Malam ini Kanda Dinda, aku berdiri di hadapan kalian, membaca sajak-sajak. Ini bukan sembarang sajak. Aku menulisnya di suatu malam. Sehabis hujan yang kaget. Aku ingin kita mendengarnya. Untuk diingat, untuk nanti, untuk sampai akhir masa. Pada ingatan-ingatan panjang kita.
Malam ini Kanda Dinda, 20 tahun bukan waktu yang pendek buat para pemimpi. Tapi bukan waktu yang lama buat para pecinta. Kita pemimpi dan pecinta. Mimpi untuk malam-malam kita. Cinta untuk jiwa-jiwa kita.
Malam ini Kanda Dinda, ingatkah kalian pada tebing masa ketika kita pertama kali menaiki gerbang itu. Kita kumpulan pasukan tak bertenaga tapi punya otak dan jiwa. Kita punya sesuatu untuk diperjuangkan. Mati-matian. Asa yang menggema di setiap dada.
Malam ini Kanda Dinda, ingatan kita ditaruh pada keranjang waktu ketika kita ditebarkan bagai benih, ditabur dari angkasa. Dilesakkan angin. Dibenam pada tanah harapan. Kita mendekat. Kita menjauh. Lalu menjadi apa-apa yang kita inginkan.
Malam ini Kanda Dinda, sebentuk pertanyaan datang menyeduh kepala kita. Masih berkobarkah api cita-cita ideal yang menjulang-julang, atau sudah tersiram salju realita? Rupanya merapi tantangan menyongsong di muka.
Malam ini Kanda Dinda, kita menyerah? Tidak. Kita tak menyerah. Kita melulu berdamai dengan waktu yang kita usung. Kita bongkar satu per satu batu halangan sepadan kebolehan masing-masing, Kanda. Kita manusia biasa Dinda. Tapi kita yakin Dinda, selama di dada kita bersemayam puncak jaya keteguhan, matahari istikamah, ketawakalan para rasul, manusia biasa pandai menyusun mimpi-mimpi besar dengan izin-Nya.
Malam ini Kanda Dinda, kita tak sama lagi dengan saat pertama itu. Tapi kita punya satu yang tak musnah. Persahabatan. Malam ini kita berkumpul untuk mengejanya. Diam-diam. Mengimlanya. Pelan-pelan. Meneriakinya. Keras-keras.
Malam ini Kanda Dinda, barangkali sebagian kita menjadi apa-apa, sebagian kita lainnya tidak menjadi apa-apa. Tetapi jangan pernah lupakan bahwa kita adalah teman. Karena kita merasakan mengkudu yang sama. Madu yang tak beda.
Malam ini Kanda Dinda, kita menjadi hujan yang tak pernah ingkar dengan September, Oktober, November, dan Desember. Kita menjadi merpati yang tak pernah lupa kembali ke sarang. Kita menjadi malam yang selalu ingat akan pagi.
Malam ini Kanda Dinda, tak semudah membilang kun fayakun atas wujud lempung pertemanan kita yang samudra. Badai sering datang. Tetapi kita ingat, setelahnya, selalu ada cakrawala terang benderang dan ombak yang mengantuk. Terkadang kita merenggang bagai karet. Terkadang kita menguat bagai besi.
Malam ini Kanda Dinda, kita dengarkan apa yang Ibnu Athoillah tulis berabad-abad yang lampau. Sahabat sejatimu adalah yang bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Tidak lain adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang mengharapmu bukan karena keuntungan yang dia harap darimu.
Malam ini Kanda Dinda, ujung cahaya menebas halimun pikir kita untuk satu perihal: tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Untuk itu, Malam ini Kanda Dinda, di 20 tahun yang ditaburkan angin waktu, bolehlah hamba menjadi Harun-nya Musa, Abubakar-nya Muhammad, Plato-nya Socrates buatmu, buat kalian, sampai di suatu masa. Masa yang tak bisa kita miliki lagi.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Puisi ini ditulis pada 31 Agustus 2017
Puisi ini dibacakan pada 2 September 2017 dalam acara Reuni Alumni STAN Prodip Keuangan Spesialisasi Pajak Angkatan 94-97 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.
#breakingthedistance
#reunipajak2dekade
#pajak97
One thought on “Malam Ini Kanda Dinda”