TOMBOL JEBOL


TOMBOL JEBOL

Saya punya hp jadul. Setiap mau sholat saya selalu mematikan dering hp itu agar tidak mengganggu kekhusu’annya. Cara yang biasa saya lakukan adalah dengan menekan sekali (tidak terlalu lama) tombol on/off. Maka di layar hp muncul profiles
seperti switch off, general, silent, dan lain-lainnya. Saya tentunya memilih pilihan silent untuk membisukan berisik bunyi hp jika ada sinyal yang masuk.

Walhasil karena sering dipakai, tombol karetnya yang semula menggelembung menjadi tertelan, cekung ke bawah. Dengan demikian tidak bisa lagi dimatikan hanya dengan menggunakan jari, harus dibantu dengan sesuatu yang tumpul untuk mematikannya. Dan saya biasa menggunakan kancing baju untuk menekan tombol itu. Cara itu semakin membuat tombol itu melesak ke dalam. Sempat terpikir untuk membawanya ke tempat reparasi hp untuk mengganti tombol yang telah tidak berfungsi dengan semestinya itu.

Tapi, hari ini (Senin, 01/31), saya baru tahu sebenarnya ada cara lain untuk men-silent-kan hp tanpa harus dengan menekan tombol on/off. Itu pun baru saya ketahui saat saya melangkahkan kaki menuju masjid kantor. Dalam perjalanan itu seperti biasa saya harus menekan tombol hp, dan secara tiba-tiba terlintas dalam benak saya harusnya ada cara pintas (shortcut) untuk menggantikan cara “kejam” itu. Tidak dengan cara kekerasan tapi dengan cara yang lembut. Iseng-iseng saya tekan tombol di keypad hp yang menunjuk pada perintah Go to, berada di sudut kanan bawah layar hp.

Jreng…ternyata memang ada pilihan silent di sana. Letaknya tidak pada layar pertama tapi pada layar kedua sehingga membuat pilihan itu tersembunyi dan tidak diketahui dengan cepat. Hanya dengan menggulung layar itu ke bawah maka pilihan silent terlihat di layar. Oalah…inilah hasil kebodohan saya yang memang jarang mengeksplor menu-menu di hp itu. Kalau itu sedari dulu saya ketahui, tak akan mungkin tombol itu jebol.

Pelajaran moral: pelajari betul manual hp. Ma’rifati (kenali) betul fungsi-fungsi yang ada di dalamnya. Niscaya kejadian yang saya alami tak akan pernah terjadi.

Seringkali kita merasa bahwa kitalah yang paling mengenal diri kita sendiri. Tidak orang lain. Dengan demikian kita sudah merasa jumawa dan paling benar sendiri sehingga telinga pun ditutup dan tak perlu belajar dari orang lain. Tak perlu belajar dari kehidupan yang setiap jenaknya ada nafas-nafas pendek kita yang menandakan bahwa kita sejatinya masih hidup dan bukan mayat yang membusuk di dalam tanah.

Jumawa itu membuat mata hati kita tertutup. Tak menyadari bahwa sesuatu yang kita anggap benar, di selanya ada orang lain yang menganggap bahwa apa yang kita yakini itu ternyata salah. Tak menyadari pula bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa. Sejatinya ini pula adalah ketiadaan mengenal diri kita sendiri. Pada akhirnya tombol kemanusiaan kita jebol. Tidak ada kelembutan. Tidak ada kesadaraan pada sang Khalik. Peri kebinatangan yang menjadi keseharian bahkan sampai laksana fir’aun yang berkata: akulah tuhanmu yang paling tinggi. Semoga kita terlindungi dari hal yang sedemikian rupa.

Lalu bagaimana untuk bisa mengenal diri kita itu? Eksplorlah diri kita. Evaluasi diri kita setiap saat. Muhasabahi setiap amal yang dilakukan dalam setiap detiknya. Jikalau kesadaran itu dieksplor niscaya kita menjadi orang yang mudah untuk empati. Tidak menjadi orang yang paling benar dengan pendapatnya sendiri. Menjadi pandai mendengar, tidak hanya pandai berbicara. Dan pada akhirnya ia tahu hakikat dirinya sebagai insan yaitu cuma sebagai budak, babu, jongos, dan hamba sahayaNya Allah.

Bermuhasabahlah. Jangan jadi tombol yang akan jebol.

Di pinggir sana ada orang yang merasa dirinya muda terus, Riza, sedang mengangguk-anggukan kepalanya seperti burung tekukur, mendengar nasehat itu.

 

 

 

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

13:36 01 Desember 2006

ORANG BAIK ORANG KUAT


ORANG BAIK ORANG KUAT

Orang baik adalah orang yang senantiasa meninggalkan kenangan yang tak mudah dilupakan buat orang yang ditinggalkannya. Orang baik adalah orang yang ketidakberadaannya adalah sebuah kehilangan buat orang yang berat melepas kepergiannya. Dan tentu orang baik adalah pahlawan bagi sebagian orang, hingga Benyamin Disraeli (Perdana Menteri Inggris) mengatakan, “The legacy of heroes is the memory of a great name and the inheritance of a great example.” Warisan dari para pahlawan adalah kenangan sebuah nama besar dan peninggalan dari keteladanan yang hebat.

Di suatu hari, seorang kepala kantor memimpin rapat bersama kepala seksi teknis dan para bawahannya membahas pencapaian-pencapaian, kinerja dan target yang akan diraih di waktu mendatang. Sedang asyik-asiiknya rapat datang kabar mendadak bahwa di ruang tamu telah tiba atasan kepala kantor yang lebih senior. Lalu sang atasan tersebut tanpa membuang waktu ikut pula dalam rapat tersebut dan ia yang bertubuh besar, berkumis, serta dikenal dengan temperamennya yang keras langsung memberondong kepada seluruh peserta rapat dengan pertanyaan ini dan itu. Kedatangannya sudah barang tentu membuat suasana rapat yang semula cair menjadi tegang.

Tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan seputar kinerja kantor dari para bawahan, sang atasan dari kantor pusat menegur kepala kantor dan menegaskan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak beres, tidak becus, dan kepala kantor dianggap tidak bisa memimpin. Tentu, semua yang meluncur dari mulutnya membuat yang mendengarnya pun menjadi risih. Apatah lagi dengan yang ditegur mukanya menjadi merah dan terlihat kikuk.

Setelah memberikan beberapa pengarahan yang disertai ancaman mutasi sang atasan pergi untuk melakukan peninjauan ke kantor cabang lainnya. Dengan kepergiannya para peserta rapat menjadi lega bercampur khawatir bahwa kepala kantor akan marah-marah dan menekan mereka sebagai pelampiasan dari dirinya yang dipermalukannya di hadapan banyak orang.

Tapi kekhawatiran itu ternyata sia-sia dan tidak menjadi wujud. Kepala kantor dengan tenangnya mengatakan bahwa atasan marah itu biasa. “Dimarahi olehnya pun biasa dan saya memahami karakter beliau karena saya pernah bertugas bersama beliau. Jadi dimaklumi saja.”

“Cessss…!” Perkataannya seperti air yang mampu mendinginkan bara api. Biasa saja. Tanpa panik. Tanpa mengumbar dan membalas kepada yang lemah dengan kemarahan yang berlipat-lipat padahal ia mampu untuk melakukannya jika mau. Tanpa ada ancaman. Pantaslah suasana rapat pun kembali menjadi cair dengan segera.

Lebih dari sebuah pelajaran terbentang di hadapan mata. Pelajaran sebuah kesabaran. Pelajaran menahan diri dari kemarahan dan pembalasan. Pelajaran sebuah ketenangan. Pelajaran tidak merasa dihina dan dilecehkan.

ah,

sosok itu meneguhkanku akan sebuah kesabaran

waktu itu,

sang radang datang kepadanya

kepadaku

lalu sang radang menyemburkan

segala kekesalan pada sosok itu

di hadapanku

tapi sosok itu dengan teduh bersikap

menjadi tembok raksasa dari sebuah pembalasan

mengabaikan malu

mengabaikan harga diri yang terperosokkan

tapi tidak bagiku

harga dirinya menjulang ke langit

kokoh bercahaya

Suatu saat, ketika ia ditanya mengapa tidak mudah atau bahkan tidak pernah marah, ia menjawab: “Saya adalah manusia biasa, punya rasa marah juga. Tetapi ketika marah itu butuh pelampiasan, kesadaran saya muncul bahwa buat apa saya marah jikalau marah itu ternyata membuat diri kita sendiri menjadi rugi.”

Betullah apa yang dikatakannya, dalam sebuah artikel dikatakan bahwa marah buruk bagi kesehatan karena marah bisa menyebabkan serangan jantung atau stroke. Hasil penelitian Harvard Medical School menunjukkan hal tersebut. Orang yang paling mudah marah berpeluang tiga kali lipat untuk memiliki penyakit jantung. Marah-marah pada usia muda merupakan prediktor yang baik terhadap terjadinya serangan jantung hari tua. Semakin tinggi marahnya maka semakin tinggi resikonya. 1)

Prosesnya adalah sebagai berikut, bahwa ketika marah datang maka ia dapat memengaruhi saraf dan mengeluarkan hormon adrenalin. Hormon ini merupakan sari dari gundukan lemak yang ada di pinggang bagian atas, dan berfungsi sebagai jaringan adaptasi tubuh, serta menyiapkannya untuk menerima pengaruh-pengaruh goncangan saraf, di antaranya ketika marah.

Hormon tersebut bergerak menuju ke saluran pankreas untuk menghentikan insulin, dan akan menambah kadar gula dalam darah, sehingga akan menaikkan produktivitas gula dalam organ produksi minyak dalam tubuh juga protein. Kemudian akan berpengaruh terhadap jantung, bahkan bisa mengakibatkan berhentinya detak jantung, hingga terjadilah kematian. Ia juga dapat menjadikan detak jantung bertambah cepat dan kuat, memompa lebih banyak darah, mengeluarkan banyak cairan keringat, dan mempercepat denyut nadi serta meninggikan tensi darah.2)

Itu baru dampak secara fisik belum secara nonfisik yang memang bekasnya seringkali akan membuat orang jatuh ke dalam jurang kesombongan, kekotoran hati, bahkan sampai pada kekufuran.

