Syaifuddin Zuhri, Guru SMP, dan PKI


Menyebut nama ini, saya teringat dua orang yang bernama mirip dan peristiwa yang menyertainya. Satu orang berasal dari 30 tahun lampau, satunya lagi peraih bintang dari Sri Paus di Vatican pada zaman jaya-jayanya PKI.

Senior saya di Direktorat Jenderal Pajak bernama Syaifuddin Zuhri meninggal dunia beberapa waktu lalu. Ia meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Saya hanya bisa berdoa semoga ia mendapatkan husnul khatimah.

Setiap saya mendengar nama senior saya itu saya selalu teringat dua orang ini. Pertama, guru SMP saya bernama Syaifuddin Zuhri dan mempunyai nama panggilan Pak Lili. Pak Lili ini perawakannya tinggi, kurus, berkumis, dan sering pakai baju safari. Ia orang Klaten yang mendapatkan tugas mengajar di SMP Negeri 1 Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat pada awal 90-an.

Seingat saya, ia mengajar mata pelajaran Keterampilan dan Pendidikan Moral Pancasila. Perkataannya yang saya ingat betul sampai sekarang adalah soal Klaten, tempat asalnya. Dia bilang, kalau Jatibarang itu berada tepat di tengah-tengah antara Jakarta dan Klaten. Tentu kalau dicek sekarang dengan menggunakan Google Maps, jarak Jatibarang lebih dekat dengan Jakarta daripada jarak Jatibarang-Klaten.

Di dalam kelas, ia juga pernah bilang, “Saya sering jalan malam-malam, kalau lewat depan rumah Riza, lampu di dalam rumahnya masih menyala. Pasti Riza lagi belajar terus.” Rumah saya memang berada di pinggir jalan besar, dekat pertigaan lampu merah satu-satunya di Jatibarang. Dikatakan seperti itu saya cuma tersenyum. Barangkali bapak saya yang memang melek terus, saya sih sudah tidur.

Sekarang Pak Lili sudah pensiun, tinggal di perumahan Jatibarang, dan sudah menjadi penduduk Indramayu. Kepriben jeh?

Satunya lagi adalah Saifuddin Zuhri yang menjadi Menteri Agama di era Soekarno dan merupakan anggota dari Partai Nahdhatul Ulama (NU). Di era sekarang, anaknya yang bernama Lukman Hakim Saifuddin menjadi Menteri Agama di Kabinet Indonesia Bersatu II dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan di Kabinet Kerja dengan Presiden Joko Widodo. Saifuddin Zuhri juga adalah mertuanya Salahuddin Wahid, adiknya Gus Dur.

Ada cerita menarik tentang Menteri Agama Saifuddin Zuhri ini. Cerita debatnya dengan Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI) Aidit. Buku yang berjudul Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik dan disunting oleh Azyumardi Azra dan Saiful Umam mencatat peristiwa ini.

Pada tahun 60-an tikus menjadi hama pertanian yang sangat merusak. Jadi Pemuda Rakyat sebagai underbouw PKI membawa isu hama tikus dalam acara mereka. Pemuda Rakyat mendemonstrasikan pesta makan daging tikus di Istora senayan.

Pesta ini jadi punya makna buat PKI dan musuh-musuhnya. Pertama, PKI memberikan solusi pemberantasan hama pertanian. Kedua, pelecehan terhadap hukum Islam yang mengharamkan makan daging tikus. Ketiga, pertanda dimulainya gerakan pengganyangan sistematis mulai dari tikus (koruptor dan manipulator), setan desa, setan kota kapitalis birokrat, dan semua musuh PKI.

Isu daging tikus ini dibawa-bawa ke sidang DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang dipimpin Soekarno. Saifuddin Zuhri ikut dalam sidang DPA karena selain sebagai Menteri agama, ia merangkap sebagai anggota DPA.

Di sidang itu, Saifuddin Zuhri duduk persis di sebelah kanan Aidit. Aidit mengajukan pertanyaan kepada Soekarno, “Saudara Ketua, tolong tanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya, bagaimana hukumnya menurut agama Islam makan daging tikus?”

Sebenarnya Aidit sudah tahu bagaimana hukum memakan daging tikus dalam Islam. Aidit hanya ingin memamerkan–yang menurutnya–merupakan kelemahan Islam dalam mengatasi persoalan tanah air.

Secara spontan Saifuddin Zuhri menjawab enteng, “Saudara Ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng. Karena itu jangan dibelokkan (mereka) untuk makan daging tikus!”

Mendengar itu, anggota DPA lainnya tergelak, termasuk pemimpin sidang Soekarno.

Buku berjudul Idham Chalid, Guru Politik Orang NU yang ditulis Ahmad Muhajir mengutip pernyataan Saifuddin Zuhri terkait peristiwa itu.

“Aku merasa ditantang dengan sindirannya yang bernada penghinaan di muka orang banyak dan di muka presiden. Kalau D.N. Aidit bersikap ikhlas, apa salahnya ia bertanya langsung kepadaku, tempat kami duduk cuma berjarak 20 cm. Meskipun aku seorang menteri, tetapi tetap menjadi anggota DPA (merangkap). Selain itu sebagai seorang pemimpin kelompok, tentunya ia sudah mempelajari apa yang ia tanyakan dan pasti ia sudah tahu bagaimana pandangan kaum muslimin Indonesia tentang hukum makan daging tikus. Tetapi, dia sengaja mendemonstrasikan rasa antipatinya terhadap Islam,” kata Syaifuddin Zuhri.

Saifuddin Zuhri–peraih Bintang Equitem Commendatorem Ordinis Sancti Silvestri Papae dari Sri Paus di Vatican, Roma, pada 1965–menjadi representasi elit NU melawan PKI. Di akar rumput terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, NU menjadi lawan tanding sepadan buat PKI. Bahkan pasca G-30-S/PKI, NU menuntut pembubaran PKI, walaupun ditolak keras oleh Soekarno, karena menurut NU situasi rumit ini hanya bisa dibenahi setelah tidak ada PKI.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
21 Agustus 2020

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.