14 Tahun yang Lalu: Isyarat Lolongan Anjing Itu


Malam Ahad itu, di kejauhan, anjing melolong. Panjang sekali. Begitu menyayat hati. Tetapi sejatinya membuat bulu kuduk Nova Yanti merinding. Mendengar itu,  Opa, biasa Nova Yanti dipanggil akrab, bergegas untuk segera tidur dan bangun lebih pagi. Banyak rencana yang sudah diperam di otaknya. Paling tidak bersih-bersih rumah adalah pekerjaan pertama yang harus diselesaikannya besok.

Mata Opa lalu terpejam. Memaksa melupakan kesedihan yang sebelumnya hinggap. Ia kecewa sekali tak bisa ikut pergi bersama suaminya menjenguk kakak ipar yang sedang sakit berat di Penang, Malaysia.

Tidak diketahui benar sakitnya apa, hanya mual muntah tetapi terlalu sering dan banyak. Makanan dan minuman tidak masuk sama sekali ke dalam perutnya bahkan sampai sudah hilang kesadaran. Sesuai musyawarah keluarga akhirnya ia dibawa ke Penang. Mengingat sakitnya sudah tampak berat dan seperti menjelang ajal, semua keluarga dikumpulkan pada hari itu.

Bapak dan mamak Opa tak mengizinkannya. Padahal semua keluarga besar suami berangkat. Alasan mereka tidak jelas, menurut Opa. “Kasihan Najla kalau ditinggal,” kata Mamak. Najla adalah anak Opa yang baru berusia dua tahun. Padahal biasanya juga dititip sama mamak, pikir Opa.

Kesedihan Opa melarut dalam lautan ketidaksadaran. Seperti larutnya malam itu kepada suatu pagi. Di saat itulah, ia dan banyak orang lainnya tak pernah tahu akan terjadi sebuah peristiwa mahadahsyat pada esok hari.

Pagi tiba tanpa uluk salam. Saat itu jam sudah menunjuk angka 7-an, suami Opa menelepon dan menanyakan kabar di rumah. Setelahnya, Opa melanjutkan beres-beres rumah, dimulai dengan membereskan kamar dan kemudian aktivitas favorit lainnya: membersihkan kamar mandi.

Sedang asyik-asyiknya menyikat lantai kamar mandi, tiba-tiba air di bathtub bergejolak. Opa terkejut dan langsung menghentikan pekerjaannya. “Ada apa ini?” Opa bertanya-tanya.  Seketika itu ia langsung tersadar. “Gempa!” teriaknya.

Opa berlari keluar kamar mandi.  Ia berjalan seperti di atas kapal yang sedang dialun gelombang.  Di depan pintu kamar, Najla sedang berdiri kebingungan. Langsung saja Opa menyambarnya menuju halaman belakang rumah.

Setelah di sana, Opa melihat genteng rumah seperti dihentak-hentakkan ke atas, rumah bergoyang seperti kain yang ditiup angin, tanah bergetar keras sehingga mereka tidak bisa berdiri. “Allahuakbar! Allahuakbar!” ucap mereka sambil setengah menangis.

Tak lama gempa mereda. Opa masuk rumah karena telepon berdering. Sewaktu gagang telepon diangkat ternyata mertuanya yang menelepon.

“Bagaimana kondisi di sana?”

“Alhamdulillah, Mak. Tak kurang suatu apa pun,” kata Opa sembari menyembunyikan kecemasan yang luar biasa dan berusaha keras meredakan gemuruh di dada kirinya.

Tiba-tiba gempa mulai lagi dan mereka pun kembali berhamburan keluar. Karena terus menerus ada getaran, empat wanita dewasa dan satu anak itu, duduk-duduk saja di halaman depan rumah, takut gempa susulan akan menderu dan mengamuk lagi.

Pada saat itulah, mereka melihat kelimunan orang berjalan dengan kondisi baju penuh lumpur, tanpa alas kaki, dan bahkan ada yang berdarah di beberapa bagian anggota tubuh mereka. Orang-orang itu berteriak, “Air! Air! Air!”

Opa melihat-lihat ke luar pagar, ke atas, ke kanan, dan ke kiri. Tidak ada hujan maupun banjir. Otak Opa seperti tidak bisa berpikir dan majal. Ketika itu yang terpikir hanya bagaimana keadaan keluarganya, mamak, dan bapak. Tidak ada yang lain.

Ingat tentang bagaimana keadaan mereka, Opa bergegas mengeluarkan mobil dengan mengangkut semua yang ada di rumah lalu meluncur ke rumah mamak. Letaknya sekitar 400 meter dari rumahnya. Sampai di sana, kakek Opa dan anaknya yang paling tua sedang menangis dan memberitahu Opa kalau mamak, bapak, dan anaknya yang kedua sedang di rumah nenek di Ajun, sebelah Barat Daya Banda Aceh. Di luar kota.

