Sebagai Titik Temu Chef d’oeuvre


Sewaktu SMP saya sering berkunjung ke perpustakaan di sela-sela jam istirahat dan jam kosong pelajaran. Membaca banyak buku terutama cerita pendek dari para pengarang terkenal dunia. Salah satunya Rabindranth Tagore.

Pemenang Nobel bidang sastra pada 14 November 1913 ini pernah mengunjungi Jawa, Bali, Kuala Lumpur, Malaka, Penang, Siam, dan Singapura pada 1927. Tagore menuliskan catatan perjalanan itu dalam karya yang berjudul Jatri.

Sebagian besar para penulis memang sering membuat catatan perjalanan, sebuah jurnal. Kalau kita ingat dengan Ibnu Batutah, maka kita akan mengenal Rihlah. Sebuah catatan perjalanannya ketika mengelilingi dunia dan mengunjungi banyak negeri asing.

Menuliskan pengalaman itu menjadi sesuatu hal yang penting agar tak mudah hilang dan bisa abadi. Pengalaman mengunjungi suatu daerah, bertemu dengan orang, atau berpisah dengan yang dicinta adalah pernak-pernik kehidupan yang layak untuk ditulis karena di sana seringkali terselip sebuah kebijaksanaan.

Buku ini adalah kumpulan pengalaman itu dan saya sering diminta untuk menyunting naskah cerita seperti ini. Dari sana saya kerap menikmati jalan ceritanya.

Buat saya mengumpulkan orang-orang untuk menulis pengalamannya itu tidak mudah. Tidak semua bisa menuliskannya. Padahal, menulis cerita pengalaman sendiri itu lebih mudah daripada menuliskan hal lain. Mengapa? Ini dikarenakan orang yang menuliskan pengalaman orang lain belum tentu bisa menulis sebagus orang yang mengalaminya langsung. Orang yang terakhir ini lebih memahami detail pengalamannya itu dan sekaligus pemilik ruh ceritanya sendiri.

Orang-orang yang telah mengumpulkan pengalaman dan menuliskan cerita di buku ini adalah orang yang berhasil melewati hambatan psikologis pertamanya: takut dinilai jelek oleh orang lain; takut tulisannya tidak memiliki makna apa-apa; malu diketahui oleh orang lain; atau hal lainnya.

Menurut saya hal itu tidak perlu. Ketika selesai menulis kita tidak perlu memikirkan apa kata orang lain. Sudah tutup. Buat apa? Energi kita akan terkuras untuk itu. Lebih baik memikirkan apa yang akan kita tulis lagi berikutnya. Kita bukan orang yang antikritik juga. Sembari itu kita terus-menerus belajar menulis dengan lebih baik lagi. Kepada siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.

Membaca buku ini saya jadi teringat dengan buku yang pernah dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Waktu itu DJP mengadakan sayembara dan mengumpulkan tulisan yang masuk untuk dijadikan suatu buku berjudul: Berbagi Kisah dan Harapan, Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak.

Buku yang sedang Anda baca sekarang ini adalah semacam buku itu. Namun, ada bedanya. Lokalitas buku ini kuat sekali. Tak bisa dimungkiri kalau buku ini sebagian besarnya memang menangkap kisah perjalanan para pegawai DJP yang sekarang bekerja di Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III, di seputaran Malang.

Buku ini pun ditulis oleh para penulis yang sebagiannya memang pernah menjadi juara menulis, pengeblog, editor, penulis di era blog intranet DJP, dan telah malang melintang di dunia kepenulisan. Saya mengenal mereka dengan baik sampai sekarang. Ini menjadi salah satu kekuatan buku ini.

Jadi ketika ada tawaran untuk dapat menyunting buku ini saya dengan antusias menerimanya. Di tengah deraan pekerjaan rutin yang terus-menerus datang saya berusaha memikirkannya setiap hari dan tentu menyuntingnya.

Saya teringat dengan perkataan seorang pejabat DJP yang mengatakan demikian kurang lebihnya, “Kalau kalian menganggap pekerjaan ini penting, maka kalian akan memikirkannya setiap hari.”

Saya tambahkan dengan pemikiran begini. Kalau dipikirkan saja tanpa dikerjakan tentunya juga percuma. Oleh karena itu saya berusaha menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Alhamdulillah selesai.

Beberapa cerita di dalam buku ini di antaranya mengisahkan tentang pengalaman bekerjanya di luar homebase dan jauh dari keluarga. Selain seru, ini juga karena saya memiliki pengalaman yang sama ketika menjalani penugasan yang jauh dari homebase. Saya tahu betul suasana kebatinan para pejuang tersebut dan turut berempati.

Buku ini juga sebagian besar memang bercerita tentang interaksi para penulis dengan wajib pajak. Di sana terselip cerita lucu penulis ketika bergaul dan melayani wajib pajak. Seru juga.

Bagi saya, buku ini dapat menjadi saham untuk dunia literasi Indonesia. Setidaknya menjadi benih agar peringkat Indonesia membaik dalam tingkat literasi dunia. Penelitian pada 2016 yang dilakukan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menunjukkan peringkat Indonesia hanya setingkat di atas Botswana, nomor dua dari bawah.

Terakhir, saya ingin mengisahkan satu cerita yang berkesan buat saya. Para pelukis impresionis seperti Claude Monet, Pierre August-Renoir, Edgar Degas, Paul Cézanne, dan Camille Pissaro berkumpul dan memiliki ide agar karya-karya lukisan mereka bisa memiliki galeri sendiri.

Soalnya begini. Di Paris, pada 1860-an, galeri untuk memamerkan lukisan itu di Salon. Untuk masuk ke sana susah. Butuh koneksi. Jika bukan bagian dari anggota Salon, pasti ditolak. Kalaupun beruntung, masalah muncul. Lukisan ditaruh sembarangan dan bercampur dengan ribuan lukisan lainnya. Lalu bagaimana masyarakat akan tahu lukisan bagus dari para impresionis kalau caranya begitu?

Akhirnya para pelukis impresionis ini mendirikan galeri sendiri dan mengumpulkan 165 karya mereka sendiri. Apa yang terjadi? Lebih dari 3500 orang mengunjungi galeri mereka dan lukisan mereka dikagumi oleh publik. Dengan itu kita mengenal mereka sampai sekarang.

Buat saya, buku ini adalah galeri penulis-penulis hebat Indonesia di masa mendatang, sebagai Jatri, Rihlah, atau titik temu chef d’oeuvre. Jangan berhenti sampai di sini. Terus menulis yang mencerahkan dan bermanfaat buat orang lain. Tabik.

 

***
Riza Almanfaluthi
17 Agustus 2021
Untuk pemesanan buku silakan menghubungi: 08155512188

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.