinya, mengatakan bahwa kemudahan dalam penggunaannya mendorong orang mengeksplorasi dan menganalisis dokumen-dokumen penting kapan pun, entah siang atau malam. Mereka juga berpendapat bahwa Google meminimalkan perbedaan yang dihadapi oleh mahasiswa, entah sekolah atau universitas mereka besar atau kecil, entah mereka kaya atau miskin, dan entah mereka mempunyai akses ke perpsutakaan yang lengkap atau tidak sama sekali. Pendek kata, mereka mendukung tujuan Google untuk mendemokrasikan akses ke informasi, termasuk hasil penelitian ilmiah yang terus bertambah.(Vise: 2006).
Bagi saya, manfaat Google adalah menurut pendapat yang kedua. Ya, setidaknya untuk mengimbangi gap intelektualisme dan mencegah diskriminasi penyebaran informasi antara negara maju dan berkembang.
Begitu banyak manfaat yang didapat dari Google yang tidak bisa saya ungkapkan di sini. Dan terakhir saya cuma berpikir tentang kalimat di bawah ini saat memakai Google: ”Al-hikmatu dhaallatul mu’min, annaa wajadahaa fahuwa ahaqqu bihaa”. Hikmah itu adalah sesuatu yang hilang dari orang beriman, di manapun dan bagaimana pun itu ditemukan, maka ia lebih berhak untuk mendapatkannya.” (Kalimat ini pun saya temukan dengan searching via Google).
Saya tidak tahu bagaimana kontribusi mereka terhadap Israel, saya cuma tahu mereka pernah berkunjung ke Israel untuk memotivasi para murid di satu sekolah khusus para jenius agar tetap eksis dengan ditemani oleh Mikhail Gorbachev dan Shimon Perez (pembantai rakyat Palestina).
Oleh karena itu untuk tetap memelihara semangat dan dukungan perjuangan kepada rakyat Palestina dan berhati-hati terhadap dana yang bisa disumbangkan kepada Israel, saya cuma bertekad untuk tidak mengklik teks iklan yang disediakan oleh Google di sebelah kanan situsnya, karena dari sanalah jutaan bahkan milyaran dollar pemasukan Google di dapat. Berhati-hati tidak mengapa bukan…?
So, sila ber-google-ria, tentunya dengan cerdas.
Allohua’lam bishshowab.

***
”Pak, kok di situs pajak saya tidak mendapatkan peraturan yang saya cari ya?” tanya seorang Wajib Pajak Penanaman Modal Asing Tiga.
”Ah, yang benar, masak sih Bu…?” tanya saya menyangsikannya.
”Betul Pak, saya sudah lama nyari tapi tetap gak ketemu,” jawabnya dengan dialek jawa yang kental.
”Ya sudah ibu cari di Google saja,” saya memberikan solusi.
“Google? Situs apaan tuh Pak?
“What the…?” pikir saya dalam hati. Wajib Pajak PMA, lokasi di Surabaya, sering pakai email, kejadian ini benar adanya kurang lebih sebulan yang lalu. Gap?

***

Maraji’: Vise, David A. dan Malseed, Mark. (2006). Kisah Sukses Goggle, Cetakan Kedua, Jakarta: PT GPU

Riza Almanfaluthi
(seorang gamay juga)
dedaunan di ranting cemara
malam ramai di gelapnya mendung berhias sabit

