Para Penari Cilik Ranup Lampuan
di semilir hawa hutan sehabis hujan, di rentetan suara kodok-kodok bangkong nyaring bersaut-sautan dari balik rerumputan yang lelah dibasahi.
R. Almanfaluthi
Hujan terus meniduri Tapaktuan sejak sore tadi. Tak lelah-lelah manuvernya menjadi simfoni kedatangan menyambut saya dari Jakarta, pagi di hari itu. Jangan lama-lama, pinta saya dalam hati. Karena lama sedikit saja mes kami akan kebanjiran. Apalagi derasnya seperti panah yang dilesatkan dari gandiwa Dananjaya di Kurusetra.
Ya sudah, jam lima tepat saya langsung pulang. Bersama teman-teman, saya harus mempersiapkan diri agar air deras dari halaman kampus Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tapaktuan di sebelah kiri mes tidak masuk ke dalam rumah. Sedangkan kompleks kecil rumah dinas kejaksaan yang berada di sisi lain mes kami sudah tergenangi air.
Posisi tanah mereka lebih rendah daripada mes kami. Dan posisi mes kami tetap lebih rendah daripada jalanan di depan kami. Selain itu saluran got yang berujung ke laut juga kecil, tidak bisa menampung semua debit air.
Beberapa sentimeter lagi air deras dari bukit akan masuk ke dalam mes melalui pintu belakang. Kami ganjal sela-sela bawah pintu dengan apa saja yang bisa kami ganjal. Pintu depan pun sudah kami siapkan. Barang–barang di kamar masing-masing sudah dinaikkan agar tidak basah kalau memang nantinya air benar-benar sudah masuk.
Itulah yang bisa dilakukan kami saat hujan deras. Pokoknya kami harus bersiap-siap kalau hujannya tak kunjung henti selama lima belas menit. Para pluviophile (pecinta hujan) mungkin akan terlena dan terhanyut dengan suasana mendung yang ada pada saat itu.
Apalagi ingatnya tuh kalau hujan-hujan begini di pegunungan seperti di daerah Priangan. Tetes-tetes yang turun dari saung dan langit kelabu yang menaungi sawah dan perbukitan. Sambil makan jagung rebus atau bakar dengan wedang jahe terhidang di atas meja teras. Hujan tuh gue banget gitu loh. Bikin melow. Di sini tidak.
Di mes para buruh Negara yang mengumpulkan duit buat Negara sebanyak ratusan trilyun rupiah tidak ada suasana-suasana seperti itu. Apalagi mes teman-teman pelaksana yang berada di samping Kantor Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah pasti kebanjiran kalau hujan sedikit saja. Karena posisi tanahnya yang lebih rendah daripada posisi jalan. Mes kepala kantor kami pun sama. Kebanjiran juga. Dan saya dengar mereka, sore ini, memang sudah kebanjiran. Dalam sejarahnya banjir saat ini adalah banjir terparah.
Memang di Tapaktuan ini terdapat titik-titik yang biasa menjadi langganan banjir. Posisinya memang dekat bukit yang airnya turun dengan deras dan posisi tanahnya lebih rendah daripada permukaan air laut. Otomatis air senang banget ada di situ. Saya tak tahu apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan untuk menangani hal ini. Mungkin sudah banyak. Sayanya saja yang minim informasi. Tapi saya lihat banyak saluran drainase di jalanan utama Tapaktuan ini tetap begitu saja kondisinya. Tergenang air yang tidak pernah surut sehingga meluap ke jalanan.
Syukurnya ketika petang menjelang dan di tengah penantian menunggu banjir ini listrik tidak padam. Tumben. Biasanya sudah padam duluan. Jadinya kami bisa leluasa mempersiapkan segalanya. Akan parah kondisinya kalau listriknya juga padam.
Habis salat magrib ada doa yang terlantun: Allahumma shayyiban nafi’an. Ya Allah berikanlah hujan yang bermanfaat. Berulang kali kalimat itu terlontar dari mulut pendosa ini. Kalian ingat? Saat hujan deras itu adalah salah satu saat terbaik untuk memanjatkan doa? Kanjeng Nabi Muhammad saw pernah bilang, “Doa tidak tertolak pada dua waktu, yaitu ketika azan berkumandang dan ketika hujan turun.” (HR Al Hakim).
