Seperti Umur Manusia, Serupa Usia Dunia, Perjalanan Ini Singkat Belaka


Perjalanan ini singkat belaka.

Kamis sore itu, usai mengikuti diklat di bilangan Pancoran, Jakarta, saya langsung menuju Stasiun Pasar Senen.

Saya diantar oleh tukang ojek pangkalan yang biasa mangkal di depan Kantor BPJS Ketenagakerjaan di Jalan Jenderal Gatot Subroto. Karena sudah berlangganan, pria asal Madura itu bersedia menjemput di mana dan kapan saja saya membutuhkan jasanya.

Sebelum sampai di Stasiun Pasar Senen, saya memintanya untuk singgah sebentar ke Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Menteng Satu. Ada barang yang harus saya titipkan ke Pak Satpam di sana: pena Galaxy Samsung S8. Pena itu milik Mbak Ais, teman diklat, yang kebetulan terjatuh di tempat parkir mobil dan syukurnya berhasil saya temukan.

*

Baca juga: Puluhan Testimoni dari Pembaca Buku Baru Sindrom Kursi Belakang

Stasiun Pasar Senen pada pukul 17.00.

Saya tiba di pintu masuk stasiun. Persis di depan pasar induk dan terminalnya. Hati saya langsung bergetar dan mengenang masa lalu. Waktu saya masih SMP, saya sering diajak bapak berbelanja majalah dan buku teka-teki silang di pasar buku bekas. Profesi bapak memang penjual majalah bekas di Jatibarang, Indramayu.

Sehabis berbelanja, kami makan siang di kapau yang bertebaran di dalam Pasar Induk Senen. Lagu yang lagi heboh pada saat itu adalah Bento dan Bongkar yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Sampai sekarang saya masih teringat, bagaimana Bapak memanggul tumpukan majalah dan buku bekas itu. Saya pun membawa tumpukan yang bisa saya bawa. Ah, masih saja ….

Sambil menunggu jadwal masuk peron pada pukul 18.15, saya mampir di Masjid At-Taufik untuk menanti azan Magrib berkumandang.  Usai salat, saya segera bergegas menuju Stasiun Pasar Senen. Saya mengantre sebentar untuk memasuki bagian dalam stasiun, berjalan melalui terowongan di bawah rel, dan memasuki tubuh Kereta Api Senja Utama Yogyakarta.

Kereta ini akan berangkat pada pukul 19.05.

*

Baca juga: Daftar Isi Buku Bagus Sindrom Kursi Belakang

Saya masih sempat menyelesaikan satu pekerjaan pada saat kereta api itu melaju. Goyangan kereta ini membuat laptop tak bisa berdiri ajek di meja kereta. Tak nyaman sekali. Kemudian, saya menarik selimut dan membiarkan mata ini berdamai dengan kantuk yang sudah dari tadi menerjang.

Stasiun-stasiun besar dan perhentian dilewati tanpa saya menyadarinya. Saya beberapa kali terbangun dan benar-benar tak kuasa lagi memejamkan mata ketika kereta api ini berjarak 30 menit lagi dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Tak lama kemudian lampu kabin kereta dinyalakan. Petugas mulai mengambil selimut satu-satu dari para penumpang.

Pada pukul 02.35 dini hari, kereta api Senja Utama Yogyakarta sampai. Saya kembali menginjakkan kaki di kota yang penuh magnet ini. Sepertinya baru kemarin saya singgah dan memupuk kenangan. Tetap saja tiada rasa jemu.

Dengan mobil yang saya pesan secara daring, saya menuju penginapan di seputaran Jalan Ring Road. Saya tiba sekitar pukul tiga pagi dan masih punya waktu untuk memejamkan mata. Waktu Subuh di sini tentunya akan datang lebih dahulu dibandingkan di Tangerang Selatan.

*

Baca juga: Sinopsis Buku Baru Sindrom Kursi Belakang

Setelah mencari sarapan di seputaran Jalan Monjali, saya menyiapkan bahan materi untuk sesi mengajar. Rencananya nanti pada pukul 09.00, saya secara daring akan berbagi pengetahuan dan pengalaman soal dunia tulis menulis dengan teman-teman Kantor Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Perut saya melilit. Sepertinya mag saya kambuh. Saya segera meminum obat pasaran yang saya beli di warung pinggiran jalan.

Alhamdulillah acara yang berlangsung dua jam itu berjalan dengan lancar. Pada pukul 11.00 saya pamit dari ruang virtual Zoom. Kini saatnya mempersiapkan diri untuk acara utama pada siang nanti. Dan inilah inti dari kedatangan saya di Yogyakarta.

Beberapa bulan sebelumnya, PR Indonesia membuka pendaftaran kompetisi Jambore PR Indonesia (Jampiro) ke-9. Ini adalah kompetisi tahunan bagi praktisi public relations (PR) lintas generasi. Dalam ajang itu, setelah melalui seleksi dan penilaian, PR Indonesia memberikan apresiasi bagi kinerja para pelaku kehumasan. Ada empat kategori di sana: Insan PR Indonesia, Icon PR Indonesia, PR Indonesia Fellowship Program, dan Rookie Stars.

Waktu itu saya masih di Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas), Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam beberapa kesempatan dan kategori, DJP pernah memenangkan lomba itu.

