Cerita Perjalanan: Ini Bukan Kopi, Ini Cuko


Sabtu pagi itu, setelah salat subuh, saya segera check out dari tempat saya bermalam. Saya kemudian memesan taksi daring menuju Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Jalanan lengang sehingga mobil yang saya tumpangi tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana.

Saya kemudian mengantre di konter maskapai penerbangan untuk mendapatkan kertas fisik boarding pass. Sesuatu yang mestinya tidak saya lakukan karena ternyata di sudut lain bandara ada mesin untuk mencetak boarding pass secara mandiri.


Setelah itu saya menuju ruang tunggu bandara. Masih ada waktu satu setengah jam lagi untuk masuk ke dalam kabin pesawat. Saya membuka laptop dan mengerjakan penyuntingan dua tulisan panjang.

Ketika saya hampir menyelesaikan itu, petugas bandara menghampir saya sambil berkata ramah, “Pak kalau mau santai kerjanya, Bapak bisa ke ruang sana.” Petugas itu menunjuk ke sebuah ruangan dengan tulisan besar dan lampu berpendar-pendar “Co Working Space”.

Free,” katanya lagi. Saya mengucapkan terima kasih kepadanya yang telah sudi memberikan informasi berharga itu. Namun sayangnya, saya sudah selesai menuntaskan pekerjaan. Saya memasukkan laptop ke dalam tas dan kemudian beranjak melihat-lihat suasana sekitar. Masih ada beberapa menit lagi dari waktu masuk ke dalam pesawat. Saya butuh kahwa.

Saya menuju salah satu konter yang menjajakan makanan dan minuman oleh-oleh khas Palembang. Kemudian mata saya bersirobok ke dalam sebuah lemari kaca berpendingin yang di dalamnya berisi botol-botol berukuran 300 ml. Salah satu botol itu berisi cairan hitam.

Saya langsung bertanya kepada pramuniaganya, “Ini kopi apa?”

“Bukan, Pak. Ini cuko,” katanya.

Oalah, ternyata bukan kopi. Saya pikir segala cairan yang dimasukkan ke dalam botol semacam itu adalah cairan yang semuanya biasa diminum. Ini bukan. Ini teman terbaik untuk dimakan bersama makanan khas Sumatera Selatan, pempek.

Segala Hal yang Ikonis

Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di Palembang. Di petang hari kedua, ketika ada waktu senggang, ada teman di masa kuliah yang menjemput saya. Fadli mengajak saya ke suatu tempat yaitu Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo untuk salat Magrib.

Masjid yang menjadi cagar budaya nasional dan arsitekturnya dipengaruhi Melayu, Cina dan Eropa itu terletak di pusat Kota Palembang dengan fasad bangunan yang tidak berubah selama ratusan tahun. Kebetulan kunjungan kami ini bertepatan dengan malam nisyfu Syakban, malam pertengahan bulan Syakban.

Masyarakat dari segala penjuru kota berbondong-bondong datang memenuhi masjid. Kami datang pas kumandang azan yang memenuhi langit Palembang. Saya merasakan seperti di bulan Ramadan. Sedangkan nuansa gegas para jamaah membuat saya seperti berada di lingkungan Masjidilharam. Terasa sekali religiositasnya.

Kami tidak bisa memasuki area dalam masjid karena penuhnya jemaah. Kami akhirnya mendapatkan secuil tempat kosong di selasar masjid peninggalan sultan ini. Kunjungan ke masjid ini, membuat saya teringat sewaktu bertugas di Medan pada awal Februari 2022. Saya juga dijemput kawan untuk mengunjungi masjid kuno di kota itu, Masjid Raya Almashun, Medan untuk melaksanakan salat Subuh berjemaah di sana.

Setelah salat dan memanjatkan banyak doa, Fadli langsung mengajak saya ke suatu tempat. Sebuah tempat yang tidak pernah terpikirkan ketika saya mendapatkan penugasan ke Kota Palembang ini: Jembatan Ampera.

