Saya merasakan Ramadan yang berbeda daripada tahun sebelumnya. Terutama soal mengerjakan rangkaian ibadah di dalamnya. Saya merasakan keringanan. Pun, pada saat mengerjakan iktikaf di kompleks perumahan yang baru dua tahun ini kami tinggali. Saya baru pertama kali iktikaf di Masjid Almukhlisin.
Untuk iktikaf itu, saya tidur di rumah di awal waktu, lalu bangun pukul 02.00. Setelah ambil wudu, segera pergi ke masjid. Kalau berangkatnya jam dua pagi, saya mengerjakan banyak hal dengan tenang. Namun, kalau berangkatnya terlambat, seperti jam tiga pagi, saya mengerjakan rangkaian ibadah itu dengan tergesa.
Saya kencangkan doa di waktu-waktu itu. Doa yang banyak. Doa yang remeh-temeh dan besar-besar. Untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Saya berdoa seolah-olah doa yang terakhir kali. Saya pupuk keyakinan yang kuat bahwa Allah akan mengabulkan semua doa itu.
Masjid kecil itu bersih, ber-AC, karpetnya empuk, dan toiletnya bersih walaupun hanya satu. Di dalam masjid, peserta iktikaf mengerjakan ibadahnya masing-masing. Tidak ada kegiatan yang dikoordinasikan oleh marbot atau panitia Ramadan masjid. Biasanya pun, sekitar pukul 03.30, peserta iktikaf yang kebanyakan adalah penghuni kompleks, pulang untuk sahur. Ada juga yang sahur di masjid dengan membeli makanan dari luar kompleks perumahan. Kalau jam sudah menunjukkan pukul 03.50, saya juga pulang ke rumah untuk sahur.
Dari sepuluh hari Ramadan tahun ini, syukurnya saya bisa mendapatkan delapan hari iktikaf di masjid. Saya minta kepada anggota keluarga untuk mengoptimalkan hari-hari dan malam-malam terakhir Ramadan. Sekaligus menyelesaikan segala urusan infak dan zakat yang belum tertunaikan. Saya enggak terburu-buru mudik. Mudiknya nanti pada H-1 lebaran.
Di Masjid Agung Jawa Tengah
Pada Jumat, 21 April 2023 pukul 06.46, kami pun akhirnya mudik. Di peta Google, untuk menuju Semarang, kami hanya memerlukan waktu 6 jam 30 menit saja. Wow, luar biasa.
Mudik kami ini berarti sama seperti tahun lalu yang berangkat mudik pada H-1. Seperti biasanya, kami mengikuti hari yang telah ditentukan pemerintah untuk berlebaran yang jatuh pada Sabtu besok. Ormas Muhammadiyah telah mendahului lebarannya pada Jumat itu.
Kami tidak melalui rute biasa seperti melalui pintu tol Sentul atau Citeureup. Kami menuju Depok untuk menuju pintu tol Margonda. Di SPBU Depok Lama, kami mengisi penuh mobil dengan bensin, mengecek tekanan angin, dan menambal ban depan sisi kanan yang ternyata bocor alus. Alhamdulillah ketahuan.
Di sepanjang tol Jakarta-Cikampek tidak ada kemacetan. Kami juga tidak mendapatkan one way atau contra flow. Di peta Google, terlihat kemacetan ada di Tol Cipali, tepatnya dekat pintu tol Kertajati. Setelah itu lancar sampai Gerbang Tol Kalikangkung. Alhamdulillah tidak ada kemacetan yang berarti. Kami hanya mampir sekali di satu SPBU untuk menuju peturasan.
Siang hari tepatnya pukul 14.48 kami sudah sampai di Masjid Agung Jawa Tengah. Masjid ini jadi tempat singgah rutin kami kalau ke Semarang, sebelum sampai di rumah tujuan. Kami salat dan istirahat di sana. Perjalanan mudik tahun ini lebih lama 30 menit dibandingkan tahun lalu.
Namun, kami benar-benar sangat bersyukur bahwa kami sampai di Semarang pada siang hari dalam dua tahun ini. Ini terbantu karena jalan tol yang sudah tersambung penuh dan adanya contra flow itu. Dulu, sebelum ada jalan tol, terbayang perjalanan mudik penuh kemacetan dan bisa memakan waktu berhari-hari. Ingat kan peristiwa Brexit pada 2016 lalu itu?
Pada tahun 2007 ketika jalan tol hanya ada jalan tol Jakarta-Cikampek, perjalanan bisa ditempuh selama 12 jam. Itu pun harus memilih waktu yang tepat, tidak pada saat puncak arus mudik. Saya ingat waktu itu H-1 lebaran. Sampai di Semarang pada saat langit-langit malam penuh kembang api dan kumandang suara takbir.
Di tahun-tahun berikutnya, walaupun jalan tol sudah ditambah, mobil-mobil murah semakin banyak, membuat waktu tempuh Bogor–Semarang semakin lama.
Di Hari Fitri
Isi khotbah Idulfitri dari khatib muda itu saya cerna dengan saksama. Nasihat di dalam khotbahnya penting buat saya sebagai pengingat. Beberapa orang keluar masjid sebelum khotbah usai. Kami tetap bertahan karena mendengarkan khotbah adalah sunah.
Khotbahnya tidak pendek dan tidak panjang juga, sedang-sedang saja. Usai itu, para jemaah pulang. Kami tidak langsung pulang. Kami ikut dengan para jemaah masjid yang sudah sepuh-sepuh untuk bersalam-salaman secara bergiliran dengan khatib salat Idulfitri dan jemaah lainnya.
Ramadan selesai. Salat idulfitri juga selesai. Tinggal silaturahminya saja. Ini yang penting. Persis, sebelum berangkat mudik, saat menginjak pedal gas pertama, saya mewanti-wanti kepada seluruh anggota keluarga untuk meniatkan perjalanan ini untuk silaturahmi dan bukan untuk hal lain. Semoga dengan itu terjalin ukhuwah yang erat dan menjadi argo kebaikan yang berjalan terus-menerus sampai kembali lagi ke Jakarta.
Kalau sudah selesai semua kita akan menjalani hidup seperti biasa kembali. Namun, seharusnya tidak biasa juga karena kita sudah dibasuh dengan “mesin cuci” Ramadan sehingga Allah mengampuni kita dan pada 1 Syawal mestinya kita terlahir seperti bayi yang suci tanpa dosa. Hidup kita tidak biasa lagi karena kita sudah berubah dengan bekal predikat mutakin yang kita raih. Menjalani hidup dengan baik dan merasa senantiasa diawasi oleh Allah swt. Mestinya.
Dan mengingatmu, di hari 1 Syawal ini, saya terpantik membuat puisi ini.
Dari kumulonimbus bahagiamu, hujani aku dengan kata-kata fitri, basahi bahasa khilaf dengan maaf, kelak kulangitkan petrikor dari tanah aminku.
Selamat berlebaran.
***
Riza Almanfaluthi
Wringinputih, 2 Syawal 1444 H