Opa segera bertindak cepat. Opa menyuruh kakak dan keponakan yang ada di rumah kakek Opa untuk naik ke mobil. Mereka bersempit-sempitan di mobil dan bergerak ke Ajun. Ternyata ketika menuju ke sana, jalanan lumpuh. Jalanan dipenuhi air dan lumpur serta tidak bisa dilalui mobil. Bebatuan dan rongsokan kayu-kayu memenuhinya.

Opa kembali menuju rumah dan ketika lewat rumah mamak, Opa melihat Pak Said, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Banda Aceh pada saat itu. Rumahnya bersisian dengan rumah mamak. Opa menghentikan laju mobilnya kemudian mengadu sambil menangisi keberadaan orang tuanya yang sampai saat itu tidak diketahui bagaimana nasibnya.

“Tenang, naik motor saja ke sana,” kata Pak Said.

Pak Said langsung meminta anak-anak muda yang tinggal di rumahnya untuk memboncengkan Opa dengan motornya ke Ajun. Opa yang pada saat itu masih memakai daster langsung mengganti bajunya dengan kaos dan celana panjang agar bisa leluasa bergerak.

Sampai di lokasi, yang terlihat hanya hamparan air sepinggang tingginya. Kompleks rumah nenek itu bagaikan sudah seminggu diterjang banjir yang marah. Banyak rumah yang rusak. Puing-puing kayu dan seng menutup jalanan.

Ketika turun dari motor, Opa mulai menyusuri jalanan utama kompleks rumah nenek. Rombongan kecil pencarian itu menemukan sesosok mayat ibu-ibu yang telah meninggal. Mereka berteriak untuk memastikan apa ada orang lain.

Saat itu tidak ada pikiran apa-apa dan tidak ada sedikit pun rasa takut yang  Opa rasakan. Bahkan mayat ibu itu Opa pegang ketika yang lain sedang mencari penyangga untuk menyandarkan mayat itu supaya tidak tenggelam dan bisa ditemukan keluarganya. Padahal biasanya nonton film horor saja sudah membuat Opa ketakutan.

Kemudian mereka  kembali menyusuri jalanan yang penuh air itu. Sampai di rumah nenek, Opa masuk ke rumah yang airnya setinggi dada. Opa menyibak-nyibak air tetapi tidak ada siapa-siapa. Opa pikir penghuni rumah sudah menjadi mayat semua. Mereka keluar dan melihat ke rumah sebelah, pada saat yang bersamaan tetangga nenek yang rumahnya bertingkat memanggil-manggil Opa.

“Nenek, Mamak, dan Bapak mungkin mengungsi ke masjid,” katanya saat sudah berhadapan dengan Opa.

“Mengapa Ibu tidak mengajak mereka mengungsi ke rumah ibu yang tinggi ini?” tanya Opa dengan penuh emosi dan kesedihan. Tetangga Opa tidak bisa berkata apa-apa tapi Opa menyesal sudah berkata seperti itu.  Opa segera meminta maaf kepadanya.

Kembali mereka berjalan, menyusuri sawah menuju masjid. Sampai di sana, masjid sudah penuh dengan orang dan mayat yang disusun rapi di dalam masjid. Opa membuka sebagian besar tutup wajah mayat-mayat untuk mencari nenek, mamak, dan bapak. Di saat itu, tiba-tiba ada yang memanggil Opa. Rupanya teman dari adik ipar Opa. “Barangkali mereka ada di lantai dua masjid. Banyak orang tua di sana,” katanya.

Opa bergegas naik dan sampai di atas, wajah yang langsung terlihat adalah bapak yang pada saat itu tatapannya terlihat kosong dan badannya yang lunglai. “Bapaak!” teriak Opa.

Bapak terkejut, menoleh ke arah sumber suara, dan meneriakkan tasbih.  Ia bersyukur pada Allah karena bertemu dengan Opa. Seketika Opa menjumpai mamak, nenek, tante, dan keponakannya. Mereka dalam kondisi tidak kurang suatu apa pun. Alhamdulillah.

Opa bergegas kembali ke rumah untuk mengambil mobil dan membawa mereka pulang. Singkat cerita, semua berhasil Opa bawa ke rumahnya. Selagi mereka duduk di rumput halaman depan rumah, tiba-tiba abang ipar Opa dan anak laki-lakinya datang. Mereka memberitahu kalau kakak kedua Opa sudah ditemukan dalam keadaan meninggal. Tetapi anak perempuannya, yang berarti keponakan Opa, hilang.

Seketika bapak terkejut dan terjatuh lemas ke lantai. Mamak juga lunglai. Mereka tidak menyangka, karena kakak Opa tinggal di tengah kota dan rumahnya berlantai dua. Opa yang ketika itu masih tidak juga bisa berpikir jernih dan tidak sempat membayangkan serta memikirkan apa yang terjadi, langsung berinisiatif menjemput mayatnya dengan bapak. Akhirnya almarhumah berhasil mereka bawa ke rumah bapak.

