Pada 2015, Esa Marindra Fauzi, seorang teman sekaligus penamat triatlon mengajak saya yang waktu itu sedang bertugas di Tapaktuan untuk mencoba menyeret-nyeret kaki bareng sejauh 21,1 kilometer di palagan Jakarta Marathon. Baru dua tahun kemudian niat itu menjadi nyata setelah saya pindah tugas ke Jakarta.
Ahad pagi yang masih gulita, 29 Oktober 2017, pada saat saya menyerahkan tas di tempat penitipan tas (drop bag area) sebuah colekan menyentuh pundak saya. Ternyata Esa. Kami sama-sama terlambat datang.
Garis start sudah dipenuhi dengan para pelari, tapi bukan pelari Half Marathon melainkan pelari 10K dan 5K. Pun, ternyata waktu memulai lari yang dijadwalkan 5.10 pagi untuk peserta Half Marathon dimajukan beberapa menit lebih awal. Akhirnya kami berlari dengan buntut rombongan pelari Half Marathon yang entah sudah ada di mana. Tak kelihatan di mata. Saya lihat angka digital penunjuk waktu sudah ada di 5.04 pagi.
Ini pengalaman pertama mengikuti Jakarta Marathon yang kata teman-teman pelari di grup DJP Runners merupakan ajang lari hebat selain Maybank Marathon di Bali. Dua ajang lari ini sebaiknya, kata teman-teman saya itu, kudu diikuti karena para pelari dari berbagai komunitas ikut turun gunung.
Pengalaman Berharga
Kalau sudah begini tentu ada yang menjadi pengalaman berharga di tahun berikutnya. Saya jadi tahu harus bagaimana nanti. Ternyata banyak yang harus dipersiapkan. Sebagai pelari amatiran, ini yang tidak saya matangkan.
Pertama, saya harusnya cukup istirahat. Malam Ahad itu saya baru tidur pada jam 12 malam. Ini berarti saya hanya tidur tiga jam saja karena tetangga yang akan mengantarkan saya dari Citayam menuju Monas akan menjemput pada pukul 03.30. Di tahun depan, kiranya memang yang terbaik adalah menginap di Jakarta, sehingga tak perlu terburu-buru seperti ini.
Kedua, hari Sabtu itu malah saya ikut kegiatan lari Oeang Run 5K dalam rangka Hari Oeang Republik Indonesia ke-71 yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan. Saya pikir tidak masalah, ternyata sebenarnya masalah. Saya juga awalnya daftar hanya ikut-ikutan teman saja di grup DJP Runners. Saya tidak tahu kalau Hari-H Oeang Run 2017 ini berurutan atau persis sehari sebelum Jakarta Marathon 2017.
Ketiga, saya harusnya datang satu jam sebelum pengibaran bendera. Salat Subuhnya di lokasi saja. Saya tidak. Sesampai di Balai Kota DKI Jakarta pukul 04.20 saya melaksanakan salat Subuh di sana dan menuntaskan segala tetek bengek urusan pagi. Itu butuh waktu lama sehingga bikin saya harus berlari-lari menuju lokasi start.
Keempat, harusnya saya pelajari di mana lokasi drop bag dan garis start. Jarak balai kota dengan garis start ternyata cukup jauh. Saya pun harus masih antri lagi untuk bisa menaruh tas saya itu.
Kelima, saking tidak punya waktu lagi dan mengejar rombongan lari. Saya tidak sempat untuk pemanasan. Saya pikir pelarian kecil dari balai kota menuju drop bag area dan garis start itu sudah cukup sebagai pemanasan.
Segala Keterburu-buruan
Pokoknya dengan segala keterburu-buruan itu, akhirnya saya bisa memulai Half Marathon di Jakarta Marathon 2017 ini dengan seadanya. Kiranya saya perlu kembali ke belakang untuk menceritakan sedikit tentang sesuatu.