Ya, Fadli mengajak ke jembatan yang memotong Sungai Musi dan menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Jembatan didirikan di masa pemerintahan Soekarno dan seperti sudah menjadi lambang kota. Tinggi, besar, dan gagah. Warna merahnya dominan sekali. Di siang hari kapal tongkang pengangkut batu bara mondar-mandir melewati bawah jembatan.

Di pinggir Sungai Musi, sambil berbicara apa saja, kami memandang Ampera dari kejauhan, diiringi suara zikir para pencari keberkahan nisyfu Syakban yang terdengar dari toa-toa masjid dan surau di sudut-sudut Palembang.

Di benak saya cuma satu hal. Tamu agung itu sebentar lagi datang: Ramadan.

Di Masjid Agung Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo bersama Fadli.
Di depan Masjid Agung Palembang
Suasana dalam masjid pada saat nisyfu Syakban.
Di bawah Jembatan Ampera

Berkumpulnya Para Kombatan

Acara sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan itu berjalan lancar. Seusai menyempatkan waktu untuk berfoto bersama dengan para amtenar keuangan di atas panggung, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo meninggalkan aula pertemuan.

Sigit Indarupa, teman minum air tebu di Tapaktuan, Aceh Selatan yang sekarang bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Ulu, mencolek saya untuk mengikutinya. Kami pergi ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Ilir Barat untuk menjemput Dani Setiahadi. Ia juga pernah bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan sebelumnya.

Dari kami bertiga, saya yang pertama kali keluar dari Tapaktuan, menyusul Sigit, dan kemudian Dani. Sigit dari Tapaktuan kemudian bertugas di Baturaja dan Dani langsung bertugas di Palembang. Sebenarnya ada satu lagi kombatan Aceh yang pindah bersamaan dengan Dani yaitu Sopan Budhianto. Namun, Sopan sudah berpulang pada 2019 lalu karena sakit.

Kami bertiga salat Magrib di masjid terdekat yaitu Masjid Baitul ‘Atiq. Kompleks masjid ini memiliki tempat parkir yang luas. Fasadnya bergaya eropa ditandakan dengan tiang-tiang besar mengelilingi bagian depan masjid. Yang unik adalah menaranya. Bentuknya kotak dengan sudut-sudut tegas, bersusun empat dari bawah sampai ke atas. Saya seperti pernah melihat di mana, namun otak saya tak mampu membangkitkan ingatan.

Untuk mengenang perjalanan kami di Aceh, Sigit mengajak saya mampir ke Martabak Har. Kedai yang menjual martabak ini ada beberapa di Kota Palembang. Sigit menuju ke salah satunya dengan warna plang yang mulai memudar. Di plang itu tampak ada foto sosok tua bersorban sedang mengangkat tangan berdoa. Konon sosok itu adalah pemilik usaha kuliner sejak tahun 1947 ini. Har merupakan akronim dari Haji Abdul Rozaq.

Martabaknya berbeda dari martabak yang kita kenal di Pulau Jawa. Martabak disajikan dengan telur. Jenis telurnya bisa dipilih: ayam atau bebek. Telur itu tidak dikocok. Kuning telur dibiarkan utuh. Martabak diberi sedikit potongan kentang dan disiram dengan kuah kari kental. Ini yang membedakannya.

Mengenyangkan sudah pasti.

Pada saat acara sosialisasi itu saya pun bertemu dengan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanjungpandan Ibu Mona Junita Nasution. Sehat-sehat selalu, Bu.
Menggoreng martabak.
Betulkan, kuning telurnya tidak dikoyak-koyak pada saat pembuatan Martabak Har.
Begini rupa Martabak Har.
Bertiga di Kedai Martabak Har.
Di depan Kedai Martabak Har dengan logo orang tua bersorban sedang berdoa.
Di Pempek Sentosa.

