BASSE, BAHIR, LAPAR


 

BASSE, BAHIR, LAPAR

                Pagi itu masih dingin. Taujih yang disampaikannya membuat semua yang ada di ruangan tertegun. Di selanya ada isak tangis dan air mata yang mengalir. Sebuah keharuan menyeruak dan mengeliminasi segala keegoan dan menyublim menjadi sebuah perenungan tentang kepedulian.

                Ia bercerita, “Sore kemarin saya membeli ayam bakar karena tidak ada lauk yang dimasak sendiri pada hari itu. Dengan sepiring nasi yang banyak dan potongan dari ayam bakar yang paling saya sukai, saya memulai acara peningkatan gizi itu dengan menonton televisi dan mencari acara yang bagus.”

                “Tapi saat itulah saya terpaku pada sebuah pemberitaan dari Makassar. Pemberitaan yang sungguh ironi dan membuat saya tidak enak hati untuk menghabiskan makanan itu. Betapa tidak, ketika saya makan, pemberitaan adanya ibu yang sedang hamil tujuh bulan dan anaknya yang balita tewas dan satu anaknya yang lain masih kritis di rumah sakit karena kelaparan, membuat saya tersentak,” lanjutnya lagi.

                “Allahu Rabbi.  Saya melihat sendiri dari tayangan betapa sosok ibu itu terbujur kaku. Mereka sudah tidak makan selama tiga hari. Dan kata tetangganya lagi keluarga itu memang jarang makan teratur. Suami ibu itu pun cuma tukang becak.”

                 Semua yang mendengar perkataannya terdiam dan menundukkan kepala. “Saya menjadi marah, sedih, bercampur aduk. Ada apa dengan negeri kita yang tercinta ini yang banyak dikatakan orang luar negeri sebagai negeri yang kaya dan makmur karena sumber daya alamnya. Apalagi keluarga itu mati di daerah yang disebut sebagai lumbung pangan. Allohuakbar. Lalu ke mana para tetangganya? Lalu ke mana para aghniyanya?  Lalu ke mana saudara-saudara muslimnya? Lalu ke mana para aparat pemerintahnya? Lalu ke mana para wakil rakyatnya? Lalu ke mana para pemimpinnya? Tidakkah mereka semua akan dimintakan pertanggungjawabannya?” tanyanya sambil mengusap air mata yang deras mengucur.

                Mendengar dan melihat kegelisahannya tentang sebuah pertanggungjawaban, saya yang hadir dalam pertemuan pekanan itu menjadi teringat kembali sebuah perkataan yang diungkapkan oleh calon kandidat Gubernur Jawa Barat yang saat itu sedang bersilaturahmi di daerah kami. “Sungguh jabatan dalam pengertian kami adalah sebuah amanah yang nanti akan dimintakan tanggung jawabnya oleh Allah swt. Saya tidak memintanya dan sungguh banyak teman-teman saya yang tidak mau untuk dipilih menjadi calon karena besarnya amanah itu.”

“Hanya karena syuralah sehingga saya ditunjuk maju untuk memenangi dakwah ini. Sungguh, bapak-bapak, Ibu-ibu, nanti saya akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah di padang mahsyar nanti bila rakyat yang saya pimpin tidak bisa makan, rakyatnya tidak bisa sekolah dengan baik, tidak bisa diberikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan. Bahkan jikalau ada kerbau yang kakinya keseleo karena jatuh di jalan yang rusak  berlubang, saya pun akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah.”

Saya merenung tentang peran kita sebagai manusia. Kita adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan bertanggung jawab dalam keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pegawai adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya.  

Saya mendengar kembali apa yang ditaujihkannya di pagi itu yang isaknya sudah mulai reda, “Saudara-saudaraku semua, saya mengajak pada diri saya sendiri dan Antum semua untuk memasang telinga, membuka mata, dan hati kita agar bisa merekam peringatan dini yang disampaikan oleh kerabat dan tetangga terdekat kita di lingkungan masing-masing agar tidak sampai terjadi hal yang demikian. Bahkan kita perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap mereka-mereka yang karena izzah atau kemuliaan dirinya tidak mau untuk tangannya berada di bawah. Merekalah yang seharusnya patut kita nafkahi.”

“Semoga ini bermanfaat bagi Antum semua dan menyeruak kesadaran kita agar senantiasa peduli. Dan saya tidak akan membiarkan ini terjadi pada kita, maka jikalau Antum punya kesulitan dalam masalah penghidupan jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi saya,” katanya mengakhiri.

                Ah, sungguh dengan keimanan yang kokoh dan akarnya menghunjam ke bumi akan berdiri sebuah bangunan kebaikan di atasnya. Bangunan penyebaran kemanfaatan kepada sesama. Maka agar bangunan itu senantiasa indah dipandang mata memperbaharui keimanan itu adalah sebuah keharusan. Karena iman di dada pada keturunan anak Adam adalah keimanan yang naik dan turun. Dan sensitivitas pada kebaikan, peka pada permasalahan sosial adalah berpangkal pada keimanan yang kokoh itu. Tidak akan mungkin bagi mereka yang tak mempunyai keimanan akan merasakan sebuah sensitivitas yang membuatnya menangis saat melihat fenomena sosial yang melanda negeri ini dan tidak tergerak untuk beraksi nyata.

                Kawan, senantiasalah waspadalah pada kehidupan kita akan sebuah kepastian bernama kematian. Siap atau tidak itu akan membawa kita pada suatu kenyataan amal apa yang telah kita persiapkan untuk menjadi teman kita di alam kubur sambil menanti kiamat yang entah kapan akan datangnya. Seorang yang berwajah rupawan dan itu adalah amal kebaikan kita di saat masih hidup atau sebaliknya? Maka meneguhkan keimanan kita adalah sebuah keharusan. Tak perlu bermuluk-muluk dengan amal yang besar. Sekadar memberi petunjuk kepada kebaikan maka pahala yang diraih sama saja dengan orang yang melakukan kebaikan itu, percayalah. Dan cukuplah sudah dikatakan bukan muslimin di kala kita tidak memperhatikan urusan kaum muslimin lainnya.

Maka tidaklah mungkin seorang beriman yang teguh ia akan tidak peduli kepada saudaranya yang lain. Tidaklah mungkin terjadi peritiwa di atas jikalau pemimpin yang ada di sana atau di sini begitu sadar dan paham tentang beratnya sebuah amanah. Aih…

Kawan, semoga kekayaan kita tidak akan sampai melupakan tetangga-tetangga kita yang kelaparan. Semoga butiran nasi ditambah lauk terlezat yang kita telan tidaklah sampai membutakan mata hati kita pada erangan saudara-saudara kita yang sakit dan tak punya uang untuk berobat ke dokter atau dirawat di rumah sakit. Semoga apa yang kita miliki membuat keberkahan bagi kita sendiri dan apatah lagi buat sekitarnya. Semoga menjadi pembelajaran.

 

Untuk Ibu Basse, Adik Bahir, dan Calon Adik, semoga Allah melapangkan Anda semua.

 

https://dirantingcemara.wordpress.com

dedaunan di ranting cemara

riza almanfaluthi

16:13 03 Maret 2008

  

SEKOLAH GRATIS (BENERAN) BUAT ANAK YATIM


Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhIkhwatifillah, jikalau Antum semua punya kenalan atau tetangga yang mempunyai anak yatim atau dhu’afa dan orang tuanya tidak mampu untuk menyekolahkannya maka saya tawarkan kepada antum semua agar mereka bisa SEKOLAH GRATIS dan mampu untuk menghafal Al qur’an. Sekali lagi tanpa dipungut biaya sama sekali. Juga berijazah SMP Terbuka nantinya. Walaupun si anak yatim ini tidak bisa baca Al-qur’an tidaklah mengapa untuk masuk ke dalam pesantren tersebut, yang penting dan dibutuhkan sekali adalah KESUNGGUHAN MEREKA SAHAJA.