Dulu saya pembenci lari. Bahkan bisa dikatakan pembenci olahraga. Puluhan tahun saya menjalani hidup dengan ala kadarnya. Pada akhir 2013 saya ditugaskan ke Tapaktuan, Aceh Selatan. Setahun di daerah sepi, tepian pantai itu, tidak mengubah saya sama sekali.
Baru pada akhir 2014, ada tekad yang menggunung bahwa saya harus berubah. Berat tubuh saya waktu itu sudah 78 kilogram. Dan saya memilih Freeletics sebagai gaya hidup dan olahraga saya, ditambah lari hanya sekali dalam seminggu. Plus, diet no rice no sugar yang saya jalankan. Akhirnya dalam 15 minggu pertama berat saya turun dan stabil di angka 62 kilogram sampai sekarang.
Akhirnya saya yang semula tak bisa lari 100 meter akhirnya bisa lari. Karakter seperti 5K dan 10K menjadi menu mingguan. Saya juga bisa lari 15 kilometer, 21 kilometer, 25 kilometer, bahkan akhir Juli 2017, lalu saya akhirnya bisa menempuh jarak lari terjauh sepanjang 30,37 kilometer. Saya juga sudah mengikuti tiga kali ajang lari sebelum Jakarta Marathon 2017.
Godaan teman-teman untuk mengambil Full Marathon di tahun ini benar-benar bikin air liur menetes. Tapi saya tetap fokus seperti kucing menatap cicak-cicak di dinding kalau tahun ini adalah tahun Half Marathon kecuali memang di hari-hari yang tersisa di 2017 ada teman yang benar-benar mampu menggoda iman dan keintiman saya.
Dan inilah saya berada di jalanan Jakarta. Menderu, mengukur jarak setiap sentimeter aspal Jakarta. Sambil terus berusaha menjaga nafas dan tetap konsisten dengan pace saya. Tetapi entah, saya merasa lemah. Apalagi dengan knee support dari race pack Jakarta Marathon untuk dipasang di paha yang ternyata menyakitkan. Otot paha kanan saya seperti tertekan. Akhirnya di water station kedua, di jarak 5 kilometer, saya minggir lama di sana untuk mencopot knee support itu. Daripada saya taruh di saku celana dan mengganggu gerak, saya pakai buat di tangan. Eh pas. Dunia memang sudah terbalik.
Di kilometer 5 itulah saya baru ingat kalau gula merah yang sudah disiapkan istri ternyata ketinggalan di saku jaket dan jaket itu berada di dalam tas yang dititipkan di drop bag area. Benda manis yang akan saya mamah di setiap jarak 5 kilometer. Alamak, pagi ini memang banyak sekali yang menghambat pelarian ini. Beda jauh dengan persiapan dan pengalaman sewaktu mengikuti BNI UI Half Marathon 2017.
Di jalanan Jakarta ini, saya tidak melewatkan water station sama sekali. Di sana saya akan ambil segelas minuman berion untuk saya minum dan air biasa untuk saya guyurkan ke kepala saya. Lalu berlari lagi dengan lebih semangat. Di situlah saya merasa seperti kancil yang sedang berlomba lari dengan kura-kura. Manusia seperti tak habis-habis untuk saya susul. Selalu ada dan selalu ada di depan. Ini berarti ribuan orang benar-benar ikut ajang lari ini. Apalagi ketika rute lari Half Marathon bertemu dengan rute lari 10K dan 5K. Atau karena memang saya berada di barisan paling belakang?
Mengejar Pacer
Saya juga sempat merasakan guyuran hujan di Jakarta Marathon 2017. Yang perlu saya khawatirkan adalah telepon genggam yang tidak terlindungi dengan plastik. Tetapi ya sudahlah, saya terus berlari, mengejar segala yang ada di depan. Itu pun kalau kuat dan mampu. Seperti ketika saya mengejar pacer dengan kostum lari dan balon dengan warna birunya yang menyengat mata.