Sang kepala kantor menegaskan kepada kita semua, walaupun secara fisik tubuhnya kecil dan terma ini lekat konotasinya dengan golongan orang-orang yang lemah, tapi sejatinya ia adalah orang yang kuat yang kekuatannya bahkan melebihi dari orang yang secara fisik kuat tapi tak mampu menahan kemarahannya. Bukankah Rasulullah SAW pernah bilang: “orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat, hanya saja orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan kemarahannya.” 3)

Pantas saja dengan sifat yang seperti ini banyak orang yang mengiringi kepergian sang kepala kantor saat ia meninggalkan kantor lama untuk pindah ke kantor cabang yang lain. Dan masih banyak yang mengajaknya bersalaman walaupun itu sudah dilakukan pada saat acara perpisahan.

Terakhir, orang baik adalah orang yang mampu mengendalikan kemarahannya. Orang baik adalah orang yang saat dihina, dilecehkan tidaklah menyebabkan ia merasa jatuh harga dirinya di mata manusia 4) karena sesungguhnya kemuliaan dan keridhaan di mata Allah-lah yang menjadi tujuan.

Saya masih perlu banyak belajar darinya.

Catatan kaki:

1.

http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/11/seputar-emosi-marah.html;

2) Syaikh Fauzi Said dan Dr. Nayif Al-Hamd, Jangan Mudah Marah!, Penerbit Aqwam, Cet.I, Agustus 2006, Solo;

3) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

4)AA Gym, Menikmati Kritik dan Celaan.

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

14:22 11 November 2008

LASKAR PELANGI THE MOVIE: JEMPOL KE BAWAH


LASKAR PELANGI THE MOVIE: JEMPOL KE BAWAH

 

Saya mungkin termasuk orang-orang yang tidak terpengaruh pada eforia kemunculan sebuah buku baru yang menghebohkan. Heboh di milis atau forum diskusi atau di perbincangan ala warung kopi. Karena saya berpikir bisa jadi itu hanyalah taktik pemasaran dari para penerbit untuk membuat laris dagangannya. Dan itu wajar saja.

    Oleh karenanya saya memang terlambat untuk membaca novel Ayat-Ayat Cinta (AAC). Padahal teman sudah mau meminjamkan buku itu atau versi ebooknya sudah tersimpan dalam komputer. Tapi itu tidak menggoda saya untuk membacanya segera. Baru saya baca buku itu saat filmnya sudah mulai diputar di bioskop-bioskop, saat orang mulai histeria dengan segala yang berbau AAC. Setelah menyelesaikannya saya cukup berkomentar dengan satu kata tulus, “bagus”.

Tetapi tetap saja buku itu kembali tergeletak bersama tumpukan buku yang lain. Mudah dilupakan. Tidak ada yang membekas. Bahkan tak mampu menggerakkan hati dan kaki saya melangkahkan kaki ke bioskop. Pun saat filmnya diputar di televisi beberapa waktu lalu tak mampu menahan saya untuk tetap menonton film itu dan tak mampu menahan saya untuk tidak menekan tombol remote untuk mencari saluran lain. “Tidak bagus”, itu kata tulus dari saya.

Begitu pula dengan Laskar Pelangi. Tak menggerakkan hati saya untuk segera membacanya saat pertama kali kemunculannya atau lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di mana saja, atau saat muncul dalam salah satu acara talk show, atau saat teman menawarkan bukunya untuk dibaca oleh saya setahun lalu, atau ketika ebooknya sudah bertebaran di dunia maya bahkan dengan dua novel lanjutannya yang sudah tersimpan dalam komputer atau dengan filmnya yang membuat orang harus antri hingga bapak Presiden yang terhormat sempat-sempatnya menonton di tengah riak-riak tsunami ekonomi global yang mulai menerpa republik ini. Tidak, ia tidak mampu menggerakkan hati saya.

Tapi kali ini dam kecuekan saya terhadap novel lascar Pelangi itu runtuh di suatu hari. Ya, di suatu hari, ba’da dzuhur di suatu masjid, di syawal yang masih sepi, saat teman saya terpercaya bilang mengomentari film itu, “luar biasa bagus buat anak-anak.” Ia bercerita film itu membuat anak sulungnya menangis. Dan sinyal alarm dalam diri saya langsung berdering, pekak, kalau berkaitan dengan masalah anak. Bagus buat anak-anak, empat kata itu terngiang-ngiang di telinga saya. Ah, masak?

Saya tidak bersegera untuk mengakuinya sebelum membaca bukunya terlebih dahulu—ah ini cuma alasan karena tidak dapat tiket menonton film itu selama berminggu-minggu. Tapi saya tetap menjumput buku itu. Mengamatinya perlahan dari sampulnya kemudian membaca endorsement dari berbagai orang, lalu membacanya pelan halaman demi halaman.

Biasa saja.

Tapi tidak…tunggu dulu. Menarik. Ya menarik sekali buku ini.

Tapi tidak…tunggu dulu. Imajinasi itu mulai tumbuh membawa saya tersedot ke Belitong, di masa itu.

Aih. Saya tak dapat menghentikan keinginan membacanya walaupun cuma sejenak. Tidak saya tak sanggup. Saya terus menerus membacanya. Tertawa terkekeh-kekeh hingga air mata yang mengucur dan terbanting-banting dalam alunan metaforanya. Kurang dari 24 jam saya membacanya. Dan saya jujur mengakui novel ini dengan tulus, “dahsyat man.” Inspiratif. Hasil metamorphosis dari hati. Memberi banyak perenungan.

Saya mengalami trance. Segala sesuatu yang berbau Laskar Pelangi saya cari dan tanyakan kepada Jeng Google. Tentang Belitong, Andrea Hirata, tentang Ibu Muslimah. Tayangan talk shownya saya putar ulang. Tidak berhenti sampai di situ, Sang Pemimpi (novel lanjutan Laskar Pelangi) saya libas. Apatah lagi Edensor (novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi). Maryamah Karpov pun saya tunggu-tunggu kedatangannya. Dan kalau saya bisa memberi peringkat dari tiga novelnya yang sudah ada itu maka yang terbaik adalah Laskar pelangi, Edensor kedua, dan Sang pemimpi menduduki peringkat ketiga. Pelajaran moral pertama dari ketiga novel itu: Man Jadda wa Jadaa. Siapa bersungguh-sungguh ia mendapatkannya.

Cukup di situ? Tidak, ianya membuat saya rakus membaca fiksi. Selesai trilogy itu saya baca novel lain, Kisah 47 Ronin, hingga sekarang Hafalan Shalat Delisa. Jelas sudah seminggu ini saya tidak henti-hentinya membaca sebagai sebuah kegiatan yang amat serius. Dan saya bertekad untuk terus membaca di setiap harinya (sebuah kegiatan yang sudah berbulan-bulan saya tinggalkan karena kesibukan). Pelajaran moral kedua yang bisa diambil: baca novel ini untuk bisa kesurupan dalam membaca. Halah…

Dan pada akhirnya malam itu, kami menginjakkan kaki ke tempat yang biasanya saya hindari, bioskop. Tapi lagi-lagi ini karena saya terjerambab pada empat kata di atas yang sudah saya sebutkan di awal dan dikatakan oleh teman saya itu: bagus buat anak-anak. Pula karena Andrea Hirata—penulisnya sendiri yang mengakui betapa bagusnya film itu. Lalu film Laskar Pelangi itu kami tonton.

Betul, istri saya terisak-isak saat melihat Lintang yang duduk termangu menanti ayahnya yang tak kunjung tiba dari melaut. Anak saya, Haqi pun demikian. Menangis saat Lintang pergi dari sekolah untuk selama-selamanya dengan diiringi tatapan mata sembab Bu Mus dan teman-temannya dan dari kejaran Ikal yang sia-sia untuk menahan Lintang. Lintang tidak sekolah untuk menggantikan peran ayahnya memberi makan adik-adiknya.

Tapi saya, sepanjang film itu diputar, hanya menggeleng-geleng kepala dan menyeringai sahaja. Ya, seringai kekecewaan. Kecewa karena tidak mendapatkan sesuatu sebagaimana yang diharapkan. Tidak seperti yang saya bayangkan. Filmnya tak mampu menyamakan imajinasi yang ada dalam benak. Filmnya hanya mampu digambarkan dengan jempol yang menunjuk tidak ke atas tapi ke bawah. Filmnya tak sebagaimana yang digembar-gemborkan banyak orang walaupun sarat pesan moral dan mampu membuat istri, anak sulung saya menangis. Pula mampu membuat anak kedua saya tertidur melingkar di kursi bioskop. Entah karena ngantuk atau kedinginan.

Semua subjektifitas ini saya katakan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka yang telah bersusah payah membuat film itu eksis di muka bumi. Pelajaran moral ketiga: kalau tidak mau kecewa menonton film adaptasi dari novel, jangan baca dulu bukunya.

Dan sampai saat ini cukup saya katakan trilogy Lord of the Ring, JRR Tolkien-lah yang mampu mendahsyatkan dua-duanya, novel dan filmnya.

Pak dan Mak Cik semua, itu saja dari saya. Boleh bukan kalau saya berbeda pandangan dengan kalian tentang ini. Yang pasti saya katakan novelnya amat bagus tapi tidak untuk filmnya. Kini saya masih menunggu Maryamah Karpov, menunggu jandanya kedatangannya.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

10.24 24 Oktober 2008

KIAT-KIAT (TIPS) AMAN DARI PENCURIAN MOBIL


KIAT-KIAT (TIPS) AMAN DARI PENCURIAN MOBIL

Beberapa hari yang lalu di salah satu radio swasta yang sering memberitakan perkembangan lalu lintas di pagi hari diberitakan ada berita mobil Avanza yang dicuri.
Tapi mobil itu bisa langsung diketemukan juga oleh seorang Ibu yang di depan rumahnya terparkir mobil yang dicuri tersebut. Mobil tersebut masih dalam keadaan hidup. Si Ibu langsung menelepon radio memberitahukan kejadian itu. Kata pemilik mobil yang tercuri tersebut mobilnya memang tak bisa dimatikan karena ada alarm khusus. Saya berpikir anugerah besar mobil itu cepat diketemukannya. Jarang sekali seperti kejadian tersebut.

Nah kini saatnya saya mau membagi kiat-kiat aman kepada Anda agar mobil tak bisa dicuri. Ini tips yang memang saya lakukan. Semoga Allah melindungi saya dan Anda dari kejadian seperti itu.