Sekolah Gratis ini diadakan oleh Pesantren Yatim & Dhu’afa Baitul Qur’an yang dikelola oleh Dr. Mushlih Abdul Karim Pimpinan Islamic Center Baitul Qur’an dan beralamatkan di: Tempat PendaftaranKompleks Timah Blok CC-III No.21, Kelapa Dua, Tugu, Cimanggis, Depok 16951 Jawa Barat Telepon: 021-8770 4622, 8770 8070 Faksimili: 021-8770 1338. Syarat Pendaftaran:1.      Lulus SD/MI (Untuk saat ini hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki)2.      Usia tidak lebih dari 14 tahun3.      Mengisi formulir pendaftaran dengan melampirkan:          Fotokopi Ijazah;          Fotokopi Akta Kelahiran          Surat Keterangan Yatim atau Dhu’afa dari RT atau Kelurahan;          Pas Foto 3 x 4 ( 4 lembar) Waktu PendaftaranSenin s.d. Jum’at Pukul 08.00-16.00 WIB Dari Bulan Maret – Juni 2008 Test PendaftaranSelasa, 1 Juli 2008 Pengumuman Hasil TestSabtu, 5 Juli 2008  Sekilas Pesantren Yatim dan Dhu’afa Baitul Qur’anAdalah sebuah lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan yayasan Baitul Qur’an Indonesia yang terletak di Komplek Timah, kelapa Dua, Tugu, Cimanggis, Depok, Jawa Barat.Dan merupakan pesantren yang khusus mengasuh, mendidik, dan membina anak yatim dan dhu’afa secara terprogram, di mana seluruh santri tinggal dalam asrama dengan program utama menghafal Al-Qur’an 30 juz & terjemahannya. VisiMembina anak didik menjadi generasi Qur’ani MisiMemberikan pengasuhan, pendidikan, pembinaan kepada anak didik agar tumbuh menjadi generasi Qur’ani. Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penanganan anak yatim dan dhu’afa.Mengangkat harkat dan derajat anak yatim dan dhu’afa sehingga mendapat pendidikan dan kehidupan yang layak. Kurikulum Pesantren Baitul Qur’an          Hafalan Al-Qur’an 30 Juz dan terjemahannya;          Akidah dan Akhlak;          Hadits;          Fiqih;          Sirah Nabawiyah          Bahasa ArabSMP Terbuka          Bahasa Inggris          Bahasa Indonesia          Matematik          IPAKegiatan Lainnya          Outbond          Rihlah SEGERA DAFTARKAN ANAK YATIM YANG ANTUM KENAL  Jikalau Antum semua mau menjadi tetangga Rasulullah SAW di jannah-Nya Allah sebagaimana Nabi-Nya berkata:  Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini. (HR Al-Bukhari) maka Antum bisa menyalurkan zakat, infaq, dan shadaqahnya maupun aset produktif lainnya untuk pengembangan lebih lanjut pesantren ini melalui: Bank Syariah Mandiri Cabang DepokNo. rekening: 0617045147a.n. Ponpes Yatim Baitul Qur’an atau  Diantar langsung ke Pesantren Yatim & Dhu’afa Baitul Qur’an. Semoga amal antum diterima Allah. 

 

 Ohya sekadar pemberitahuan saja, saya bukanlah pengurus dari Pondok Pesantren dan yayasan ini.  Saya cuma sekadar kenal pengasuh pondok ini. Dan hanya berkeinginan informasi berharga ini bisa sampai kepada khalayak ramai tentang adanya pendidikan gratis ini. Semoga bermanfaat. Sebarkan jika ini dianggap penting dan Anda peduli dengan PENDIDIKAN GRATIS di Republik Indonesia yang tercinta ini. Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.  Riza Almanfaluthidedaunan di ranting cemara14:58 29 Februari 2008

JIKA KOMITMEN ANDA LURUS


JIKA KOMITMEN ANDA LURUS

 

Ikhwatifillah di era keterbukaan seperti ini, di saat para ikhwah memikirkan bagaimana wasilah dakwah ini memenangkan kebenaran melalui kekuasaan maka saya jumpai beberapa hal yang kurang berkenan dalam hati saya sehingga membuat saya berpikir kembali tentang adanya pertolongan Allah. Bagaimana  mungkin pertolongan Allah akan datang jika kita tidak memenuhi syarat-syaratnya. Lalu pertolongan itu hanya menjadi sekadar utopia.

Adzan berkumandang syura jalan terus. Syura yang terkadang diselingi dengan ghibah, dan tanpa ruh. Syura yang sampai dini hari tetapi sholat malam terlewatkan dan di kala shubuh menjelang menjadi orang-orang yang terlelap di balik selimut yang menghangatkan tubuh.

Kemalasan dalam mengikuti syura, kehilangan orientasi dalam berdakwah sehingga tidak mengerti mengapa kita dulu yakin dengan dakwah lalu sekarang tidak? Lalu menggugat peran Anda dalam dakwah yang sekadar prajurit –yang menurut Anda adalah jongos murabbi dari perbedaan kasta antara sebutan kader khas dan selainnya. Lalu mana ekspresinya…? Ekspresi Anda dalam berkomitmen terhadap dakwah ini.

Bolehlah Anda semua syura sampai jam tiga pagi tetapi Anda tetap harus menjadi prajurit-prajurit yang tetap mengisi waktu malam-malamnya dengan satu dua rakaat qiyamullail. Dan Anda tetap sebagai prajurit yang paling awal datang di masjid terdekat rumah Anda, yang berdiri di shaf terdepan lalu mengumandangkan adzan shubuh yang menggetarkan hati. Lalu Anda tetap sebagai prajurit profesional yang berangkat di pagi buta untuk melasanakan pekerjaan kantor Anda. Dan Anda tetap menjadi teladan bagi teman-teman Anda di kantor. Jika tidak? Raguilah komitmen Anda!

Dan saya menemukan taujih yang sangat berharga dari sebuah buku yang ditulis oleh Muhammad Abduh yang dalam terjemahannya buku tersebut berjudul Komitmen Da’I Sejati. Dan akan saya sampaikan kepada Anda semua ulasan yang menggigit kesadaran Anda dan saya ini.  

Ikhwatifillah keputusan Anda untuk bergabung dalam gerakan dawah menuntut Anda untuk senantiasa meluruskan dan memperbarui komitmen Anda supaya tidak ada lagi awan keraguan yang menyelimutinya. Dalam setiap amal dan aktivitas yang dilakukan, seharusnya Anda senantiasa mengingat bahwa Anda telah terikat dengan prinsip-prinsip dakwah dan dituntut untuk selalu istiqomah dengan semua aturan dan tata tertibnya.

Terutama ketika Anda mengetahui bahwa dakwah yang digelutinya bersifat islami, yang mengadopsi prinsip-prinsipnya dari peraturan-peraturan Allah dan undang-undang langit. Saat itu Anda sebagai prajurit dakwah harus menyadari bahwa banyak konsekuensi dan amanah yang harus ditunaikannya dengan sempurna.

JIka komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka tidak akan, Anda dan teman-teman Anda, berguguran di tengah jalan. Dakwah akan terus melaju  dengan mulus untuk meraih tujuan-tujuannya dan mampu memancangkan prinsip-prinsipnya dengan kokoh.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, niscaya hati sekian banyak orang akan menjadi bersih, pikiran mereka akan bersatu, dan fenomena ingin menang sendiri saat berbeda pendapat akan jarang terjadi.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka sikap toleran akan semarak, rasa saling mencintai akan merebak, hubungan persaudaraan semakin kuat, dan barisan para da’i akan menjadi bangunan yang berdiri kokoh dan saling menopang.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka Anda tidak akan peduli saat ditempatkan di barisan depan atau belakang. Komitmen Anda tidak akan berubah ketika ia diangkat menjadi pemimpin yang berwenang mengeluarkan keputusan dan ditaati atau hanya sebagai jundi yang tidak dikenal atau tidak dihormati.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka hati Anda akan selalu lapang untuk memaafkan setiap kesalahan saudara-saudara seperjuangannya, sehingga tidak tersisa tempat sekecil apa pun untuk permusuhan dan dendam.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka sikap toleran dan saling memaafkan akan terus berkembang sehingga tidak ada momentum yang akan menyulut kebencian, menaruh dendam, dan amarah. Namun sebaliknya, semboyan yang diusung bersama adalah, “saya sadar bahwa saya sering melakukan kesalahan, dan saya yakin Anda akan selalu memaafkan saya.”

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka tidak mungkin terjadi kecerobohan dalam menunaikan kewajiban dan tugas dakwah. Namun yang terjadi adalah fenomena berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dan bersungguh-sungguh untuk mencapai derajat yang lebih tinggi.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka Anda akan sangat menghargai waktu. Bagi setiap da’i tidak ada waktu yang terbuang sia-sia karena Anda akan selalu menggunakannya untuk beribadah kepada Allah di sudut mihrab, atau berjuang melaksanakan dakwah dengan menyeru kepada kebaikan atau mencegah kemungkaran. Atau menjadi murabbi yang gigih mendidik dan mengajari anak serta istrinya di rumah. Da’i yang aktif di masjid untuk menyampaikan nasihat dan membimbing masyarakat.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka setiap Anda akan segera menunaikan kewajiban keuangan untuk dakwah tanpa dihinggapi rasa ragu sedikitpun. Semboyannya adalah: “apa yang ada padamu akan habis dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.”