05:27 24 Januari 2007

JANGAN SEPERTI NIRINA ZUBIR


JANGAN SEPERTI NIRINA

Pagi ini, tidak biasanya jalanan di Margonda begitu macet dengan antrian sepanjang kurang lebih 500 meter. Biasanya cuma dua penyebabnya, mungkin ada mobil mogok di ujung jalan Margonda yang sempit menuju Jakarta atau satu lagi ada kecelakaan.
Ternyata benar dari kejauhan sudah terdengar sirine mobil polisi. Saat melewati tempat itu sudah teronggok Xenia rongsok di pinggir jalan. Dan jalanan penuh dengan pecahan kaca. Hal lain yang menarik selain dari kerumunan orang-orang yang ingin melihat kejadian itu adalah kantung mayat berwarna kuning mencolok mata. Tentu di dalamnya sudah ada isinya, sebuah jasad yang tiada bernyawa.
”Mobil ketimpa mobil,” kata penyapu jalanan yang sempat saya tanyai. Cuma itu saja. Setelahnya saya tidak mendapatkan informasi apapun. Yang pasti perjalanan pagi itu menambah bahan pemikiran saya yang ada di otak yang sudah penuh sebelumnya. Ah, batas antara hidup dan mati begitu tipis.
***
”Mas, saya dapat file berekstensi 3gp, muternya pake apaan yah?” tanya saya pada seorang teman.
”He…he…he…inilah kalau orang tidak pernah dapat kiriman ”gituan”. Coba pakai real player. Emangnya elo dapat file apaan sih?” tanya dia setengah mendesak.
“Eksekusi Saddam Hussein,” jawab saya.
Setelah saya mencari di sebuah situs di intranet yang terkenal dengan gudang software gratisannya, saya menemukan program itu dan langsung melakukan instalasi. Tidak lama setelah itu barulah saya bisa memutar klip yang membuat kaum Sunni marah besar melihat penghinaan yang diterima Saddam saat akan dilakukan eksekusi.
Kamera handphone ini merekam dari bawah panggung tempat eksekusi. Dan terlihat sosok tinggi besar itu keluar dari sebuah pintu. Sambil disambut yel-yel dari para penonton—ditengarai bahwa mereka adalah para pendukung pentolan Syiah Muqtada Sadr—Saddam masih sempat untuk berkata-kata.
Dan kalimat terakhir yang terucap adalah asysyhadu anlaa ilaaha illallah, wa asysyhadu anna muhammadarrasuulullaah. ”Brak…!!!” Suara papan penahan tubuh Saddam terbuka. Gambar terakhir yang terlihat adalah kepalanya yang mendongak ke atas dengan leher patah.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sosok itu adalah sosok saya. Lalu saya pun berpikir apa yang Saddam rasakan pada saat itu, saat-saat terakhir berpisah dengan dunia dan menjumpai Sang Raja Sebenar-benarnya Raja.
Ah, batas antara hidup dan mati begitu tipis.
***
Dalam sebuah lingkaran kecil pekanan, seorang gadis yang baru beranjak dewasa sambil menangis tersedu-sedu mencurahkan perasaan yang dideritanya pada seorang ibu muda yang biasa mereka panggil dengan sebutan Ummi.
”Mi…apakah orang yang mau mati itu selalu mendapatkan firasat sebelumnya?”
”Memangnya kenapa?”
”Seminggu ini saya selalu bermimpi didatangi Adi Firiansyah. Dia ngajak saya ikutan dia, Mi” jawabnya masíh sambil menangis.
[Ohya, Adi Firiansyah itu artis sinetron yang meninggal dalam kecelakaan motor]
”Jangan mau dong, emang mau diajakin mati.” sahut sang Ummi sambil setengah bercanda mencairkan suasana.
”Ya , tapi gimana ya Mi. Jadinya perasaan ini kok sedih banget, berat, dan takut matinya itu loh Mi.”
Sang Ummi menghela nafas. ”Sikapi dengan baik mimpi itu. Jangan tiru Nirina”.
”Nirina siapa Mi?” tanya gadis remaja yang lain mewakili kepenasaran teman-temannya.
”Mirror..mirror” kata Ummi.
”Oh si Kikan itu….” mereka sudah paham.
[Nirina Zubir pemeran Kikan dalam film berjudul Mirror]
”Ya…sudah ’tahu’ mau mati, malah cemas, bingung, kelabakan, amburadul, hidupnya dibawah titik nadzir, mengendarai mobil serabutan, meninggal juga akhirnya.”
”Bagaimana sikap yang baik? Itulah saat yang seharusnya menjadi saat terbaik untuk kita kembali pada-Nya. Untuk lebih dekat, lebih dekat, dan lebih dekat lagi. Untuk menumpuk bekal amalan yang akan kita pergunakan menempuh perjalanan selanjutnya. ”
”Amalan baik apa yang bisa membuat neraca di sana itu miring ke kanan, tidak ke kiri. Amalan apa? Sedangkan banyak orang yang tertipu dengan amal baiknya yang begitu banyak, padahal tidak berisi apa-apa. Inilah saatnya untuk lebih dekat lagi dengan-Nya. Karena kematian itu bukan akhir dari segalanya.”
”Sesungguhnya tiada yang tahu kematian itu kapan akan merengkuh kita, kecuali Ia. Inilah ujian bagi orang-orang yang beriman.” Ummi mengakhiri.
***
Tiga peristiwa di atas memberikan kepada saya nasehat utuh dan penyikapan dari sebuah kematian. Kematian itu kapan saja bisa terjadi. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali tentunya Sang Pemilik Kehidupan. Masalahnya adalah bagaimana bisa sebuah penyikapan yang baik lahir dari jiwa-jiwa yang kering dari ruh kebaikan, mata-mata yang nanar menikmati syahwat, telinga-telinga yang peka terhadap keburukan orang lain, mulut-mulut penuh nafsu mengumbar aib saudaranya sendiri. Duh…bekalku ternyata sangat sedikit sekali.
Pun, batas antara hidup dan mati begitu tipis.