Tak Mesti Dihabiskan

Dari sana, Sigit kemudian mengantarkan saya ke salah satu resto pempek terkenal di Palembang yaitu Sentosa.

Saya jadi teringat dengan kejadian sebelumnya ketika saya bersama dengan teman seperjalanan bernama Pak Slamet Wibowo makan siang di resto pempek depan mal. Karena ini baru pertama kali singgah, kami masing-masing memesan satu porsi yang isinya sepuluh pempek dalam satu piring.

Ketika pempek itu sudah di hadapan, kami saling memandang. Kami memesan dua porsi, kenapa cuma satu porsi terhidang? “Iya satu porsi saja,” kata pelayannya. Melihat penampakan satu porsi itu saja sudah cukup mengenyangkan untuk disantap bareng, kami menerima saja apa yang disajikan pelayan.

Kami berpikir memakan pempek itu seperti makan bakso di Jawa. Masing-masing memesan satu porsi lalu bakso terhidang dalam mangkuk sendiri-sendiri. Konsepnya tidak seperti itu ternyata. Hidangan satu porsi pempek di atas piring untuk dimakan bersama-sama.

Barangkali karena pelayan resto itu tahu bahwa kami pendatang, mereka menghidangkannya tetap satu porsi saja. Tidak terbayangkan kalau kami benar-benar dihidangkan dua porsi pempek sesuai dengan pesanan kami. Apakah kami sanggup menghabiskannya?

Apa yang terhidang dalam piring itu juga tidak mesti dihabiskan. Dalam slip tagihan, restoran hanya menghitung jumlah pempek yang kami makan saja. Dani bilang, pada umumnya restoran menyajikan sepuluh pempek kecil campur. Jadi setelah selesai makan, dihitung jumlah pempek yang dimakan saja.

“Cuma saya pernah sesekali ada di resto tertentu dihitung semua yang dihidangkan, tetapi biasanya yang seperti ini sewaktu kita pesan dibilangin sama pelayannya kalau yang dipesan dihitung semuanya meskipun tak habis. Dan biasanya yang seperti ini porsinya cuma empat sampai enam pempek dalam satu porsi,” kata Dani.

Malam itu, saya mencicipi pempek lagi sembari memesan es kacang. Jadi ingat kembali Tapaktuan. Minuman favorit saya dulu di Tapaktuan adalah es kacang ini. Komposisinya terdiri dari kacang merah, es serut, dan susu kental manis rasa cokelat. Sepertinya rasa susu cokelat itu adalah rasa yang sudah bertahun-tahun tidak pernah saya kecap.

Malam semakin melarut. Sigit menawarkan mi celor, makanan khas Palembang satu lagi. Tidak, sudah cukup. “Nanti kalau ke Palembang lagi harus makan itu,” katanya. Wah, menarik.

Sigit mengantarkan saya ke penginapan. Kami berpisah. Di kamar saya langsung berkemas karena besok subuh saya harus ke bandara. Untuk kemudian akan bertanya kepada pramuniaga salah satu konter di sana, “Ini kopi apa?”

“Bukan. Ini bukan kopi. Ini cuko,” katanya.

Sepenggal fragmen cerpen Kuntowijoyo terbentang seketika. Satu paragraf saja.

Di belakang, istriku bilang, “Kalau kau tidak punya ini, kau harus punya ini,” sambil bergantian menunjuk ke dada dan ke kepalanya. Kalau kau tidak punya ilmu batin, kau harus punya ilmu lahir.

Kuntowijoyo jujur sekali.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
20 Maret 2022

4 thoughts on “Cerita Perjalanan: Ini Bukan Kopi, Ini Cuko

    1. Jadi memang cara paling efektif yang dilakukan Belanda untuk meredam perlawanan adalah dengan membuang para pahlawan itu ke tanah jauh yah. Daripada membunuh yang malah akan mengobarkan kebencian pribumi kepada penjajah.

      Like

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.