Dari para tetua kita menjadi tahu salah satu kiat supaya manusia bisa berumur panjang.
Pada setiap lebaran, kawasan puncak Jawa Barat menjadi biang kemacetan parah. Para pengendara yang melewati kawasan itu harus menaikkan derajat kesabaran karena untuk menempuh jarak 500 meter saja bisa membutuhkan waktu berjam-jam.
Namun, kemacetan di sana tidak membuat kapok. Selain karena itu satu-satunya akses utama dari Bogor menuju Cianjur atau sebaliknya, kesempatan lebaran menjadi waktu terbaik untuk liburan bersama dengan keluarga.
Sebelumnya, masyarakat Indonesia harus berjam-jam menempuh perjalanan dan kemacetan supaya bisa berlebaran, bersilaturahmi, dan berkumpul dengan sanak saudara di kampung.
Semua diupayakan dan sumber daya dikerahkan agar bisa mendapatkan kesempatan tersebut yang terkadang tidak bisa dilakukan rutin setiap tahun. Seperti ada longsoran kebahagiaan ketika mendengar suara takbir di malam 1 Syawal dan berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan salat dan mendengarkan khutbah id. Kemudian makan bareng dengan masakan khas lebaran yang tak kerap ditemui di lain waktu seperti ketupat, opor ayam, dan sambal goreng.
Setelah itu bersilaturahmi dengan kerabat dari rumah ke rumah. Di sinilah kemudian hidangan pembelajaran tersaji. Kita akan menemukan kesederhanaan masyarakat kampung yang masih bertahan di tengah deraan tontonan flexing di media sosial seperti rumah gedek, televisi tabung, lantai beralas tanah, kursi kayu model lawas, atau jengki yang tergeletak pasrah di sudut rumah.
Kesederhanaan yang mestinya membuat kepala kita menunduk setelah sekian lama mendongak dan tubuh berdiri dengan segala atribut semu yang membuat kita pongah dan lupa segala. Mestinya. Ya, jikalau hati kita sudah keras apa boleh buat, tersentuh sedikit saja tidak sama sekali.
Kemudian kita patutlah berterima kasih kepada semua ajaran yang dipertunjukkan itu dengan prosesi sungkem yang sejatinya merupakan pawai khidmat permintaan maaf atas segala salah dan khilaf. Kepala kita dipaksa untuk merendah, untuk tak selalu diguyur puja-puji yang bisa saja artifisial karena kita sangat otoritatif dalam keseharian.
Pada prosesi itu, kemudian kita berharap doa-doa terucapkan untuk kebaikan kita di masa mendatang. Utamanya adalah kemudahan atas segala urusan dan diberikan rezeki yang banyak dan berkah. Tanpa mengutip ayat suci pun, mereka sudah mendoakan dengan doa-doa terbaik. Bukankah dua hal itu menjadi apa yang dijanjikan oleh Allah Swt. kepada orang-orang yang bertakwa?
Dalam anjangsana dari rumah ke rumah, belasan jenis kue di dalam toples-toples tersedia di atas meja. Teh hangat manis dikeluarkan seketika untuk menjamu tamu yang barangkali hanya datang setahun sekali. Bahkan dengan setengah memaksa, para tamu diminta untuk menyantap hidangan lebaran.
Mereka mempertontonkan parade keramahan tanpa dibuat-buat. Keramahan yang sudah ratusan tahun lamanya menjadi karakter utama bangsa ini dan sebagai implementasi ujaran Nabi Muhammad Saw. sekaligus tanda keberimanan pengikutnya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.
Pada saat bertamu itulah kita mendapatkan cerita dan pelajaran berharga tentang kehidupan dari mereka para tetua sebagai hulu kebijaksanaan yang petuahnya mengalir terus dari generasi ke generasi. Salah satunya soal kiat bagaimana bisa panjang umur dan menjalani hidup di usia yang orang normal jarang bisa sampai. Dari beberapa orang berbeda, salah satu kiat itu adalah mandi sebelum waktu Subuh. Tidak mudah untuk ditiru, tetapi bisa asal ada niat kuat.
Siapa Saudaranya Siapa
Silaturahmi pada saat lebaran juga menjadi tempat dan waktu terbaik untuk mengokohkan nasab. Masing-masing dikenalkan dan diingatkan dengan saudara-saudaranya, diingatkan juga kedudukannya dalam keluarga besar. Siapa saudaranya siapa. Siapa memanggil dengan sebutan apa.
Ini memelihara perilaku rasa hormat kepada yang tua—karena umur ataupun kedudukan dalam keluarga besar—dan mencintai kepada yang muda. Semua patuh tanpa syarat. Menjadi takdir yang tak bisa dielak, kita menjadi bagian keluarga besar tersebut. Dengan itu kata semoga kemudian lahir dari rahim silaturahmi: semoga kita bisa saling membantu dan menguatkan di saat senang dan susah.
Dan lebaran adalah momen berbagi kesenangan. Dalam tradisi lebaran masyarakat Indonesia, kita menemukan mereka yang tua membagikan uang kepada yang muda, utamanya anak-anak kecil. Apatah lagi kalau uang kertas yang dibagi adalah uang yang baru keluar dari pabriknya, tanpa lipatan, dan aroma khasnya masih tercium.
Sampai-sampai untuk memelihara tradisi itu, Bank Indonesia menyiapkan uang tunai sebesar Rp195 triliun dan menyediakan lebih dari lima ribu titik tempat pertukaran uang. Di tengah badai transaksi nontunai, tradisi ini tinggal menunggu saatnya saja untuk beralih ke metode pembayaran tanpa uang kertas. Anak-anak kecil tinggal menyodorkan kode batang (barcode) QRIS kepada para munfiq. Di saat itu, kekikiran seolah-olah menjadi musuh bersama kemanusiaan dan terbuang di planet terpencil di pinggiran semesta nan maha luas ini.
Repertoar silaturahmi dengan segala pernak-perniknya itu merupakan tapak lebaran yang membekas di ingatan masyarakat Indonesia dan menjadi bekal menjalani kehidupan di masa-masa mendatang. Ketika buhul ukhuah mulai merenggang karena impitan kehidupan, Ramadan dan lebaran menyambut kembali. Mengundang kita mengulang tradisi silaturahmi, rela bermacet-macetan, dan berbagi kepada sesama.
Pada saat itu kita seperti musafir dahaga yang menemukan oase dan silaturahmi adalah oase untuk mendulang intan kesyukuran. Apa yang sedikit kita punya adalah hal yang paling ingin dimiliki dan dicari oleh orang lain.
Selamat bersilaturahmi.
***
Riza Almanfaluthi
26 April 2023
Sumber gambar: Canva