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka setiap Anda akan patuh dan taat tanpa merasa ragu atau bimbang. Di dalam benaknya, tidak ada lagi arti keuntungan pribadi dan menang sendiri.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka dari diri Anda akan muncul fenomena tadhhiyah (pengorbanan) yang nyata. Tidak ada kata “ya” untuk dorongan nafsu atau segala sesuatu yang seiring dengan nafsu untuk berbuat maksiat. Kata yang ada adalah kata “ya” untuk setiap perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus, maka setiap Anda akan menaruh kepercayaan yang tinggi kepada para pemimpin fikrah. Setiap Anda akan melaksanakan kebijakan pimpinan Anda  dan menegakkan prinsip-prinsip dakwah di dalam hati Anda.

Jika komitmen Anda terhadap dakwah benar-benar tulus,  maka setiap diri Anda yang kurang teguh memegang komitmennya akan menangis, sementara yang bersungguh-sungguh akan menyesali dirinya karena ingin berbuat lebih banyak dan berharap mendapat balasan serta pahala dari Allah.

Kini saatnya Anda mulai berkaca diri. Sudahkah komitmen itu lurus tanpa sedikitpun melenceng? Jika tidak, Anda sangatlah layak untuk menelanjangkan diri Anda dari sebutan sebagai prajurit-prajurit dakwah yang hanya membuat syirik kecil di hati Anda semua itu.  Rasa kagum dan bangga Anda terhadap dakwah ini tidaklah cukup menjadi indikator afiliasi dan positif bagi Anda jika komitmen terhadap semua yang disebutkan di atas hanya di atas kertas dan cuma berada di kepala Anda semata tetapi minim dari aplikasi nyata. Jikalau demikian dakwah sungguh tidak butuh Anda dengan sekepasitas itu! Jangan pernah menjadi keledai yang tidak tahu manfaat dari buku-buku yang digendong di pundaknya.

Ikhwatifillah saatnya Anda pertanyakan kepada diri Anda sekarang. Luruskah komitmen Anda itu? Jika ya, jangan ragui itu.

Innamal mu’minuunal ladziina aamanuu billaahi warasuulihi tsumma lam yartaabuu…

(sesungguhnya orang-orang beriman hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasulnya, kemudian mereka tidak ragu-ragu…)

***

  

Maraji’: Komitmen Da’i Sejati, Muhammad Abduh

Riza Almanfaluthi

dedaunan diranting cemara

Term Anda di atas = bisa juga diartikan “saya” sebagai bahan muhasabah buat diri saya.

08:20 21 Februari 2008

        

Telan Obat Itu, Maka Anda Bahagia


Anda stres hari ini? Atau Anda bangun dengan kemarahan masih menggumpal di dada? Masih ada semangat kesumat yang menggelora dan butuh pelampiasan sebagai obatnya? Anda masih bertengkar dengan istri dan anak Anda? Ada kesedihan dan beban hidup yang amat berat yang kiranya sulit untuk dihapuskan segera? Sepertinya semua kesulitan hidup ada pada diri Anda hari ini? Dan Anda tidak bahagia?

Saya ingin berbagi pada Anda obatnya yang Insya Allah akan menghapus semua itu dengan segera, minimal menjadi awal dari runtuhnya bukit ketidakbahagiaan Anda itu. Anda mau tahu? Ya, saya yakin Anda ingin tahu sekali tentang itu.

Saya beritahu Anda sekarang: Berbuat baiklah. Anda mestinya bertanya: “Kapan saya harus melakukan perbuatan baik itu?” Sekarang juga, jangan ditunda-tunda. Anda ketika sakit tentunya ingin menghilangkan rasa sakit itu dengan segera entah dengan meminum obat penghilang rasa sakit, atau antibiotiknya. Kini semua ketidakhbahagian Anda itu adalah rasa sakit yang diderita oleh jiwa Anda. Maka kalau Anda ingin sembuh dari ketidakbahagiaan Anda sekarang, minum obat itu, berbuat baik.

Bukankah berbuat baik itu adalah paradigma memberi? Ya, dan paradigma Anda tentang Anda sakit maka Anda berhak untuk menerima segala pemberian kiranya perlu diubah. Yakinlah Anda tidak akan pernah “take” ketika Anda tidak pernah “give”. Kini perilaku “give” menjadi motor dalam menggerakkan Anda untuk menelan obat yang bermerek berbuat baik itu. Anda akan “take” berupa energi positif penyembuhan ketidakbahagiaan Anda. Kata seorang penulis buku terkenal, memberi itu sama saja artinya dengan memberikan kehidupan bukan saja kepada orang lain melainkan kepada diri Anda sendiri.

Dan Anda tidak perlu berpikir bahwa Anda harus terlebih dahulu melakukan sesuatu yang besar-besar dalam berbuat baik itu? Memang betul perbuatan baik yang besar setidaknya akan memberikan energi positif yang amat besar pula. Tetapi ketika Anda dalam keadaan darurat, dan belum bisa melakukan perbuatan baik yang amat besar itu, semisal sholat, puasa, zakat, dan haji—entah karena waktunya belum tiba dan hal lainnya—maka apa yang Anda harus lakukan sekarang juga?

Anda harus melakukan perbuatan baik yang kecil-kecil saja dahulu. Ya, kecil-kecil saja dulu. Apa contohnya? Tegakkan kepala Anda yang tertunduk seperti pecundang itu. Lengkungkan bibir Anda yang tertekuk ke bawah itu ke atas. Dan tebarkan kepada siapa saja yang Anda jumpai. Ya, tersenyumlah Anda. Sekarang juga. Dan Anda sudah menelan obat anti ketidakbahagiaan itu. Tidak keluar uang sedikit pun.

Obat yang bernama berbuat baik itu tidak seperti obat-obat yang lain. Ia tidak ada batas dosis maksimal seperti obat-obat materi yang lainnya, yang kudu Anda telan dua kapsul tiga kali sehari misalnya. Tidak, tidak seperti itu. Semakin sering obat bernama berbuat baik itu Anda telan, semakin sembuhlah Anda segera dan semakin sehatlah jiwa Anda. Itu baru obat berbuat baik yang kecil-kecil sahaja apalagi Anda menelan obat berbuat baik yang besar-besar?

Lalu, obat berbuat baik yang kecil-kecil apalagi yang harus Anda telan segera agar Anda mendapatkan kesembuhan supercepat lagi? Sebenarnya sangat banyak, semisal mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang membantu Anda dengan bantuan kecil sekalipun, membayar makan pagi teman Anda, membayar tiket tol mobil yang ada di belakang Anda, membayar semangkuk bakso yang sedang dimakan oleh Bapak Polantas di pinggir jalan, atau sedekah dengan uang recehan kepada pengamen, pemulung, dan anak-anak jalanan.

Juga menyapa SATPAM kantor Anda yang sampai detik ini masih tetap setia duduk dan menjaga di lobby kantor Anda, ucapkan permisi dan maaf ketika ada office boy atau cleaning service yang saat itu sedang mengepel lantai kantor Anda, dan masih banyak lagi lainnya. Tanggalkan segala baju ego dan telanjangkan diri Anda dari jas gengsi yang segitu mahalnya buat orang lain.

Setelah itu, setelah Anda melakukan semua perbuatan baik itu, rasakan obat itu beraksi dengan cepat, mengalir lewat pembuluh darah ke segala arah dan memacu hormon serotonin, hormon kebahagiaan Anda. Alhamdulillah.

Tapi bagi seorang muslim ada lagi yang lebih dari sekadar itu. Agar kebahagiaan itu terasa juga tidak hanya di dunia atau berorientasi akhirat, mau tidak mau Anda harus berniat melakukan karena Allah semata, tidak boleh melenceng sedikitpun, dan luruskan segera bila sudah melenceng bukan karena-Nya. Karena bila tidak di akhirat cuma mendapatkan debu dari obat berbuat baik itu. Tidak ada hasilnya sama sekali. Cuma kebahagiaan di dunia saja yang Anda dapatkan.

Percayalah, keikhlasan Anda ibarat air yang melancarkan jalannya obat untuk masuk ke dalam pencernaan Anda. Bahkan obat berbuat baik yang Anda masukkan ke dalam jiwa Anda dengan sebuah keikhlasan itu selain menimbulkan kebahagiaan, serta merta ia akan menjadi cadangan bantuan darurat untuk Anda. Tidak percaya? Dengarkanlah cerita berikut ini.

Andi, sebut saja namanya demikian, berangkat ke kantor dengan perasaan gundah gulana. Tadi pagi sebelum berangkat ia harus bertengkar dulu dengan istrinya. Ketidaksalingmengertian memahami persoalan membuat mereka tidak bisa menuntaskannya segera. Akibatnya Andi pergi dengan segumpal marah masih teronggok di dadanya.