    Kiat-kiat Aman:

  1. Tambah kunci pengaman, seperti kunci yang terpasang di gagang setir. Ada teman yang memasang dua kunci, walaupun sedikit merepotkan. Tetapi tak apalah kalau itu memang untuk memenangkan hati kita.
  2. Pastikan jendela  dalam keadaan tertutup, pernah saya mampir di suatu parkiran di Cibubur di suatu malam, saya tinggal selama satu jam. Baru sadar kalau jendela mobil masih terbuka saat mau cabut. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa walaupun di dalam mobil ada tas berisi dokumen dan peralatan penting.
  3. Pasang alarm. Ini sudah pasti, di mobil zaman sekarang, alarm sudah jadi kebutuhan penting dan sudah “include” pada saat dibeli.
  4. CABUT SEKERING, ini yang saya lakukan kalau saya memarkirkan mobil di tempat yang tak terjamin keamanannya, termasuk kalau dirumah juga. Tips ini dianjurkan oleh Petugas Bengkel Resmi Xenia di Semarang.
  5. Nyalakan lampu otomatis yang akan menyala bila ada pintu yang belum terkunci rapat. Ini untuk memastikan pula bahwa di saat kita mengunci dengan alarm, tidak ada pintu yang belum terkunci, walaupun alarmnya sendiri akan berbunyi khusus bila ada pintu yang belum terkunci dengan benar.
  6. Saya selalu mengecek fisik gagang (handle) pintu walaupun sudah dikunci dengan alarm dan pengecekan ini cukup pada satu sisi saja. ini sekadar memastikan keamanan dan mengatasi rasa was-was.
  7. Senantiasa berdoa, karena Allah adalah Maha Mengawasi.

    Kiat-kiat aman itulah yang biasa saya lakukan. Beberapa teman diskusi menambahkannya sebagai berikut:

ridho
Newbie

Joined: 30 April 2008
Location: Kantor Pusat DJP
Online Status: Offline
Posts: 13

Posted: 05 Juni 2008 at 16:33 | IP Logged (10.6.1.126)

bikin lobang di pedal kopling dan pedal rem pake bor, kasih gembok yang panjang pd ke2 lobang. so klo kopling diinjek, rem juga ke injek

 

TKPKN
Senior Member

Joined: 03 Juli 2007
Online Status: Online
Posts: 3496

Posted: 05 Juni 2008 at 16:46 | IP Logged (10.2.81.215)

pake R**CAR anti maling yang iklannya norak itu 

 

otcho
Senior Member

Joined: 17 April 2008
Online Status: Offline
Posts: 397

Posted: 05 Juni 2008 at 16:48 | IP Logged (10.10.15.62)

Jurus Pamungkas : Asuransikan kendaraan anda (kalau2 kecurian juga kan kerugiannya ngga terlalu besar)

 

Itu saja. Semoga kiat-kiat tersebut bermanfaat bagi kita semua. Kalau sudah melakukan semua itu lalu bertawakallah. Jikalau memang tetap terjadi, itu berarti ujian bagi kita untuk melihat seberapa besar kita layak untuk naik ke tingkat keimanan yang lebih tinggi. Allohua’lam bishshowab. Kita meminta perlindungan kepada Allah dari semua itu.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

07:39 09 Juni 2008

ISLAM MELARANG HUMOR?


ISLAM MELARANG HUMOR?

 

Preambule

Ikhwatifillah, ada yang bilang kalau sudah memahami Islam dengan benar atau dengan kata lain sudah tobat dari segala perbuatan dosa dan mau kembali melaksanakan semua ajaran Allah dan rasul-Nya itu maka otomatis kita harus memutuskan seluruh diri kita dari segala kehidupan dunia yang melenakan.

Bahkan sampai kita memutuskan diri dari kefitrahan yang telah diberikan Allah kepada kita seperti bersenda gurau, bercanda, berhumor, tertawa, atau menghibur diri. Kita dilarang untuk melakukan itu. Sehingga yang tampak dari diri kita adalah kekakuan, wajah yang tak pernah disinggahi dengan senyuman, dan kesuraman yang menjadi hiasan setiap hari. Pada akhirnya pergaulan dengan masyarakat pun terganggu. Walaupun mereka yang kaku-kaku tersebut nantinya selalu berkilah dan bersembunyi pada sebuah dalil bahwa Islam itu asing maka wajarlah mereka diasingkan oleh masyarakatnya. Betulkah?

Saya jawab tidak! Karena Islam tidak mengajarkan demikian. Ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Islam tidak mewajibkan seluruh yang keluar dari mulut-mulut kita adalah dzikir, tidak mewajibkan setiap diam mereka adalah pikir, tidak mesti yang didengar selalu ayat-ayat Alqur’an, dan tidak mengharuskan mereka untuk menghabiskan waktu-waktu senggangnya di masjid. Islam selalu mengakui fitrah dan kecenderungan yang telah diciptakan Allah dalam diri manusia. Bukankah Allah menciptakan mereka sebagai makhluk yang punya kebutuhan untuk berbahagia dan bergembira, tertawa, dan bermain sebagaimana Ia menciptakan manusia sebagai makhluk yang butuh makan dan minum?

Ikhwatifillah, para sahabat Rasulullah SAW (semoga Allah meridhoi mereka semua) juga dulu mengira bahwa mereka harus melepaskan keduniaan mereka secara totalitas dengan melaksanakan ibadah secara ekstrim terus menerus tanpa jeda. Mereka juga menyangka berislam berarti memalingkan diri dari kenikmatan hidup dan kesenangan duniawi. Mata mereka selalu sembab karena terus menerus menangis takut kepada Allah, berdzikir, dan terus menerus khusyuk berdoa mengangkat kedua tangan. Bahkan ketika mereka meninggalkannya sekejap saja mereka langsung memvonis, mengutuki diri mereka sendiri dengan sebutan munafik.

Dan apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepada Hanzhalah dan Abu Bakar menyikapi fenomena yang dilakukan dua orang sahabat mulia itu? Berikut perkataan makhluk mulia ini:

“Demi dzat yang memiliki diriku! Kalau kalian selalu dalam keadaan seperti ketika bersamaku itu, atau selalu dalam dzikir, niscaya malaikat akan terus menerus menemani kalian di atas tempat tidur maupun di jalanan. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, segala sesuatu ada waktunya. (Riwayat Muslim)

Beliau mengulangi kalimat yang saya tebalkan tersebut tiga kali demi menekankan penting atau dalamnya makna kalimat tersebut.

Ikhwatifillah, lalu bagaimana Islam menyikap hiburan dan permainan itu? Memang ulama kita berbeda sikap mengenai masalah ini. Ada dua kubu yang berseberangan. Yaitu yang bersikap antara meringankan atau memperketat, antara yang cenderung toleran dan yang keras.

Yang bersikap keras secara berlebihan, mereka hampir mengharamkan semua bentuk hiburan dan permainan. Sementara yang terlampau lunak, hampir menghalalkan segalanya. Masyarakat pun terjebak antara dua penyikapan tersebut. Padahal yang terbaik adalah bersikap di antara keduanya, penyikapan yang moderat, tidak keras dan tidak terlalu meremehkan. Karena Islam adalah agama yang pertengahan, dan ini yang selalu Rasulullah SAW tekankan dalam setiap kesempatan seperti perkataan beliau berikut ini:

“Agar orang-orang Yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelonggaran. Sesungguhnya aku diutus dengan agama yang lurus dan toleran.” (HR Ahmad)

 

Rasulullah SAW dan Sahabat adalah Sosok-sosok yang Humoris

Wahai ikhwatifillah, sungguh tauladan kita yang sejati adalah Rasulullah SAW, maka mari kita tiru dan teladani apa yang Rasulullah SAW sikapi dalam masalah canda tawa, gurauan, dan hiburan ini. Sungguh Rasulullah SAW adalah nabi sekaligus manusia biasa yang tetap bercanda dan berbaur dengan para sahabat dalam kehidupan sehari-hari. Beliau melebur dalam tawa serta senda gurau mereka, sebagaimana beliau juga melebur dalam duka dan kesulitan yang mereka alami. Tetapi Rasulullah SAW tetap dalam kebenaran.

Kebiasaan canda tawa ini—sebagaimana perkataan seorang ulama—telah diketahui langsung oleh sebagian sahabat dalam kehidupan Rasulullah SAW. Mereka menyaksikannya, dan kemudian meneladaninya sepeninggal beliau; tanpa menemukan sesuatu yang perlu dicela. Sekalipun barangkali beberapa candaan tersebut bila diceritakan pada zaman sekarang, tentu akan ditentang keras oleh sebagian besar kalangan yang keras keberagamaannya. Dan orang yang menceritakannya, bisa jadi, akan dianggap fasik serta menyimpang dari agama.

Suatu ketika Rasulullah SAW pernah mengangkat Al-Hasan bin Ali dengan kedua kaki beliau seraya bersenandung:

“Orang cebol terayun-ayun terpental-pental seperti mata kepinding.” (HR Ibn Abi Syaibah (6/380) dan Abdullah bin Ahmad (2/787))

Atau dengan gurauan yang sudah kita ketahui semua tentang tidak ada nenek keriput di surga nanti.

Atau antum semua pernah mendengar tentang kisah sahabat Anshar ini. Namanya adalah An-Nu’aiman bin Umar Al-Anshari ra. Ia adalah sosok sahabat yang humoris. Ia adalah termasuk dalam kalangan sahabat Anshar yang pertama kali memeluk Islam. Ia adalah kelompok pengikut Bai’at Al-‘Aqabah terakhir. Terjun dalam perang Badar, Uhud, Khandaq, dan berbagai peperangan lainnya bersama Rasulullah SAW. Berikut candaan sahabat An-Nu’aiman ini kepada Rasulullah SAW:

Az-Zubair punya cerita lain dari Rabi’ah bin Utsman: “Suatu hari, Seorang Badui menemui Rasulullah SAW. Ia menambatkan untanya di halaman rumah beliau. Beberapa sahabatnya berkata kepada An-Nu’aiman, “Alangkah nikmatnya kalau kamu sembelih unta itu, lalu kita makan bersama-sama. Sudah lama kita ingin sekali makan daging.” An-Nu’aiman pun bergegas menyembelih unta tersebut. Saat orang Badui itu keluar dari kediaman Nabi SAW, ia berteriak kaget, “Wahai Muhammad, ada yang menyembelih untaku!”

