Cerita Lari Borobudur Marathon 2018: Setelah Tikungan Terakhir


 

Anak kelas satu SMA di sampingku itu menyalakan sebatang rokok. Karbon monoksidanya terbang ke mana-mana di bus ekonomi yang melaju dari Magelang menuju Yogyakarta, Minggu sore itu (18/11).

“Tolong matikan. Aku tak tahan dengan asapnya,” pintaku .

“Eh, iya. Iya, Pak.” Ia segera mematikan rokok. Itu membuatku lega dan bisa memberikan kesempatan buatku mengingat-ingat apa yang telah kulakukan semenjak dini hari itu: lari sepanjang 42,195 kilometer di Borobudur Marathon 2018.

**

Entah di kilometer berapa aku bertemu dengan Tante Yuli yang sudah berumur 57 tahun. Terakhir bertemu dengannya saat kami mengikuti event Tugu to Tugu dari Depok ke Bogor sejauh 30 kilometer pada malam tahun baru 2018. Daya tahannya luar biasa.

Para pelari yang ikut Borobudur Marathon 2018 ini juga banyak memakai kostum yang menarik perhatian. Aku menjumpai pelari yang memakai blangkon atau rambut kepang panjang sepantat.

Ada juga yang memakai kostum pilot bahkan aku menjumpai pelari perempuan yang tidak memakai sepatu. Nyeker sepanjang rute. Cadas!

Di kilometer-kilometer terakhir aku bersua pula dengan bapak-bapak yang mengalungkan sepatunya di leher. Dan kalau engkau tahu, aku sering disusul aki-aki yang rambutnya sudah memutih. Mereka lebih cepat daripadaku . Entah mereka mengudap apa sampai bisa lari lebih kencang daripada yang lebih muda.

Aku sampai di Kilometer (KM)-21 dalam waktu 2 jam 36 menit 46 detik. Perlu engkau ketahui kalau di event ini panitia menerapkan Cut Off Point (COP) dan Cut Off Time (COT).

COP adalah satu titik lokasi yang harus dilalui oleh para pelari dalam batasan waktu tertentu. Untuk kategori FM ini para pelari harus bisa melalui KM-21 dalam jangka waktu 4 jam dan KM-35 dalam waktu 6 jam. Melebihi waktu itu para pelari dilarang meneruskan larinya.

Sedangkan COT itu batasan waktu terlama para pelari sampai ke garis finis. Di Borobudur Marathon 2018 ini panitia menetapkan 7 jam. Pelari yang sampai di garis finis sebelum batas waktu itu dapat medali dan finisher tee (kaos penamat). Begitu aturannya.

Nah, catatan waktuku di KM-21 ini lebih baik daripada saat latihan. Di titik inilah aku mulai lari jalan-lari jalan. Berbeda pada saat di Mandiri Jogja Marathon (MJM) pada 15 April 2018 lalu, aku mulai lari jalan-lari jalan pada KM-35.

Tetapi aku berusaha jalan cepat, bukan jalan santai begitu, dan diusahakan sekuat tenaga agar pace-nya tidak melebihi 10 menit/kilometer.

Tante Yuli on the spot.
Ngemut hp bikin lari tambah kenceng? Aku tunjukkan kepadamu finger heart.
Capek Boooo. Tanjakan.
Kata teman-teman sih lirikannya tajam. Entah memandang siapa? Fotografernya?
Kayaknya ini foto paling keren yang aku punya selama event ini. Di depan saya, bapak-bapak yang larinya larinya mengeluarkan bunyi khas. Tapi jangan dikira, ia pelari yang sering ikut event-event internesyenel.

Garis Finis

Seperti di MJM aku juga menentukan garis finis imajiner untukku sendiri. Di setiap menjelang garis itu aku harus lari. Tidak boleh jalan.

Terkadang garis finis imajiner itu adalah pelari yang ada di depanku, dua cone pembatas jalan warna oranye, water station, fruit station, 250 meter  terakhir dari setiap kilometer yang ditunjukkan Garmin, para fotografer, keramaian pertunjukan, penanda kilometer, perempatan jalan, umbul-umbul, dan banyak lagi yang lainnya.