Di sepanjang perjalanan ia masih memikirkan hal itu. Ia sadar ia harus keluar dari kemarahannya ini. Kemarahannya hanya membuatnya semakin tidak bahagia. Solusi yang sering ia lakukan saat mengalami hal ini adalah dengan melakukan sedekah. Ia percaya betul bahwa sedekah akan membuatnya terlepas dari segala persoalan dunia. Dan ia bertekad untuk sedekah pagi itu.

Lalu di tempat ia biasa membeli nasi bungkus sebagai bekal sarapannya, ia berhenti. Di sana sudah ada kawan lamanya yang sudah tidak sekantor lagi dengannya sedang membeli nasi bungkus itu. Dan binggo, sebuah kesempatan untuk bersedekah terbuka dihadapannya. Ia mengambil uang temannya yang sudah digeletakkan di meja penjual nasi itu dan menyerahkannya kembali kepada temannya.

“Tidak perlu, biar saya yang bayar saja,” ucapnya. Temannya menerima uang goceng itu dengan ucapan terima kasih lalu pergi meninggalkan si Andi yang masih menunggu nasinya dibungkus. Andi merasa bahagia dan sedikit demi sedikit kemarahan yang ia rasakan tadi pagi berangsur-angsur hilang. Energi positif itu mengalir ke seluruh tubuhnya. Selesai? Fragmen kehidupan Andi tidak berhenti di situ.

Beberapa saat meninggalkan warung itu, motor yang ia naiki tersendat-sendat jalannya. Ia tidak tahu mesin, ia mengira bahwa motornya itu cuma karena kehabisan bensin. Sedangkan tidak ada penjual bensin di sekitar tempat itu. SPBU pun masih jauh letaknya. Dan ia harus mengejar absen paginya agar nanti di awal bulan gajinya tidak terpotong. Ia sudah berpikir akan terlambat. Beberapa puluh meter dengan keadaan motor yang buruk itu, ia bertawasul dengan perbuatan baik yang ia baru saja lakukan. “Ya Allah jikalau saja perbuatan menolong teman saya itu ikhlas karenaMu maka tolonglah saya Ya Allah dan berilah aku jalan keluar atas semua masalah ini.”

Apa yang terjadi? Allah mengabulkan doanya lagi setelah permintaannya tentang kesempatan untuk bersedekah dikabulkan. Usai ia bertawasul ia mencoba untuk melihat ke bawah, ke bagian pengapian yang benar-benar belum ia lihat sedari tadi. Dan betul sekali, selang pengapian ke businya ternyata lepas! Ia pasang, dan motor itu bisa berjalan normal kembali. Andi bahagia, Andi ditolong, dan keluar dari masalahnya.

Sahabat, telan obat berbuat baik itu, Anda bisa lakukan sekarang juga, ikhlaskan ia, rasakan energi postif itu mengalir dalam jiwa Anda, Anda bahagia, dan jadikanlah ia cadangan Anda di dunia dan akhirat. Semoga.

Karena Andi dan saya telah merasakannya. Anda kapan kalau tidak melakukannya sekarang?

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10:20 06 Pebruari 2008

PALESTINA DAN SOEHARTO


PALESTINA DAN SOEHARTO (ABU SIGIT AL-KIMUSIKY)

Siang hari kemarin, berombongan kami dari Pabuaran menuju MONAS untuk bergabung bersama-sama ikhwah yang lain untuk menyuarakan solidaritas kami terhadap rakyat Palestina yang sampai tulisan ini dibuat pun masih saja dianiaya dengan kezaliman Israel La’natullah. Dari Pabuaran kami melalui tol Jagorawi dari Citeureup, lalu masuk ke tol dalam kota untuk nantinya keluar dari pintu tol Cempaka Putih. Dari sana kami lalu menuju Masjid Istiqlal untuk menunaikan sholat dhuhur.
Di pintu Al Fatah Masjid Istiqlal itulah saya merasakan getar-getar yang jarang saya rasakan kembali pada tahun-tahun terakhir ini. Yaitu keharuan untuk berkumpul dengan saudara-saudara seperjuangan. Dengan banyak pemuda yang memancarkan kesalehan dari wajah-wajah mereka. Yang berombongan datang dari daerah masing-masing entah dengan berkendaraan motor, mobil, angkutan umum yang disewa ataupun jalan kaki.
Bahkan saya melihat ada beberapa ikhwah yang walaupun tidak diberikan kesempurnaan secara fisik untuk berjalan tegap karena kakinya cacat, dapat meluangkan dirinya berpartisipasi di acara itu dengan berjalan jauh di tengah hari yang terik . Saya sungguh terenyuh dan terharu. Subhanallah, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Dua anak saya pun kiranya dapat menahan kelelahan mereka untuk berjalan jauh dari Masjid Istiqlal menuju Monas, lalu berdiam diri di sana selama setengah jam, dan kemudian berjalan kaki lagi menuju Kedubes Amerika Serikat dan kembali ke Masjid Istiqlal sekitar pukul 16.30 WIB.
Sedari dini saya mengajarkan kepada mereka yang kini sudah duduk di kelas dua SD dan TK B untuk turut merasakan solidaritas ini. Betapa mereka masih diberikan banyak kenikmatan di negeri Indonesia ini dengan makanan yang Insya Allah terjamin, bermain setiap saat tanpa diiringi dentuman senjata atau rudal yang meledak di tengah kerumunan mereka, pendidikan yang mencukupi, dan perdamaian yang ada. “Nak, sungguh beruntunglah kamu,” batinku.
Sudah saatnya mereka juga turut mensyukuri itu dengan merasakan panasnya berdemo , lapar dan haus mereka , karena betapa sengsaranya mereka di acara itu belumlah sebanding dengan keadaan yang dialami oleh saudara-sudara mereka di Palestina. Kelelahan itu semoga dibayar oleh Allah SWT. Bukti bahwa kami telah berbuat dengan upaya kami dan semampu kami. Daripada banyak yang teriak-teriak tapi tanpa aksi nyata. Semoga walaupun sebagian dari mereka tidak berdemo, juga turut mendoakan perjuangan rakyat Palestina di sana. Yang aneh adalah yang tidak ikut, yang tidak berinfak, yang juga tidak mendoakan mereka, tapi bisanya cuma mencela terhadap upaya saudara-saudaranya di sini untuk menyuarakan penderitaan rakyat Palestina. Sungguh Allah tidak tidur melihat mereka.
Lalu tidakkah kita terlalu perhatian dengan rakyat Palestina sedangkan rakyat Indonesia sendiri masih banyak yang kudu dibantu? Tentu kita tidak melupakan mereka, kita tidak melupakan saudara-saudara terdekat kita dulu, karena sesungguhnya sedekah terbaik adalah sedekah yang diberikan kepada saudara-saudara terdekat kita sendiri. Dan kita juga tidak perlu gembar-gembor kepada dunia bahwa kita telah berusaha membantu dengan sekuat tenaga mungkin untuk membantu negeri ini. Biarlah Allah saja yang melihat semua upaya itu. Tetapi yakinilah bahwa upaya itu Insya Allah sudah banyak dilakukan.
Setidaknya dengan upaya kemarin itu adalah upaya yang menyadarkan kepada masyarakat dunia dan bangsa Indonesia sendiri, bahwa tidaklah layak kita sebagai orang yang beriman mendiamkan kekejian itu berlangsung terus di hadapan mata dunia tanpa ada campur tangan dari negara lain untuk bertindak menghentikan semua itu. Ya, Negara lain cuma diam saja.
Setidaknya pula, upaya kemarin itu adalah upaya untuk membangkitkan semangat rakyat Palestina bahwa mereka tidak sendiri, masih ada saudara-saudara mereka yang berusaha bertindak nyata dan mendoakan mereka. Ini akan membuahkan efek positif yang luar biasa, memberantas segala rasa keputusasaan, dan membangkitkan jiwa kepahlawanan.
Jikalau, pada hari ini tidak ada sedikitpun pemberitaan demonstrasi kemarin karena bertepatan dengan meninggalnya Abu Sigit AlKimusuky (Bapak HM Soeharto), tidaklah mengapa, karena kami berdemo bukanlah untuk mengharapkan pemberitaan yang kiranya dapat memberikan celah ketidakikhlasan kami atas perjuangan ini. Sungguh, Allah mboten sare. Cukuplah menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah karena Ia maha menilai segala sesuatu dengan teliti.
Hari kemarin, Ahad (Minggu) tanggal 27 Januari 2008, adalah hari yang begitu mengguncang bagi saya. Di sanalah keharuan saya masih menyentak (yang sempat pesimis masihkah saya mempunyai keharuan itu saat melihat geliat semangat para ikhwah) dan keharuan atas sebuah ibrah (pelajaran) penting bahwa manusia yang pernah berkuasa dulu dengan segala yang dimilikinya tidak bisa berkuasa apa-apa terhadap sebuah kematian.
Ia gagah, dulu, tetapi ia lemah kini. Kaku. Tidak berdaya. Tinggal mempertanggungjawabkan semua perbuatan di dunianya. Saya mendoakan sosok kaku yang saya lihat di televisi itu dengan sebuah pengharapan semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni segala dosanya, biarlah Allah yang mengadili dengan pangadilan yang seadil-adilnya.
Sungguh sejak kematian ibu saya, saya menjadi orang yang sering terhanyut dengan perasaan. Saya menjadi orang yang mudah menangis melihat sosok yang terbujur kaku dengan kafan putih yang menutupi sekujur tubuhnya. Begitu pula kepada Anda wahai Abu Sigit Al-Kimusuky, mata saya berkaca-kaca. Sekali lagi, semoga Allah mengampuni Anda dan senantiasa Anda ditemani dengan amal-amal kebajikan di kubur di saat menunggu hari kiamat tiba.
Anda dan anak-anak Palestina, Ibu-ibu palestina, tua renta Palestina, para pemuda Palestina, pejuang-pejuang Palestina adalah tetap saudara bagi saya. Tidak berbeza. Anda sangatlah layak mendapatkan doa dari saya, sama dengan layaknya mereka di Palestina. Karena Anda adalah seorang muslim. Sama dengan mereka.
Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