Nabi segera keluar dan bertanya, ” Siapa yang melakukannya?’

Para sahabat yang hadir menjawab, “An-Nu’aiman.” Lalu Nabi SAW beserta para sahabat itu mencari An-Nu’aiman. Ternyata ia kabur ke rumah Dhuba’ah bin Az-Zubair bin Abdul Muthalib, bersembunyi di kandang ternaknya. Salah seorang sahabat menunjukkan tempat persembunyian An-Nu’aiman kepada Nabi SAW. Maka beliau pun langsung mengintrogasinya, “Mengapa kamu sembelih unta orang Badui itu?’

An-Nu’aiman dengan polosnya menjawab, “Orang-orang yang menunjukkan tempat persembunyian saya kepada Anda inilah yang telah menyuruh saya menyembelih unta itu, wahai Rasulullah.” Mendengar jawaban An-Nu’aiman, Rasulullah SAW tertawa sambil mengusap debu di wajah An-Nu’aiman. Lalu beliau mengganti unta milik orang badui tersebut.”

(HR Ibnu Abd Al-Barr dalam Al-Isti’ab (3/89) dan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah (6/465)

Kisah Az-Zubair yang lain dari pamannya, yang mendengar langsung dari kakeknya: “Pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, seorang sahabat yang telah berusia 115 tahun, Makhramah bin Naufal, hampir kencing di masjid. Orang-orang langsung berteriak mencegah, “Jangan kencing di sini, ini masjid!” An-Nu’aiman yang juga hadir di situ menuntun Makhramah ke sisi lain masjid sambil berkata, “Nah sekarang Anda boleh kencing di sini.” Tentu saja orang-orang kembali berteriak melarangnya. Merasa dipermainkan, Makhramah berkata, “Awas kalian, siapa tadi yang membawaku ke sini?”

“Itu An-Nu’aiman,” jawab mereka.

Makhramah kesal, “Kalau aku bertemu dia lagi, akan kupukul dengan tongkatku, agar ia bisa merasakan sakit yang sama seperti saat aku menahan kencing ini.”

Beberapa hari kemudian, An-Nu’aiman melihat Makhramah lagi di masjid. Waktu itu, Khalifah Utsman bin Affan ra. Sedang bersiap shalat di situ. An-Nu’aiman menghampiri Makhramah, “Apa Anda masih mencari An-Nu’aiman?”

Makhramah yang sudah berusia lanjut tak lagi mengenali An-Nu’aiman, ia menjawab, “Iya, aku mencarinya.” An-Nu’aiman lalu membawa Makhramah ke samping Utsman bin Affan ra. yang sedang khusyu’.

“Ayo, ini dia An-Nu’aiman,” ujar An-Nu’aiman kepada Makhramah sambil menunjuk Utsman bin Affan. Maka Makhramah segera mengumpulkan kekuatannya, dan memukul Utsman di sekitar pahanya. Melihat kejadian itu, orang-orang yang ada di masjid langsung berteriak, “Aduh, Anda telah memukul Amirul Mukminin!”

(Al-Hafizh Ibnu hajar dalam Al-Ishabah 6/463)

Ada lagi cerita lain, tapi kini An-Nu’aiman sendiri yang menjadi “korban”. Ada sahabat lain yang suka bercanda dan melucu, Suwaibath bin Harmalah. Beliau adalah ahlulbadr (pengikut perang Badr).

Menurut Ummu Salamah, setahun sebelum wafatnya Nabi SAW, Abu Bakar ra. pergi berniaga ke Bashrah. Ikut dalam perjalanan tersebut, An-Nu’aiman dan Suwaibath bin Harmalah. An-Nu’aiman dipercaya untuk mengurui perbekalan rombongan. Di tengah perjalanan, Suwaibath meminta makanan kepada An-Nu’aiman. Tetapi An-Nu’aiman menolak, “Nanti saja, setelah Abu Bakar bersama kita.” Suwaibath mengancam, “Demi Allah, saya akan membalas kamu nanti!”

Tak lama kemudian, mereka melewati suatu perkampungan. Lalu Suwaibath mendatangi penduduk di perkampungan itu dan berkata, “Adakah kalian ingin membeli hamba sahaya (budak, pen.) dari saya?” “Boleh,” jawab mereka.

“Tapi hamba sahaya ini pintar bersilat lidah. Nanti dia pasti akan berkilah bahwa dia orang yang merdeka. Jangan-jangan kalian kemudian melepaskannya dan membatalkan niat untuk membeli dari saya,” ujar Suwaibath lagi.

“Tidak, kami akan tetap membelinya dari Anda.”

“Baiklah, kalau begitu belilah seharga sepuluh unta muda.”

Maka penduduk perkampungan itu mendatangi rombongan Abu Bakar. Mereka langsung mengikatkan tali di leher An-Nu’aiman. Serta merta An-Nu’aiman protes, “Orang ini bercanda kepada kalian, saya orang yang merdeka, saya bukan hamba sahaya!”

Tetapi para penduduk itu tak menggubris, “Kami sudah tahu kamu pintar bersilat lidah!” mereka tetap membawa An-Nu’aiman ke perkampungan mereka. Setelah Abu Bakar ra. bergabung dengan rombongan tersebut, Suwaibath menceritakan apa yang baru saja terjadi. Maka Abu Bakar segera mendatangi perkapungan penduduk tersebut untuk menjemput An-Nu’aiman, dan mengembalikan sepuluh unta muda yang telah mereka bayarkan. Sekembalinya ke Madinah, para anggota rombongan menceritakan peristiwa tadi kepada Nabi SAW. Tentu saja, Nabi SAW dan para sahabat tertawa mendengar cerita tersebut.”

(HR Ibnu Majah dalam kitab Al-Adab (3719), Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Ar-Rauyani juga meriwayatkan hadits ini, namun dalam versi mereka yang mengibuli adalah An-Nu’aiman serta yang dikibuli adalah Suwaibath, lihat Al-Ishabah (3/222)).

Ikhwatifillah, dari tulisan di atas tak dapat kita pungkiri, di antara (ini berarti pula tidak semuanya) para sahabat ada yang menjalani hidup mereka dengan keras seperti Abu Bakar ra., dan Umar bin Khotthob. Namun ada pula sebaliknya seperti An-Nu’aiman dan Ibnu Umar. Ibnu Umar ini juga sering bercanda dan menyenandungkan syair seperti yang dikatakan Ibnu Sirin. Padahal Ibnu Umar juga terkenal dengan sikap wara’, ketekunan, serta keistiqomahannya dalam menjalankan ajaran agama.

Sudah jelas bahwa kekakuan, wajah masam, tanpa senyum, dan tidak ramah tidak merepresentasikan ajaran islam yang sesungguhnya serta tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Pandangan mereka—seperti disebutkan oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy—lebih disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang kurang benar, karakter pribadi, atau disebabkan oleh latar belakang lingkungan serta pendidikan mereka.

Ia menyebutkan yang terpenting setiap muslim harus tahu bahwa Islam tidak dipatok dari perilaku seseorang maupun sekelompok manusia yang bisa benar atau salah. Standar Islam yang benar adalah yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah teruji kevalidannya.

 

Batasan-batasan

Ikhwatifillah, hiburan, humor, dan canda itu diperbolehkan dalam Islam. Semua itu adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan fitrah manusia yang diberikan Allah. Fitrahnya semua itu dapat meringankan hidup kita. Menyegarkan jiwa, menghilangkan beban, kegalauan, serta mengurangi himpitan yang kita rasakan. Saya mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy dalam bukunya, “Istirahatkanlah hati, dan carilah “gizi” hikmah untuknya. Karena sesungguhnya, hati bisa jenuh sebagaimana badan bisa capek.”

Tapi menurut ulama, ada syarat dan rambu yang harus diperhatikan agar semua itu masih dalam batas yang diperbolehkan. Namun saya tak mengulas lebih dalam rambu dari ulama tersebut karena sudah banyak diterangkan dalam tulisan-tulisan lain yang sejenis. Berikut rambunya:

  1. Tak boleh menggunakan kebohongan dan membuat-buat dalam mencandai orang lain. Misalnya April Mop. Dalam hal berkaitan dengan humor atau anekdot, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy mengatakan itu diperbolehkan asalkan tidak menyakiti atau menyimpang. Bila sebaliknya, maka dilarang. Anekdot pun tidak mesti selalu bersinggungan dengan kejadian-kejadian nyata, namun boleh juga berbentuk fiksi seperti halnya seorang novelis atau cerpenis yang mengarang cerita pendek maupun panjang. Kreasi semacam ini tidak termasuk kebohongan yang diharamkan, karena orang-orang pun tahu bahwa cerita-cerita tersebut hanyalah karangan sang cerpenis atau novelis.
  2. Candaan yang dilakukan tidak boleh mengandung unsur penghinaan ataupun pelecehan terhadap orang lain. Kecuali, yang bersangkutan mengizinkan dan rela.
  3. Jangan sampai mengagetkan atau menimbulkan ketakutan bagi muslim yang lain.
  4. Tidak boleh bercanda dalam situasi serius atau tertawa dalam suasana duka. Sebab segala sesuatu itu ada waktunya, dan setiap ucapan ada tempatnya. Dan cerminan kebijaksanaan seseorang adalah bila ia mampu meletakkan segala sesuatu dengan tepat.

 

Penutup

Ikwhatifillah, di bagian akhir tulisan ini, kembali saya ungkapkan bahwa Islam adalah agama yang moderat. Sebaik-baik perkara adalah yang selalu di pertengahan. Yang berlebihan itu tidak baik. Dalam masalah ini Islam memandang bahwa hidup itu adalah sebuah perjalanan yang berat, dan manusia sebagai musafir dalam perjalanan tersebut butuh sebuah oase, wadi, tempat mata air berkumpul untuk berhenti sejenak dan merehatkan diri. Pada waktunya manusia butuh hiburan, butuh tertawa, butuh kelakar, dan butuh humor, dan butuh semua yang bisa memancing tawa manusia agar kesedihan dan kesusahan itu luput dari wajahnya. Islam mengerti betul fitrah itu dan membiarkannya tidak mati. Yang terpenting, selama semuanya itu masih dalam koridor yang diperbolehkan.

