Jumat itu saya bersilaturahmi kepada Ibu Aan Almaidah Anwar atau A3. Beliau biasa diinisialkan seperti ini. Adanya di lantai 25 Gedung Mar’ie Muhammad Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
Sesaat hendak menuju meja kerjanya yang tidak berada di ruangan khusus—karena sudah menerapkan metode flexible working space (WFS)—panggilan menyeruak.
“Eh Pak Rizaaaaaaaa!” sapa seorang perempuan muda. Saya pikir ia adalah sekretaris Ibu A3 atau teman yang mengenal saya di mana gitu. Saya cuma mengangguk sambil tersenyum di balik masker.
Saya tidak memakai kacamata. Parasnya juga sebagiannya disembunyikan oleh masker. Pun, Ibu A3 sudah menyadari kehadiran saya sehingga saya pun bergegas menujunya. Saya terus terang enggak ngeh siapa yang memanggil saya sambil setengah berteriak itu.
Hari itu, Ibu A3 penuh nuansa serba ungu, dari atas sampai bawah, dari tas sampai cincin yang ia pakai. Saya dan ia mengobrol asyik beberapa masa. Beberapa di antaranya membahas puisi, sastra, dan dunia perbukuan. Saya pun menyerahkan beberapa eksemplar buku Seseloki Seloka di Pinggir Selokan yang ia pesan sebelumnya di tautan ini: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.
Nah, waktu jua hendak memisahkan kami. Sebentar lagi saat jam pulang. Sebelum berjarak lebih lebar lagi, tentunya kami berfoto bersama.
Ibu A3 meminta tolong kepada perempuan muda yang tadi menyapa saya untuk mengambil gambar kami sambil berkata, “Mbak, kenal enggak dengan Pak Riza? Dia penulis buku ini.”
“Kenallah, Bu,” katanya. “Saya juga sudah punya buku Pak Riza.”
“Pak, saya mahasiswa Bapak dulu,” kata perempuan muda itu kepada saya sembari menyebut nama. Langsung saya terkejut mendengar namanya. Ya, benar ia adalah mahasiswi PKN STAN yang pernah saya ajar di mata kuliah Komunikasi Publik. Tahun berapanya saya sampai lupa. Namun, saya tidak lupa dengan namanya yang unik, mirip taksonomi di dunia biologi, terutama pada nama depan dan nama tengahnya, nama belakang saya tidak ingat.
Saya pikir dulu ia ditempatkan di timur Indonesia, eh tiba-tiba sudah ada di pusat institusi ini, di “propam”-nya DJP.
Ia mengambil gambar kami dari ponsel saya. Lalu saya berpamitan kepada Ibu A3 dan perempuan muda itu dengan hati bungah.
Saya senang sekali kalau disapa mahasiswa saya. Saya senantiasa berpesan kepada para mahasiswa saya pada saat saya mengajar: Kalau sudah lulus PKN STAN jangan sungkan untuk menyapa saya walaupun saya barangkali harus berpikir keras memindai wajah dan nama kalian dan kalian tetap ujung-ujungnya harus menyebut nama kalian dengan lengkap terlebih dahulu.
Sapaan mereka itu bagi saya seperti pagi yang hangat. Lebih detail lagi seperti matahari, tanah basah, dan pelangi seusai hujan. Buat mahasiswa saya, entah di mana pun kalian berada, sapa saya yah.
Buat Ibu A3 terima kasih banyak atas persuaan kita di sore itu. Ibu masih bisa menerima saya di sela kesibukannya, terutama pula segala apresiasinya terhadap karya-karya saya selama ini.
Buat perempuan muda itu, terima kasih telah menyapa saya. Setidaknya telah memicu saya menyusun 470-an kata.
Salam hangat dan jabat erat.
Oh ya, namanya adalah Sylphide Erste Mareztha.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
28 Februari 2022