Jari jemarimu sungguh tangguh memetik sekuntum senar biola yang kaupegang di tangan, setangguh buku-buku jarimu yang pernah kaualukan ke tembok tinggi penuh onak, tajamnya seperti mahkota duri yang pernah disematkan di kepala bahaduri yang seolah-olah.
Darimu lahir kelopak-kelopak bunyi yang sengaja kauperosokkan ke dalam got depan rumah sakit. Wanginya merah. Serupa puisi yang sengaja kaugodok di ceret yang pernah kaubeli di pinggir jalan, di suatu hari yang ganas.
Ceret itu berteriak-teriak kepanasan meminta untuk segera diangkat dari pembakaran tanur tinggi, meminta diselamatkan dari nyala api. Pelan-pelan kukucurkan puisi ke atas bubuk kopi. Lagi-lagi wanginya merah, semerah peribahasa yang kausembunyikan dalam hati. Atau sudah kaulempar ke tebing tinggi?
Puisi hitam ini tak sesederhana pikiranku, tetapi tak serumit ihwalmu. Pejam-pejamlah. Biarkan kuhirup putih wangimu yang malam ini tiba-tiba lewat dan melesak ke dalam hidungku. Masih sama rupanya. Biarkan kudengar debar jantungmu dengan sekuntum senar biola yang kusematkan di dadamu. Masih lama kiranya.
***
Lagi, fotonya Mastah Fotografi #DoF Pak @Harris_motret
Danke, danke, danke schon, Mastah.
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
04 November 2017.