Baca: Mesin Hanya Memiliki Chip, Manusia Memiliki Hati

Kali ini, saya mengikuti lomba di kategori yang berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya, yaitu PR Indonesia Fellowship Program. Kategori ini ditujukan untuk praktisi PR yang memiliki keahlian menulis. Nantinya pemenang program ini akan menulis dan menerbitkan buku dengan tema komunikasi atau kehumasan. Anggota Seksi Pengelolaan Situs, Direktorat P2Humas menyiapkan semua itu dan mendaftarkan saya untuk mengikuti lomba itu. Terima kasih saya ucapkan kepada mereka.

Beberapa waktu kemudian, gelombang mutasi datang di pertengahan September 2023. Saya pindah ke Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing. Di tengah kesibukan, saya hampir melupakan lomba itu, sampai kemudian ada sebuah surel masuk ke kotak surat pada 11 Oktober 2023. Panitia Jampiro 2023 menginformasikan bahwa saya memenangkan dan terpilih untuk menerima penghargaan Fellowship Program PR INDONESIA Tahun 2023. Mereka mengundang saya untuk menghadiri acara Awarding JAMPIRO 2023 di The Rich Jogja Hotel, Jumat, 27 Oktober 2023. Wah, alhamdulillah.

*

Baru kali ini saya menghadiri seremoni pemberian penghargaan sendirian. Tidak ada wakil DJP lainnya, bahkan dari Kementerian Keuangan yang biasanya rajin hadir. Acara dimulai pada pukul 15.00. Para guru, pakar, dan senior dalam kehumasan hadir seperti Magdalena Wenas, Rizka Septiana, dan lain sebagainya.

CEO PR Indonesia Asmono Wikan memberikan sambutan. Satu hal yang saya ingat dari apa yang disampaikannya adalah soal sedikitnya buku yang ditulis oleh para praktisi kehumasan. Kebanyakan buku itu ditulis oleh akademisi. Dengan Jampiro ini, PR Indonesia sedang menciptakan ekosistem agar praktisi kehumasan banyak menulis buku.

Setelah berbagai sambutan dan penampilan, pemberian penghargaan dimulai. Di antaranya adalah untuk pemenang PR Indonesia Fellowship Program 2023-2024. Saya dipanggil naik ke atas panggung. Selain dari DJP ada pemenang dari Universitas Negeri Jakarta, PT Pelindo Marine Service, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Daftar lengkap pemenang Jampiro ke-9 bisa diakses di laman ini.

Penghargaan ini baru awal. Nanti ada pelatihan dan kerja keras yang harus diupayakan selama setahun untuk menghasilkan keluaran berupa buku kehumasan. Semoga bisa.

Menjelang Magrib saya kembali ke penginapan. Badan saya sepertinya sudah rontok. Butuh rehat untuk memulihkan stamina. Janji temu dengan Mas Binanto untuk bersemuka terpaksa dibatalkan. Saya menyerah dengan kondisi. Padahal ini sebaik-baik waktu untuk bisa menekuri malam-malam Yogyakarta. Namun, besok pagi, saat matahari belumlah sepenggalah, saya harus pulang dengan Fajar Utama Yogyakarta.

*

Saya sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta pada pukul 06.00 pagi. Saya masih memiliki waktu yang cukup untuk menyusuri trotoar depan stasiun, melihat loket penjualan tiket, mencetak tiket di sana, memasuki stasiun dengan santai, dan melewati terowongan di bawah rel yang baru dibuka pada 31 Juli 2023.

Saya melihat-lihat foto-foto bernuansa vintage di sana. Di terowongan itu pun, saya bertemu dengan Pak Untung Supardi—sepertinya beliau baru turun dari KA Manahan yang baru tiba dari Jakarta. Ia tiba, saya pergi.

Saya mencari kursi seperti yang tertera di tiket. Saya mencari di bagian depan yang dekat dengan lokomotif. Ternyata salah. Saya balik arah dan mengetahui bahwa eksekutif dua itu berada di gerbong paling belakang. Kursi 13C itu pun berada di deretan paling belakang. Klop sudah dengan judul buku Sindrom Kursi Belakang. Ah, tidak. Saya tidak terimpit seperti waktu itu. Pun, suasananya terang benderang dan saya berada di ruang yang lapang.

Baca Reviu Buku Baru Sindrom Kursi Belakang: Tak Setetes pun Air Mata

Pada pukul 07.00 pagi, kondektur kereta membunyikan semboyan 41 dengan peluitnya. Tanda kereta api harus berangkat di jalur aman. Semboyan itu disambut dengan semboyan 35 berupa klakson kereta yang dibunyikan oleh masinis.

Pelan-pelan roda kereta bergerak, bergeretak, dan menyeret tubuh ular besi. Saat itu, saya berada di bagian belakang gerbong kereta, di balik kaca pintu, melihat Stasiun Tugu Yogyakarta, menjauh, menjauh, dan menjauh ….

“Seperti umur manusia, serupa usia dunia, perjalanan ini singkat belaka. Besok, saya akan kembali.”

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Oktober 2023
Untuk pemesanan buku baru Sindrom Kursi Belakang bisa mengeklik tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi

 

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.