Teman saya pernah bilang, “Letakkan iPhone di meja dan kita akan lihat siapa yang akan datang menghampiri mejamu.”
Saya tidak salah memilih buku ini untuk dibeli di antara ribuan buku lainnya yang saya cek satu persatu di sebuah situs web toko buku daring.
Buku yang berjudul The Four, Empat Besar, DNA Rahasia Amazon, Apple, Facebook, dan Google ini ditulis oleh Scott Galloway, profesor bisnis dari Stern School of Business New York University.
Buku ini bagus karena mengungkap apa adanya sisi brutal 4 raksasa perusahaan digital. Beda dengan buku lainnya yang hanya mengungkap kekaguman kepada sang empat.
Betul kata Jonah Berger yang memberikan satu kalimat di halaman depan buku ini, “Anda tidak akan pernah memandang keempat perusahaan itu dengan cara yang sama lagi.”
Kalau Anda menyangka mereka adalah perusahaan yang penuh empati dan peduli nilai, membawa manusia kepada peradaban yang sangat manusiawi, Anda salah. Empat besar itu sama DNA-nya dengan para pengumpul modal lainnya—kalau tidak mau disebut kapitalis—sejak zaman revolusi industri: mengumpulkan modal dan kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa peduli apa dan siapa pun. Mereka itu tak memikirkan kita.
Dengan akses modal tanpa batas, kini mereka mengumpulkan kekuasaan sehingga membuat perusahaan lain tidak berkutik dan penguasa di banyak negara juga mengalami hal yang sama.
Soal ratusan ribu tenaga kerja yang hilang karena robot, pajak yang enggan dibayar, atau sekadar penguasaan platform email yang membuat salah satu institusi di suatu negeri tak berkutik. Jutaan email pengingat kepada masyarakat itu dianggap spam. Ah sudahlah, kita tak membahas ini.
Bahkan kesalahan yang dilakukan 4 besar itu—sekalipun melanggar undang-undang—dianggap wajar. Privilese yang tak akan mungkin didapat oleh perusahaan lain.
Ketakberdayaan perusahaan, institusi negara, dan kita adalah karena kita secara sukarela menyerahkan semua yang kita punya kepada empat besar itu. Ikhlas lahir dan batin. Enggak percaya?
Informasi pribadi yang kita berikan kepada mereka adalah salah satunya. Kekuatan algoritma 4 besar, dari daya komputasi yang hebat dengan biaya sangat murah, mengolah semua informasi sehingga mengetahui apa yang ingin kita lakukan dan idamkan.
Google tak sekadar informasi, melainkan pengetahuan. Tidak ada tempat di muka bumi yang tidak dijelajahi Google (maps), juga langit (Google Sky), samudra (Google Oceans), perpustakaan (Google Library), dan jurnalisme (Google News). Semua di bawah kendali Google.
Itu dimulai sejak hari pertama Google didirikan pada 1998 dengan kotak kecil pencarian yang kita boleh menanyakan apa pun, dengan pertanyaan paling tabu sekalipun. Semua gratis. Layanan berikutnya juga gratis. Awalnya demikian. Namun, ketika semua sudah terhubung dengan Google dan tergantung kepadanya, tak bisa berpaling lagi, Google meminta bayaran.
Ingat kapasitas Gmail kita. Dulu gratis dengan iming-iming: emailmu tak perlu dihapus. Kemudian kita menaruh apa saja di sana sampai kemudian kita terlambat sadar. Ketika kapasitas kotak surat kita hampir penuh, kita tak bisa menyeleksi lagi mana dokumen penting dan tidak penting, semua sudah tercampur. Akhirnya kita diberi pilihan: menghapus semuanya atau memperbesar daya tampung kotak surat. Itu tidak gratis.
Tidak hanya kita sebagai pengguna awam, banyak perusahaan, apalagi pesaingnya, pun demikian, terkecoh dengan gaya tak berlagak Google, slogan “Jangan Jadi Jahat”, tempat bekerja paling nyaman di dunia dengan semua fasilitas lengkap buat makan dan rebahan.
DNA Manusia Purba
Kita hidup di era digital. Di saat Amazon, Apple, Facebook, dan Google sudah menjadi merek digdaya yang melekat dalam pikiran kita sebagai umat manusia. Menjadi empat yang selalu ada dalam keseharian kita.
Amazon awalnya perusahaan penjual buku secara daring (e-commerce), Apple adalah penjual komputer, Facebook adalah situs web pertemanan, dan Google adalah mesin pencarian. Bisnis intinya itu. Mereka tak bersaing. Dulu…
Sekarang mereka menjadi perusahaan dengan valuasi (nilai) terbesar, bisnis intinya hanya menjadi kuda troya, pengecoh, dan batu loncatan. Mengakuisisi banyak hal untuk menjadi penguasa platform terdepan dan masa depan, akhirnya mereka saling berhadapan.
Kita juga mengagumi mereka karena inovasi yang mereka jalankan sehingga mereka bertahan dan menjadi perusahaan teknologi terbesar sejagat. Sebenarnya bukan itu.
Scott melihat, keempatnya itu berhasil karena memahami kebutuhan kita yang paling purba sebagai manusia: mengumpulkan barang sebanyak-banyaknya. Kita adalah keturunan penghuni gua yang harus berburu mengumpulkan bahan makanan untuk bertahan hidup.
Dari itulah kita sebagai spesies sanggup beradaptasi sampai sekarang selain juga karena pengembangan otak kita yang lebih cepat dan rumit daripada spesies lain. Scott selalu mengait-ngaitkan keinginan yang purba itu dalam pembahasan bukunya ini.