CUMA JARKONI….?


“Saya ini sudah diundang berceramah kemana-kemana. Kemarin ke Hongkong dan besok akan ke Hongkong lagi,” demikian diungkapkan oleh aktor sinetron Indonesia saat ditanya tentang kegiatannya di bulan Ramadhan. Ya, di bulan Suci itu ia telah berganti profesi dari sebuah profesi yang bergelimang dengan hedonisme kepada sebuah profesi yang tuntutannya berat di akhirat kelak.
Tayangan infotainment itu mengejutkan saya dan saya ucapkan dalam hati semoga ia berkesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Soalnya dulu saat ada konflik antara Bang Haji Rhoma Irama dengan Inul Daratista, ia pendukung berat dan berada di belakang Inul untuk tetap eksis dengan goyang ngebornya. Bahkan mengecam Bang Haji sebagai golongan orang-orang munafik dan sakit hati karena tidak kebagian order manggung.
Apalagi setelah ia membintangi sinetron laris tahun lalu berjudul Kiamat Sudah Dekat yang disutradarai oleh Dedi Mizwar membuat keyakinan saya tentang dirinya bertambah bahwa ia telah menemukan jalan yang benar. Plus setelah saya membaca berita ia diundang bersama Cici Tegal berceramah dihadapan ribuan buruh Indonesia di Hongkong.
Ini yang disorot oleh Infotainment tentang maraknya pertaubatan para artis di bulan ramadhan. Maraknya mereka menjadi ustadz yang diundang berceramah ke mana-mana. Ada satu pertanyaan yang dicoba untuk diajukan kepada pemirsa. Apakah ini cuma trend sesaat di bulan ramadhan atau telah menjadi bagian seutuhnya yang tidak bisa dipisahkan dari jiwa para artis tersebut.
Haji Amidhan—ketua MUI, mantan Dirjen Departemen Agama—adalah salah seorang narasumber yang diminta pandangannya terhadap fenomena ini. Satu saja poin yang beliau ungkapkan: ”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ya, ustadz itu adalah tuntunan bukan tontonan. Saya setuju itu, sebagai sebuah nasehat bagi diri yang lemah ini, nasehat itu amat menohok bagi saya yang sering berperilaku sebagai seorang hipokrit tulen (sudah hipokrit, tulen lagi).
Tapi, teman-teman, harapan saya salah. Persis keeseokan harinya ternyata ada berita yang menayangkan sosok aktor kita ini lagi. Tidak berpakaian batik dan berpeci seperti yang saya lihat sebelumnya, kini ia berpakaian macho banget (bukan ini masalahnya) dan ada bagian yang membuat saya terhenyak. Ia berangkul-rangkulan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Wanita penyiar tivi berambut laki-laki itu dirangkulnya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya saya lupa merangkul siapa. Katanya ia akan pergi ke Eropa bersama rombongan tersebut untuk jalan-jalan.
Harapan saya menemukan suatu perubahan pada diri aktor tersebut pupus sudah. Atau karena ia belum tahu dan sedang dalam proses menuju perbaikan? Entahlah. Setidaknya ketika ia diundang berceramah kemana-mana bekal ilmu hendaknya senantiasa ia perbanyak, dan ketika persiapan pemenuhan bekal itu dilakukan ia pastinya akan menemukan bab tentang muhrim dan bukan muhrim.
So, ternyata jadi ustadz itu berat, ia harus menyelaraskan ucapan dan perbuatannya. Satu yang pasti lagi ia harus senantiasa menjadi teladan bagi yang lain. Karena dengan keteladanan, objek dakwah akan dapat terbuka hatinya untuk bisa mencontoh semua perbuatan panutannya dan menerima nasehat-nasehat kebaikan. Jika tidak, yang ada cuma semburan panas celaan seperti munafik, omdo (omong doang), jarkoni (ngajar ora dilakoni). Mengutip perkataan Menteri Pertanian kita Anton Apriantono, “Kalau pemimpin tak bisa jadi uswah (teladan), jangan berharap anak buah mengikuti,” ujarnya.
Saudara-saudaraku kita hanya bisa berharap kepada Allah semoga Ia memudahkan upaya kita untuk senantiasa selaras antara perkataan dengan perbuatan. Semoga Allah menetapkan hidayah ini kepada kita, karena sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang Ia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Amin.