Malam itu, mereka tidur dalam gelap, di garasi. Opa sesekali masuk ke dalam mobil dan menyalakan AC karena Najla kepanasan dan digigit nyamuk. Mereka tidak berani tidur di dalam rumah, karena sesekali gempa masih mampir. Keesokan paginya, dengan bantuan warga sekitar, prosesi pengurusan jenazah kakak Opa dilakukan. Jenazahnya dikuburkan di pekuburan belakang rumah bapak.

Telepon genggam tidak aktif karena listrik mati di seluruh Banda Aceh, termasuk BTS sepertinya. Yang bekerja aktif hanya jaringan telepon kabel dan syukurnya staf suami Opa dari kantor memberikan telepon untuknya. Opa segera berkomunikasi dengan suami dan juga abangnya di Jakarta. Abang Opa akhirnya berangkat ke Banda Aceh. Suaminya juga pulang dari Penang melalui Medan.

Pada malam kedua Opa tidur di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh agar besok paginya dapat tiket untuk mengungsi ke Medan. Opa ingat, pada saat itu harga tiket sangat tinggi. Bukannya prihatin, musibah besar itu malah dimanfaatkan sedemikian rupa. Ironis. Atau sebenarnya dalam kondisi apa pun hukum ekonomi masih tetap berjalan, permintaan yang melebihi penawaran? Padahal kebanyakan orang tidak punya uang tunai dan anjungan tunai mandiri mati, tidak bisa diambil uangnya.

Tetapi seperti peribahasa mara jangan dipikat, rezeki jangan ditolak, Opa mendapat bantuan tidak disangka-sangka. Mertua kakak Opa yang lain pada sehari sebelum kejadian baru saja menjual toko dan uangnya belum disetorkan ke bank, karena pada hari Sabtu bank tutup. Ia menyerahkan sebagian uangnya untuk pembelian tiket mereka. Uang kertas yang mereka serahkan ke loket tiket masih dalam keadaan basah. Uang itu sempat terkena air walau sudah disimpan di dalam lemari.

Mereka sampai di Medan pada H+3. Opa melihat televisi dan menyaksikan kejadian yang sebenarnya. Betapa gelombang tsunami menyapu sebagian besar Banda Aceh sedemikian rupa. Alirannya mahadahsyat. Menghempaskan segala yang ada di depan. Mengangkat kapal besar ribuan ton ke darat. Meluluhlantakkan kehidupan. Dan harapan. Tentunya.

Barulah pada saat itu Opa menangis sejadi-jadinya. Air matanya merupa tsunami. Tapi tak sedahsyat gejolak perasaannya pada saat itu. Ibu dari segala tsunami bersemayam di dadanya.

Opa tidak menyangka, hal itulah yang telah menimpa kakak dan keponakannya. Opa membayangkan mamak dan bapak dikejar-kejar air bah itu. Belum lagi teman, saudara, dan kenalannya.

Saat itu pikiran Opa baru terbuka.  Pada waktu kejadian akal sehatnya masih tertutup sehingga bisa melewati dan melakukan semua yang harus Opa lakukan untuk mencari mereka yang dicintainya. Tidak ada rasa takut atau kekhawatiran dalam menjalani dan melalui semuanya. Sebuah pekerjaan yang tidak mungkin Opa lakukan sendirian pada saat normal.

Ketika yang bergemuruh di dadanya mulai mengheningkan cipta, ada matahari kesadaran yang muncul dari mendung kegelisahan. Opa meyakini sepenuh hati dan pikirannya bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Barangkali, pertanda anjing yang melolong itu pun adalah isyarat bahwa akan ada musibah yang datang. Biasanya persepsi sensorik atau insting binatang sangat tajam pada kondisi itu.

Di situlah, Opa juga menyadari ada mutiara hikmah di balik semuanya, ketika orang tuanya tidak mengizinkannya ikut menjenguk kakak ipar yang sedang sakit berat di Penang. Jika tidak, siapa yang akan menyelamatkan orang tua dan kakaknya? Anehnya lagi, kakak ipar sembuh seketika ketika tsunami telah reda.

Allah Mahatahu, Maha Menentukan, dan Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Semua sudah tercatat dalam loh mahfuz.  Semua yang terjadi pada 26 Desember 2004 itu.

Peristiwa yang tak akan mungkin moksa dari ingatan Opa, masyarakat Aceh, dan seluruh rakyat Indonesia. Selamanya.

Kisah ini ditulis ulang, sebagaimana diceritakan oleh Nova Yanti.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Artikel ini ditulis untuk buku Alumni STAN Spesialisasi Perpajakan Angkatan 97
Foto milik antarafoto

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.