12:08 28 Januari 2007

Dua Tips Menjadi Murabbi Sukses


Salah satu dari 114 tips menjadi murabbi sukses yang ditulis oleh Satria Hadi Lubis adalah “jangan lupa untuk mempersiapkan materi”. Berikut kutipan lengkap dari tips kedua tersebut:

“Da’i harus memiliki argumen yang kuat untuk mendukung makna yang diutarakan dan harus memperhatikan kesesuaian argumen dengan makna tersebut. Ia memiliki keluasan dalam memilih argumen, sebab ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits Rasul, sirah Nabawiyah yang harum, dan sejarah Islam adalah argumen yang kuat yang dapat digunakan untuk memperkuat pembicaraan” (Musthafa Masyhur).

Salah satu kebiasaan buruk murobbi yang sering dijumpai adalah tidak mempersiapkan materi. Mereka tampil spontan. Mungkin merasa mad’u sudah tsiqoh (percaya) dengan mereka, sehingga tidak bakalan hengkang. Padahal Shakespeare pernah mengingatkan, “Barangsiapa naik panggung tanpa persiapan, ia akan turun panggung dengan kehinaan”. Hasilnya, mad’u mungkin tidak hengkang. Tapi penyajian materi terasa hambar, monoton dan tidak aktual, karena tidak dipersiapkan sebelumnya. Akhirnya, mad’u lama kelamaan merasa bosan dan merasa tidak bertambah wawasannya. Mad’u jadi suka absen, atau paling tidak hadir tanpa antusias yang tinggi.
Karena itu, persiapkanlah materi yang akan Anda sampaikan di halaqah. Persiapkan walau hanya sebentar (10-15 menit). Idealnya, persiapan yang perlu Anda lakukan minimal 60 menit, agar Anda dapat mempersiapkan materi lebih komprehensif. Siapkan dalil naqli (dalil dari Al Qur’an dan Hadits) dan aqli (dalil secara rasional), data dan fakta terbaru, ilustrasi dan perumpamaan, contoh-contoh kasus, bahan humor, pertanyaan yang mungkin diajukan, bahasa non verbal yang perlu dilakukan, metode belajar yang cocok dan media belajar yang diperlukan.
Dengan persiapan prima, niscaya Anda akan tampil di halaqah bagaikan aktor kawakan yang mampu menyedot perhatian penonton (mad’u).

Tips di atas saya lakukan benar-benar. Caranya adalah dengan membuat materi tersebut dalam file berbentuk powerpoint. Maklum saya bukanlah seperti orang lain yang dengan mudahnya berbicara tanpa teks, tanpa slide, tanpa handsout. Jadi agar pembicaraan tetap terarah dari awal sampai akhir, pun agar yang diterangkan kepada pendengar adalah sesuai dengan maksud yang diharapkan dari tujuan materi tersebut maka saya melakukan upaya itu.
Pertama, saya akan membaca materi yang akan disampaikan tersebut—tentunya materi yang sesuai dengan kurikulum mentoring. Lalu sambil melakukan kegiatan itu saya pun sekaligus membuat file berekstensi ppt. Di situlah saya merasakan membaca sambil membuat, menjadikan saya—setidaknya—dapat memahami dengan mudah alur berpikir dari tema pokok materi.
Alhasil, setelah saya melakukan persiapan tersebut dengan matang, saya merasakan manfaat yang sangat besar—tentunya dengan pertolongan Allah pula—saya menjadi tidak grogi dan presentasi pun berjalan dengan lancar.
Sewaktu acara daurah pemuda se-Pabuaran, saya diberikan amanah oleh ketua panitia untuk menyampaikan materi bertema ghazwulfikr, dengan persiapan yang sungguh-sungguh maka Allah memudahkan saya memberikan materi tersebut. Begitu pula dengan Ahad kemarin untuk pertemuan pekanan yang ketiga ini saya memberikan materi tentang keseimbangan, dan lagi-lagi Allah memudahkan saya.
Saya sampai berkesimpulan, mungkin inilah jalan yang Allah tunjukkan kepada saya bahwa salah satu cara untuk menghindari kebingungan yang biasa saya derita dalam memberikan materi adalah dengan cara yang demikian. Buat softcopy dari materi tersebut.
Ya, salah satu kelemahan saya dalam mengisi mentoring adalah saya tak bisa tampil spontan dan kebingungan tentang materi apa yang harus saya berikan. Padahal referensi materi begitu seabrek dalam lemari buku. Sekali, dua kali, bahkan berkali-kali saya baca materi tersebut sebagai bentuk persiapan masih saja susah untuk dicerna oleh akal pendek saya.
Tetapi dengan tips di atas Insya Allah saya sudah bisa mengatasi kebingungan tersebut. Intinya adalah buat catatan atau presenter bilang buat poin-poinnya. Ini sesuai dengan tips selanjutnya dari Satria Hadi Lubis berikut ini:

3. Catat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u

“Dan hendaklah ia rapi dalam segala urusannya” (Musthafa Masyhur).

Selain mempersiapkan materi, hal yang perlu Anda persiapkan sebelum mengisi halaqah adalah mencatat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u. Misalnya, mencatat apa saja yang akan dievaluasi, apa saja informasi dan instruksi yang akan disampaikan, atau siapa yang akan Anda ajak bicara tentang sesuatu hal.
Dengan mencacat, Anda akan ingat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u. Tapi jika mengandalkan ingatan, Anda akan lupa karena saking banyaknya hal yang perlu Anda sampaikan kepada mad’u. Kelupaan tersebut dapat berakibat fatal, jika yang akan Anda bicarakan adalah hal yang penting dan mendesak. Anda mungkin terpaksa membicarakannya di luar halaqah via telpon. Hasilnya, tentu tidak seefektif jika Anda sampaikan secara tatap muda di depan halaqah. Nah.. agar tidak lupa, catat apa yang akan Anda sampaikan kepada mad’u di buku atau di kertas Anda sebelum Anda mengisi halaqah.

Mungkin untuk orang lain, membuat poin-poin pembicaraan itu pun mudah semudah membalikkan tangan. Dengan cukup mengambil secarik kertas kosong lalu menuliskan poin-poin tersebut. Tetapi bagi saya itu belumlah cukup, saya kudu membuatnya dengan tampilan bagus terlebih dahulu dalam sebuah software khusus baru saya bisa lebih paham. Kegunaan lainnya adalah bisa langsung dicetak dan dibagikan kepada peserta mentoring.
Cuma satu kekhawatiran saya yakni upaya ini cuma semangat di awal saja lalu lama-kelamaan hilang ditelan bumi seiring dengan bangkitnya kemalasan saya. Tapi saya pikir, yang terjadi nanti biarlah terjadi nanti. Sekarang yang perlu saya lakukan adalah tetap memupuk semangat ini. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap bekerja maksimal dalam jalan ini.

69. Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [Al-Ankabuut, 29: 69]

Ayat di atas setidaknya menjadi pelipur kelelahan bagi saya. Semoga menjadi pelipur sampai akhir.

Kesimpulan Kiat:
1. Buat softcopy dari materi;
2. Catat apa yang akan disampaikan.

