LASKAR PELANGI THE MOVIE: JEMPOL KE BAWAH


LASKAR PELANGI THE MOVIE: JEMPOL KE BAWAH

 

Saya mungkin termasuk orang-orang yang tidak terpengaruh pada eforia kemunculan sebuah buku baru yang menghebohkan. Heboh di milis atau forum diskusi atau di perbincangan ala warung kopi. Karena saya berpikir bisa jadi itu hanyalah taktik pemasaran dari para penerbit untuk membuat laris dagangannya. Dan itu wajar saja.

    Oleh karenanya saya memang terlambat untuk membaca novel Ayat-Ayat Cinta (AAC). Padahal teman sudah mau meminjamkan buku itu atau versi ebooknya sudah tersimpan dalam komputer. Tapi itu tidak menggoda saya untuk membacanya segera. Baru saya baca buku itu saat filmnya sudah mulai diputar di bioskop-bioskop, saat orang mulai histeria dengan segala yang berbau AAC. Setelah menyelesaikannya saya cukup berkomentar dengan satu kata tulus, “bagus”.

Tetapi tetap saja buku itu kembali tergeletak bersama tumpukan buku yang lain. Mudah dilupakan. Tidak ada yang membekas. Bahkan tak mampu menggerakkan hati dan kaki saya melangkahkan kaki ke bioskop. Pun saat filmnya diputar di televisi beberapa waktu lalu tak mampu menahan saya untuk tetap menonton film itu dan tak mampu menahan saya untuk tidak menekan tombol remote untuk mencari saluran lain. “Tidak bagus”, itu kata tulus dari saya.

Begitu pula dengan Laskar Pelangi. Tak menggerakkan hati saya untuk segera membacanya saat pertama kali kemunculannya atau lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di mana saja, atau saat muncul dalam salah satu acara talk show, atau saat teman menawarkan bukunya untuk dibaca oleh saya setahun lalu, atau ketika ebooknya sudah bertebaran di dunia maya bahkan dengan dua novel lanjutannya yang sudah tersimpan dalam komputer atau dengan filmnya yang membuat orang harus antri hingga bapak Presiden yang terhormat sempat-sempatnya menonton di tengah riak-riak tsunami ekonomi global yang mulai menerpa republik ini. Tidak, ia tidak mampu menggerakkan hati saya.

Tapi kali ini dam kecuekan saya terhadap novel lascar Pelangi itu runtuh di suatu hari. Ya, di suatu hari, ba’da dzuhur di suatu masjid, di syawal yang masih sepi, saat teman saya terpercaya bilang mengomentari film itu, “luar biasa bagus buat anak-anak.” Ia bercerita film itu membuat anak sulungnya menangis. Dan sinyal alarm dalam diri saya langsung berdering, pekak, kalau berkaitan dengan masalah anak. Bagus buat anak-anak, empat kata itu terngiang-ngiang di telinga saya. Ah, masak?

Saya tidak bersegera untuk mengakuinya sebelum membaca bukunya terlebih dahulu—ah ini cuma alasan karena tidak dapat tiket menonton film itu selama berminggu-minggu. Tapi saya tetap menjumput buku itu. Mengamatinya perlahan dari sampulnya kemudian membaca endorsement dari berbagai orang, lalu membacanya pelan halaman demi halaman.

Biasa saja.

Tapi tidak…tunggu dulu. Menarik. Ya menarik sekali buku ini.

Tapi tidak…tunggu dulu. Imajinasi itu mulai tumbuh membawa saya tersedot ke Belitong, di masa itu.

Aih. Saya tak dapat menghentikan keinginan membacanya walaupun cuma sejenak. Tidak saya tak sanggup. Saya terus menerus membacanya. Tertawa terkekeh-kekeh hingga air mata yang mengucur dan terbanting-banting dalam alunan metaforanya. Kurang dari 24 jam saya membacanya. Dan saya jujur mengakui novel ini dengan tulus, “dahsyat man.” Inspiratif. Hasil metamorphosis dari hati. Memberi banyak perenungan.