    Sebuah referensi bagus yang saya sarankan untuk dibaca dalam kaitan dengan masalah ini adalah sebuah buku terjemahan yang ditulis oleh DR. Yusuf Al-Qaradhawy berjudul Fikih Hiburan. Di dalam buku tersebut diterangkan bagaimana Islam memandang hiburan dan permainan-permainan yang sekarang sedang bingar dalam kehidupan manusia bumi. Seperti sepakbola, tinju, panjat gedung, sirkus, adu mobil, gulat, lomba lari, renang, catur, dadu, tarian, dansa, drama, tepuk tangan, berburu binatang, lomba pacuan kuda, dan masih banyak lagi lainnya.

    Buku yang menurut saya dapat membuat sebuah pencerahan dan sanggup membuka wawasan kita agar bisa bersikap pertengahan, tidak keras, berlebihan dan tidak meremehkan. Insya Allah.

Ada hikmah yang mengatakan: “Seorang yang berakal tidak selayaknya pergi selain untuk tiga perkara: mencari bekal untuk akhirat, memperbaiki taraf kehidupannya, atau mereguk kenikmatan yang tidak diharamkan.”

Semoga Allah mengampuni saya.

 

Maraji’ utama:

Fikih Hiburan, DR. Yusuf Al-Qaradhawy, Penerjemah Dimas Hakamsyah, Lc., Pustaka AlKautsar, Jakarta, Cetakan Pertama, Desember 2005.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

direct selling itu butuh keterampilan berkomunikasi

10.09 02 Juni 2008


 

SUNSET POLICY: ISTILAH YANG PERLU DILURUSKAN


SUNSET POLICY: ISTILAH YANG PERLU DILURUSKAN

Oleh: Riza Almanfaluthi

( Telah Dimuat di Majalah Berita Pajak Vol.XL No.1611 tanggal 15 Mei 2008 )

 

Pendahuluan    

Suatu saat Penulis dikagetkan dengan permintaan seorang teman sejawat yang meminta kepada Penulis untuk meneliti berapa banyak jumlah Wajib Pajak yang terkena imbas dari sunset policy. Penulis sempat kaget dan terbengong-bengong sebentar sambil berhati-hati untuk bertanya kepadanya apa yang dimaksud dengan istilah dalam bahasa Inggris tersebut. Lalu ia menjelaskan bahwa sunset policy itu adalah kebijakan yang diberikan kepada Wajib Pajak karena adanya ketentuan dalam undang-undang perpajakan yang baru berupa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Singkatnya demikian.

    Karena penasaran dengan istilah itu Penulis kemudian langsung membuka-buka aturan perpajakan yang ada. Dalam referensi yang penulis miliki berupa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 (untuk selanjutnya disingkat UU KUP) dan berbagai peraturan pelaksanaannya yang terbaru Penulis tidak menemukan istilah dalam bahasa Inggris itu sama sekali.

    Dalam tulisan ini Penulis tidak akan membahas tentang materi dari kebijakan yang meringankan Wajib Pajak ini, tetapi Penulis akan menitikberatkan pembahasan pada timbulnya istilah asing tersebut. Mari sama-sama kita teliti. Dalam dua ayat Pasal 37A UU KUP—pasal ini dikatakan sebagai pasal yang menjadi dasar timbulnya istilah sunset policy—tidak ada istilah itu dan dalam penjelasannya pun demikian, hanya disebutkan dengan dua kata saja, Cukup Jelas.

    Kemudian kalau kita lihat lebih detil pada aturan pelaksanaan dari ketentuan tersebut di atas yaitu Pasal 33 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2008 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Sehubungan dengan Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan Sebelumnya serta Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007 yang ditetapkan pada tanggal 6 Februari 2008, juga tidak ada sama sekali istilah yang kalau diterjemahkan secara kaku ke dalam bahasa Indonesia ini berarti Kebijakan Matahari Terbenam.

Awal Kemunculan

Lalu darimana istilah ini berawal? Penulis terus terang saja tidak bisa memastikannya. Tetapi dari bahan sosialisasi UU KUP berlogo Departemen Keuangan dan bertajuk Sosialisasi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak maka Penulis dapat menyimpulkan untuk sementara bahwa dari bahan sosialisasi berformat microsoft office powerpoint inilah istilah asing ini muncul. Ya, di halaman 37 bahan sosialisasi tersebut istilah itu menjadi judul halaman. Tidak ada keterangan lebih lanjut apa definisinya. Di sana cuma tertulis catatan ringkas dari Pasal 37A UU KUP.

    Mungkin bagi sebagian orang pengungkitan istilah ini adalah sebagai sesuatu yang mengada-ada dan tidak prinsipil. Tetapi bagi sebagian yang lain termasuk Penulis sendiri di dalamnya ini adalah sebuah bentuk pengungkapan keprihatinan. Ya, karena ini menunjukkan kurangnya kepekaan terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Padahal sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 beserta amandemennya, bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa Negara. Yang fungsinya adalah sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar resmi lembaga-lembaga pendidikan, dan bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.

Sebenarnya dengan tidak mencantumkan istilah asing itu di dalam UU KUP dan aturan pelaksanaannya sudah tepat, karena Penulis yakin sudah ada para ahli bahasa Indonesia yang menggawangi dan menjaga tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di parlemen. Sayangnya ini tidak diikuti di tataran pelaksana perundang-undangan ini dengan memopulerkannya pada bahan sosialisasi.

Itu berarti suatu ajakan kepada masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baik dan benar. Padahal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan lembaga yang baik secara vertikal maupun horizontal—karena perannya sebagai instansi pemerintah—diakui dan diacu sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaannya oleh pemakai bahasa dalam hal ini adalah Wajib Pajak. Serta perannya sebagai salah satu sarana bagi pembinaan bahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan pula dalam Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Sementara Tahun 1966, Tap MPR Tahun 1978 dan 1983 yang sampai tulisan ini dibuat ketetapan tersebut belum dicabut.

Lalu apa gunanya bahasa Indonesia yang diajarkan selama ini dan menjadi materi pokok dalam pendidikan dan pelatihan ujian dinas ataupun penyesuaian kenaikan pangkat serta menjadi salah satu materi yang diujikan untuk seleksi masuk menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Keuangan.

Kebutuhan atau Gengsi?

Tak bisa dipungkiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Halim (1982), bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang kita akui dan kita perlukan untuk dapat berhubungan dengan bangsa lain di dunia serta untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hal itu tentu saja berakibat bahwa pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia semakin bertambah besar.

Namun, jika pengaruh itu dalam tingkat kewajaran tidak perlu dikhawatirkan, apalagi jika hal itu merupakan pengaruh positif, yaitu pengaruh yang memperkaya bahasa Indonesia, baik dalam mutu maupun kelengkapannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini juga tidak berarti sikap kebahasaan yang kaku dan tertutup yang menuntut kemurnian bahasa Indonesia dan menutup bahasa Indonesia dari hubungan saling pengaruh dengan bahasa lain , yaitu bahasa daerah dan asing.

Apabila pengaruh bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya itu merupakan pengaruh yang negatif, yaitu pemakaian yang bukan didasarkan atas keperluan, melainkan untuk memberi kedudukan sosial tertentu maka ini perlu dicegah.

Kalau demikian, kita semua perlu introspeksi diri bahwa pemopuleran istilah ini adalah dalam rangka memperkaya bahasa Indonesia dalam mutu maupun kelengkapannya atau hanya untuk memberi kedudukan sosial tertentu? Apakah istilah itu didasarkan atas sebuah kebutuhan yang mendesak atau hanya memenuhi nilai gengsi sebagai lulusan luar negeri dari sebagian pembuat materi sosialisasi tersebut? Atau cuma menjiplak istilah perpajakan yang sudah populer terlebih dahulu di suatu negara dari hasil studi banding mereka ke luar negeri?

Dapat Penulis tegaskan di sini, karena berdasarkan pengamatan terhadap aturan yang ada maka penerapan istilah itu bukanlah didasarkan atas sebuah kebutuhan. Kalau memang tidak dibutuhkan sebaiknya istilah asing itu tidak diterapkan. Kalau pun tetap dipaksakan carilah istilah pengganti dengan menerjemahkan secara langsung ke dalam bahasa Indonesia semisal istilah “Kebijakan Matahari Tenggelam”. Walaupun dirasa amat janggal dan di luar rasa kebahasaan, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Atau cari istilah lainnya dalam bahasa Indonesia yang dirasa lebih enak diucapkan dan dimengerti.

Berbagai Sikap Terhadap Kemampuan Bahasa Indonesia

Biasanya sikap yang muncul dari upaya penerjemahan ini adalah sikap sangsi terhadap kemampuan bahasa Indonesia karena sulitnya mencari padanan yang pas. Entah karena rasa minder yang sudah mendarah daging pada bangsa ini sebagai akibat penjajahan asing berabad-abad lamanya atau karena terlalu silaunya pada modernisasi barat. Dan ini sudah ditengarai oleh Effendi (1972) bahwa di kalangan masyarakat terdapat berbagai sikap terhadap kemampuan bahasa Indonesia.

Pertama, sikap mengasingkan kemampuan bahasa Indonesia mendukung dan mengembangkan kegiatan ilmu pengetahuan. Sikap ini muncul karena merasakan betapa sulitnya memberikan masalah keilmuan yang mendukung pengertian kuantitatif terperinci dalam bahasa Indonesia dan sukarnya menemukan istilah teknis sebagai padanan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Makin banyak kesulitan yang didapat, makin mantap kesangsiannya terhadap kemampuan bahasa Indonesia. Bahkan, mereka cenderung tidak percaya terhadap kemampuan bahasa Indonesia yang akhirnya mereka berkeyakinan bahwa bahasa Indonesia tidak mampu melayani kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kedua, sikap memercayai sepenuhnya kemampuan bahasa Indonesia mendukung dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa bahasa Indonesia mampu digunakan dalam segala bidang. Sikap optimistis ini jika diarahkan kepada tujuan yang positif dapat merupakan daya pendorong pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.