Ada dua momen ketika saya bisa menyusul para pacer itu. Tentu dengan susah payah dan meningkatkan kecepatan berlari. Ketika sudah dekat ternyata pacer pertama yang saya kejar itu adalah pacer untuk pelari 10K yang ingin tembus waktu dalam 1 jam 10 menit. Pacer kedua yang saya kejar ternyata pacer Full Marathon dalam waktu 5 jam 15 menit.
Lalu kemana pacer untuk para pelari Half Marathon? Kata teman saya pacer Half Marathon yang 2 jam 15 menit ada di depan. Katanya, salah satu pacer itu bernama Melanie Putria. Bahkan sampai garis finis terlampaui, saya tidak pernah bisa mengejar mantan Putri Indonesia 2002.
In Misery
Bunderan Hotel Indonesia jadi tempat mengerikan. Karena ada proyek pembangunan MRT, jalanan menjadi sempit. Para pelari hanya bersisian satu meter dengan ban-ban besar bus Transjakarta itu. Sekali kepleset, wallaahua’lam saya tidak tahu apa yang akan terjadi.
Tetapi saya merasakan betul kalau di Jakarta Marathon ini saya tidak menghitung setiap kilometernya. Maksudnya, yang jadi patokan adalah keberadaan water station yang selalu ada dalam setiap 2,5 kilometer. Kali ini saya jarang melihat aplikasi lari untuk mengetahui tinggal berapa kilometer lagi saya harus lari.
Lelah? Tentu iya. Saya jadi teringat ini, “There is magic in misery. Just ask any runner.” Sampai di situ saya merasakan kalau Half Marathon saja sudah kayak begini apalagi yang Full Marathon.
Akhirnya dengan aplikasi lari yang entah kenapa berhenti menghitung jarak di kilometer 17 tapi masih mampu terus menghitung waktu, saya bisa finis juga dalam waktu (net time) 2 jam 19 menit 35 detik. Sedangkan berdasarkan waktu flag off atau finish time, saya butuh waktu 2 jam 26 menit 16 detik. Berarti ada selisih 7 menitan saya terlambat. By the way, tidak ada kendala dan antrian saat saya mengambil medali di refreshment area.



Bersama teman-teman DJP Runners penamat Half Marathon.
Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya ceritakan tapi cukup sampai di sini saja dulu. Yang pasti saya banyak mengambil pelajaran dari segala keriuhan di Jakarta Marathon ini. Pun, kalau mau mengambil Full Marathon benar-benar harus disiapkan segalanya. Terutama fisik dan mental. Barangkali sebagai pelari amatir, tulisan ini bukan untuk menilai bagus atau tidaknya penyelenggaraannya. Apalah awak ini?
Tahun 2018 tinggal dua bulan lagi. Akan menjadi tahun Full Marathon? Muluk? Memangnya mimpi tidak boleh? Bolehlah yah. Masak mimpi saja tidak berani? Tapi untuk mengakhiri 2017, Insya Allah saya sudah daftar untuk Half Marathon 30K Tugu to Tugu, dari Depok menuju Bogor, pada malam tahun baru. Semoga bisa.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Kuta, 1 November 2017
Semangat terus latihan untuk Tugu to Tugu, Bang..
LikeLiked by 1 person
Siap Insya Allah.
LikeLike
kereeen nih bg Riza.. Osom
LikeLiked by 1 person
Makasih…makasih…
LikeLike
T2T lari malam…… Lampu depan belakang n water bag/hydration wajib….. Peta jalan kudu hapal….
Btw selamat mas….
LikeLiked by 1 person
Siap, insya Allah. 🙂
LikeLike
sangat inspiratif nih, saya juga baru mengikuti even marathon di Makassar
salam kenal mas…
LikeLiked by 1 person
Great
LikeLiked by 1 person
sippp maz,,
LikeLike