Tahukah Anda kalau masih ada 2,7 juta penduduk Indonesia yang tidak bisa membaca?
Beberapa perjalanan saya keluar daerah karena penugasan selalu diiringi dengan diskusi dunia penulisan dan perbukuan.
CEO Maghza Pustaka Iqbal Dawami, jauh-jauh dari Pati, datang menemui saya di sebuah lobi penginapan di Yogyakarta. Kami mengobrol intens selama dua jam sambil meminum kapucino dan memakan pisang goreng. Kudapan lezat itu dimasak langsung oleh koki penginapan.
Apa yang diperbincangkan? Banyak sekali. Namun, tidak jauh-jauh dari kondisi ekosistem perbukuan tanah air. Akhirnya pertemuan itu harus berakhir karena saya harus mengikuti kegiatan lagi. Kami berfoto bersama dan ia menyerahkan buku yang ditulisnya berjudul Pseudo Literasi.
Buku yang terbit pada 2017 itu baru bisa saya baca di atas pesawat yang membawa saya ke Jakarta. Buku yang menyindir saya dengan keras dan tentunya kepada mereka yang seolah-olah sudah berbuat banyak mendukung literasi republik ini, tetapi semu belaka.
Harusnya saya membaca dulu buku itu sebelum saya menulis buku Kita Bisa Menulis atau Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini. Baru membaca 21 halaman saja membuat saya sudah tak sabar ingin memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa buku ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin jadi penulis atau pegiat literasi. Saya akan mengulasnya lebih dalam di kesempatan lain, insyaallah.
Dalam penugasan lain baru-baru ini, saya pun mendapatkan suasana literasi yang kental. Kali ini di Kota Malang. Dalam perjalanan dari Bandara Internasional Juanda menuju Kota Malang dengan menggunakan mobil travel saya mendapatkan pesan melalui aplikasi percakapan. Pesan itu berasal dari seorang pegiat literasi Kota Malang. Namanya Ibu Desiree Muntu. Ia tidak tahu kalau saya sedang menuju kotanya.
Ibu Desiree mengirimkan foto maya yang menunjukkan sekelompok orang sedang membaca buku. Kata Ibu Desiree, buku yang mereka baca adalah buku Kita Bisa Menulis. Mereka sedang mengadakan kegiatan cooperative study. Setiap tim terdiri dari empat orang. Masing-masing bertanggung jawab membaca bab tertentu dalam waktu seminggu dan berbagi kepada timnya pada hari Jumat. Mendapatkan kabar buku saya dibaca sekelompok orang membuat saya girang tak alang kepalang. Terima kasih, teman-teman.
Saya sampai di Malang pada sore hari lalu mampir di warung Amstirdam Kopi dulu. Saya kesengsem dengan biji kopinya yang luar biasa wangi. Itu yang membuat saya berniat untuk mendatanginya langsung. Mumpung acaranya masih beberapa jam lagi, saya niatkan untuk pergi sana.
Tempatnya menyempil di sudut kompleks ruko Soekarno Hatta Indah. Namun, pengunjungnya membanjir sampai ke luar ruko. Saya masuk dan menjumpai ada meja kosong di sana. Saya memesan segelas piccolo.
Satu pesan masuk dari Mbak Riska Munifa, pegawai Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III yang hendak menuju warung kopi ini usai jam kantor. Ia yang menunjukkan alamat warung kopi itu kepada saya. Satu rute perjalanan di Jakarta itu bisa memakan satu jam. Malang berbeda dengan Jakarta. Di Malang, hanya memakan waktu beberapa menit saja. Tiba-tiba ia sudah mencungul di hadapan saya.
Obrolan pun tak jauh dari seputar kepenulisan. Kali ini soal menulis genre fiksi. Ia sudah menelurkan buku antologi cerpen bersama penulis lainnya dan konsisten menulis novel di platform menulis daring.
Saya berpesan kepadanya soal tiga hal dalam menulis genre apa pun: niat, berdamai dengan proses, dan terus-menerus belajar kepada siapa pun dan sampai kapan pun. Saya harap ia menjadi penulis fiksi terkemuka di Indonesia kelak. Ini supaya masyarakat Indonesia tidak hanya mendengar nama Dee Lestari, Kang Abik, atau Asma Nadia saja di belantara sastra Indonesia.
Terakhir, pada esok paginya. Setelah saya berlari selama satu jam lebih untuk menempuh 7,6 km dalam rangka Hari Oeang 2022 dan usai sarapan, DJP Runners Mbak Sulastri datang ke tempat saya menginap. Kali ini kami mengobrol di selasar ruang makan yang berada di tepi kolam renang yang ramai. Kadang percakapan ini ditingkahi asap rokok yang lewat menengahi kami.
Lagi, kami perbincangkan dunia tulis-menulis. Di tengah cuti di luar tanggungan negaranya, ia sedang mengikuti kelas menulis daring dan berusaha melahirkan cerpen-cerpennya. Saya mendengarkan soal kegairahannya dalam menulis, sebuah hobi yang didukung penuh oleh sang suami setelah tak menekuni lagi hobi larinya.
Saya menyarankan untuk mengunduh aplikasi KBBI V supaya ia peduli bahasa, mengunduh aplikasi iPusnas untuk bisa membaca buku secara gratis karena penulis itu wajib menjadi pembaca yang rakus, dan tentunya membaca buku Kita Bisa Menulis. Tetap saja saya ngiklan.
Obrolan dua jam itu harus usai karena rombongan kami harus pulang ke Jakarta. Saya tak perlu ke Surabaya karena saya berhasil mendapatkan tiket pulang langsung dari Kota Malang.
Dari berbagai rendezvous ini, baik luring ataupun daring, saya tertegun. Berbagai pertemuan itu sangatlah dekat dengan dunia literasi. Sepertinya saya sedang—mengutip judul puisinya Taufik Ismail, membaca tanda-tanda. Ya, membaca tanda-tanda dunia literasi Indonesia semakin meningkat. Semoga tidak salah. Namun, ada realitas yang tampaknya berseberangan.
Ini tampak pada opini Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta Liliana Muliastuti di Media Indonesia pada Senin, 31 Oktober 2022. Ia mengutip media daring yang menyajikan data angka buta aksara Indonesia berjumlah 2,7 juta penduduk Indonesia. Data ini berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2021.
Melek aksara itu hanya salah satu indikator literasi. Ada lima literasi lain yang diperlukan untuk menjadikan bangsa inimaju dan disegani, tulisnya. Lima literasi itu adalah literasi numerasi, sains, finansial, digital, budaya, dan kewargaan.
Di lima literasi itu Indonesia masih kalah jauh. Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, Indonesia menduduki peringkat keenam dari bawah atau ke-74. Pertanyaan yang Liliana ajukan di sana adalah bagaimana mungkin kita menginternasionalisasikan bahasa kita jika di dalam negeri tingkat literasi masih rendah?
Pekerjaan rumah kita masih banyak. Diskusi di atas hanya sebutir pasir di Sahara. Namun, tiadalah kita berkecil hati karena tiada yang besar tanpa berkumpulnya yang kecil-kecil itu. Tabik.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
1 November 2022
Pemesanan buku Kita Bisa Menulishttps://linktr.ee/rizaalmanfaluthi