Saya mengalami trance. Segala sesuatu yang berbau Laskar Pelangi saya cari dan tanyakan kepada Jeng Google. Tentang Belitong, Andrea Hirata, tentang Ibu Muslimah. Tayangan talk shownya saya putar ulang. Tidak berhenti sampai di situ, Sang Pemimpi (novel lanjutan Laskar Pelangi) saya libas. Apatah lagi Edensor (novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi). Maryamah Karpov pun saya tunggu-tunggu kedatangannya. Dan kalau saya bisa memberi peringkat dari tiga novelnya yang sudah ada itu maka yang terbaik adalah Laskar pelangi, Edensor kedua, dan Sang pemimpi menduduki peringkat ketiga. Pelajaran moral pertama dari ketiga novel itu: Man Jadda wa Jadaa. Siapa bersungguh-sungguh ia mendapatkannya.

Cukup di situ? Tidak, ianya membuat saya rakus membaca fiksi. Selesai trilogy itu saya baca novel lain, Kisah 47 Ronin, hingga sekarang Hafalan Shalat Delisa. Jelas sudah seminggu ini saya tidak henti-hentinya membaca sebagai sebuah kegiatan yang amat serius. Dan saya bertekad untuk terus membaca di setiap harinya (sebuah kegiatan yang sudah berbulan-bulan saya tinggalkan karena kesibukan). Pelajaran moral kedua yang bisa diambil: baca novel ini untuk bisa kesurupan dalam membaca. Halah…

Dan pada akhirnya malam itu, kami menginjakkan kaki ke tempat yang biasanya saya hindari, bioskop. Tapi lagi-lagi ini karena saya terjerambab pada empat kata di atas yang sudah saya sebutkan di awal dan dikatakan oleh teman saya itu: bagus buat anak-anak. Pula karena Andrea Hirata—penulisnya sendiri yang mengakui betapa bagusnya film itu. Lalu film Laskar Pelangi itu kami tonton.

Betul, istri saya terisak-isak saat melihat Lintang yang duduk termangu menanti ayahnya yang tak kunjung tiba dari melaut. Anak saya, Haqi pun demikian. Menangis saat Lintang pergi dari sekolah untuk selama-selamanya dengan diiringi tatapan mata sembab Bu Mus dan teman-temannya dan dari kejaran Ikal yang sia-sia untuk menahan Lintang. Lintang tidak sekolah untuk menggantikan peran ayahnya memberi makan adik-adiknya.

Tapi saya, sepanjang film itu diputar, hanya menggeleng-geleng kepala dan menyeringai sahaja. Ya, seringai kekecewaan. Kecewa karena tidak mendapatkan sesuatu sebagaimana yang diharapkan. Tidak seperti yang saya bayangkan. Filmnya tak mampu menyamakan imajinasi yang ada dalam benak. Filmnya hanya mampu digambarkan dengan jempol yang menunjuk tidak ke atas tapi ke bawah. Filmnya tak sebagaimana yang digembar-gemborkan banyak orang walaupun sarat pesan moral dan mampu membuat istri, anak sulung saya menangis. Pula mampu membuat anak kedua saya tertidur melingkar di kursi bioskop. Entah karena ngantuk atau kedinginan.

Semua subjektifitas ini saya katakan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka yang telah bersusah payah membuat film itu eksis di muka bumi. Pelajaran moral ketiga: kalau tidak mau kecewa menonton film adaptasi dari novel, jangan baca dulu bukunya.

Dan sampai saat ini cukup saya katakan trilogy Lord of the Ring, JRR Tolkien-lah yang mampu mendahsyatkan dua-duanya, novel dan filmnya.

Pak dan Mak Cik semua, itu saja dari saya. Boleh bukan kalau saya berbeda pandangan dengan kalian tentang ini. Yang pasti saya katakan novelnya amat bagus tapi tidak untuk filmnya. Kini saya masih menunggu Maryamah Karpov, menunggu jandanya kedatangannya.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

