Semalam saya baru sadar, sekarang sayalah yang harus memberi makan dua ekor ikan cupang ini.
Biasanya Muhammad Yahya Ayyasy Almanfaluthi yang mengerjakannya, selain pekerjaan mengunci pintu gerbang dan rumah di ujung malam.
Ayyasy sudah berada di dalam kabin Qatar Airways di ketinggian 40 ribu kaki, di ruang udara Turki, sebentar lagi akan sampai di perairan Laut Hitam, dan sekitar 2 jam 36 menit lagi tiba di Berlin.
Beberapa jam kemudian, Ayyasy sudah berada di Stasiun Kereta Api di Bandara Berlin Bradenburg, Jerman. Selisih waktu antara Berlin dan Citayam 6 jam. Di sini sudah malam, di sana masih sore.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari 24 jam dari Jakarta, transit selama 9 jam di Doha, Qatar, kemudian tiba di Berlin, Ayyasy belum sampai di tujuan akhir.
Ayyasy dan tiga orang temannya masih butuh dua jam lagi untuk sampai di asramanya di Hochschule Anhalt Kothen. Untuk apa sih Ayyasy sampai jauh-jauh ke sana?
Bocah ini lahir di Citayam, Bogor pada 18 tahun yang lalu. Setelah enam tahun di sekolah dasar, ia kemudian melanjutkan sekolah di Pesantren Al Kahfi, tepatnya di SMPIT dan SMAIT Al Kahfi.
Awal tahun lalu ia masih belajar secara luring (offline). Kemudian pandemi Covid-19 menyerang dan mengubah dunia. Seluruh siswa pesantren dipulangkan untuk belajar jarak jauh. Akhirnya kami berkumpul lengkap di rumah, berpuasa dan berlebaran di rumah saja.
Sampai kemudian Ayyasy pun lulus dari SMAIT Al Kahfi. Saat ditanya mau enggak kalau kuliah di STAN. Dia diam bae. Namun, matanya berbinar kalau soal mendengar belajar di Turki. Kebetulan di sekolahnya juga datang lembaga pendidikan yang biasa mengantarkan siswa belajar ke luar negeri.
Antusiasme Ayyasy meningkat. Ketika diberikan pilihan antara Turki dan Jerman, haluannya berubah. Ia cenderung memilih Jerman. Kami sebagai orang tua sebatas mendorong dan memotivasinya.
Berbulan-bulan Ayyasy belajar Bahasa Jerman kemudian lulus ujian bahasa Goethe-Institut Jakarta dan lulus ujian masuk HS Anhalt. Kami menjadi saksi perjuangannya itu.
Pengajuan visanya di Kedutaan Jerman di Jakarta juga dipermudah dan dipercepat pada Januari 2021. Tanda-tanda urusan persiapan ke Jerman semakin dilancarkan adalah ketika hasil tes usap Covid-19 Ayyasy dinyatakan negatif pada Senin, 22 Februari 2021. Sudah, insya Allah engkau jadi ke sana, Nak.
Selasa Magrib kami melepas Ayyasy dengan begitu banyak petuah. Begini yak jadi orang tua. Mata saya menelaga ketika memeluknya. Tuntut ilmu setinggi-tingginya, ikhlas karena Allah, semoga berguna buat umat. Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu, insya Allah.
Ingat pesan ibumu, “Bukan tentang di mana kamu menuntut ilmu, Tong, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kamu menuntut ilmu dan bagaimana kelak kamu mengamalkan ilmu yang sudah kamu dapat. Sebaik-baik manusia bukan mereka yang menuntut ilmu di sekolah ternama. Bukan juga mereka yang sekolah di negara tertentu. Namun, sebaik baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya bukan? Sebab itu tetaplah merunduk dengan ilmu yang Allah titipkan kepadamu. Tetaplah bersyukur dengan apa yg sudah Allah karuniakan sampai dengan hari ini.”
Kakakmu, Mas Haqi, bertanya kepadamu, “Sudah tahu ‘kan kanan dan kiri?”
Ah, Nak. Baik-baik ya di sana. Banyak orang saleh yang ikut mendoakanmu. Termasuk yang membaca tulisan ini, insya Allah, akan turut mendoakanmu juga.
Saya menyerahkanmu kepada Allah, biar Dia menjagamu, Nak.








***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
25 Februari 2021
Dengan kerendahan hati, kami memohon doa kepada para Bapak dan Ibu Pembaca untuk kelancaran belajar Ayyasy di negeri jauh ini.
selamat mas, semoga berkah dunia akhirat. anak saya kemaren gagal ke tunisia, ada kesempatan ujian ke kairo, pasrah sama Allah, semoga yang terbaik buat kita semua.
LikeLike
Selamat menempuh pendidikan di negeri pusat tehnologi dunia, Semoga ilmunyanya bermanfaat buat kemajuan bangsa kita..
LikeLike
Amin, terima kasih Pak Imam atas doanya.
LikeLike