Saya tersentak. Mimpi itu membangunkan saya. Padahal pesawat terbang ini belum juga lepas landas dari Bandara Adi Sumarmo. Dalam mimpi itu saya seperti berada dalam sebuah penjara gelap.
Topeng besi dengan lubang hanya untuk kedua belah mata menutupi seluruh wajah. Tak ada lubang untuk mulut. Saya merasa seperti dibekap dan berada di ruang sempit. Perasaan takut tempat sempit itu tiba-tiba datang lagi.
Dan saya memang harus menyadari kenyataan yang sebenarnya kalau saya berada di kursi tengah dalam penerbangan ini. Di sebelah kanan saya duduk seorang gadis muda yang selalu mencampakkan pandangan ke luar jendela. Matanya menerawang. Entah apa yang sedang dilihat dan dipikirkannya.
Sedangkan di sebelah kiri saya bapak-bapak yang diterjang kantuk berat. Hampir-hampir kepalanya jatuh di bahu saya. Bahu yang segera kuminta untuk ikhlas ketika kepalanya benar-benar terperosok. Dengkurnya merayap ke langit-langit kabin pesawat.
Jumat siang itu saya meninggalkan Surakarta setelah tiga harian ini mengampu sebuah acara lokakarya untuk para kontributor situs pajak dan media sosial Direktorat Jenderal Pajak. Sebuah acara yang memang sudah dirancang di tahun lampau. Dan merupakan kegiatan pertama di 2018 yang dihelat Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan, Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Ditjen Pajak.
Ada hal yang kami inginkan dari penyelenggaraan lokakarya ini. Kami ingin 78 peserta dari seluruh Indonesia mendapatkan pemahaman tentang cara membuat konten jurnalistik di situs pajak, bisa menulis kreatif untuk situs dan media sosial, belajar fotografi jurnalistik, dan mendapatkan penghargaan karena telah berkontribusi untuk pajak.go.id selama 2017 lalu.
Alhamdulillah acara berlangsung lancar. Saya yakin ini atas kehendak-Nya. Teman-teman panitia di Seksi Pengelolaan Situs dan Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan lainnya telah bekerja keras membantu dari awal sampai akhir pelaksanaan acara.
Mereka meraih penghargaan sebagai kontributor teraktif kategori flash foto.
Mereka meraih penghargaan sebagai kontributor teraktif kategori artikel.
Mereka meraih penghargaan sebagai taxmin terkreatif.

Saya hampir saja berteriak saat terbangun tadi. Punggung saya terangkat dari sandaran. Perasaan takut sempit itu saya usir pelan-pelan, jauh-jauh. Syukurnya tidak butuh lama. Tidak seperti saat perjalanan malam dari Kualanamu menuju Tapaktuan bertahun-tahun lampau itu.
Saya menyingkirkan wajah The Man in the Iron Mask itu cepat-cepat. Berusaha mengingat apa-apa yang telah saya kerjakan selama seminggu ini. Mengingat perjalanan malam dan pagi dari Jakarta menuju Surakarta yang tak bisa dilupakan dan juga aksi teman-teman panitia.
Mas Farchan (Efenerr) danke, danke schön atas antar jemput, suvenir tas, dan persiapan tetek bengek terkait media sosialnya. Walaupun buku tebalnya juga ikut hilang. Saya pikir memang sengaja ditaruh di bawah dan tak akan ada yang mengambil. Dan saking capeknya sehingga tak mampu membezakan antara poliklinik dan politeknik PKN STAN. “Turu sik, Mas.”
Mas Memet (Meidiawan Cesariansyah) juga, terima kasih banyak atas semuanya. Matur nuwun atas paparan dan sesi bagi-bagi pengalamannya. Kalau tak ada sampeyan Mas, poliklinik itu tetap akan jadi poliklinik, entah sampai ada warganet yang mengoreksinya. Danke.
Mas Wiyoso Hadi yang sampai tak sarapan dan makan malam buat menilai pekerjaan dan tugas para peserta. Terimong geunaseh.
Mas Lord Agung Utomo, arigotou gozaimasu, yang bersiap diri banget dari awal sampai akhir menjaga kompi dan menjadi asrot andal dan DJ buat Vianisti dan Nelalovers. Saya jadi tahu lagu Reach milik Gloria Estefan. Picture of You-nya Boyzone bikin baper saya.