10.24 24 Oktober 2008

27 thoughts on “LASKAR PELANGI THE MOVIE: JEMPOL KE BAWAH

  1. Berbeda boleh2 aja,kok,mas. memang jarang banget film adaptasi novel yang mampu memuaskan imajinasi para pembaca novelnya. bukankah imajinasi manusia yang diciptakan oleh ALLAH itu luar biasa karna bisa sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. pun kala memandang suatu hal yang sama. urutan novel andrea hirata yang paling berkesan buat saya ternyata sama persis dengan mas riza.tapi tidak untuk kesan atas filmnya. menurut saya film ini memang bagus buat anak2 juga buat kita terutama agar sikap “Hiduplah untuk memberi sebanyak2nya,bukan untuk menerima sebanyak2nya” bisa merasuki kita semua. dengan harapan korupsi semakin berkurang, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang selalu bersikap memberi tidak hanya pasrah pada hidup yang keras dan akhirnya mengharapkan belas kasihan orang lain. menurut saya media film lebih efektif daripada buku bagi kebanyakan masyarakat kita yang kurang suka membaca. moga2 dengan filmnya juga orang jadi mau baca novelnya terus keranjingan baca yang lain jg,d :-))

    Like

  2. Aku termasuk yang nggak suka baca novel. Tp, ketidak sukaanku berakhir, ketika perpustakaan masjid menyediakan novel Laskar Pelangi Cs. jadi pinginmembuktikan pendapat teman2 yg telah membacanya. akhirnya LP cs habis kubaca. Pingin juga nonton filmya yg katanya bagus buat anak2, tp alhamdulillah di “kampung” kami tidak ada biskop #21.
    keknya mas riza demen produk holliwood nih…
    diulas dong kedahsyatan LOTR, JRR dll…maaf, tidak ada 21 di kampung saya…

    Like

  3. saya sudah lama membaca novel LP, sang pemimpi n edensor, mngkin setahun yang lalu atau lebih
    Awalnya saya kurag tertarik juga ketika akan lihat filmnya, sempat lama, cari2 informasi tentang film ini, blog2 saya kunjungi, resensi resensi saya baca. semua berkesimpulan film ini bagus.
    Pada saatnya, demi mengantar anak yan pingin diantar nonton LP. akhirnya sabtu kemaren 18 OKt berangkat juga ke XXI. Masih banyak juga yang nonton, pulangnya pun sudah banyak yang antri di depan pintu.
    Kasan tentang film LP ini……? jelek habis. jujur menurut saya gak bisa dikatakan film ini adaptasi Novel LP, hanya boleh di bilang terinspirasi dan menggunakan nama2 tokoh dan tempat di novel LP.
    Masih Bagusan Si Bolang yang ada di TP.
    menyesal pokoknya!
    Saya kira banyaknya Penonton belum menggambarkan kualitas film ini, kemungkinan besar hanya untuk mengobati rasa penasaran dan terpengaruh omongan orang.
    Kecuali ada yang nonton lebih dari 1 X, kayak film titanic dulu, banyak orang yang menonton > 1 X
    ada yang nonton >1X untuk LP the movie?
    Sayang saya baca blog ini setelah saya nonton 2 hari yang lalu. Anak saya pun yang minta nonton sudah mulai gelisah ingin keluar saat film baru diputar 1 jam.
    Tapi sound traxnya sih OK.

    Like

  4. Saya pingin lihat filmnya karena penasaran. Tapi di Pekaongan enggak ada biioskop. Enggak enak kalau nonton sendiri di Jakarta. Pinginnya bawa anak istri juga.

    Like

  5. Boleh dong berbeda, menurutku, LP the movie salah satu film terbaik dari adaptasi novel di Indonesia (saat ini yang paling baik), entah nanti. Yang membuat film ini tak sedahsyat novelnya, karena more difficult untuk menuangkan apa yang ada dalam novel yang dahsyat itu (bayangkan bagaimana caranya menuangkan perdebatan tentang cincin newton pada pemirsa yang bukan pembaca?, atau menerangkan tentang desa edensor, sehingga hanya diganti dengan kotak bergambar menara eiffel?) Jadi mungkin kita bisa lebih memahami para pembuat film ini, dan tulus mengangkat 2 thumbs anda. Susahnya kita masih menjadi masyarakat penonton, bukan pembaca. Saya sama sekali tidak suka menonton film harry potter, meskipun mengkoleksi ketujuh serinya. Tapi, at least, di film LP masih ada nilai2 yang bisa kita petik, ada semangat yang bisa kita tiru… Dan seperti kata salah seorang tokoh yang sedang rajin beriklan “Cintailah produk dalam negeri !”

