Kutulis Nyawamu, Senyawa Nyawaku: Reviu Buku Sindrom Kursi Belakang


Sudah dua pekan lamanya saya di kantor baru, tenggelam dalam pekerjaan yang menumpuk, dan bungah dengan rendezvous setiap malam.

Pun, baru pada kesempatan ini saya bisa membarui blog saya. Untuk kali ini saya ingin membagi salah satu reviu singkat buku Sindrom Kursi Belakang. Reviu ini dibuat oleh sahabat saya pelahap buku yang setia membaca buku-buku saya: Sigit Raharjo.

Reviu ini dibuat dan ditayangkan di akun media sosial Instagramnya yang beralamat di @om.sig. Saya mengucapkan terima kasih atas jerihnya mengulas buku ini. Tak tepermanai. Mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah berjasa atau berbuat baik kepada kita adalah sebuah keniscayaan, ya kan?

Baca juga:  Sinopsis Buku Sindrom Kursi Belakang

Saya jadi teringat dengan buku yang ditulis oleh John Kralik: Efek Terima Kasih, Tindakan Bersyukur Sederhana yang Mengubah Hidup. Namun, saya tidak akan membahas buku yang menarik itu pada saat ini. Yuk, kita langsung saja baca reviu sahabat saya ini.

 

**

Saat menaiki moda perjalanan, orang lebih memilih kursi depan. “Biar duluan nyampai,” begitu kira-kira alasannya. Padahal ketika naik pesawat, penumpang di kursi tengahlah yang lebih dahulu sampai karena roda pesawat ada di bagian tengah.

Buku ini karya teman yang saya kagumi. Akhi @riza_almanfaluthi, seorang pencatat, penganggit juga panutan/inspirator lahirnya banyak penulis. Ini adalah bukunya yang keenam. Kali ini dia menampilkan kisah-kisahnya saat berdinas di Tapaktuan, Aceh Selatan, Aceh.

Baca: Daftar Isi Buku Sindrom Kursi Belakang

Perjalanan adalah tema buku yang menarik. Apalagi dibaca saat di atas kendaraan, di perjalanan antara. Konon sahabat terbaik dalam perjalanan adalah buku. Meski buku ini terasa segmented, tetapi kisahnya terasa universal.

Membaca lembar demi lembar buku ini membuat saya terlempar pada masa satu dasawarsa lalu. Sebagai teman sejawat, saya juga mengalami kisah yang nyaris serupa. Terdampar di daerah baru dengan bahasa, adat, budaya dan juga teman baru, tetapi terlempar dari dekap orang-orang tersayang.

Adaptasi adalah kunci saat kita berada di tempat baru. Dan Riza menguraikannya dengan cermat. Dengan bumbu nasihat yang disajikan tanpa kesan menggurui. Saya bisa bayangkan Riza mempunyai diari harian sebagai tabungan ide, lalu mencari referensi untuk menambahkan nilai dari kisah yang dilaluinya.

Baca: Mengapa Dipergilirkan. Pasti Ada Maksud dan Tujuannya. Ulasan Buku Sindrom Kursi Belakang

Saya melihat di samping penulis yang tekun, Riza adalah pembaca buku yang rajin. Saya mencatat beberapa penulis yang dia kutip seperti Anis Matta, Aidh al Qarni, Malcolm Gladwell, Ernest Hemingway, dan tentu saja Alquran dan Riyadush Shalihin. Semua teramu dengan serasi.

Buku ini mengupas pula budaya dan sejarah di tempat Riza ditugaskan. Tentu ini membuat buku ini makin menarik. Tak salah jika buku ini dapat dihadiahkan kepada teman yang mutasi ke tempat baru. Bisa saya, Riza atau Anda.

Seandainya saja saya mempunyai energi dan ketekunan sebesar Riza.

**

Demikian ulasan singkat buku Sindrom Kursi Belakang dari Om.Sig. Buku perjalanan yang ditulis dalam waktu yang tidak terlalu lama karena bahannya sudah tersedia. Saya jadi mengenang satu puisi Umbu Landu Paranggi dalam buku kumpulan puisinya: Melodia. Puisi itu berjudul Upacara XXII.

dengan mata pena
kugali-gali
seluruh diri
dengan helai-helai kertas kututup nganga luka-luka
kupancing udara di dalam dengan angin tangkapanku
begitulah selalu
kutulis nyawamu
senyawa nyawaku

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
7 Oktober 2023
Judul tulisan berasal dari salah satu puisi Umbu Landu Paranggi
Memesan buku Sindrom Kursi Belakang di tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

 

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.