Ketiga, sikap yang dimunculkan oleh kalangan ahli bahasa. Yaitu sikap membenarkan adanya kelemahan-kelemahan tertentu yang diperlihatkan bahasa Indonesia di dalam mendukung dan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi melihat hari depan yang cerah bagi bahasa Indonesia dengan syarat-syarat tertentu. Wawasan ini mendorong adanya suatu pengertian dan kewajaran yang berarti bahwa adanya pembinaan dan pengembangan sikap ini di kalangan peminat bahasa Indonesia akan memperkecil kemungkinan timbulnya sikap yang kurang wajar terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

Pertanyaannya adalah dimana peran DJP selama ini? Apakah yang mendominasi adalah sikap pertama, kedua, atau ketiga? Jika ditengarai ternyata berpihak pada yang pertama adakah keinginan kuat untuk bisa berperan benar sebagaimana amanat undang-undang? Tentunya ini semua berpulang pada pimpinan institusi ini yang bisa menggerakkan seluruh jajarannya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuan rumah di rumahnya sendiri.

Penutup

Apa yang dilakukan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP dengan pengumumannya bernomor 02/PJ.09/2008 tanggal 24 Maret 2008 yang diumumkan ke berbagai media massa sudah tepat. Tidak ada sama sekali istilah atau judul sunset policy dalam pengumuman itu dan ia mencantumkan dengan benar istilah itu dalam kalimat bahasa Indonesia sebagai berikut: “Fasilitas Penghapusan Sanksi Pajak Penghasilan”. Ini adalah langkah yang patut dihargai dan patut ditiru oleh seluruh aparat pajak. Apalagi pada saat tulisan ini dibuat sosialisasi tersebut sedang gencar-gencarnya dilakukan.

Penulis setidaknya dapat memberikan saran bahwa penyosialisasian kebijakan ini tidak perlu dengan memopulerkan istilah asing tersebut. Pergunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan perannya sebagai bahasa negara dan nasional. Apalagi peran DJP sebagai instansi pemerintah merupakan ujung tombak dari pemasyarakatan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Menjalin kerjasama dengan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa sebagaimana telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta, Departemen Perhubungan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan masih banyak instansi pemerintah lainnya. Kerja sama dengan DJP bisa dalam bentuk pelaksanaan kegiatan penyusunan istilah perpajakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Senantiasa memanfaatkan teknologi yang tersedia berupa fasilitas glosarium yang disediakan oleh situs Pusat Bahasa Depdiknas untuk menerjemahkan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Termasuk upaya pengkajian ulang terhadap istilah asing yang selama ini melekat pada jabatan Penulis. Diharapkan dengan semua ini, kepekaan kita terhadap penggunaan bahasa Indonesia dapat ditingkatkan, apalagi di tingkat pimpinan yang menentukan hitam putihnya arah kebahasaan Indonesia. Semoga.

***

 

 

Maraji:

Buku Materi Diklat Bahasa Indonesia, Tahun 2002, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan

PP 02/2008: PENGAKUAN BERSALAH PEMERINTAH


PP 02/2008: PENGAKUAN BERSALAH PEMERINTAH

 

Adalah suatu hal yang ironi di tengah ancaman krisis lingkungan hidup yang sudah ditengarai empat dekade sebelumnya oleh para aktivis dan pemerhati lingkungan hidup dunia, pemerintah republik ini mengeluarkan sebuah aturan yang malah akan membuat krisis itu semakin menjadi.

Di awal Februari tahun 2008 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.

PP ini menetapkan tarif dan perizinan pembukaan hutan lindung dan produksi untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol dengan tarif sewa yang sangat murah berkisar Rp 120 hingga Rp 300 per meter persegi.

 

Pengakuan Krisis

Adanya krisis lingkungan ini diakui sendiri oleh pemerintah dalam PP tersebut. Bahwa hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati, cadangan pangan, cadangan obat-obatan, hasil kayu dan nonkayu, dan lain-lain.

Alih-alih memberikan solusi jitu dan komprehensif bagaimana mengatasinya, pemerintah dengan mengeluarkan PP ini seakan-akan menyayat sebuah luka bernanah dengan pisau tumpul dan berkarat. Lengkap sudah penderitaan bangsa ini. Sungguh tidak sebanding penerimaan yang diperoleh dengan bencana yang didapat rakyat sampai ke anak cucunya.

Tidakkah para pembuat kebijakan ini mengetahui bahwa dari berbagai penelitian yang ada proses penggundulan hutan bertanggung jawab atas sekitar 25 persen dari total emisi karbondioksida di dunia. Dan tak kalah pentingnya lagi deforestasi itu menjurus pada hilangnya sebagian sumber oksigen di atmosfir yang sangat vital untuk mengimbangi gas-gas berbahaya.

Todaro (1997) menambahkan bahwa karena pepohonan menyerap karbondioksida dan melepaskan oksigen selama berlangsungnya proses fotosintesis, maka hutan-hutan itu merupakan aset dan mekanisme pelindung yang mutlak penting bagi regenerasi ekosistem. Jelas deforestasi ini akan menurunkan daya serap atau kapasitas absortif lingkungan hidup. Dan efek yang ditimbulkan lebih dahsyat lagi pada akhirnya yaitu peningkatan kosentrasi gas-gas rumah kaca yang berujung pada pemanasan global. Bukti itu sudah ditampakkan di awal. Beberapa pekan setelah beleid itu diteken salah satu bongkahan es di kutub yang ukurannya sangat luas telah runtuh. Apa jadinya dunia ini bila efek itu dibiarkan begitu saja.

Sebelumnya sudah begitu banyak peringatan yang diberikan tentang kerusakan lingkungan dari adanya pemanfaatan hutan yang tidak berorientasi pada keseimbangan dan pelestarian alam hingga para petinggi dari berbagai negara dunia berkumpul di Bali mengadakan Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim. Kecemasan yang patut dipahami dan ditanggung oleh seluruh penduduk bumi yang rentan ini untuk bersama-sama melakukan aksi tanggap dan nyata. Anehnya suatu hal yang paradoksal jika pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang terkesan munafik ini.

 

 

Manfaat Tak Sebanding

Dengan adanya PP ini pula sebuah pengakuan ditambahkan lagi oleh pemerintah bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang saat ini dilakukan, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang.

Ini menjadi bukti yang tidak dapat disangkal dan membenarkan pendapat para pengamat sebelumnya bahwa usaha-usaha pertambangan—suatu sektor yang keberadaannya sering bersinggungan dengan dan mengorbankan kawasan hutan lindung—tidak memberikan kontribusi besar atau manfaat secara material kepada penerimaan negara pada umumnya.

Walaupun ini sering disangkal oleh para pengelola pertambangan terutama yang dikelola oleh investor asing dengan menyatakan adanya sumbangan yang amat besar dari keberadaan mereka berupa berupa pajak-pajak pusat yang disetor ke kas negara.

Pada faktanya kebanyakan pajak yang disetor itu hanyalah pajak dari hasil pemotongan yang memang wajib dilakukan oleh perusahaan tambang karena adanya aliran penghasilan kepada pihak lain. Seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26 atau yang lainnya. Sedangkan segala pajak impor memang sudah selayaknya dikenakan kepada para pengusaha tambang tersebut tetapi pada saatnya semua pajak atas impor—entah PPh Pasal 22 atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN)—bisa untuk dikurangkan sebagai kredit pajak dari pajak yang terutang.

Masalahnya selama ini jarang sekali ada perusahaan tambang yang dalam laporan keuangannya mencetak laba hingga membuat akun pajak yang terutang dan bisa disetorkan ke kas negara. Rata-rata mereka rugi. Komponen biaya yang amat tinggi biasanya menjadi penyebabnya karena menurut mereka—dan ini diminta pemaklumannya dari pemerintah dan rakyat Indonesia—sektor pertambangan adalah sektor yang membutuhkan investasi awal yang teramat tinggi. Atau karena adanya manipulasi keuangan dan pengalihan keuntungan ke negara lain melalui transaksi transfer pricing.

Royalti kepada pemerintah juga adalah hal yang sering digembar-gemborkan mereka sebagai bentuk kontribusi kepada negara ini. Masalahnya adalah prosentase atas bagi hasil itulah yang sering timpang pada perjanjian atau kontrak karya yang dibuat sebelumnya. Dan tidak adanya keberanian politik dari pemerintah untuk merevisinya—sebagaimana telah dilakukan oleh Bolivia—agar tercipta keadilan dan manfaat yang sebesar-besarnya buat rakyat sebagaimana amanat undang-undang dasar. Terkecuali siap-siap saja berhadapan melawan gurita raksasa kapitalisme dunia dengan seperangkat aturan global yang menguntungkan mereka sebagai tamengnya.

Dari alasan yang kesemuanya ditinjau dari masalah kontribusi dana—belum lagi pada ketiadaan manfaat yang diperoleh rakyat pasca pertambangan—maka keluarnya PP ini yang semula diniatkan untuk menambah penerimaan negara selain pajak, sekali lagi tidak memberikan manfaat sebanding dengan bencana lingkungan yang menimpa dan hilangnya sebuah aset yang tak ternilai.

Bahkan ini merupakan pernyataan tegas adanya confession of guilt dari sebuah kebijakan yang selama ini eksis dalam pengelolaan kehutanan dan pertambangan negeri ini. Siapa yang salah?

 

 

Orientasi Jangka Pendek

Tak bisa dipungkiri sebagaimana kebijakan yang ditelorkan di sektor lain bahwa keluarnya PP ini pun cuma berorientasi jangka pendek. Menambak kocek untuk mempertebal pemasukan negara tanpa memperhitungkan asas kepatutan dan kelayakan. Dengan alasan tarif murah ini masih bisa diperdebatkan serta aturan ini lebih baik daripada aturan sebelumnya yang menihilkan kompensasi dan tidak menguntungkan sama sekali.

Tetapi ada satu hal yang dilupakan yaitu peran pemerintah untuk melindungi kepentingan rakyatnya yang lebih utama dari sebuah keterpurukan dan kesengsaraan yang luar biasa dahsyatnya. Sudah banyak dipertunjukkan di depan mata akibat dari sebuah keteledoran pengelolaan lingkungan karena salah dalam memutuskan sebuah kebijakan.

Akankah ini kembali terus menerus terulang dan selalu mengkambinghitamkan alam sebagai biang kerok bencana lingkungan tanpa menyadari sepenuhnya bahwa manusia turut berperan besar didalamnya.

Maka patut diberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang akan mengajukan uji materiil atau tinjauan eksekutif untuk mencabut PP tersebut. Suatu langkah tepat sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada generasi yang akan datang.