riza almanfaluthi
astaghfirullah…
dedaunan di ranting cemara
08:40 31 Oktober 2006

TIGA CARA MASUK SURGA


http://10.9.4.215/blog/dedaunan/25764

Sabtu kemarin saya diundang untuk ikut berbuka puasa bersama di salah satu rumah anggota pengajian pekanan istri saya. Saat jelang magrib saya didaulat untuk memberikan taushiyah di acara itu. Pendaulatan itu mau tidak mau harus saya terima. So, saya butuh referensi cepat untuk itu. Dengan membuka-buka mushaf syamil yang ada di tangan, mata saya terantuk pada dua ayat di Surat Ali Imran. Tepatnya di ayat 133 dan 134.
Kawan, inilah isi dari ayat tersebut:

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dari dua ayat tersebut saya ambil kesimpulan, kalau mau jadi orang bertakwa yang dijanjikan kepada mereka dua hadiah istimewa yakni ampunan Allah dan surga yang seluas langit dan bumi maka kita harus dapat mengerjakan tiga amalan ini:

1. berinfak di waktu lapang dan sempit;
2. menahan amarah;
3. memaafkan kesalahan orang.

Lalu apa susahnya? Ternyata memang berat, memang susah. Maka pantas saja bagi Allah untuk memberikan kepada yang mampu melakukannya imbalan terbesar itu. Ya, bagaimana tidak manusia sesungguhnya mempunyai tabiat kikir artinya manusia tidak mau melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya. Ditambah lagi dengan setan yang menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan. Otomatis lintasan pikiran untuk berbagi tidak menjadi mainframe kehidupan manusia.
Tapi bagi mereka yang mengetahui bahwa segala harta bendanya itu hanya amanah yang dititipkan Allah kepada dirinya, dan mengetahui bahwa sebenar-benarnya harta yang dimiliki adalah harta yang ia infakkan maka tabiat kekikiran dan tipuan setan itu mudah dikikis. Karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah tipu daya yang lemah.
Lalu bagaimana jikalau kita-kita ini sebagai manusia dengan tabiat kikir yang sudah diredam sehingga selalu timbul semangat untuk berbagi di setiap kesempatan tapi masalahnya kita tidak punya kelapangan rezeki? Nah, inilah salah satu bentuk ujian bagi kita. Wajar sih kalau lagi kaya kita selalu berinfak, tapi sungguh luar biasa jikalau sebaliknya. Ia papa, tidak punya apa-apa tapi selalu bersemangat dalam berbagi.
Inilah yang perlu kita tiru. Di lapang ataupun sempitnya keadaan kita, semangat berbagi hendaknya senantiasa menjadi hiasan hidup kita. Apalagi kalau kita mendengar janji Allah yang akan melipatgandakan sepuluh kali lipat bahkan menggandakan 700 kali lipat buat orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. (Pantas saja saya belum merasakan ketiban rejeki nomplok ratusan juta rupiah, karena pancingan untuk mendatangkan rejeki itu cuma infak ribuan perak doang )
Kalau meniru bahasanya Ustadz Yusuf Mansyur: ”ente-ente mau kaya, sedekahlah”. Matematika kehidupan yang berlawanan 180 derajat dengan pakem teori ekonomi yang paling canggih di abad ini. Atau dengan bahasa lainnya: ente-ente mau sehat, sedekahlah atau ente-ente mau selamat dari malapetaka, sedekahlah. Sedekah mengatasi masalah tanpa masalah.
Satu nasehat baik untuk diri saya sendiri.
***

