Beberapa waktu lalu, kawan saya sekaligus pembaca buku Seseloki Seloka di Pinggir Selokan bernama Ikhwanudin membagikan foto dan narasi tentang kesaksiannya saat membaca buku sajak-sajak saya tersebut.
Ia menuliskannya di saat sedang menunggu kereta api malam yang akan membawanya ke Semarang. Ia kemudian menyebarkan foto dan narasi itu di grup Whatsapp dan akun Instagramnya. Tentunya buat saya, apa yang dilakukannya sangat berharga. Saya berterima kasih kepadanya.
Berikut testimoninya.
Kawan, membaca puisimu terlarut aku dalam suasana dramatik yang penuh ungkapan. Tak sembarang orang bakal mampu membacakan larik-larik puisi ini jika belum memiliki wawasan dan pengalaman batin yang matang. Seperti aku ini yang harus membaca berulang-ulang.
Mas Riza nampaknya menulis puisi tidak hanya dipengaruhi suasana batin namun juga situasi kondisi sekelilingnya. Dapat dikatakan, bahwa ketika ia melihat dan atau mengingat sesuatu maka bersambung dan dituangkan dalam puisi-puisi setelahnya bagaikan gelombang ombak di Pantai Selatan yang naik turun.
Mas Riza menulis karyanya ada yang panjang ada yang sedang, juga ada yang pendek. Tergantung suasana batin alias mood.
Aku menunggu karya-karya puisi hebat selanjutnya darimu kawan. Karena keberadaanmu senantiasa menjadi inspirasi dan panutan.
Bolshoye Spasibo
Pojokan Stasiun Gambir
8 Maret 2022 18.010
**
Buat pembaca yang ingin tahu lebih lanjut tentang buku ini silakan mengeklik tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi. Di sana ada banyak yang mesti diketahui tentang buku ini seperti artikel tentang di balik layar pembuatan buku ini dan lain sebagainya.
Sampai dengan catatan ini dibuat, buku ini sudah masuk cetakan kedua dan tersisa bilangan kurang dari sepuluh eksemplar lagi. Apresiasi yang ditunjukkan dari para pembaca dan peminat buku ini sungguh luar biasa. Saya mengucapkan terima kasih banyak.
Itu saja. Semoga apa yang ditulis bermanfaat buat pembaca. Dan buku itu tentunya. Amin.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
12 Maret 2022