 

***

 

 

Riza Almanfaluthi

PNS

Be a Hero!


Be a Hero!

 

    Ikhwatifillah yang dirahmati Allah, sesungguhnya sedari kecil di saat kita masih duduk di bangku sekolah dasar kita telah diberikan pelajaran dari guru-guru kita tentang sifat-sifat kepahlawanan. Pelajaran sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila (sekarang berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan) telah menceritakan kisah-kisah kepahlawanan dari para pendahulu dan pendiri republik ini. Tentunya Anda pasti kenal dengan Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Pattimura, Hatta, dan masih banyak lagi para pahlawan lainnya.

Juga dari pelajaran tarikh dan siroh di madrasah-madrasah yang menceritakan pula tentang kepahlawanan para mujahid Islam berperang bersama Rasulullah shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kisah-kisah kepahlawanan lainnya di saat Islam mulai menyebarkan rahmat kasih sayangnya ke seluruh penjuru dunia. Di sini Anda pasti kenal dengan Umar bin Khotthob, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, Thariq bin Ziyad, Muhammad Al Fatih, dan lain sebagainya.

Maka dari membaca pelajaran sejarah, pelajaran masa lalu, telah terpatri dalam benak kita dari para pelaku masa saat sekarang yaitu kita, untuk dapat meniru mereka dan mempunyai sikap kepahlawanan. Sikap yang tergabung di dalamnya keberanian, tidak kenal takut pada siapapun, optimisme, gagah berani, mental yang tangguh, fisik yang kuat, keterampilan tempur yang mumpuni, kearifan lokal dan global, bijaksana, kepemimpinan yang kuat, dan amanah. Semua itu, sekali lagi, dalam benak kita adalah hal yang kudu atau wajib ditiru.

Menjadi pahlawan adalah sebuah cita. Menjadi mujahid adalah harapan. Karena pahlawan adalah pahalawan, orang yang berpahala atas perjuangannya. Dari masa ke masa ada satu hal yang sama yang dituju dari para pahlawan tersebut yaitu melawan ketidakadilan, melawan sebuah kezhaliman.

Hiduplah pahlawan!

Maka adalah sebuah keanehan ketika sedari kecil kita dididik untuk menjadi seorang pahlawan, dididik untuk tidak mempunyai sikap pengecut, sikap seorang pecundang, dididik pula untuk bersikap anti penjajahan yang merantai harkat dan martabat kemanusiaan, tiba-tiba disuguhi pada sebuah kenyataan untuk berdiam diri melihat sebuah kemungkaran, ketidakadilan, kezhaliman yang dilakukan oleh para penguasa.

Sikap kepahlawanan itu diharuskan untuk tunduk pada argumen-argumen dan dalil-dalil yang dicari-cari dan cenderung menutup mata terhadap kesalahan yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan dibarengi dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan dari para pembela penguasa lalim itu bahwa para pengusung sikap kepahlawanan tersebut adalah sekumpulan orang-orang yang tak beruntung dunia dan akhirat. Padahal ianya hanya melakukan hak dan kewajibannya terhadap penguasa yaitu dengan metode amar ma’ruf nahi munkar sesuai syariat Allah dan sesuai kemampuannya. Allohukarim.

Sungguh dulu pun para pahlawan disebut sebagai penjahat oleh para pembencinya.

Ikhwatifillah, kita bukanlah khawarij yang berpendapat bahwa apa saja yang mereka pandang sebagai menentang hukum Allah, maka mengharuskan adanya pemberontakan terhadap penguasa yang melakukannya, guna menyingkirkannya.

Ikhwatifillah, kita pun bukanlah orang-orang yang harus diam, tanpa melepas lisan, dan justru membela penguasa zhalim ketika kemungkaran itu nyata di depan kita. Sikap ini adalah sikap yang anti kepahlawanan bahkan mengungkung fitrah manusia untuk melawan setiap kezhaliman yang ada.

Sungguh kezhaliman itu pasti akan berakhir maka jadilah seorang pahlawan. Bukan seorang pengecut, bukan seorang pecundang. Musytafa Masyhur mengatakan bahwa kezhaliman itu hanyalah ujian bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan Allah telah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang tertindas dari kalangan hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana perkataan Musa terhadap kaumnya yang tertindas si lalim Fir’aun, “mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-Nya, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.”

Ikhwatifillah, Islam telah menuntut setiap diri kita untuk menjadi pahlawan yang menolak setiap kezhaliman dari dirinya dan dari saudara-saudaranya. Islam tidak mengizinkan kita untuk hidup dalam kerendahan, kehinaan, dan kelemahan serta ketertindasan karena semua itu adalah sikap hidup yang hanya dimiliki oleh orang-orang jahiliah terdahulu.

Islam hanya menginginkan kita untuk hidup dalam kemuliaan, kekuatan, dan kekuasaan (menjadi penguasa) karena itu adalah sikap-sikap dari orang-orang yang telah diberikan cahaya tarbiyah dari Allah melalui Rasulullah shallaLlāhu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh Allah telah berfirman: “Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafiq itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun:8).

Ikhwatifillah, Islam telah mengajarkan kita untuk menjadi pahlawan yang menumpas setiap kezhaliman, dan setiap kita yang diperlakukan dengan zhalim maka berhak untuk membela diri. Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada dosa pun atas mereka.

Maka kenapa memilih selemah-lemahnya iman dengan tidak berbuat apa-apa jika kita mempunyai kemampuan mengubah kemungkaran dan melawan kezhaliman para penguasa lalim dengan tangan. Dan sungguh hanyalah orang-orang yang rela pada kehinaan dan ketertindasan—padahal itu membahayakan agamanya—dianggap sebagai orang-orang yang menzhalimi diri sendiri.

Ikhwatifillah, kita adalah sekumpulan orang yang berusaha meniru dari generasi terdahulu yang telah memberikan contoh bagaimana menyikapi kezhaliman penguasa, tidak dengan memeranginya tanpa pertimbangan maslahat dan mudharat yang matang, tidak dengan membabi buta dalam bertindak sehingga membahayakan Muslim lainnya.

Maka jangan kau pendam karakter kepahlawananmu, karena ia adalah muru’ah.

Jangan kau singkirkan jiwa kepahlawananmu, karena ia adalah kegagahberanian.

Jangan kau kuburkan sikap kepahlawananmu, karena ia adalah panji anti kepengecutan.

Jangan kau hilangkan sikap kepahlawananmu sekadar mencari muka di depan para penguasa lalim.

Jangan kau hilangkan didikan para pendahulumu, karena ia ingin kau menjadi pahlawan, bukan sebagai pecundang yang hanya menginginkan keselamatan untuk dirinya sendiri.

Maka…

Be a hero! karena kezhaliman pasti akan berakhir.

 

Riza Almanfaluthi

13:44 May Day 2008

dedaunan di ranting cemara

 

Maraji’ (bahasan untuk dikaji lebih lanjut):

  1. Al-Qur’an yang Mulia;
  2. Kekuasaan, Jama’ah, dan logika yang keliru (Dalam Menasihati Penguasa), perisaidakwah.com;
  3. Fikih Dakwah JIlid 1, Syaikh Mustafa Masyhur, Al-‘Itishom Cahaya Umat, Cet.IV, 2005.

JANGAN ASAL COPY PASTE: TULISAN SAYA DIBAJAK


JANGAN ASAL COPY PASTE(TULISAN SAYA DIBAJAK)***            

 Suatu saat saya menulis tentang artikel perpajakan yang saya unggah di blog saya. Judul tulisan itu adalah:

PROSEDUR (TATA CARA) PENGHAPUSAN NPWP DAN ATAU PENCABUTAN PENGUKUHAN PKP  

bisa pembaca lihat di alamat ini. Saya unggah pada hari Senin tanggal 14 Januari 2008.           

Suatu hari pula saya sedang melakukan pencarian di Google. Dan saya menemukan sebuah situs yang ternyata memuat tulisan saya itu. Bisa dilihat di situs ini: http://satyawikan.com/marimar-blog/ Tulisan dimuat di situs itu pada tanggal 8 Maret 2008.           

Saya terus terang saja tidak masalah tulisan saya dimuat di blog atau di sebuah situs manapun yang tidak komersil tanpa izin dari saya, asalkan mencantumkan sumber pengambilan tulisan tersebut.

Ini adalah sesuai dari misi yang dibuat oleh pengusung kampanye Jangan Asal Copy Paste (JACP) di situs JACP ini.  Mungkin perlu saya sebutkan lagi tujuan adanya kampanye JACP ini—yang saya ambil dari situs tersebut:

Jangan Asal Copy Paste/ JACP adalah sebuah ajakan moral untuk menghargai hasil karya para blogger, karena apapun isinya, apapun wujudnya, blog adalah juga sebuah hasil karya cipta. Kampanye ini terinspirasi dari beberapa kasus penjiplakan dan pembajakan materi blog yang juga pernah saya alami sendiri beberapa waktu silam.           

Kembali kepada masalah tulisan saya tersebut. Mengapa saya sebut tulisan saya dibajak oleh situs itu?

  1.  Karena di situs itu tulisan itu tidak mencantumkan sumber pengambilan artikelnya darimana. Kalau saya melakukan itu, saya sungguh malu-malu sekali. Makanya dalam tulisan saya,  saya selalu mencantumkan referensi yang saya miliki sebagai bahan pengambilannya. Entah dalam bentuk catatan kaki atau dalam bentuk daftar pustaka. Ini saya lakukan agar saya tidak disebut sebagai plagiator. Yang menurut saya adalah julukan terburuk. Ini menandakan bahwa dalam tulisan tersebut tidak murni alur pemikiran saya. 
  2. Alasan kedua mengapa tulisan yang ada di situs tersebut adalah tulisan bajakan dari tulisan saya adalah karena ia cuma membubuhkan satu paragraf hasil pemikiran dia lalu mengutak-atik dua paragraf setelahnya, dengan sedikit perubahan, dan seluruh paragraf setelahnya adalah murni dari tulisan saya. 
  3. Yang menguatkan lagi,  ada dua  kata dalam sebuah paragraf saya yang diganti olehnya. Misalnya seperti ini: Ini adalah tulisan saya yang asli:

    Karena berdasarkan pengalaman yang ada ternyata proses pencabutan NPWP itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun lamanya. Tapi Insya Allah dengan adanya undang-undang baru Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) maka batas waktu penyelesaiannya sudah dapat diketahui dengan pasti yaitu cuma 12 bulan untuk Wajib Pajak (WP) Badan.