Maraji’:
– Alqur’anul Kariim
– Menjadi Murabbi Sukses, Satria Hadi Lubis

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
kalibata mendung
12:28 20 Maret 2007

MENGUKIR DI ATAS BATU: KESUNGGUHAN TAK TERNILAI


Ba’da dzuhur yang sejuk, dua anak kecil itu terlihat sedang belari-larian di dalam masjid AlHikmah, Cipayung, Depok. Yang satu mempunyai perawakan yang lebih kecil daripada yang lainnya. Mereka adalah dua diantara beberapa anak seumuran mereka yang ikut pendidikan di Pesantren Tahfidzul Qur’an Terpadu.
”Dek-dek…sini dulu. Saya mau tanya nih…!” seru saya setengah berteriak kepada mereka. Akhirnya mereka berkumpul di hadapan saya.
”Wah…sudah berapa juz nih hafalannya?” tanya saya kepada dua anak kecil pertama.
”Saya baru satu juz, kok”, jawab yang lebih besar.
“Kalau saya lagi menghapal Juz 30,” yang kecil menyahut.
”Satu juz tuh selesai berapa lama,” tanya saya lagi.
“Dua bulan setengah,” jawab yang besar.
”Sering nangis yah…?”
”Iya…”
”Kenapa?”
”Kangen abi sama ummi” jawab mereka berdua serempak, yang ternyata kakak beradik. Yang lebih tua duduk di kelas enam sekolah dasar sedangkan yang kecil kelas tiga.
”Masih ngompol, enggak…?” tanya saya lagi.
”Enggak dong, kalau dia berhenti ngompolnya waktu kelas dua, sekarang sudah enggak lagi,” jawab si kakak sambil menunjuk sang adik.
Tiba-tiba datang lagi di hadapan saya dua anak seumuran dengan mereka. Yang satu—anak dari pengelola pesantren ini—sudah hafal tiga juz yang ditempuh selama 12 bulan. Sedangkan satunya lagi adalah anak dari seorang ustadz sudah hafal lima juz selama setahun.
Subhanallah, mereka, kecil-kecil sudah bisa menghafal banyak surat Al-Qur’an. Sedangkan saya menjaga surat-surat yang sudah saya hafal saja sampai pontang-panting apalagi untuk menambah hafalan lagi. Saya telah dilupakan. Duh, malu euy…Benar kata rasulullah SAW: “Selalulah bersama Al-Quran, demi jiwa Muhammad yang berada di genggaman-Nya, sesungguhnya Al-Quran itu lebih cepat hilangnya daripada tali onta dalam ikatannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Saya bisa berkaca kepada mereka. Berkaca pada kesungguhan untuk menjadi seorang hafidz, yang akan memahkotai orang tua mereka kelak. Yang tubuhnya utuh tak termakan ulat saat terkubur dalam tanah. Kesungguhan mereka untuk berjauh-jauhan dengan orang tua yang mereka rindukan setiap harinya. Kesungguhan untuk mencapai karakter shahihul ibadah dalam dirinya.
Dan tentunya tidak bisa kita remehkan adalah kesungguhan dari orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan mengorbankan kesenangan berkumpul dengan anak-anak tercinta. Mengorbankan perasaan kangen mereka untuk masa depan anak-anaknya. Kesungguhan yang timbul karena adanya kesadaran bahwa menghafal di usia muda adalah lebih mudah dan lebih baik daripada menghafal di usia tua. Kerana menghafal di waktu kecil seperti mengukir di atas batu, menghafal di waktu tua seperti mengukir di atas air.
Untuk merajut kesungguhan itu hanya doa yang bisa mereka panjatkan kepada Sang Penguasa Jagat agar senantiasa menjaga anak-anak mereka, mudah menerima pelajaran, menghapal, dan tentunya betah tinggal berjauh-jauhan dengan orang tua, betah tinggal di tempat yang fasilitas untuk mendapatkan kesenangan masa kecilnya terbatas dibandingkan dengan di rumah mereka sendiri.
Sebuah kesungguhan tak ternilai.
Ah, bisakah saya mempunyai kesungguhan seperti mereka…?

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:55 13/11/2006

Bacalah artikel ini:
1. Materi Tarbiyah: Hifzhil Qur’an Juz 30;
2. Kiat Menghafal Alqur’an, Ummu Abdillah, Ummu Maryam;
3. Kiat-kiat Menghafal Al-Quran menuju Ridho Ilahi, Azzahra (10.9.2.64)
http://10.254.4.4/isi_partisipasi.asp?dsh=5136

TIGA CARA MASUK SURGA


http://10.9.4.215/blog/dedaunan/25764

Sabtu kemarin saya diundang untuk ikut berbuka puasa bersama di salah satu rumah anggota pengajian pekanan istri saya. Saat jelang magrib saya didaulat untuk memberikan taushiyah di acara itu. Pendaulatan itu mau tidak mau harus saya terima. So, saya butuh referensi cepat untuk itu. Dengan membuka-buka mushaf syamil yang ada di tangan, mata saya terantuk pada dua ayat di Surat Ali Imran. Tepatnya di ayat 133 dan 134.
Kawan, inilah isi dari ayat tersebut:

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dari dua ayat tersebut saya ambil kesimpulan, kalau mau jadi orang bertakwa yang dijanjikan kepada mereka dua hadiah istimewa yakni ampunan Allah dan surga yang seluas langit dan bumi maka kita harus dapat mengerjakan tiga amalan ini:

1. berinfak di waktu lapang dan sempit;
2. menahan amarah;
3. memaafkan kesalahan orang.

Lalu apa susahnya? Ternyata memang berat, memang susah. Maka pantas saja bagi Allah untuk memberikan kepada yang mampu melakukannya imbalan terbesar itu. Ya, bagaimana tidak manusia sesungguhnya mempunyai tabiat kikir artinya manusia tidak mau melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya. Ditambah lagi dengan setan yang menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan. Otomatis lintasan pikiran untuk berbagi tidak menjadi mainframe kehidupan manusia.
Tapi bagi mereka yang mengetahui bahwa segala harta bendanya itu hanya amanah yang dititipkan Allah kepada dirinya, dan mengetahui bahwa sebenar-benarnya harta yang dimiliki adalah harta yang ia infakkan maka tabiat kekikiran dan tipuan setan itu mudah dikikis. Karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah tipu daya yang lemah.
Lalu bagaimana jikalau kita-kita ini sebagai manusia dengan tabiat kikir yang sudah diredam sehingga selalu timbul semangat untuk berbagi di setiap kesempatan tapi masalahnya kita tidak punya kelapangan rezeki? Nah, inilah salah satu bentuk ujian bagi kita. Wajar sih kalau lagi kaya kita selalu berinfak, tapi sungguh luar biasa jikalau sebaliknya. Ia papa, tidak punya apa-apa tapi selalu bersemangat dalam berbagi.
Inilah yang perlu kita tiru. Di lapang ataupun sempitnya keadaan kita, semangat berbagi hendaknya senantiasa menjadi hiasan hidup kita. Apalagi kalau kita mendengar janji Allah yang akan melipatgandakan sepuluh kali lipat bahkan menggandakan 700 kali lipat buat orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. (Pantas saja saya belum merasakan ketiban rejeki nomplok ratusan juta rupiah, karena pancingan untuk mendatangkan rejeki itu cuma infak ribuan perak doang )
Kalau meniru bahasanya Ustadz Yusuf Mansyur: ”ente-ente mau kaya, sedekahlah”. Matematika kehidupan yang berlawanan 180 derajat dengan pakem teori ekonomi yang paling canggih di abad ini. Atau dengan bahasa lainnya: ente-ente mau sehat, sedekahlah atau ente-ente mau selamat dari malapetaka, sedekahlah. Sedekah mengatasi masalah tanpa masalah.
Satu nasehat baik untuk diri saya sendiri.
***

Menahan amarah. Ini juga suatu perbuatan yang rada-rada sulit dan berat. Apalagi kalau marah disaat kita mempunyai kekuasaan, punya power, kesempatan untuk membalas dan menyakiti orang lain. Maka pantas saja ada statement bahwa orang yang terbaik adalah orang yang mampu mengendalikan amarahnya disaat ia mampu membalas. Pantas pula Rasulullah SAW pernah berkata: ”janganlah kamu marah, maka bagimu surga”.
Saat marah yang tidak pada tempatnya itulah saat di mana setan menguasai hati dan akal kita. Sehingga wajar saja orang yang sedang marah ia tidak akan mampu memberikan penalaran yang baik terhadap kondisi sekitar. Marah bisa menjadi awal untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Menyakiti secara lisan dan fisik hingga terjadi pembunuhan.
Di sana ada api yang membakar diri. Yang cuma bisa dipadamkan dengan cara-cara Rasulullah SAW contohkan: pindah tempat berganti posisi dan berwudhu. Gampang sih, cuma karena nalar kita sudah dibolak-balikkan maka perbuatan yang semudah itu saja susah sekali dilakukan. Tinggal kuat-kuatnya kita dan orang lain saja menyadarkan diri ini. Pantas bagi orang yang bisa menahan amarah ia mendapatkan surga dan ampunan Allah.
Satu nasehat baik untuk diri saya sendiri.
***