Dan jangan ditanya dengan tanjakan yang ada dalam event ini. Banyak sekali yang harus dilalui. Sebelum KM-21 tentu tanjakan itu bisa aku lalui dengan lari, namun setelahnya aku hanya bisa jalan.

Di kilometer yang keberapa kakiku sudah mulai memberikan tanda-tanda mulai kram. Aku tak memaksakan diri untuk tetap berlari.

Dan lagi-lagi keramaian yang dipertunjukkan masyarakat membuat semangatku bangkit. Anak-anak kecil menyorongkan tangannya untuk bisa di-tap. Tak bisa ditampik dan aku membutuhkan tepukan mereka.

Optimisme Personal Best muncul ketika aku melewati titik KM-35 dengan catatan waktu 4 jam 48 menit 57 detik. Ini jelas 8 menit lebih cepat daripada saat di MJM 2018 dan 20 menit lebih cepat daripada sesi latihan.

Dua kilometer menjelang finis, waktu tinggal 10 menit lagi agar aku bisa finis di bawah 6 jam. Kupikir aku sudah tidak punya kesempatan lagi. Jadi aku santai saja lari jalan-lari jalan. Pas di KM-41 aku bertemu dengan Mas Dono yang kukira sudah finis duluan.

Ada Mas Dono membuatku bersemangat lari juga. Akhirnya kami lari berbarengan. Tinggal 700 meter itu Mas Dono jalan. Aku tetap lari. Dan akhirnya aku masuk kompleks Candi Borobudur. Tetapi tetap saja mental yang main. Aku takut kalau ada apa-apa jika memaksakan diri karena kaki sudah bergetar tanda-tanda kram. Akhirnya aku tetap jalan.

Menjelang 500 meter ada pelari perempuan yang bertanya kepada panitia yang menyemangati kami. “Di mana finisnya?” tanya pelari perempuan itu.

“300 meter. Satu tikungan lagi.”

Perempuan itu menyusulku. Aku berusaha menjejerinya. Tetap tidak bisa. Aku minta ia duluan. Akhirnya gerbang finis itu terlihat di depan mata. Ini ditandai dengan karpet merah yang luas membentang dan gapura balon di sekitar area finis.

Apa yang dirasa? Perasaan yang tak bisa digambarkan dengan 1000 kata. Perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh para pelari itu. Kalau engkau memaksaku untuk menuliskannya dengan satu kata, cukup tulislah kata “Bahagia”. Benar-benar loh perjuangannya ini.

Seperti yang sudah kubilang di bagian pertama dari cerita lari ini, aku merasa maraton ini lebih ringan daripada maraton pertama atau lari jarak jauh pada sesi latihan. Karena beberapa sebab, pertama, cuaca yang mendukung di jam-jam awal lari. Kedua, banyak water station. Ketiga, banyak yang memberikan semangat di pinggir-pinggir jalan.

Catatan waktu berdasarkan Garmin adalah 6 jam 2 menit 1 detik. Lebih cepat 18 menit 51 detik daripada waktu MJM 2018. Ini tentu Personal Best baru buatku.

Sesampainya di area finis, aku masuk ke area refreshment untuk mendapatkan pisang, air minum, medali, dan kaos penamat.

Seharusnya aku menyempatkan diri untuk bertemu dengan pelari DJP Runners yang sudah finis duluan. Tetapi aku ada masalah dengan berkemih. Tidak bisa lancar, terasa panas, warnanya kuning pekat. Padahal aku merasa sudah banyak minum air. Sepertinya karena aku telat minum dan berkemih.

Akhirnya kalau teman-temanku yang lain pada foto-foto, aku bertapa di depan toilet khusus yang tersedia banyak di sana. Toiletnya bersih dan tidak bau karena petugasnya berkali-kali mengecek kebersihan toilet. Tidak juga antre karena para pelari itu sedang bermandikan hormon endorfiin yang membanjiri tubuh mereka. Lagi pada kumpul-kumpul dan senang-senang.

