Selama satu abad terakhir atau lebih, para akademikus telah memberi umat manusia kemajuan-kemajuan ilmiah luar biasa di hampir semua bidang studi…kecuali satu.
Satu paragraf itu menjadi lead yang menarik dari Bab Pendahuluan yang ada dalam buku Bagaimana Perekonomian Tumbuh dan Mengapa Runtuh. Peter D Schiff dan Andrew J Schiff menulis buku ini dan terbit pertama kali pada 2010. Baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2016.
Berbekal penguasaan matematika dan fisika, tulis Peter dan Andrew lagi, para ilmuwan menerbangkan satu pesawat luar angkasa ratusan juta mil jauhnya untuk menerjunkan parasut ke permukaan salah satu dari bulan Saturnus. Namun, para praktisi ilmu “malang” ekonomi tidak bisa merujuk pada satu catatan prestasi serupa.
Masih melanjutkan skeptisismenya, mereka menulis lagi. Apabila para teknisi NASA memiliki tingkat kemampuan peramalan yang sama dengan para ekonom papan atas kita, misi Cassini pasti memiliki hasil yang berbeda. Satelit tidak saja akan meleset dari sasaran orbitnya di Saturnus, tetapi juga kemungkinan besar roket akan menukik ke bawah saat lepas landas, menghunjam kerak bumi, dan meledak di satu tempat jauh di dasar magma.
Skeptisisme ini bukan tidak berdasar. Mereka melihat bahwa krisis ekonomi yang sebenarnya bisa dilihat, dihindari, dan ditangani dengan baik malah meledak karena salah penanganan. Sebabnya pengambilan keputusan para politikus yang dikelilingi para ekonom bermazhab Keynesian.
Akademikus pintar awal abad ke-20 John Maynard Keynes berhasil menunaikan salah satu dari trik paling rapi yang pernah ada: dia membuat sesuatu yang sederhana menjadi sedemikian rumit.
Fisikawan pada zamannya berkutat pada konsep mekanika kuantum. Konsep ini melahirkan dua hukum fisik yang berbeda. Satu hukum fisik mengatur partikel-partikel kecil dan satu hukum lainnya untuk segala sesuatu di luar itu.
Keynes mencoba menerapkannya di dunia ilmu ekonomi bahwa ada hukum ekonomi yang berbeda diterapkan di tataran mikro (pada ranah individu dan keluarga) dan makro (pada tataran bangsa dan pemerintahan).
Nah dua Schiff ini melihat bahwa dalam ekonomi tidak ada pembagian itu. Kalau ada krisis ekonomi apa yang dilakukan? Sebagai individu atau keluarga kita akan melakukan prinsip ekonomi dasar: tahan konsumsi atau mengonsumsi di bawah kebutuhan.
Ini yang seharusnya bisa diterapkan juga di tataran pemerintahan ketika terjadi keadaan sulit. Bukan dengan jalan Keynesian sering disarankan: belanja, ekspansi suplai uang, memperbanyak utang buat belanja, dan menjalankan defisit anggaran longgar.
Pemerintah mengambil jalan itu didasari pemahaman yang keliru: jika masyarakat mengomsumsi lebih banyak maka perekonomian akan tumbuh. Yang tepat adalah sebaliknya: jika perekonomian tumbuh maka masyarakat akan mengonsumsi lebih banyak.
Intinya adalah meningkatkan penawaran (suplai produk) dan bukan permintaan, menabung dan bukan belanja, deflasi dan bukan inflasi.
Baru membaca pendahuluan buku ini saja saya sudah mendapatkan banyak pemahaman yang gamblang. Saya mengakui, ini semacam buku makroekonomi yang paling mudah dipahami karena menjelaskan ekonomi makro dengan bahasa yang sederhana, bertaburan anekdot, dan ilustrasi yang sangat menarik.
Anekdot tiga laki-laki di sebuah pulau dalam sebuah perekonomian tertutup dengan ikan sebagai mata uang mengawali buku itu sampai akhirnya pulau berkembang menjadi sebuah republik bernama Usonia. Republik itu kemudian menjalankan perdagangan internasional dengan Sinopia. Pembaca mestinya mengetahui metafora dua republik pulau pada saat ini, bukan?
Setelah penceritaan anekdot itu, di setiap babnya akan disajikan kotak “Perbandingan dengan Realitas” dan diakhiri dengan kolom Hikmah. Ini semacam kesimpulan yang diberikan dua Schiff kepada pembaca.
Bab terakhir menceritakan kombinasi politikus rakus dan “ikanflasi” (baca inflasi) di Usonia menyebabkan ekspansi Sinopia secara langsung. Mereka membawa barang-barang rakyat Usonia ke negerinya dan membiarkan Usonia hancur.
Sebenarnya kartu truf Amerika Serikat, tulis dua Schiff dalam bab terakhir, adalah status cadangan dari dolar AS. Mata uang itu digunakan sebagai mata uang perdagangan internasional. Tak ada negara lain yang memiliki keistimewaan seperti itu. Jika kartu truf itu hilang, ujungnya sudah bisa ditebak.
Amerika Serikat dan warga negaranya juga hidup dalam gelembung utang. Uang yang masuk dari utang luar negeri mencapai lebih dari 50% memasok tabungan di dalam negeri. Ini yang menjadikan mereka tetap bisa belanja dan sekadar menjadi bangsa pengonsumsi.
Ingat, rumus sederhananya: bukan belanja yang membuat perekonomian tumbuh, tetapi perekonomian tumbuhlah yang akan membuat kita bisa belanja.
Tetapi, mengutip dua Schiff, jangan coba menjelaskan ini kepada seorang ekonom atau politikus.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
28 September 2019