Wahai kawan, ternyata memaafkan kesalahan orang lain pun menjadi suatu perbuatan mulia yang memang berat dilakukan. Bagaimana tidak, ketika kita disakiti orang lain dengan perkataan ataupun perbuatan maka sebagai manusia normal kita ingin sekali membalasnya dengan perbuatan yang setimpal bahkan jika perlu dibalas dua sampai sepuluh kali lipat. Kita sampai tidak bisa tidur hanya untuk memikirkan balasan itu. Hati kita gelisah, dongkol dan mangkel. Marah pun berkecamuk.
Ketika ia berusaha untuk memaafkan orang lain maka ia berarti sudah memutus habis banyak perkara. Ia menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Ia telah menghilangkan penyakit pada hatinya. Ia menjadi orang yang benar-benar pemaaf dan berjiwa besar. Melapangkan dadanya dari kesalahan saudaranya. Ia membuat tidurnya lebih nikmat dirasakan tanpa gundah yang membuncah. Pantas saja bagi orang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain mendapatkan ampunan Allah dan surgaNya.
Kawan pasti ingat tentang sebutan calon penghuni surga dari Rasulullah SAW terhadap salah seorang sahabatnya sehingga membuat penasaran sahabat yang lain. Di saat dicek amalan hariannya, amalan yang ia lakukan adalah amalan yang biasa dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang lain. Ternyata cuma satu yang beda: di setiap malamnya , sebelum tidur, ia memaafkan kesalahan saudara-saudaranya di hari itu. Subhanallah. Pantas saja bagi orang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain mendapatkan ampunan Allah dan surgaNya.
Sungguh, satu nasehat baik untuk diri saya sendiri.
***

Ba’da maghrib itu saya mendapatkan dua santapan yang mengenyangkan. Santapan ruhani—nasehat untuk diri saya sendiri dan Insya Allah beguna pula untuk yang lain—dan santapan jasmani berupa nasi, mie goreng, plus ayam bakar. Tidak hanya itu silaturahim pun terjalin dengan erat menambah semarak ramadhan mubarak. Menambah keyakinan sebuah cita. Satu cita pasti bagi kami: berkumpul di jannahNya. Insya Allah.

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
14:22 17 Oktober 2006

AL IKHWAN=AHLUL BID’AH= OSAMA?


AL IKHWAN=AHLUL BID’AH= OSAMA?

Masjid di komplek perumahan kami ini bernama Al-Ikhwan. Bangunannya sejak tahun tahun 2001 belum pernah utuh menjadi sebuah masjid. Setelah bergonta-ganti panitia dan telah menghabiskan dana swadaya masyarakat lebih dari 100 juta rupiah, masjid ini pun masih belum beratap. Yang ada cuma reng baja.
Untuk melanjutkan pembangunan ke tahap pengatapan memerlukan dana tunai yang tidak sedikit kurang lebih 75 juta rupiah. Itu pun belum termasuk biaya pemasangan lantai, pemelesteran dan pengecatan dinding, pengadaan kusen dan kamar mandi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sudah banyak usaha yang dilakukan pengurusnya dalam hal penggalangan dana, mulai dari pengumpulan infak dan zakat penghasilan dari donatur, penitipan kotak infak di tiga SPBU, atau penyebaran banyak proposal. Tapi sampai jelang ramadhan 1427 ini pemasangan atap sebagai target utama selanjutnya tidak kunjung terealisir.
Akhirnya agar sholat tarawih bisa terlaksana di bangunan utama masjid—selama ini memakai bangunan kecil yang sudah ada di bagian bawah meskipun tidak layak untuk menampung banyak orang karena kurangnya ventilasi—maka pengurus pun berinisiatif untuk membeli terpal sebagai pengganti atap metal sambil menunggu terkumpulnya dana tersebut.
Maka terpasanglah sudah atap terpal plastik berwarna biru di masjid kami ini. Dan sudah tiga hari tiga malam ini kami melaksanakan sholat berjamaah di bawah atap itu. Jumlah jamaah pun meningkat—tidak sama saat masih di bawah. Ini dimungkinkan karena luasnya masjid dapat menampung mereka semua. Yang kami tidak bisa bayangkan adalah bagaimana kalau hujan deras benar-benar turun. Kuatkah terpal itu untuk menahan derasnya hujan? Allohua’alam. Kami berharap selama ramadhan ini tidak terjadi hal-hal yang dapat mengganggu aktivitas ibadah kami mengisi ramadhan.
Nah, di Sabtu Sore kemarin jelang 1 ramadhan 1427, di saat takmir masjid sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan shalat tarawih, datanglah tetangga saya—yang diikuti dengan sepasang suami istri bertampang arab. Yang laki-laki berpostur khas timur tengah, hitam, tinggi besar. Berbaju putih lengan panjang tanpa krah dan celana jin warna hitam. Sedangkan yang wanitanya berabaya hitam dengan cadar menutupi sebagian mukanya—walaupun ia tidak menutupi dengan rapat telapak kakinya yang sempat tersembul.
Yang laki-laki tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga saat dia berbicara diterjemahkan oleh istri tetangga kami—sebut saja Ibu Ning—yang sempat bermukim di Riyadh selama beberapa tahun. Yang perempuan sanggup berbicara lokal walaupun dengan logat yang aneh. Mungkin karena sudah kelamaan tinggal di bumi Nejed.
Ibu Ning memperkenalkan dua orang tamu tersebut sebagai keponakannya. Suami keponakannya itu—katanya masih keturunan kerajaan, entah menjabat sebagai apa, yang pasti sebutannya adalah Amir—ingin melihat langsung masjid di sini dan berdialog dengan para pengurusnya.
Memang beberapa tahun lalu kami pernah menyampaikan proposal kepada Ibu Ning untuk disampaikan kepada keponakannya. Tapi sampai detik ini tidak ada dana yang cair dari Arab. Ini mungkin dikarenakan suami keponakannya ini belum sempat untuk berkunjung ke tempat kami. Ia dikenal berhati-hati dengan permintaan proposal pembangunan masjid dari Indonesia, soalnya pernah kejadian ternyata masjid yang dibangun tidak sesuai dengan dana yang diberikan. Dana yang diminta tinggi tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang di proposal atau yang dibangun cuma musholla kecil. Istilahnya ada markup dana masjid bodong.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan kami, sang Amir ini pun langsung saja ambil gambar dengan telepon genggam berkameranya. Atap terpal, dinding yang tidak berplester, lantai semen, dan banyak lagi gambar yang diambil olehnya. Setelah itu ada beberapa pertanyaan yang diajukan olehnya. Satu yang menggelitik adalah: ”masjid ini masjid ahlul bid’ah bukan?” Yang ia maksud adalah sering diadakan acara-acara bid’ah di sini. Soalnya kalau benar demikian, ia tidak akan menyumbang. Kalau menyumbang ia merasa berdosa. Sang ketua takmir, menjawabnya dengan mantap: ”Insya Allah tidak”. Dalam hati saya berkata: ”Ya…Amir, kalau ente bilang bid’ah, belum tentu bid’ah bagi kami”.
Pertanyaan yang lain adalah ”apakah pengurusnya amanah?. Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Ibu Ning dengan nada penuh percaya diri, ”Insya Allah amanah.”
Namun saat sang Amir ini melihat halaman judul proposal di mana nama Masjid Al-Ikhwan ditulis dengan huruf besar-besar, sang Amir protes dan mengusulkan untuk diganti saja. Maksudnya biarlah nama masjid yang ditulis di proposal yang diubah. Dengan nama apa pun boleh asal jangan Al-Ikhwan.
Ketika ditanya mengapa demikian? ”Karena nama Al-Ikhwan identik dengan nama Osama,” katanya. Soalnya kalau di sana mendengar nama Osama bin Laden sudah antipati dan seringkali dicokok oleh pemerintah sana bila ada kaitan dengan nama itu. Jadi, orang nanti takutnya tidak mau pada menyumbang.
Wow…mantap sekali. Kami berpikir ada dua kemungkinan dalam masalah ini. Pertama ia menganggap bodoh kami yang tidak tahu tentang pertarungan pemikiran di tanah saudi antara salafy dengan Ikhwanul Muslimin, sehingga untuk memudahkan berbicara dengan kami maka dikaitkan dengan nama Osama Bin Laden. Atau yang kedua memang ia benar-benar tidak tahu tentang kaitan kedua jama’ah ini tapi hanya mendengar dari informasi sepihak yang membenci Al Ikhwanul Muslimin lalu mengait-ngaitkanya dengan Osama.
Bila yang benar adalah yang pertama, maka pertanyaan saya adalah sampai sejauh itukah kebencian terhadap Ikhwanul Muslimin terjadi? Sampai ke akar rumput. Atau cuma di akar rumput. Soalnya dari apa yang saya lihat terdapat buku-buku hasil dari tesis dan disertasi di sana yang membahas tema Ikhwanul Muslimin ini dan ini tidak menjadi masalah. Atau ini karena kedewasaan berpikir dan keilmiahan yang menjadi tradisi dari kalangan akademis sana. Allohua’lam, karena saya tidak pernah hidup di tanah arab.
Setelah kami mengganti kaver depan proposal pembangunan masjid dengan nama yang lain, Masjid Citayam —istrinya sempat mengusulkan diganti menjadi Jannatul Khuld—kami pun dijanjikan bahwa Insya Allah ramadhan akan menjadi bulan barokah buat masjid kami ini. Maksudnya ia bertekad akan menuntaskan tahap pengatapannya. Karena banyak kawannya yang rajin berinfak dan sangat senang membangun masjid—sebagai bekal rumah di surga—di saat bulan ramadhan. Kami cuma bisa bersyukur saja. Namun tidak harap-harap cemas karena sudah banyak kami diberi janji tapi nihil realisasi.
***
Setelah mereka pergi, sore itu saya mendapatkan pelajaran ’penting’ bahwa nama Al Ikhwan (yang dalam bahasa Indonesia berarti persaudaraan) bagi saudara-saudara kita di tanah Arab Saudi sana menjadi bahan pertimbangan terpenting untuk jadi tidaknya berinfak. Padahal belum pernah saya menemukan dalilnya bahwa memberikan infak itu harus melihat nama mustahiqnya terlebih dahulu. Atau karena kebencian semata nama Al-Ikhwan identik dengan ke-bid’ah-an (menurut mereka), lawan politik, dan pendukung Osama? Allohuta’ala a’lamu bishshowab.