    Diganti oleh dengan:

    Karena berdasarkan pengalaman yang ada ternyata proses pencabutan NPWP itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun lamanya. Tapi Puji Tuhan dengan adanya undang-undang baru Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) maka batas waktu penyelesaiannya sudah dapat diketahui dengan pasti yaitu cuma 12 bulan untuk Wajib Pajak (WP) Badan.           

    Kata-kata Insya Allah dengan Puji Tuhan itu beda. Insya Allah itu berarti sebuah penegasan adanya sebuah ketidakmutlakan. Sedangkan puji tuhan itu adalah kesyukuran atas sebuah karunia. Dalam Islam sebuah kepastian diungkapkan tidak dengan sebuah “saya yakin” atau “saya pasti”, tapi sebagai sebuah kerendahan diri kepada Pencipta, bahwa kita adalah makhluk yang lemah, dan hanya Allah-lah yang punya kuasa mengatur atas segala sesuatu yang bisa jadi menurut kita terjadi ternyata Allah berkehendak lain, maka digunakanlah kata-kata Insya Allah. Demikian. 

  4. Di situs itu tidak ada fasilitas atau ruang untuk berkomentar. Entah kenapa maksudnya. Semoga bukan karena takut untuk digugat. Ini pun tidak sesuai dengan tagline dari situs itu yaitu sebagai “wadah untuk sharing”. ‘

Ya, cukup itu saja dari saya. Semoga ibu Marimar, atau pengisi situs tersebut bisa membaca tulisan saya ini, memahami lalu menyadarinya, dan semoga Allah memberikan hidayah padanya.

Ohya sekadar catatan dari saya, saya telah menyimpan rekam jejak dari tautan tulisan itu, agar saya nanti bisa menunjukkan bukti di saat memang diperlukan untuk membuktikannya. Supaya saya tidak dianggap menuduh sembarangan. Semoga Allah mengampuni saya. 

Hadiah buat Anda: silakan ambil semua tulisan dari saya dan cantumkan pembuat tulisan itu atau cantumkan sumber pengambilannya. Terimakasih. Semoga bermanfaat.  

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08:35 02 April 2008    

DENDAM AMANGKURAT


DENDAM AMANGKURAT

Beberapa pemimpin Bani Abbasiyyah yang tidak berhasil membunuh lawannya dari Bani Umayyah melakukan sebuah tindakan
di luar akal manusia yang beradab hanya dengan alasan kelompok Bani Umayyah tersebut mati sebelum mereka berkuasa.
Karena masih penasaran, seorang dari mereka, Abdullah bin Ali, mengeluarkan mayat-mayat musuhnya dari kuburan, lalu
mencambuki, dan menyalibnya sebelum akhirnya dibakar. Tidak hanya itu ia membantai keturunan Bani Umayyah dan
orang-orang yang bukan berasal dari Bani Umayyah sebanyak 92.000 orang pada hari Ahad di tepi salah satu sungai di
Ramlah.

Beberapa abad kemudian, contoh lain dari begitu banyak obsesi sebuah dendam adalah saat Trunojoyo yang memberontak
kepada kakak iparnya Amangkurat II-raja Mataram yang lalim dan mau menggadaikan harga dirinya di telapak kaki VOC,
padahal kakeknya sendiri tak mau untuk tunduk pada kumpeni hingga menyerang Batavia dua kali walaupun tanpa hasil-tak
sanggup lagi untuk meneruskan perlawanan. Maka yang tampak adalah sebuah tragedi di balai agung pertemuan raja.

Di sana, penyerahan baik-baik itu tak dibalas dengan sebuah penghormatan akan nilai kehidupan. Beberapa pengawal
bergerak, menyeret Trunojoyo untuk didekatkan sampai ke depan raja. Raja berdiri dari kursi, menyambut tubuh yang
telah pucat pasi itu dengan tusukan keris Kyai Balabar. Tusukan tepat di dada hingga menembus punggung. Darah muncrat
membasahi raja.

Tak puas sampai di situ, ia memerintahkan para adipatinya untuk ikut serta terjun ke dalam lautan kebengisannya.
Mereka langsung maju menyarangkan keris masing-masing ke tubuh yang sudah tak bernyawa itu, lalu memakan jantungnya.
Dua orang tumenggung dari Pasuruhan karena tidak mendapat tempat lagi untuk di mana keris hendak ditusukkan, mereka
cuma kebagian upacara melumuri tubuh dan wajah dengan darah. Selesai?

Tidak!

Sebelum Amangkurat meninggalkan balai pertemuan itu, ia memerintahkan agar leher suami dari adik tirinya itu
dipenggal, dan kepalanya dia tenteng menuju balai peristirahatan. Semua selir wanita simpanan ia suruh menginjakkan
kakinya di atas kepala Trunojoyo sebelum masuk ke peraduan. Lalu dini hari nantinya, ia perintahkan kepala tersebut
dimasukkan ke lesung untuk dihancurkan.

Aduhai manusia, sungguh ini adalah secuil dari prahara bahkan badai dendam yang menggelayuti sukma dan hati para
pengusung sifat alami Iblis. Ia yang diusir dan dilaknat Allah ini karena kesombongannya tak mau sujud kepada Adam
tak akan pernah puas untuk senantiasa menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam neraka yang sedalam-dalamnya. Dendamnya
tak berkesudahan.

Puaskah Abdullah bin Ali dan Amangkurat II untuk menuntaskan dendamnya? Tidak! Sungguh membunuh musuh tidak akan
cukup untuk memuaskan nafsu balas dendam. Ia pada galibnya tidak akan pernah menemukan kedamaian atau kebahagiaan
karena api dendam itu akan semakin berkobar ketika satu dendamnya saja terlampiaskan. Ia bagaikan api disiram dengan
bensin, hingga dendam itu akan menguasai seluruh sisi kemanusiaannya.

Maka Syaikh 'Aidh bin Abdullah Al-Qarni pun meminta kepada para manusia untuk memahami kata-kata ini:
"Pendendam akan selalu merasa lebih menderita dan sengsara dibandingkan dengan musuhnya, karena dia telah
kehilangan kedamaian dan kebahagiaan."

Musuh tidak akan menyakiti orang
lain lebih hebat daripada dia menyakiti diri sendiri.

Tak sekadar di forum diskusi, di dunia nyata syahwat dendam yang membesar hingga sampai menjadi obsesi adalah sebuah
tanda dari hati yang sakit. Ia senantiasa mencari setitik kesalahan yang tampak dari saudaranya sendiri. Menunggu
dengan sabar kelengahan saudaranya bagaikan elang Afrika yang sedang mencari mangsa. Di saat kelinci gurun itu muncul
maka melesatlah sang elang menerkam hingga mencabik-cabik tubuh dan memakannya. Begitu pula di saat kesalahan itu
tampak di depan matanya, ia siapkan mortir pembalasan entah dengan kata-kata atau aksi fisik secara nyata. Ia
bagaikan penjelmaan dari dendam Amangkurat II.

Ah, puaskah? Tidak, sungguh hatinya semakin sakit hingga ia sesungguhnya rapuh dan tidak menyadari bahwa obat yang
sesungguhnya itu bukan sebuah pembalasan dendam tetapi aksi sebuah hati berupa memaafkan. Ya, memaafkan atas sebuah
kesalahan itu akan menyehatkan dan membahagiakan dirinya sendiri. Ia bagaikan air hujan yang memadamkan kobaran api
para pengusung dendam. Ia bagaikan wadi di tengah gurun pasir bagi para kafilah. Ia adalah pulau kecil di tengah
samudera luas bagi orang-orang yang terapung-apung di dalamnya.

Kathleen Lawler, Ph.D-seorang peneliti di University of Tennesse, yang meneliti soal pengaruh memaafkan terhadap
kesehatan-menjelaskan sesungguhnya memaafkan dapat meningkatkan kesehatan karena terjadi pengurangan beban psikologis
yang tertekan karena disakiti dan diserang oleh orang lain. Disadari atau tidak, kemarahan dan rasa sakit hati yang
mendalam memang bisa merusak kesehatan. Memaafkan adalah obatnya. Dengannya tubuh menjadi rileks, aliran darah lebih
lancar karena jantung bekerja normal tanpa gangguan. Dan ketimbang untuk orang lain, memaafkan sebenarnya amat baik
utuk diri sendiri.

Aduhai kawan, menyandingkan sebuah kemaafan untuk menutupi sebuah lubang bernama dendam adalah tugas berat. Di
sanalah butuh sebuah semaian dari ladang keimanan. Keyakinan yang kuat bahwa dengan hanya berlindung pada Sang
Pencipta Segalanya, maka bibit-bibit sifat Iblis itu akan musnah.

Aduhai kawan, sungguh banyak para ulama pendahulu kita berwasiat pada kita semua, dengan dzikir kepadaNya selamanya ,
senantiasa mengambil wudhu, bergaul dengan orang-orang yang shalih, meninggalkan kedurhakaan dan perbuatan-perbuatan
keji, berpaling dari dosa-dosa, banyak beristighfar, tobat, dan kembali padaNya, semuanya itu adalah benteng kokoh
perlindunganNya dari segala bentuk angkara murka.

Selain itu akan kemana lagi kita berlindung? Pada kayu-kayu mati? Pada patung-patung bisu? Pada kedigdayaan diri?
Aduhai, kiranya mati adalah lebih baik daripada hidup.

Semoga kita tidak mendendam layaknya dendam Amangkurat yang tiada berkesudahan.

Allohua'lam bishshowab.

Maraji':

1. 'Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Don't be Sad: Cara Hidup Positif
Tanpa Pernah sedih dan Frustasi
, Maghfirah Pustaka, 2004

2. 'Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Cambuk Hati, Irsyad Baitus
Salam, 2004

3. Asmawati, Memaafkan itu Menyehatkan & Membahagiakan,
Majalah Ummi Edisi 05/XIX September 2007;

4. Bre Redana, Bulan Kabangan, dalam Derabat, Cerita Pendek Pilihan Kompas 1999.

5. Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam: dari Dinasti Bani
Umayyah hingga Imperialisme Modern
, Pustaka Al-Kautsar, 1998;

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09.22 08 01 08

di sana Islam sekadar simbol