Ya sudahlah, saya memperbanyak doa pada saat itu. Salah satu doa itu agar hujan yang turun tidak menjadi musibah bagi kami melainkan sesuatu yang bermanfaat. Bukankah hujan adalah rahmat dari Allah. Hujan itu adalah nikmat. Betapa banyak orang berharap hujan di suatu daerah sedangkan di sini mengapa kami malah tidak menghendakinya? Tidak seperti itu juga. Makanya hujan tidak boleh dicela. Daripada dicela mending banyak-banyakin doa.
Alhamdulilah jam delapan malam itu hujan mulai reda. Perjalanan panjang dari Jakarta ke Tapaktuan, kemudian ngantor seharian, dan ritual penjagaan hujan membuat saya lelah. Saya bereskan kembali kasur yang sudah diangkat ke atas lemari. Saya gelar dan tiduri. Nyenyak banget tidurnya sampai dini hari baru terbangun. Merenung sejenak. Dan ingat sesuatu: bahwa penyambut saya di Tapaktuan ini adalah hujan deras itu. Bukan sebuah tarian seperti buat para tamu agung itu sebagaimana adat di sini. Ya jadi teringat memori lainnya. Di suatu waktu.
Di wajah para penari cilik Ranup Lampuan yang memerah. Yang keringatnya menjadi permata di dahi mereka. Sedikit melunturkan bedak tebal. Tugasnya baru saja selesai. Menari menyambut perempuan pengantin di depan aula. Di ujung tarian mereka membuat penghormatan terakhir, menyodorkan puan berisi sirih kepada para tamu.
Di pernikahan anak kepala kantor itu saya sempat mengambil gambar pada saat mereka beraksi. Sempat pula berfoto bersama mereka seusai menjalankan tugasnya. Bagi saya yang hidup di tengah ketidakkentalan adat daerah, tarian penuh simbol itu teramat istimewa. Walau sudah melihat tarian itu, sampai sekarang saya tak pernah mengambil dan memakan sirih yang disodorkan. Masih belum tega dan mau menyantapnya.
Ranup Lampuan ini merupakan tarian penyambutan. Dibuat oleh Almarhum Yuslizar pada tahun 1959 di Banda Aceh. Kemudian menjadi sebuah tarian khas Aceh sampai sekarang. Para penari biasanya beberapa perempuan dengan memakai baju adat Aceh. Membawa tempat sirih yang disebut puan. Biasanya ada satu perempuan yang paling cantik dan dipilih menjadi pembawa puan yang paling besar dengan warna pakaian yang berbeda dan mencolok daripada yang lainnya.
Tak hanya air kiriman dari STAI Tapaktuan yang kami dapatkan, setiap akhir pekan suara rebana terkirimkan juga ke pendengaran kami di akhir pekan di mes kami yang sepi. Suara tetabuhan yang mengiringi para mahasiswi belajar tari-tarian. Ada tari Saman yang terkenal itu dan tari Ranup Lampuan itu sendiri. Dari kejauhan sering saya melihat mereka belajar memadukan gerak. Cuma bisa melihat. Tak berani ikut nimbrung dan meliput mereka. Cuma itu ingatan ini kembara. Dan dini hari itu…
Di atas sebuah sajadah. Hanya doa yang ikut larut menjadi hujan panah yang berusaha menggores pintu-pintu langit. Agar Pemilik Pintu Langit dan Semesta memberikan secuil dari perbendaharaan kekayaannya yang mahabanyak itu. Ketenteraman hidup; kebahagiaan dalam beribadah; kesehatan diri, keluarga, dan orang tua; kesalehan anak dan istri; kasih sayang pada sesama; hidayah sampai nafas terakhir; kekuatan dan keridaan untuk bisa berbagi dan bermanfaat buat yang lain, dan masih banyak yang terlontar dari mulut serupa gandiwa tak putus-putus lesatkan panah doa.
Di saat itu, di malam gelap, di semilir hawa hutan sehabis hujan, di rentetan suara kodok-kodok bangkong nyaring bersaut-sautan dari balik rerumputan yang lelah dibasahi, ada sebentuk Ranup Lampuan menyambut saya. Agar bisa memberikan yang terbaik seharian nanti. Ia adalah…
Sebentuk hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Hangat bahagia.
Pembawa Puan dalam Sebuah Festival di Tapaktuan (Foto Pribadi).
Para Penari Ranup Lampuan, Banda Aceh (Foto Pribadi).
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 27 November 2014