Will Smith menampar Chris Rock pada saat ajang Academy Award 2022 berlangsung. Disiarkan secara luas ke seluruh dunia momen itu membuka mata dan pikiran kita. Kejadian di belahan dunia mana pun bisa diketahui dalam jangka waktu yang singkat.
Ini menegaskan dua hal sama yang juga sedang berlangsung pada saat ini di Ukraina. Dua hal itu adalah internet cepat dan media sosial. Saya tidak akan terlalu menukik terlalu dalam kepada peristiwa yang terjadi di Dolby Theatre, Hollywood, Los Angeles, California. Namun, lebih tepatnya pada dua negara yang sedang bertikai ini.
Internet cepat dan media sosial membuat jalannya peperangan berbeda seperti perang-perang sebelumnya. Sejak zaman perang dunia kedua, berbagai invasi pascaperang dunia, atau terakhir perang di Suriah.
Internet cepat dan media sosial membuat invasi Rusia ke Ukrainia seperti tontonan streaming yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Semua terdokumentasi. Semua orang bisa melihatnya seketika. Di zaman invasi Uni Soviet ke Afghanistan atau Perang Vietnam, mana ada tontonan yang bisa seperti ini. Penduduk dunia masih dengan sabar menunggu kabar dengan tayangan visual dari koran dan televisi. Saat ini tidak lagi. Sudah digantikan dengan Youtube atau semacamnya.
Saluran Youtube dijadikan kanal utama media arus utama untuk mengabarkan perang. Durasinya tidak perlu lama-lama. Cukup beberapa menit saja dengan narasi yang tidak perlu dibacakan sampai akhir tayangan. Kalau tayangan perang sudah basi, tayangan itu diunggah kembali untuk menjadi tayangan terbaru dan mampu merebut perhatian warganet yang menyangka mendapatkan pembaruan kondisi perang. Padahal tidak sama sekali.
Atau kalau mau tontonan yang lebih vulgar lagi, maka kita dapat bergabung dengan saluran tidak resmi masing-masing pihak yang bertikai di media sosial seperti Telegram. Di sana video diumbar begitu rupa. Tanpa sensor. Mayat, darah, dan potongan tubuh korban perang—entah prajurit atau penduduk sipil—bisa ditampakkan.
Kedua belah pihak menjadikan internet cepat dan media sosial sebagai bagian dari propagandanya. Masing-masing menunjukkan kegigihan dalam bertarung, pampasan perang yang didapat, dan korban-korban dari pihak lawan. Tujuannya cuma satu agar rakyat dan pejuang tidak jatuh mental dan masih memelihara semangat juang untuk mempertahankan tanah air atau menginvasi. Soal kebenaran atau substansi konten nomor kedua. Ingat adagium ini: perang itu adalah tipu daya.
Selain itu, internet cepat dan media sosial membuat perang modern menjadi berbeda dengan perang brutal di masa perang dunia kedua. Semua pemilik ponsel pintar bisa menjadi reporter yang melaporkan secara langsung sebuah peristiwa yang terjadi di sana. Mereka dapat menjadi saksi dari sebuah kejadian yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Rusia “berhati-hati” dalam membumihanguskan infrastruktur Ukraina. Kecuali memang sudah dipastikan bahwa bangunan sipil dan lainnya yang tidak boleh dibom dijadikan persembunyian militer Ukraina. Tidak ada ceritanya Rusia seperti Jerman ataupun Inggris di perang dunia kedua ketika mereka mengebom perkotaan lawan tanpa pandang bulu mana infrastruktur militer atau penduduk sipil.
Atau seperti Curtis LeMay yang mengebom Tokyo dengan napalm yang mengincar ribuan rumah kelas pekerja terbuat dari kertas dan kayu. Hiroshima dan Nagasaki menyusul kemudian. Atau sebenarnya Rusia sama saja, hanya sedang menunggu momen yang pas?
Bisa jadi “kehati-hatian” Putin dan para jenderalnya tidak mengebom sembarangan menjadi jalannya invasi Rusia memakan waktu lebih dari sebulan sejak 24 Februari 2022 lalu. Rusia tidak menggunakan nuklir dari awal sampai sekarang pun sebenarnya perwujudan itu, selain menghindari risiko lebih seperti bencana kemanusiaan yang luar biasa memprihatinkan.
Buku Malcolm Gladwell berjudul Bomber Mafia memang tepat dibaca pada saat sekarang karena perang Rusia Ukraina mengukuhkan pergulatan antara doktrin pengeboman presisi dan pengeboman membabi buta yang disuguhkan dalam buku itu. Yang menang adalah pengeboman presisi. Bukan zamannya lagi pengeboman membabi buta di zaman seperti sekarang ini.
Namun, inilah perang modern, perang perkotaan, dan perang intelijen di udara. Gerilya tetap menjadi jalan yang diambil oleh Ukraina. Mata-mata dan senjata terbang mematikan dalam bentuk drone menjadi bagian dari sistem pengeboman presisi itu. Baik drone murah yang dipakai oleh Ukraina dengan menggunakan Bayraktar TB2 buatan Turki atau drone milik Rusia sendiri.
Tidak ada tempat sembunyi sekarang. Pergerakan manusia dan artileri mudah terdeteksi dari udara, siang ataupun malam. Pengebomannya juga tidak langsung seketika setelah menemukan objek layak untuk dibom. Contohnya dari video yang beredar di media sosial. Ketika drone Rusia menemukan truk militer Ukraina sedang meluncurkan misil-misilnya. Drone tidak langsung menghancurkan truk itu. Drone mengintai dan mengikuti pergerakan truk sampai tiba di suatu bangunan. Bangunan sipil yang ditengarai menjadi markas militer itu kemudian ditandai. Malamnya dihancurkan. Sekali tepuk dua nyamuk mati.
Perang melawan drone menjadi banyak kajian di lembaga pertahanan masing-masing negara dan menjadi pemikiran pengembangan senjata melawan drone yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan. Pada saat ini teknologi memang sedang mendapatkan kawan seranjangnya: perang. Walaupun itu dibayar dengan derita ribuan nyawa terbunuh dan jutaan orang mengungsi.
Dan teknologi inilah yang mengiringi perjalanan internet cepat dan media sosial sampai pada saat ini. Sekaligus dua hal itu yang membuat saya yang awam ini seolah-olah menjadi pengamat militer yang canggih, mengetahui segalanya, dan memikirkan komentar terbaik jikalau Australia, Amerika Serikat, atau Cina menyerbu, Indonesia akan mampu bertahan berapa lama?
Barangkali sekali tamparan sudah cukup menyadarkan saya agar cepat bangun dari lamunan. Plak!!!
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
30 Maret 2022