Sedangkan aku berkali-kali keluar masuk toilet itu. Aku duduk di atas rumput dan mencopot sepatu dan kaos kaki. Jari kelingking sebelah kanan bengkak dengan merah menyala seakan Anak Krakatau yang siap memuntahkan laharnya.

Baca juga: Lima Hal yang Dibutuhkan dalam Freeletics

Pak Polisi yang sedang bertugas menawarkan diri untuk memotretku.
Water station di titik KM-39. Gambar diambil sehari menjelang perlombaan.
Tinggal tiga kilometer lagi, Gaes. Alhamdulillah.
Sesaat setelah aku finis.
Ini waktuku. Waktumu kapan?
Masih bisa mesem.
Dua orang “elder” dari DJP Runners ini sedang menunggu teman-temannya di garis finis. Mas Asda dan Mbak Karina.

Dehidrasi

Beberapa teman mengajakku untuk berendam di kolam terapi es. Aku menggeleng karena masih belum bisa menetralkan tubuh. Kayaknya aku harus segera pulang untuk istirahat.

Akhirnya sambil nyeker aku bertanya-tanya kepada orang-orang di mana pintu keluar kompleks Candi Borobudur. Sambil terpincang-pincang karena telapak kaki yang menahan panas konblok aku berjalan pelan-pelan .

Aku enggak pesan ojek daring karena jelas akan lama sampai. Kebetulan juga, persis di depan pintu keluar itu ada tukang ojek. Aku naik motor dengan kaki kanan menjuntai hampir menyentuh aspal karena pijakan kaki motornya sudah lenyap.

Belum juga satu kilometer motor itu berjalan, aku menepuk bahu bapak ojek itu dan memintanya berhenti sebentar. Aku turun dan memuntahkan isi perut. Air semua yang keluar.

“Mas, biar saya pijet, Mas,” kata bapak itu menawarkan jasa baiknya.

“Enggak, pak. Sudah selesai,” kataku .

Motor itu pun melaju kembali dan melewati KM-40 yang menyisakan belasan pelari yang masih berjuang mengejar COT. Aku melihat Garmin, waktu sudah menunjukkan pukul 11.50. Tinggal sepuluh menit lagi. Semoga kalian finis.

Baca juga: Cerita-cerita lari lainnya

Di maraton ini aku sudah mendapat banyak pelajaran dan masih ada PR yang harus diselesaikan: tentang blister, manajemen hidrasi dan berkemih, serta mual muntah itu.

Dari informasi yang kubaca, pelari maraton akan kehilangan cairan 3,4 liter sampai 6 liter. Jika aku minum satu gelas kecil berisi 100 ml setiap kali mampir di water station maka dapat dihitung berapa cairan yang masuk ke dalam tubuh.

Kalau ada water station dalam jarak setiap 2,5 kilometer maka sepanjang rute maraton akan ada 16 water station. Jadi aku cuma minum 1,6 liter. Jelas kurang banget. Ini pelajaran berharga buatku di full marathon mendatang.

**

Seusai semua itu, di sebuah warung padang di KM-40, ketika aku menyantap nasi, telur dadar, dan potongan limpa bergulai sebagai pemulih stamina, aku menguping cerita seorang anak perempuan kepada pemilik warung.

Ia baru saja pulang dengan wajah lelah dan masih berbaju training lengkap. Rupanya anak itu ikut menjadi pemberi semangat. Sekolahnya yang dilewati para pelari mengadakan banyak pertunjukan di depan gedung sekolah.

Seusai makan, aku menghampirinya.

“Hei, aku juga ikutan lari loh tadi. Dan benar-benar kalian tuh bikin pelari semangat,” kataku.

Sebuah mesem tersungging di raut mukanya, lalu ia berucap, “Terima kasih.”

Hatinya girang.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
22 November 2018

Baca cerita lari sebelumnya: Cerita Lari Borobudur Marathon 2018: Karena Kita Sekadar Pelari Rekreasional

Advertisement

5 thoughts on “Cerita Lari Borobudur Marathon 2018: Setelah Tikungan Terakhir

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.