
Si Tokek memberinya selembar foto. Foto gadis yang sama, yang ditempel di langit-langit kabin truk. Gadis itu telah bertambah besar. Berbeda dengan foto-foto sebelumnya, yang semuanya selalu dibawakan oleh Si Tokek, kali ini di balik foto tersebut ada tulisan. Tulisan tangan si gadis kecil:
Menulis itu membaca. Maka ketika kesibukan memang telah memakan waktu yang kita punya, bahkan untuk menulis pun sampai tak sempat, bagi saya itu tidak mengapa asal waktu-waktu yang lewat itu telah diisi dengan kegiatan membaca. Ini penting buat menulis dan penulis.
Di masa yang telah lewat, dalam sebuah pelatihan menulis feature, saya diberikan sebuah rekomendasi untuk membaca buku-buku Eka Kurniawan. Mentor itu bilang kepadaku, “Baca saja O.” Ia menyebut sebuah judul buku yang ditulis oleh Eka Kurniawan. Nama ini baru saya dengar, sungguh.
Maka sejak itu, saya mulai mencicil membaca buku-bukunya. Mulai dari O sampai Manusia Harimau. Penilaian saya terhadap dua buku Eka di atas adalah bagus. Pengenalan itu sekitar triwulan pertama 2017. Pembacaannya pada triwulan kedua 2017.
Sudah lama saya tidak membaca buku-buku semacam ini. Buku fiksi yang sudah lama saya tinggal, ketika saya mulai menyeriusi tentang penulisan nonfiksi. Jadi kunjungan saya dengan mengetok kembali rumah fiksi ini seperti mengulang peristiwa ketika saya berkarib dengan penulisan fiksi pada 10 tahun lampau saat memulai bergabung dengan Forum Lingkar Pena Depok.
Setelah itu saya meminta saran dari teman yang sudah mengoleksi bukunya Eka, “Saya baca apalagi?” Ia menyarankan untuk membaca buku Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Saya lalu berselancar untuk belanja online. Tiga bukunya Eka sudah sampai saja di rumah, tak lama. Buku yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Tuntas lalu buku Cantik itu Luka dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Tiga buku ini menjadi pembacaan saya di triwulan keempat 2017.

Dua buku yang disebut pertama adalah novel. Sedangkan yang terakhir adalah kumpulan cerpennya Eka. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah novel yang bercerita tentang seorang anak laki-laki yang kemaluannya tidak bisa berfungsi setelah ia menonton adegan perkosaan. Dari awal sampai akhir bercerita tentang kemaluan anak yang kemudian menjadi dewasa dan brutal itu.
Sebrutal-brutalnya Ajo Kawir—tokoh utama—dalam novel ini, Eka menjadikan sosoknya sebagai melankolis di suatu adegan:
Si Tokek memberinya selembar foto. Foto gadis yang sama, yang ditempel di langit-langit kabin truk. Gadis itu telah bertambah besar. Berbeda dengan foto-foto sebelumnya, yang semuanya selalu dibawakan oleh Si Tokek, kali ini di balik foto tersebut ada tulisan. Tulisan tangan si gadis kecil:
“Ayah, kapan pulang? Aku ingin melihatmu. Kakek dan nenek ingin melihatmu.”
Mata Ajo Kawir tampak berkaca-kaca.
Menurut saya, ini epik. Jalan ceritanya bagus juga. Kita enggak ingin berpaling sebentar saja dari buku itu.
Novel ini diterbitkan pertama kali pada 2014 yang dilabeli oleh penerbitnya sendiri sebagai Novel Dewasa dan hanya dibaca untuk umur 21 tahun ke atas. Sebagaimana ada sebagian dari orang yang menutup dengan spidol hitam atas penceritaan-penceritaan saru agar tidak terbaca anak-anak, barangkali agar tidak dianggap melukai buku, maka menaruh dan menyembunyikannya di bagian rak yang tak mudah terjangkau anak-anak adalah hal yang terbaik.
Yang paling heboh lagi adalah buku Cantik Itu Luka. Ini buku tahun 2002, tapi saya baru ngeh akan buku ini 15 tahun kemudian. Wunderbar! Cerita yang dimulai dari kebangkitan seorang pelacur dari kuburnya setelah mati selama 21 tahun. Akhir ceritanya juga mengejutkan.
Hebat ini buku.Tiga hal yang harus dikemas apik dalam sebuah novel—sebagaimana Stephen King sebut—yaitu narasi, deskripsi, dan dialog, Eka meramunya dengan baik. Pantas saja kalau buku ini diterjemahkan dalam 28 bahasa. Bahkan menurut saya, buku ini lebih baik daripada O.
Buku terakhir yang kumpulan cerpen itu (terbit tahun 2015) menurut saya juga bagus walaupun masih di bawah dua novel di atas. Dari 15 cerpen yang ada dan sebelumya pernah dipublikasikan di koran dan majalah, yang bagus adalah cerpen yang juga dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Sebuah cerpen yang diakui Eka sendiri sebagai kisah yang terinspirasi dari The Ruined Man Who Became Rich Again Though a Dream, bagian dari Arabian Nights, terjemahan Sir Richard F Burton.
Satu cerpen lagi yang mau saya ceritakan adalah Setiap Anjing Boleh Berbahagia. Sepertinya cerita anjing yang disayang perempuan ini menjadi dasar penciptaan salah satu fragmen dalam Novel O. Di Novel Eka Kurniawan yang terbaru ini di dalamnya terselip kisah seorang perempuan yang mengadopsi anjing yang terluka dan merawatnya tetapi punya suami yang membenci setengah mati hewan itu. Ini sama dengan cerita di dalam cerpen Setiap Anjing Boleh Berbahagia.
Namun sebagus-bagusnya cerpen Eka, tetap tak lebih bagus daripada novelnya. Tentu bukan apple to apple membandingkan keduanya, karena mereka memang berbeda. Hanya memang Eka sebermulanya adalah penulis novel.
Barangkali Eka, setidaknya, adalah jaminan kualitas. Seperti ketika saya tidak meragukan kualitas William Smith, Malcolm Gladwell, J.R.R. Tolkien, dan Andrea Hirata. Lalu saya kemudian teringat dengan nama lain yang disebut oleh mentor menulis feature itu, “Baca juga bukunya Yusi Avianto Pareanom.”
Kemudian di akhir November itu tiba-tiba saja satu buku Yusi berjudul Rumah Kopi Singa Tertawa sudah berada di tangan bersama banyak buku lain, lalu French Press yang di dalam kotak pembungkusnya terselip kotak musik Love Me Tender, kain batik, dan berikut cendera mata lainnya yang begitu tak sedikit dan tepermanai dari kawan-kawan ketika saya berkunjung ke Pekalongan untuk keperluan dinas.

Bahkan saat tulisan ini dibuat, buku Yusi lainnya berjudul Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi dalam perjalanan menujuku. Pertanyaan setelahnya yang melintas cepat serupa Halley di angkasa malam adalah, “Kapan aku menuju dan memasukimu?”
Sebuah hal yang teramat mewah, seperti saat ini, ketika membaca adalah sebuah kemewahan. Apatah lagi menulis. Yakinlah, menulis itu membaca, dan—seperti Stephen King sendiri pernah bilang—membahagiakan.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 3 Desember 2017