Kader Masjid Al Ikhwan 
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:46 26 September 2006

ZINAI ISTRI TETANGGA


ZINAI ISTRI TETANGGA

Waktu kultum kemarin di masjid Shalahuddin Kalibata, saya yang maju karena memang sudah dapat gilirannya. Saya nervous, saya tidak pandai bicara, saya demam panggung, saya batuk-batuk (kebiasaan begini memang kalau lagi stress), saya cuma bisanya nulis, ngeblog lagi. Tapi apa mau di kata tugas ya tugas. Saya memberanikan diri untuk menyampaikan secuil nasehat. Nasehat yang diharapkan bisa dilakukan oleh saya khususnya dan para jama’ah tentunya.
Keberanian ini memang harus diadakan karena dalam rangka kebaikan mengapa harus malu. Sedangkan banyak sekali orang yang melakukan kejahtan dan dosa malah bangga dengan dosanya itu. Ah yang benar….? Bener, coba saja lihat di fordis portal DJP, begitu banyak orang dengan entengnya menampilkan gambar-gambar seronok, tidak senonoh, tidak sopan, dan lain sebagainya. Eh…saat dinasehatin, malah ketawa-tawa, cengengesan, bangga lagi. Aneh…
Ya tapi tentang keberanian maju ke depan itu memang banyak godaannya. Godaan supaya kita tidak bisa bersikap ikhlas gitu loh…Godaan dengan senangnya dipuji orang dan ketakutan karena celaan orang. Ini sama-sama tidak ikhlasnya loh…Tidak berhenti di saat mau kultum atawa sudah berakhirnya kultum. Ditengah perjalanan pun si setan dengan mudahnya mengajak kita dalam kesesatan. Yakni dengan menikmati godaannya. Coba apa godaannya.
”Wahai manusia, tuh lihat betapa orang-orang seakan terpana mendengar omonganmu, maka cobalah bergaya dikit, tambah lagi intonasi suaramu…” kata setan. Intinya supaya kita ingin terlihat bagus di mata manusia, pujian lagi akhirnya. Dan tidak menginginkan kebaikan kita di mata Allah. Kalau begini caranya, niscaya sia-sia perbuatan kita ini. Sudah apa yang disampaikan tidak berbekas karena tidak berasal dari hati, tidak akan pernah lama ada dalam benak pendengar, juga tidak akan mendapat apa-apa dariNya. Masak menjual akhirat kita dengan hal dunia yang remeh temeh seperti ini sih…syirik lagi.

Nothing to lose poinnya. Biarlah apa dikata orang, mau memuji kek silakan, mau mencela, mengutuk, mencela, melaknat, ya silakan saja. Cuma penilaian Allah saja kok yang kita harapkan. Betul begitu kan? Tidak untuk yang lain. Tapi saya rasakan benar-benar susah sekali belajar ilmu ikhlas, ilmu yang dikejar-dikejar sama Andre Stinky untuk bisa melamar Sarah, karena calon mertuanya—Dedi Mizwar—menyaratkan demikian. Yah…namanya juga manusia, hidup senantiasa untuk memperbaiki diri.

Coba kita simak apa yang AsySyahid Hasan Al Banna berbicara Al-ikhlas dalam Rísalah Ta’alim-nya:
”Yang kami kehendaki dengan ikhlas adalah bahwa seorang al-akh muslim dalam setiap kata-kata, aktivitas, dan jihadnya, semua harus dimaksudkan semata-mata untuk mencari ridha Allah dan pahala-Nya, tanpa mempertimbangkan aspek kekayaan, penampilan, pangkat, gelar, kemajuan, atau keterbelakangan. Dengan itulah, ia menjadi tentara fikrah dan aqidah, bukan tentara kepentingan dan ambisi pribadi.”
Ah…jelas sudah bukan untuk ambisi pribadi. Tepat sekali. Menusuk dan menohok ke jantung. Bukan pula untuk yang lanilla, yaitu segala yang dapat meningkatkan harkat dan martabatnya di mata manusia.Jelas sudah.
Dengan berupaya nothing to lose itulah saya maju ke depan membahas satu hadits pada waktu yang singkat itu, cuma tujuh menit belaka. Diambil dari kitab Al-Wafie, terjemahan kitab syarah hadits Arbain. Saya mengambil hadits yang ke-15, yakni hadits tentang etika orang beriman.
Kurang lebihnya demikian hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim ini:
Tidaklah beriman pada Allah dan hari akhir sampai ia berkata baik atau diam, menghormati tetangga, dan memuliakan tamu.

Berkenaan dengan adab menghormati tetangga itu ada salah satu hadits di buku tersebut yang mengutarakan tentang bentuk penzaliman kepada tetanggga yaitu pada hadits di mana suatu saat Rasulullah ditanya perbuatan apa yang termasuk dosa besar. Rasulullah menyebut perbuatan pertama yaitu menyekutukan Allah, lalu setelah ditanya lagi perbuatan apa setelah itu adalah perbuatan membunuh anak, dan terakhir adalah menzinahi istri tetangga.
Nah, pada poin menzinahi istri tetangga itulah saya tekankan sampai dua kali. Sampai di sini tidak ada masalah. Delapan menit pun berlalu, kultum pun selesai. Baru setelah turun dari mimbar dan kembali ke ruangan kantor, teman saya pun berkomentar tentang masalah menzinahi istri tetangga. Ternyata ia melihat banyak jamaah yang saling berbisik saat saya mengutarakan hal ini.

Dan teman saya yang lain mengirim SMS kepada saya, begini bunyinya:
[….tapi jangan terlalu penekanan dong pada poin berzina sama tetangga, 2 kali lo Za, aku melihat banyak yang senyum lo poin itu, kayak di film saja]

Bukan hanya di fim saja, di media massa, wabil khusus di Poskota sering kita lihat fenomena ini. Itulah hebatnya Rasulullah, masalah ini tenyata benar-benar dipahami betul oleh beliau 14 abad yang lalu sehingga mewanti-wanti kepada umatnya untuk menghindari ini.
Paginya, saat saya bersilaturahim dengan kawan di Subbagian Umum, ternyata ada teman juga yang mengomentari kultum saya. Lagi-lagi tentang menzinahi istri tetangga, penekanannya pada pelarangan menzinahi istri tetangga, berarti boleh dong menzinahi istri bukan tetangga. Halah…. 

Seharusnya kita melihat kaidah yang lebih umum yaitu pelarangan berzina dengan yang bukan haknya. Yaitu pelarangan berzina dengan siapapun orangnya di luar hukum agama termasuk berzina dengan binatang. Yang mana hukum dari berzina ini sudah termasuk dosa besar. Apalagi menzinahi istri tetangga, bisa lebih besar lagi dosa yang didapat untuk para pelakunya. Botullll….
Yah itulah di saat saya lagi tidak melucu, orang bisa juga menganggap omongan saya lucu. Tapi di saat saya lagi melucu, tidak ada tuh orang yang tertawa…? (sudah bisa ditebak joke saya basi habisssss…).
So, zinahi istri tetangga….Na’udzubillaahimindzaalik, Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan yang sedemikian rupa. Forever, ever,ever …… 

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
02:58 08 September 2006