Aku mengira wajahmu telanjur berdebar saat melihatku memanen bulir-bulir terang di matamu yang asri seperti bungalo di tepian telaga. Saat menyingkap gelap yang menyelinap di halaman-halamanku yang kaubaca. Saat dinding jantungmu belumlah cukup tebal untuk melindungi dari cemburu buta. Saat gemetarmu, tertawamu, kedikmu menyusut menjadi kelopak-kelopak mekar padma. Dan aku mendengarmu. Dan aku terjun menjadi abu setelah kaubakar aku dengan perasaan-perasaan paling dalam perigimu. Dan aku mendengarmu. Dan aku hanyalah sehelai benang yang jatuh dari jalinan zirahmu. Dan aku mendengarmu. Dan kau yang meraba hurufku dengan bening jari di pejam netramu yang bercahaya. Dan aku mendengarmu. Dan kau yang menghujani jantungku dengan rinai rindu di putih gaunmu yang merajalela. Sekarang, aku menaruh matamu di mataku.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
24 Oktober 2017
Lagi, lagi, dan lagi. Fotonya Mastah Fotografi #DoF Pak @Harris_motret yang sungguh-sungguh berbunyi ini diinfakkan kepada saya, untuk dikata-katai. 😀 Danke, danke, danke schon, Mastah.