Seperti anak kecil yang menemukan bonekanya yang hilang, Salimah mendekapkan kepala Haji Ahmad pada dadanya. Darah yang belum sepenuhnya membeku menetes di tubuhnya. Mata Salimah berair, terpejam. Bibirnya terbuka setengah. Basah.
Waktu kecil dulu, setiap kali cerita setan dikisahkan ibu kepada anak-anaknya pasti telinga ini mendongak tajam. Kepekaan telinga kami meningkat beberapa desibel agar tak melewatkan satu kalimat pun yang diucapkan dari mulut ibu dengan disertai wajah kengerian yang luar biasa.
Glundung-glundung cengir, teluh, ngepet adalah semacam tokoh atau laku utama dalam penceritaan ulang itu. Diulang seberapa kali pun, cerita itu tetap menarik. Apalagi kalau kisah itu diperdengarkan oleh kawan-kawan sebaya kami di musala kampung, selepas Magrib yang pecah.
Ditambah bumbu-bumbu yang entah dari mana asalnya menjadikan cerita itu lebih hidup. Semacam micin, kengeriannya lebih menyedapkan. Untuk hal semacam horor itu saya teringat dengan satu nama.
Abdullah Harahap. Bagi orang-orang di zamannya, tahun 1980-1990-an, ia dikenal sebagai penulis novel horor. Novel ini biasanya dijual di kios-kios kecil atau kaki lima bersama novel-novel Fredy Siswanto, biasa disingkat Fredy S. Judul-judul untuk pengarang yang disebut terakhir ini barangkali sudah cukup akrab seperti: Senyummu adalah Tangisku, Dua Hati Satu Cinta, Kartika: Merenda Duka Lara, dan Mentari Masih Bersinar.
Dan saya bukan penggemar Fredy S. Sebaliknya sejak remaja saya suka sekali dengan novel-novel yang ditulis Abdullah Harahap, barangkali setara dengan kesukaan saya terhadap Mi Ayam Budhe di belakang gedung Mar’ie Muhammad. Seminggu sekali mesti saja ada yang tandas.
Ini melulu karena profesi yang ditekuni bapak sebagai penjual majalah bekas, novel, dan buku teka-teki silang. Jadi sejak kecil saya suka sekali membaca. Setidaknya dengan membaca itu saya mengetahui banyak hal. Sampai-sampai di sebuah pelajaran SMP, pak guru geografi melarang saya untuk selalu mengacungkan tangan di saat ia menanyakan sesuatu kepada para muridnya.
Dan tentang Abdullah Harahap ini, keterpukauan saya adalah mengenai deskripsi lokasi horornya yang sampai sekarang benar-benar melekat di benak. Sebuah desa bernama Parigi, srigala jadi-jadian, lukisan wanita berdarah adalah perihal Abdullah Harahap yang benar-benar saya ingat terus.
Semuanya itu direkam oleh tiga penulis ini: Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad dalam sebuah buku kumpulan cerita pendek (cerpen) misteri yang berjudul Kumpulan Budak Setan. Masing-masing dengan empat cerita pendeknya.
Sebenarnya ini buku lama. Pertama kali diterbitkan pada 2010. Saya mendapatkan buku cetakan keduanya, Agustus 2016, baru-baru saja, di bulan Oktober 2017 ini. Terlalu lama saya menyadari ada buku semacam ini.
Buku yang menemani perjalanan saya ke Bali. Di saat saya harus meliput suatu pertemuan Tim Reformasi Perpajakan di Kuta, Denpasar. Saya baca buku itu pada ketinggian ribuan kaki di atas permukaan laut, di kamar atau toilet hotel. Dan pada akhirnya saya berhasil menuntaskannya. Lalu di dalam benak saya ada sebuah “sayang-sayang” kalau buku ini dilewatkan begitu saja tanpa telaah (review) subjektivitas saya sebagai seorang pembaca.
Barangkali buku ini menjual nama Eka Kurniawan. Dengan itu menempatkan empat cerita misteri Eka di bagian pertama buku tersebut. Tenang Eka, saat saya menulis ini, tiga buku lama kamu sedang dalam proses perjalanan menuju rumah (pengiriman) setelah saya membelinya di sebuah toko daring.
Dari ketiga penulis ini, yang menurut saya berhasil merekam keseraman dan kengerian ala Abdullah Harahap adalah Intan Paramaditha. Dari empat cerpennya, tiga sudah masuk kategori bintang lima. Goyang Penasaran, Pintu, serta Si Manis dan Lelaki Ketujuh adalah judul-judul cerpennya yang memukau saya.
Dari ketiga cerpen Intan, Goyang Penasaran adalah pemuncak. Bahkan untuk keseluruhan ke-12 cerpen yang terkumpul dalam buku itu. Satu paragraf awal dalam tulisan ini pun milik Goyang Penasaran dengan Salimah sebagai tokoh utamanya.
Cerpen itu sudah pernah dimuat di Suara Merdeka, 29 Januari 2010. Harap diketahui kalau buku kumpulan cerpen ini memang sebagiannya adalah cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media cetak dan sebagian lainnya masih berupa manuskrip.
Sedangkan untuk Ugoran Prasad, dari empat cerita pendeknya, dua sudah masuk bintang lima, yakni Hantu Nancy dan Hidung Iblis. Yang terakhir ini adalah sebuah copy paste kevulgaran ala Abdullah Harahap. Bahkan sebenarnya Abdullah Harahap pun tak sevulgar ini.
Dan ini didukung dengan kaver bukunya yang ciamik. Perempuan berambut panjang dengan kesetengahtelanjangan, mata menyorot tajam berbalut hitam di lingkaran, dengan memegang apel berdarah di tangan kanan, adalah ilustrasi yang cocok sekali untuk buku ini. Emte tidak main-main memang, seperti kejenakaannya dalam mengilustrasikan inti puisi Aan Mansyur dalam Melihat Api Bekerja.
Di sini barangkali Emte sepakat dengan saya dalam memandang kepada satu-satunya perempuan penulis dalam buku ini, ilustrasi itu ia sarikan dari cerpen yang dibuat oleh—lagi-lagi–Intan. Terbantu Intan, akhirnya saya tak perlu mencari penutup untuk catatan saya:
Suatu malam, kalau kau berjalan-jalan di kampung itu, lihatlah ke atas. bila bulan terlihat ganjil seperti perempuan yang bangkit dari kubur, kau akan tahu Salimah tak pernah pergi. Di malam itu ia berkelebat, hadir dengan cara ia ingin diingat. Tidak dengan tubuh biru lebam seperti kala ia mati, melainkan dengan baju hitam ketat yang menonjolkan pinggul aduhainya. Ia melenggok, menatapmu tanpa ampun, menjinjing-jinjing kepala. Goyangannya maut. Dan hingga kini, ia masih penasaran.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Pinggiran Buitenzorg, 11 November 2017