CARA AJAIB AGAR PERKATAAN ANDA DIDENGAR DAN DITAATI


CARA AJAIB AGAR PERKATAAN ANDA DIDENGAR DAN DITAATI

Saya pernah membaca kisah di bawah ini. Entah kapan. Tetapi sepertinya sudah puluhan tahun lampau. Entah pada saat saya di sekolah dasar atau pada saat saya sedang kuliah. Namun itu tak penting. Yang penting adalah pati kisah itu melekat kuat di benak saya. Kuat sekali. Kisah sebuah keteladanan.

    Sabtu sore, saya sedang menulis sesuatu. Kebetulan terkait masalah kemunafikan. Lalu saya ingat kembali kisah itu. Tetapi karena khawatir jalan ceritanya menyimpang, saya tunda untuk menuliskannya.

    Saat jelang maghrib, saya melihat sebuah majalah wanita. Saya iseng mengambil dan membolak-balikkan halamannya. Kali saja saya dapat materi yang bagus untuk saya transfer dan bagi kepada jama’ah masjid. Kemudian mata saya terantuk pada sebuah rubrik yang diasuh oleh Ustadz Musyafa Ahmad Rahim yang membahas hadits Ar’bain nomor 28.

Subhanallah, kebetulan luar biasa, di sana ditulis juga tentang kisah yang saya ingin tulis, kisah yang sudah lampau sekali terekam dalam memori saya dan saya temukan kembali. Saya langsung ingin menceritakannya pada Anda semua Pembaca, semoga bermanfaat.

Diceritakan bahwa Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang ulama tabi’in, dikenal seorang ulama yang mau’izhahnya sangat berkesan. Saat dilakukan penelusuran dan penelitian, ternyata rahasianya adalah kesesuaian antara ucapan dengan perbuatannya.

Pada suatu hari sekumpulan hamba sahaya mendatangi Al-Hasan Al-Bashri, mereka meminta kepadanya agar dalam forum mau’izhah mendatang beliau berbicara tentang keutamaan memerdekakan budak. Harapan mereka, para pendengar mau’izhahnya yang banyak dari kalangan para tuan mereka, akan langsung memerdekakan para hamba sahayanya. Mendengar permintaan tersebut, Al-Hasan Al-Bashri menjawab, “Insya Allah.”

Ternyata saat majelis mau’izhah dibuka, dia tidak menyampaikan keutamaan memerdekakan budak. Maka para hamba sahaya itu mendatanginya lagi dan mengulangi permintaan yang lalu. Al-Hasan Al-Bashri menjawab permintaan mereka dengan mengatakan, “insya Allah.” Dan saat forum mau’izhahnya dibuka, dia pun tidak menyampaikan tema keutamaan memerdekakan budak. Dan para hamba sahaya itu mendatanginya lagi dan mengulangi permintaan mereka sebagaimana yang lalu.

Pada saat waktu mau’izhahnya tiba, Al-Hasan Al-Bashri menyampaikan tema keutamaan memerdekakan budak. Benar saja para tuan yang hadir dalam forum itu langsung memerdekakan hamba sahaya mereka. Dan jadilah mereka manusia-manusia merdeka.

Para hamba sahaya yang telah menjadi manusia merdeka itu pun mendatangi Al-Hasan Al-Bashri lagi. Mereka mengucapkan terima kasih sekaligus celaan, kenapa tidak dari awal Al-Hasan Al-Bashri menyampaikan mau’izhah tentang keutamaan memerdekakan budak. Kalau demikian, niscaya mereka telah menjadi manusia merdeka sejak kemarin-kemarin.

Maka Al-Hasan Al-Bashri menjelaskan, bahwa waktu mau’izhah pertama tiba, dia belum mempunyai uang untuk membeli budak. Begitu juga saat mau’izhah kedua. Baru menjelang majelis mau’izhah yang ketiga, dia mempunyai cukup uang untuk membeli budak. Lalu di depan khalayak, ia langsung memerdekakan semua budak yang dibelinya. Setelah itulah dia baru bisa berbicara tentang keutamaan memerdekakan budak. Subhanallah. (Majalah Ummi No1/XXII/Mei 2010/1431 H)

**

Saya mengambil sari yang mudah dicerna buat para sahabat-sahabat saya di lingkungan rumah saya dan tentunya buat saya pribadi juga, karena ini merupakan nasehat besar. Bahwa kalau ingin perkataan kita didengar dan ditangkap dengan baik oleh istri dan anak-anak—sebagai kumpulan individu yang paling dekat–kita, maka selaraskanlah antara perkataan dan perbuatan.

Ya, bagaimana menginginkan anak kita ketika adzan maghrib terdengar, mereka langsung mematikan televisi, play station, komputernya untuk segera berbondong-bondong ke masjid sedangkan diri kita cuma bisa menyuruh dan masih saja menikmati acara televisi?

Atau bagaimana menginginkan anak kita tidak merokok, sedangkan diri kita masih mempertontonkan nikmatnya klepas-klepus di depan mereka? Dan bagaimana mungkin menginginkan istri-istri kita menjadi sholihah, sedangkan kita malas untuk mendatangi halaqah, majelis dzikir, dan majelis ilmu lainnya?

Ohya, ibarat motor selain diisi dengan pertamax maka perlu ditambah pula dengan cairan suplemen agar larinya bisa sekencang mungkin. Begitu pula agar perkataan kita bisa didengar lebih berbobot dan mantap lagi oleh pasangan hidup dan anak-anak kita, selain menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan, maka ada satu suplemen pelengkapnya: Shalat Malam.

Ya betul, pada saat shalat malam itu Allah menurunkan kepada para pelakunya perkataan yang berat. Insya Allah semua akan mendengar perkataan kita dan meresapinya dalam hati. Saya berharap Anda dan saya bisa menerapkannya.

Kiranya para pemimpin di republik ini perlu juga menerapkan cara ini agar perkataannya bisa didengar, diikuti, dan tidak dilecehkan oleh masyarakatnya sendiri. Tak perlu buang uang untuk membeli suara rakyat saat pemilihan umum tiba. Tak perlu bayar mahar atau pergi ke dukun untuk buka-bukaan aura segala. Inilah sebuah cara ajaib untuk menundukkan hati.

Demikian. Semoga bermanfaat.

*** )I(***

 

Mau’izhah atau al-wa’zhu adalah nasehat dan pengingatan tentang suatu akibat atau akhir dari kejadian atau kesudahan dari sebuah perjalanan.

    Maraji’: Al-Muzzammil ayat 5, Majalah Ummi No1/XXII/Mei 2010/1431 H

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

03.49 11 Mei 2010