Mbak Rizmy Otlani Novastria yang mondar-mandir ke sana kemari. Terima kasih banyak. Salah satu kesan dari para peserta yang masuk ke pos elektronik saya adalah panitianya ramah-ramah. Dan saya yakin, episentrumnya ada di Mbak Rizmy dengan skala Richter yang tinggi. Lalu vibrasinya merambat kepada seluruh panitia. Waad ku mahadsantahay.
Kang Nanang Priyadi yang sudahlah gelar “Kalau ada mas nanang semua beres” memang laik disematkan. Tak perlu banyak komentarlah. Sampai yang lain sudah pada pulang, tetap jaga lokasi untuk membereskan segala tersisa di Padang Kurusetra. Hatur nuhun, Kang.
Mbak Alfiana, our new MC. Kamsahamnida atas waktu dan tenaganya. Saya yakin kalau diberikan kesempatan yang banyak lagi, ia akan menjadi pembawa acara di Penganugerahan Golden Globe. I believe you can fly.
Mas Adhiputro, jazaakallah atas pendokumentasiannya yang luar biasa itu yah. Speechless.
Pak Tedy Iswahyudi, gracias juga atas doanya di awal acara. Setiap kalimat doa itu saya resapi benar-benar. Dan saya baru tahu cerita tentang Nabi Musa itu. Pencerahan buat saya.
Kak Ani Natalia, terima kasih banyak Kak telah membuka dan menutup acara ini. Atas arahan dan masukannya, juga dukungan yang tiada habis mulai dari ide acara itu menjadi benih di benak sampai acara ini lahir dan khatam. Mohon maaf kalau ada banyak kekurangan dari kami atas terselenggaranya kegiatan ini.
Untuk teman-teman yang saya sebutkan di atas, mulai dari Mas Farchan sampai Mas Adhiputro, saya teringat akan satu hal ini: “Orang-orang besar dihargai dari hal-hal kecil yang dapat dipercayakan kepadanya.” Lokakarya ini barangkali merupakan acara kecil, namun saya yakin betul ini tidak bisa dianggap sepele. Insya Allah ketika tugas kecil yang dipercayakan kepada kita ini bisa diemban dengan amanah maka kita pun akan siap untuk menerima tugas-tugas lainnya yang lebih besar lagi.
Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan Kak Ani Natalia mewakili Direktur P2Humas Hestu Yoga Saksama membuka acara lokakarya ini.
Mas Wiyoso Hadi dengan gayanya yang khas memberikan materi pelatihan.
Mbak Rizmy Otlani Novastria memberikan materi pelatihan juga.
Para peserta menunggu acara itu dimulai.
Kalian sedang membicarakan apa?
Waktu itu di malam kedua. Selesai acara sesi malam.
Kami di hari ketiga setelah acara penutupan.
Bertemu banyak kawan juga. Terutama penulis-penulis hebat ini.
Kami tergabung dalam sebuah WAG Komunitas Sastra Kemenkeu. Kika: Lila Saraswati, Meidiawan Cesariansyah, dan Edmalia Rohmani
Siang itu, pesawat yang saya naiki mendarat dengan selamat di Bandara Halim Perdanakusumah. Saya tidak segera turun. Saya masih memasukkan laptop milik negara ini ke dalam tas. Tadi di atas awan, saya menyempatkan diri menulis lima paragraf awal dari tulisan ini.
Saya membiarkan penumpang lainnya cepat-cepat turun. Tidak berlangsung lama, di dalam pesawat tinggal tersisa beberapa di antaranya, termasuk saya.
Saya menuruni anak tangga pesawat. Di bawah masih banyak orang berkelimun menunggu bus yang akan membawa mereka ke gedung terminal. Tempat itu sebenarnya tidak jauh dari tempat pesawat ini diparkir. Saya sudah memperkirakan paling jauh 400 meter saja.
Saya memutuskan untuk berjalan ke sana. Tidaklah mengapa dan tidak ada yang melarang. Kebetulan juga langit tidaklah panas, masih ada mendung hitam yang menggelayutinya. Tak ada bayang-bayang. Sebentar lagi juga langit Halim akan menangis. Sampai di sini saya ingat lirik dari Jhon Legend: All of Me.
How many times do I have to tell you
Even when you’re crying you’re beautiful too
The world is beating you down, I’m around through every mood
You’re my downfall, you’re my muse
My worst distraction, my rhythm and blues
I can’t stop singing, it’s ringing, in my head for you
Benar saja ia menangis. Kita namakan air matanya itu adalah hujan. Ia yang tak pernah lelah menatap saya dari balik jendela mobil dari Halim menuju Citeureup. Matanya penuh kenangan. Tercecer di mana-mana. Di setiap pandangan.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
10 Februari 2018