Menahan amarah. Ini juga suatu perbuatan yang rada-rada sulit dan berat. Apalagi kalau marah disaat kita mempunyai kekuasaan, punya power, kesempatan untuk membalas dan menyakiti orang lain. Maka pantas saja ada statement bahwa orang yang terbaik adalah orang yang mampu mengendalikan amarahnya disaat ia mampu membalas. Pantas pula Rasulullah SAW pernah berkata: ”janganlah kamu marah, maka bagimu surga”.
Saat marah yang tidak pada tempatnya itulah saat di mana setan menguasai hati dan akal kita. Sehingga wajar saja orang yang sedang marah ia tidak akan mampu memberikan penalaran yang baik terhadap kondisi sekitar. Marah bisa menjadi awal untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Menyakiti secara lisan dan fisik hingga terjadi pembunuhan.
Di sana ada api yang membakar diri. Yang cuma bisa dipadamkan dengan cara-cara Rasulullah SAW contohkan: pindah tempat berganti posisi dan berwudhu. Gampang sih, cuma karena nalar kita sudah dibolak-balikkan maka perbuatan yang semudah itu saja susah sekali dilakukan. Tinggal kuat-kuatnya kita dan orang lain saja menyadarkan diri ini. Pantas bagi orang yang bisa menahan amarah ia mendapatkan surga dan ampunan Allah.
Satu nasehat baik untuk diri saya sendiri.
***

Wahai kawan, ternyata memaafkan kesalahan orang lain pun menjadi suatu perbuatan mulia yang memang berat dilakukan. Bagaimana tidak, ketika kita disakiti orang lain dengan perkataan ataupun perbuatan maka sebagai manusia normal kita ingin sekali membalasnya dengan perbuatan yang setimpal bahkan jika perlu dibalas dua sampai sepuluh kali lipat. Kita sampai tidak bisa tidur hanya untuk memikirkan balasan itu. Hati kita gelisah, dongkol dan mangkel. Marah pun berkecamuk.
Ketika ia berusaha untuk memaafkan orang lain maka ia berarti sudah memutus habis banyak perkara. Ia menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Ia telah menghilangkan penyakit pada hatinya. Ia menjadi orang yang benar-benar pemaaf dan berjiwa besar. Melapangkan dadanya dari kesalahan saudaranya. Ia membuat tidurnya lebih nikmat dirasakan tanpa gundah yang membuncah. Pantas saja bagi orang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain mendapatkan ampunan Allah dan surgaNya.
Kawan pasti ingat tentang sebutan calon penghuni surga dari Rasulullah SAW terhadap salah seorang sahabatnya sehingga membuat penasaran sahabat yang lain. Di saat dicek amalan hariannya, amalan yang ia lakukan adalah amalan yang biasa dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang lain. Ternyata cuma satu yang beda: di setiap malamnya , sebelum tidur, ia memaafkan kesalahan saudara-saudaranya di hari itu. Subhanallah. Pantas saja bagi orang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain mendapatkan ampunan Allah dan surgaNya.
Sungguh, satu nasehat baik untuk diri saya sendiri.
***

Ba’da maghrib itu saya mendapatkan dua santapan yang mengenyangkan. Santapan ruhani—nasehat untuk diri saya sendiri dan Insya Allah beguna pula untuk yang lain—dan santapan jasmani berupa nasi, mie goreng, plus ayam bakar. Tidak hanya itu silaturahim pun terjalin dengan erat menambah semarak ramadhan mubarak. Menambah keyakinan sebuah cita. Satu cita pasti bagi kami: berkumpul di jannahNya. Insya Allah.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
14:22 17 Oktober 2006