    Like

  6. emang harus siap-siap kecewa nonton film adaptasi. itu yang ada dalam pikiran saya dari dulu. kepikiran jg untuk nonton filmnya dulu baru baca novelnya, tp itu ga berlaku buat LP. tips buat yang belum nonton dan terlanjur baca opini Bang Rizal, “lupakan novelnya, nikmati filmnya, menangis dan tertawalah bersama penonton lainnya.”
    @ penamedan
    “Sama seperti AAC yg kehilangan jiwanya” >>> makanya jangan nonton yang bajakan

    Like

  7. trilogi laskar pelangi memang inspiratif n keren. saya ga tau data statistiknya ada or ga, tp rasanya hrs kita akui, di indonesia budaya nonton >>> budaya baca. lgpula, tontongan bisa dinikmati rentang usia lbh lebar. regardless kualitas filmnya (no comment krn baru nonton trailernya aja) u masa sekarang, sungguh tepat mengangkat laskar pelangi ke layar lebar, (klo perlu lanjut layar kaca) untuk menyebarkan inspirasinya. ngomong2 ttg peringat: 1 sang pemimpi (aura perjuangannya kental sklgs bikin nangis n ngakak di saat yg sama). 2 laskar pelangi (alur lambat), 3. edensor (cerita org gede sih, ga bgitu terkesan)

    Like

  8. perbedaan pendapat memang boleh, tapi selama ini jarang sekali hasil karya film yang adaptasi dari novel bisa persis seperti di novel. tapi hal-hal tersebut janganlah mematikan kreativitas orang indonesia. bahkan menurut saya film tersebut yang bagus adalah usaha anak2 pribumi belitong sana yang memerankan tokoh2 tersebut semaksimal mungkin yang notabene belum pernah berakting. kritik boleh-boleh saja tapi lebih baik kita berkarya dengan begitu kita bisa tahu rasanya menghasilkan sebuah karya dari pada hanya omong saja.

    Like

  9. menurut saya memang filmnya tak mampu membangkitkan emosi seperti saat kita membaca novelnya. hal tersebut lebih karena akting para pemain laskar pelangi yg kurang menghayati perannya. seperti tokoh A Kiong, A Ling, Sahara dan bahkan Ikal. satu satunya pemain anak yg bermain bagus cuma verrys yamarno yg berperan sbg mahar. aktingnya bagus dan alami. selebihnya, tokoh yg lain terutama tokoh dewasa seperti ikranegara, slamet raharjo, alex komang, cut mini, mathias muchus, sudah berperan sangat bagus. itu membuat film ini mampu menyedot emosi sebagian penonton (kecuali saya mungkin, tapi saya pikir ini sangat subyektif)

    Like

  10. tadinya malas banget tuch baca LP, tanpa sengaja saya beli 2 buku , aac teman yang bca n lp aku yang baca, gila aaa sedih aduh setiap hari saya baca, jadi teman tidur entah dimana-mana saya hanya mau beli koran tabloit yang ada lp

    Like

  11. Menurut saya wajar angkat 2 jempol untuk film ini (beda boleh khan..). Pertama untuk adaptasi novelnya walaupun masih ada kekurangan tetapi dibandingkan film lain (produksi dalam negeri tentunya) yang ini adalah yang terbaik.
    Kedua untuk kerja keras kru dan bintang-bintang cilik yang asli Belitung sana menampilkan film yang ceritanya dituntut agar sesuai novel (termasuk sisi emosionalnya.. ini yang gak mungkin 100% ditransfer ke bahasa film)
    Buat anak saya yang diajak nonton dia paling ingat ketika tokoh Lintang pergi ke sekolah dihadang buaya tetapi tidak pernah menyerah, Gak mungkin anak saya yang SD membaca novel tebel, dia hanya ingat filmnya.