Maka kata siapa e-Commerce itu adalah masa depan? Kini Amazon sendiri, selain memiliki gudang di langit (cloud), mendirikan ratusan gudang fisik di muka bumi Amerika, sebentar lagi ribuan lainnya akan benar-benar ada. Manusia ingin barang hasil buruannya segera sampai cepat datang ke guanya. Amazon adalah perusahaan ritel, besok-besok Amazon perusahaan logistik dan awan (cloud) terbesar di dunia.
Yang mendefinisikan keberhasilan Apple itu bukan iPhone, melainkan Apple Store. Toko-toko fisiknya itu membangkitkan naluri purba manusia bahwa sentuhan kepada barang sebelum membeli adalah cara terbaik meyakinkan diri kalau barang itu mampu membuat manusia bertahan hidup, oleh karena itu harus segera dibawa pulang ke gua.
Dengan tampilan toko yang terang benderang dan elegan, barangnya menjadi mewah. Memiliki Apple melonjakkan serotonin, hormon kebahagiaan dan rasa kesuksesan. Persis seperti yang kita rasakan saat membawa mobil keluar dari tempat cuci mobil, rasanya beda: jadi enak dikendarai.
Saya ingat, teman saya pernah bilang, “Letakkan iPhone di meja dan kita akan lihat siapa yang akan datang menghampiri mejamu.”
Dengan itu Apple menjadi perusahaan peraih omzet besar dikurangi biaya paling rendah yang tidak pernah didapat perusahaan lain.
Facebook lain lagi. Facebook tidak mau dianggap sebagai perusahaan media karena para penggunanya kebanyakan membaca berita di sana, sama dengan Google yang tak mau dianggap perusahaan iklan. Konsekuensinya adalah mereka tak mau bertanggung jawab dengan nilai. Mereka berkilah, mereka sekadar platform. Jadi tanggung jawab atas berita palsu dan penuh kebencian yang beredar di platform Facebook ada pada penggunanya sendiri.
Menyeleksi berita itu butuh energi dan uang, menghalangi klik yang dibutuhkan Facebook. Jadi kalau ada editor di sana, itu jelas mengurangi laba. Walaupun dengan desakan cukup kuat, akhirnya Facebook menyiapkan aplikasi-aplikasi penyeleksi miliaran konten. Lagi-lagi robot. Itu pun seadanya. Ingat, satu-satunya misi Facebook adalah mencari uang dengan menghimpun informasi pengguna dan klik.
Saya perlu mengutip Scott, “Pada 2017, satu dari enam dari orang di planet ini terhubung ke Facebook setiap hari.” Iya, kita juga menyerahkan lebih dari 95 informasi pribadi kepada Facebook dengan rida.
Ogah bermain di sana, sama saja. Kita terhubung dengan Whatsapp dan Instagram. Dua-duanya milik Facebook.
Google juga bermain dengan miliaran klik. Merayapi seluruh situs web yang ada di muka bumi dan membabat habis belanja iklan media konvensional. Google tidak membuat konten, mereka menghidangkan konten yang ada di situs web lain dan menampilkannya kepada para pengguna, disisipi sedikit iklan yang diharapkan untuk diklik. Google menang banyak, bukan para pembuat konten itu. Uang untuk pembuat conten creator—termasuk Youtuber—itu remah buat Google,
Para pebisnis media konvensional itu telat ngeh, bahkan awalnya beranggapan jangan bikin Google marah dengan mengeblok Google merayapi situs-situs web mereka. Bila Google marah, Google akan mengubah algoritma mereka sehingga membuat mereka tidak terlihat dalam laman pencarian.
Google bisa berkuasa dengan algoritmanya, lagi-lagi karena ketergantungan banyak orang kepada mesin pencari itu. Apa-apa bilangnya tinggal cari di Google.
Harusnya, kata Scott, media membuat konsorsium global agar Google bisa membayar kepada mereka dan bukan sebaliknya.
Telanjur, Google sudah menjadi raksasa, termasuk menjadi empat raksasa yang sulit ditagih komitmennya oleh banyak negara: membayar Pajak Digital.
Yang Datang Berikutnya
Anda akan salah kalau menilai buku ini semacam buku antikemapanan, pendukung teori konspirasi, penyuka teori bumi datar, pendukung apa yang besar itu pasti jahat. Saya memastikan tidak.
Satu lagi, buku ini bikin kita ketawa. Beberapa hal jenaka dan satir di antaranya adalah kutipan Scott seperti ini:
Orang terkaya abad ke-20 menguasai seni memperkerjakan pegawai bergaji minimal untuk menjual barang kepada Anda. Orang terkaya abad ke-21 menguasai seni memperkerjakan robot yang tak digaji untuk menjual barang kepada Anda.
“Saya berharap pembaca mendapat wawasan dan senjata untuk bersaing dalam ekonomi yang membuat jadi miliarder itu mudah, sementara jadi jutawan itu sulit.”
Kalaupun tidak tertawa, barangkali karena saya salah mengambil kutipan dari buku itu ke dalam tulisan pendek seperti ini atau juga karena selera humor kita berbeda.
Apa pun itu, apakah dengan empat besar—yang menjadi berhala dan agama baru—ini kemudian manusia menjadi diperbudak dan menyerah begitu saja? Saya setuju dengan jawaban Scott, “Tidak.”
Akan datang para pelawan seperti yang ada di The Hunger Games itu.
Atau Almasih…
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
13 Februari 2021