Butuh 3 atau 4 Orang Saja untuk Mengenal Sashenka di Moskow dan Amahle di Abidjan


Dunia itu sempit. Kita bisa menghubungi siapa pun orang yang tidak kita kenal di dunia ini hanya dengan melalui enam orang saja.

Saya dan Mas Bagas Satria mewakili Tim Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan bersilaturahmi dengan teman-teman di Direktorat Peraturan Perpajakan II di lantai 11 Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta (Kamis, 15 Oktober 2020).

Kami ditugaskan mengisi pelatihan griyaan (in house training) yang dikemas dalam bentuk gelar wicara (talk show) dan disiarkan melalui aplikasi zoom virtual meeting. Soalnya banyak teman-teman di Direktorat Peraturan Perpajakan II yang bekerja dari rumah (work from home).

Tema yang kita suguhkan adalah soal bijak bermedia sosial terutama sekali penerapan Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-16/MK.01/2018 tentang Panduan Aktivitas dan Penggunaan Media Sosial bagi Pegawai Kementerian Keuangan.

Selain ada sedikit materi yang kami sampaikan, kami juga menyajikan pengalaman-pengalaman ketika menangani pengaduan dari warganet terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak melalui media sosial. Terutama soal doxing.

Kita semua sebagai pengguna media sosial memiliki peluang untuk di-doxing.  Doxing ini adalah aktivitas atau praktik yang menyebarluaskan informasi pribadi kita ke ranah publik. Informasi ini berupa informasi-informasi yang bahkan sangat privat sekalipun, mulai kartu tanda penduduk, kartu keluarga, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, alamat rumah, tempat bekerja, nomor rekening, dan lain sebagainya.

Doxing seringkali melanggar privasi serta digunakan untuk menjelek-jelekkan dan mengintimidasi kita. Praktik ini bisa melanggar pasal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tepatnya pada pasal pelarangan menyebarluaskan informasi seseorang tanpa persetujuan orang bersangkutan.

Alhamdulillah acara yang dikawal oleh Mas Dede Zakaria sebagai pembaca acara (host) ini berjalan dengan interaktif dan lancar. Tentunya kami berharap materi dan pengalaman yang kami bagi itu bermanfaat buat teman-teman Direktorat Perpajakan II terutama sekali ketika berselancar di dunia maya khususnya media sosial. Harus benar-benar cerdas dan bijak. Kuncinya dengan think before click dan jangan bermedia sosial ketika marah.

Yang tak dinyana, ternyata pengampu acara adalah Kepala Subbagian Tata Usaha yang baru: Bu Sri Marjati.  Ia baru dua minggu di sana. Bu Sri bersama saya pernah bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA )Tiga. Kalau Bu Sri Marjati bertugas dari tahun 1997 sampai 1999, saya dari tahun 1997 sampai 2006. Makanya ketika melihat beliau—walaupun memakai masker—wajahnya tetap familiar di ingatan saya.

Akhirnya sebelum kami berpisah, kami mengenang keberadaan kami di KPP PMA Tiga. Mengumpulkan kembali ingatan yang terserak di benak tentang orang-orang yang kami kenal dulu dan banyak dari mereka yang kami sama-sama tahu. Memang dunia itu sempit.

Bicara tentang dunia sempit maka kita bisa mengilas balik dengan studi yang pernah dilakukan oleh psikolog Stanley Milgram pada 1967 ataupun studi kiwari Dodds, Muhammad, Watts pada 2001. Mereka menunjukkan bahwa kita semua terhubung dengan jarak yang relatif dekat dengan siapa pun orang di dunia.

Eriyanto yang mengutip studi mereka di buku Analisis Jaringan Komunikasi (2014) menulis, “Ada jaringan besar yang menghubungkan antara satu orang dengan orang lain di dunia. Ekstremnya, Anda bisa menghubungi siapa pun orang yang tidak Anda kenal di dunia ini dalam hanya enam langkah.”

Kita bisa menghubungi siapa pun orang di dunia ini melalui enam orang saja. Saya tidak mengenal Z, misal, tetapi saya mengenal A, A mengenal B, B mengenal C, C mengenal D, D mengenal E, E mengenal F, F-lah yang mengenal Z. Begitu mekanismenya.

Bahasan dunia itu sempit juga bisa dibaca pada bukunya Malcolm Gladwell berjudul Tipping Point, Bagaimana Hal-Hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar. Malcolm menulis ulang penelitian Stanley Milgram di sana.

Dunia itu sempit. Apalagi DJP, tentu sempit sekali. Kita bisa bereksperimen kecil-kecilan dengan mengirim pesan kepada orang yang tidak kenal di DJP seperti eksperimen Stanley Milgram. Saya pikir hanya akan membutuhkan enam orang untuk itu, bahkan bisa kurang. Apalagi kalau ada Bu Sri Marjati yang lingkaran pertemanannya lebih luas daripada saya.

Dan, jangan lupa dengan media sosial saat ini yang membuat studi Stanley Milgram menjadi tidak ada apa-apanya. Milgram menggunakan 296 orang sebagai populasi penelitiannya.

Facebook dengan big data, algoritma, dan kecerdasan artifisial yang dimilikinya (dengan 1,59 miliar pengguna aktif di Facebook pada awal 2016) menghitung tingkat keterpisahan rata-rata tidak lagi 6 orang, tetapi menjadi 3,57 orang.

Artinya, untuk mengenal sesama pengguna Facebook bernama Sashenka yang berada di Moskow, Rusia atau Amahle di Abidjan, Pantai Gading, saya hanya membutuhkan lingkaran pertemanan dari 3 sampai 4 orang saja.

Mark Zuckerberg menargetkan lima miliar orang akan menjadi pengguna Facebook pada 2030 dan tentunya ini akan membuat tingkat keterpisahan rata-rata akan menjadi lebih kecil lagi dari angka itu. Ambisius memang.

Tetapi di situlah poinnya, media sosial menjadi pedang bermata dua, dahsyat sekaligus berbahaya. 

Dunia semakin bertambah sempit saja.

Dari kiri ke kanan: Dede Zakaria, Sri Marjati, saya, dan Bagas Satria.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
17 Oktober 2020
Gambar ilustrasi dari thetylt.com

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.