    Like

  12. berbeda pendapat tentu sah sah saja. Bagi yang sudah membaca novel nya hampir bisa dipastikan sedikit kecewa menyaksikan filmnya, itu kan wajar karena para pembaca itu sudah mempunyai ‘film’ sendiri dlm imajinasinya masing masing. Dan hal ini bukan cuma dlm film LP aja, film2 adaptasi yg lain spt AAC (sinetron banget siy), Hary Potter, juga bgitu. Tapi apresiasi saya tetap terlontar kepada film ini untuk pesan2 moral yg disampaikannya seperti ‘hiduplah untuk memberi sebanyak2nya bukan untuk meminta’, kesederhanaan, kegigihan, semangat berjuang dsb. Secara umum memang kualitas film ini masih kurang (misalnya, setting, kan susah ya melukiskan keadaan 30 thn yl kalee, alurnya juga kesannya kok loncat2, kl yg belum baca novelnya bingung ngikutin alurnya..sekuelnya jg kadang terputus2..) jadi bener juga kata bang riza, pelajaran moral yg bisa kuambil juga gini : jgn baca novelnya dulu kl pingin mnikmati filmnya..hehe.
    Anyway….go go go sineas indonesia, teruslah berkarya menciptakan film2 yg bermutu seperti LP ini. Sudah lelah rasanya hidup dituntun oleh film2 and sinetron2 GAK MUTU…

    Like

  13. saya kasi 4/5 untuk film ini, bukunya juga. saya belum baca novel 2 dan 3nya. masih gandrung metropop hehehehe
    yah.. daripada nonton film indonesia yang bersamaan rilis: chika n barbie..ampun deh..

    btw, suami saya bilang, filmnya denias lebih bagus.. betul gak ya? sy belum nonton denias…

    Like

  14. ouw, begitu ya pak… Padahal saya juga belum nonton pilemnya en baca nopelnya juga baru sekitar 50%. Jadi gimana nih? mending lanjutin baca nopel or nonton pilemnya. *binun*

    thanks, atas resensinya.

    Like

  15. udah nanya ma anak istri belum mas kenapa mereka menangis? biar lebih objektif nanya juga sama si dede’ yang ketiduran..
    review mas bagus, terutama yang ini :”tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka yang telah bersusah payah membuat film itu eksis di muka bumi.”…^_^

    Like

  16. pertama makasi bgt suamiku tercinta..shg aku bs baca blog ini..ttg LP…aku ga bisa komentar banyak..kalo baca novelnya..berapa kalipun aku baca..aku tetep bisa kesurupan! andrea emank bener2 inspirator buat semua pembaca novelnya..memank membaca novelnya lain bgt kalo kita tonton filmnya..lebih seru baca krn kita bisa ber imajinasi sendiri..dan filmnya kemarin aku tonton bersama anak sulungku…dia cuma heran liat aku nangis…dan terus bertanya kenapa aku nangis..tapi pas giliran si lintang cerda cermat dan cakap menjawab soal2..anakku mpe hampir berdiri dr duduknya saking senengnya dia..akhirnya itu menginspirasi dia buat belajarnya..hebat kan mampu mebuat anak umur 6th jadi semangat belajar dan kalo capek belajar kita ganti cara belajar ala cerdas cermat si lintang..dijamin kita yg kuwalahan temenin dia belajar mpe malem..pokoknya yg blm baca bukunya segera beli..yg blm nonton buruan ajak keluarga nonton filmnya…dijamin bisa mengaduk2 emosi kita..bener2 ceritaa yg merasuk ke dalam jiwa pembacanya..ga sabar nunggu maryamah karpov..tau ga 2 novel koleksiku itu mpe dibawa suamiku ke carribian dan 1 lagi dibawa keliling eropa ma adikku ..mrk yg penasaran..aku yg kangen sekali baca lagi novel2 itu…jadi cepet pulang suamiku cepet kubaca lagi novel favoritku…he he he

    Like

  17. Saya setuju dengan “Pelajaran moral ketiga: kalau tidak mau kecewa menonton film adaptasi dari novel, jangan baca dulu bukunya”..Hampir semua film Indonesia yang dibuat berdasarkan novel hasilnya kurang memuaskan..
    Karena itu g usah baca dulu bukunya…
    hehehe

    Like

  18. kalo aku lebih suka baca novelnya dulu…baru nonton filmnya….imajinasi di film terbatas…lebih suka baca dulu..terserah filmnya mau seperti apa….

    Like

Leave a reply to salsa Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.